Peran Sebagai Istri
oleh : Laila Isyrina Afriani
MEMAHAMI MAKNA KETA’ATAN TERHADAP SUAMI
Selain menjadi seorang anak, peran perempuan yang tak kalah pentingnya adalah kedudukannya sebagai seorang istri. Ketika seorang perempuan telah dinikahi seorang laki-laki, maka ada hak-hak dan kewajiban yang harus ia perhatikan.
Ta’at terhadap suami merupakan suatu kewajiban bagi seorang istri. Kewajiban ta’at kepada suami ini meliputi ta’at terhadap segala perintah suami sesuai kemampuan seorang istri dalam hal kebaikan dan tidak melanggar aturan Allah dan Rasulnya.
Allah telah berfirman :
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ ۚ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ
Artinya : “Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebahagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita shaleh, ialah yang ta’at kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara mereka”. (QS. An-Nisâ` : 34).
Syaikh Islam Ibnu Taimiyyah berkata : Firman Allah
فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّه
Mencakup kewajiban seorang istri ta’at kepada suami secara mutlak dari melayaninya dan bepergian bersamanya, dan segala sesuatu yang memungkinkan seorang istri ta’at pada suaminya dalam hal kebaikan seperti kewajiban ta’at kepada kedua orang tua. Karena sesungguhnya segala keta’atan kepada orang tua telah berpindah kepada suami.
Dan telah berkata Syaikh Islam Ibnu Taimiyyah :
Perempuan terhadap suaminya ibarat budak dan tawanan, tidak boleh seorang perempuan keluar dari rumahnya kecuali dengan izin dari suaminya. Sama saja bila diperintah oleh ayahnya, atau ibunya atau kedua orang tuanya, sesuai kesepakatan para ulama. (Majmu’ Fatawa, 23 / 260,261).
Dan apabila seorang suami ingin berpindah dari suatu tempat bersama istrinya, maka kewajiban seorang istri untuk ta’at pada suaminya dan menjaga segala batasan-batasan yang Allah perintahkan. Walaupun ayahnya atau ibunya melarangnya, maka seorang istri harus mena’ati suaminya, bukan ayahnya atau ibunya karena keduanya telah melarang untuk mena’ati suaminya. Atau misalkan seorang ayah atau ibu menyuruh anaknya untuk menceraikan suaminya tanpa alasan sesuai syari’at, maka tidak ada kewajiabn bagi anak perempuan ini untuk mena’ati ayah atau ibunya.
Dari Tsauban ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:
أَيُّمَا امْرَأَةٍ سَأَلَتْ زَوْجَهَا طَلاَقًا فِى غَيْرِ مَا بَأْسٍ فَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ الْجَنَّةِ
“Wanita mana saja yang meminta talak (cerai) tanpa alas an yang jelas, maka haram baginya mencium bau syurga”. (H.R Abu Daud no. 2226, Tirmidzi no. 1187 dan Ibnu Majah no 2055. Abu Isa At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih).
Kecuali apabila orang tuanya menyuruh untuk ta’at kepada Allah seperti shalat, bersedekah, atau melarang kepada sesuatu yang dilarang Allah, maka wajib bagi anak perempuan ini untuk mena’ati kedua orang tuanya.
Akan tetapi, apabila seorang suami melarang istrinya untuk ta’at kepada Allah, maka tidak boleh seorang istri ta’at kepada suaminya.
لاَ طَاعَةَ لِمَخْلُوْقٍ فِيْ مَعْصِيَةِ الْخَالِقِ
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: “Tidak ada keta’atan kepada makhluk dalam maksitat kepada Khalik”.
Ta’at kepada suami tidak hanya melayani atau berkidmat dalam memenuhi kebutuhan lahir dan batin saja. Firman Allah dalam QS. An-Nisâ` ayat 34 diatas menjelaskan, perempuan-perempuan yang shalehah itu Qânitât, maksudnya bukan do’a qunut. Akan tetapi maksud dari Qânitât disini adalah senantiasa ta’at yaitu menjaga rahasia suami, harta suami, serta anak-anak baik ketika suami ada atau tidak ada (bepergian). Contoh ketika seorang suami pergi untuk mencari nafkah meninggalkan istrinya ataupun suami pergi untuk berjihad di jalan Allah. Maka, seorang istri harus menjaga harta atau nafkah yang diberikan suami dengan sebaik-baiknya.
Kewajiban seorang istri selanjutnya adalah menjaga kehormatan suami dengan cara menjaga kehormatan diri dan menjauhkan diri dari perilaku yang menjurus pada perzinahan. Inilah perempuan shalehah, sebaik-baik perhiasan di dunia.
Fenomena di zaman ini, sangatlah jauh dari gambaran ayat diatas. Dimana perempuan di zaman ini dengan bangga bersenda gurau membicarakan rahasia rumah tangga bahkan sampai membicarakan urusan hubungan suami istri. Fal ‘iyadz billah. Mereka juga terbiasa bercengkrama dengan mesra dengan laki-laki yng bukan muhrimnya, alih-alih beralaskan pertemanan baik di dunia nyata ataupun dunia maya. Maka tentu saja seorang istri shalehah akan menjaga diri agar terhindar dari hal-hal sepeti ini. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda :
إِذَا صَلَّتِ الْمَرْأَةُ خَمْسَهَا، وَصَامَتْ شَهْرَهَا، وَحَفِظَتْ فَرْجَهَا، وَأَطَاعَتْ زَوْجَهَا قِيلَ لَهَا: ادْخُلِي الْجَنَّةَ مِنْ أَيِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شِئْتِ
“Jika seorang wanita menunaikan shalat lima waktu, berpuasa di bulan Ramadhan, menjaga kemaluannya dan mena’ati suaminya, niscaya akan dikatakan padanya : “Masuklah kedalam syurga dari pintu manapaun yang kau mau”. (HR. Ahmad dari ‘Abdurrahman bin ‘Auf Radlia-Llahu ’Anhu dan dinyatakan hasan oleh syaikh al-Albanî).
Oleh karenanya, wahai perempuan-perempuan mukmin jagalah rasa malu kita. Karena rasa malu itu sebagian dari iman. Jagalah pandangan kita agar kehormatan diri ini senantiasa terjaga, dan kehormatan suami senantiasa kita junjung. Dan kita menjadi perempuan yang senantiasa diberkahi dan dirindukan syurgaNya.
Peran Sebagai Anak
Oleh: Ghina Saniawati Ahmad
Bagaikan di sebuah kapal ada kapten, nahkoda, teknisi mesin, pelayan makanan, pelayan kebersihan, penumpang, dan sebagainya. Masing-masing dari mereka memiliki peranannya sehingga menjadi satu kesatuan yang saling menyempurnakan. Begitu pula dalam sebuah keluarga, ada yang menjadi orang tua dan ada yang menjadi anak. Setiap dari keduanya memiliki peranan masing-masing sehingga menjadi satu kesatuan yang saling menyempurnakan.
Pada mulanya saat dua insan dipersatukan dengan ikatan yang sah yakni pernikahan, keduanya membawa cita-cita dan harapan yang sama yakni memiliki keturunan. Maka kehadiran seorang anak adalah kebahagiaan yang dinantikan. Sebagaimana Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam memerintahkan untuk menikahi perempuan yang subur (tidak mandul). Hadits riwayat Abû Dâwud dari sahabat Ma’qil ibn Yasâr:
جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: إِنِّي أَصَبْتُ امْرَأَةً ذَاتَ حَسَبٍ وَجَمَالٍ، وَإِنَّهَا لَا تَلِدُ، أَفَأَتَزَوَّجُهَا، قَالَ: «لَا» ثُمَّ أَتَاهُ الثَّانِيَةَ فَنَهَاهُ، ثُمَّ أَتَاهُ الثَّالِثَةَ، فَقَالَ: «تَزَوَّجُوا الْوَدُودَ الْوَلُودَ فَإِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمُ الْأُمَمَ». رواه أبو داود, رقم ٢٠٥٠
“Seorang laki-laki datang menemui Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, lalu dia berkata: sesungguhnya aku mendapati seorang perempuan yang mempunyai keturunan yang baik dan cantik, akan tetapi ia tidak bisa memiliki anak (mandul). Maka, apakah aku boleh menikahinya?. Beliau menjawab: “Tidak.” Kemudian ia datang lagi kedua kalinya, lalu beliau melarangnya. Kemudian ia datang lagi untuk ketiga kalinya, lalu beliau bersabda: “Nikahkanlah oleh kalian perempuan yang penyayang dan subur (tidak mandul), karena sesungguhnya aku akan berbangga kepada umat yang lain dengan banyaknya kalian.” (HR. Abû Dâwud, No. 2050)
Hadits ini menunjukkan bahwa salah satu tujuan dari pernikahan adalah memperbanyak keturunan, yakni memperbanyak umat Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Dan hal ini pula menunjukkan bahwa yang berbahagia dengan hadirnya seorang anak, bukan hanya kedua orang tuanya, melainkan Nabi pun akan berbahagia nantinya karena umatnya yang banyak. Maka, tugas dari dua insan yang bersatu, bukan hanya memperbanyak keturunan, melainkan menjaga keturunan agar tetap menjadi bagian dari umatnya.
Dan sadarlah wahai diri yang bernama “anak”! bahwa kehadiran kalian dinantikan dan menjadi pelengkap kebahagian dalam sebuah keluarga. Dan sadarlah bahwa sejak kalian hadir, kalian membawa tugas yakni menjadi umat Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Maka, peran utama dari seorang anak adalah menjadi manusia yang mencontoh kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, sebagaimana kemestian umat mencontoh Nabinya.
Setiap muslim mampu mengetahui sikap dan perilaku Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dari firmanNya dan khabarnya. Begitu pula seorang anak bisa mengetahui perannya sebagaimana Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam berperan sebagai anak dilihat dari al-quran dan hadits yang menjelaskan tentang hal tersebut. Dalam Shahih Bukhari pada Kitab Adab yang pertama kali dituliskan adalah Bab tentang kewajiban berbuat baik (berbakti) kepada orang tua. Berikut adalah ayat dan hadits yang Imam Bukhari tuliskan dalam bab pertama pada Kitab Adab tersebut:
- Al-‘Ankabût (29) ayat 8:
{وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حُسْنًا…} [العنكبوت: ٨]
“Kami wasiatkan (wajibkan) kepada manusia agar berbuat baik kepada kedua orang tuanya…”
- Hadits dari ‘Abdullah ibn Mas’ud:
سَأَلْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَيُّ العَمَلِ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ؟ قَالَ: «الصَّلاَةُ عَلَى وَقْتِهَا» قَالَ: ثُمَّ أَيٌّ؟ قَالَ: «بِرُّ الوَالِدَيْنِ» قَالَ: ثُمَّ أَيٌّ؟ قَالَ: «الجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ». رواه البخاري, رقم ٥٩٧٠
“Aku (‘Abdullah ibn Mas’ud) bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam: Amalan apakah yang paling dicintai Allah? Beliau bersabda: Shalat pada waktunya (di awal waktu). Ia bertanya lagi: Lalu apa? Beliau bersabda: Berbuat baik (berbakti) kepada kedua orang tua. Ia bertanya lagi: Lalu apa? Beliau bersabda: Jihad di jalan Allah.” (HR. Bukhari, No. 5970)
Dari kedua dalil tersebut menunjukkan bahwa peran utama dari seorang anak adalah berbuat baik atau berbakti kepada kedua orang tua. Dan adab yang utama untuk diperhatikan adalah adab kepada kedua orang tua. Bagi anak laki-laki kewajiban untuk menaati kedua orang tua itu hingga ajalnya, sedangkan bagi anak perempuan dibatasi hingga ia dinikahkan. Namun, kewajiban untuk berbuat baik kepada kedua orang tua, baik anak laki-laki maupun anak perempuan itu sama, yakni selama masih bisa bernafas (seumur hidup, tidak dibatasi oleh pernikahan). Maka, akan muncul pertanyaan, “Bagaimana maksud dari birrul-wâlidain?.” Jawabnya, birrul-wâlidain itu mencakup banyak hal. Dan Allah Ta’âla sudah mengaturnya melalui wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, baik contoh perbuatannya, kisah nyata tentang anak yang berbakti kepada kedua orang tua dan balasannya, hingga batasan dimana pada ranah tertentu tidak ada birrul-wâlidain.
Sebagaimana dalam QS. Al-‘Ankabût ayat 8 (yakni lanjutan dari ayat sebelumnya), Allah Ta’âla berfirman:
{…وَإِنْ جَاهَدَاكَ لِتُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا…} [العنكبوت: ٨]
“…Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak kamu ketahui ilmunya, maka janganlah kamu menaati keduanya…”
Ayat tersebut menunjukkan bahwa dalam ranah kemusyrikan (menyekutukan Allah Ta’âla) tidak ada kemestian berbuat baik atau tidak ada kewajiban untuk menaatinya. Dan mengenai maksud lainnya dari birrul-wâlidain, In Sya Allah akan dijelaskan pada edisi-edisi selanjutnya.
Wa-Llahu A’lam bish-Shawwab
sumber gambar : http://rohissmanta.blogspot.com