بَابُ الْأَذَانِ
Bab Adzan
No. 190
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ زَيْدِ بْنِ عَبْدِ رَبِّهِ قَالَ: طَافَ بِي وَأَنَا نَائِمٌ رَجُلٌ فَقَالَ: تَقُولُ: اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ فَذَكَرَ الْأَذَانَ -بِتَرْبِيْعِ التَّكْبِيْرِ بِغَيْرِ تَرْجِيعٍ وَالْإِقَامَةَ فُرَادَى إِلاَّ قَدْ قَامَتِ الصَّلاَةُ- قَالَ: فَلَمَّا أَصْبَحْتُ أَتَيْتُ رَسُولَ اللهِ فَقَالَ: إِنَّهَا لَرُؤْيَا حَقٍّ…اَلْحَدِيثَ. أَخْرَجَهُ أَحْمَدُ وَأَبُو دَاوُدَ وَصَحَّحَهُ التِّرْمِذِيُّ وَابْنُ خُزَيْمَةَ
Dari ‘Abdullah ibn Zaid ibn Abdi Rabbih ia berkata: Ada yang datang mengelilingiku, ketika aku tidur, seseorang lalu berkata: “Kamu ucapkan: Allahu akbar, Allahu akbar,”—empat kali takbir tanpa menduakalikan syahadat dan iqamat satu kali-satu kali kecuali qad qamatis-shalah—ia berkata: “Ketika aku bangun, aku datang kepada Rasulullah saw, lalu beliau bersabda: “Sungguh itu mimpi yang benar…—silahkan baca kelanjutan haditsnya. Ahmad dan Abu Dawud meriwayatkannya, dan at-Tirmidzi dan Ibn Khuzaimah menshahihkannya.
Tautsiq Hadits
Hadits ‘Abdullah ibn Zaid di atas diriwayatkan dalam Musnad Ahmad bab hadits ‘Abdillah ibn Zaid ibn ‘Abdi Rabbihi no. 16477-16478; Sunan Abi Dawud bab kaifal-adzan no. 499; Sunan at-Tirmidzi bab ma ja`a fi bad`il-adzan no. 189; dan Shahih Ibn Khuzaimah bab dzikrul-khabaril-mufassar lil-lafzhatil-mujmalah no. 370.
Al-Hafizh Ibn Hajar, sebagaimana terbaca di atas, meringkas hadits ‘Abdullah ibn Zaid ini dari yang selengkapnya. Adapun yang lengkapnya adalah sebagai berikut:
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ زَيْدِ بْنِ عَبْدِ رَبِّهِ قَالَ: لَمَّا أَمَرَ رَسُولُ اللهِ بِالنَّاقُوسِ لِيُضْرَبَ بِهِ لِلنَّاسِ فِي الْجَمْعِ لِلصَّلَاةِ طَافَ بِي وَأَنَا نَائِمٌ رَجُلٌ يَحْمِلُ نَاقُوسًا فِي يَدِهِ، فَقُلْتُ لَهُ: يَا عَبْدَ اللهِ أَتَبِيعُ النَّاقُوسَ؟ قَالَ: مَا تَصْنَعُ بِهِ؟ قَالَ: فَقُلْتُ: نَدْعُو بِهِ إِلَى الصَّلَاةِ،
Dari ‘Abdullah ibn Zaid ibn Abdi Rabbih ia berkata: Ketika Rasulullah saw memerintahkan naqus (lonceng) dipukul guna mengumpulkan masyarakat untuk shalat, ada yang datang mengelilingiku ketika aku tidur seseorang yang membawa lonceng di tangannya. Aku bertanya kepadanya: “Hai hamba Allah, apakah kamu akan menjual lonceng itu?” Ia balik bertanya: “Akan kamu gunakan untuk apa?” Aku menjawab: “Menyeru manusia untuk shalat.”
Ia berkata: “Maukah aku tunjukkan kepadamu cara yang lebih baik dari itu?” Aku menjawab: “Tentu saja.” Ia berkata: “Kamu ucapkan:
قَالَ: أَفَلَا أَدُلُّكَ عَلَى مَا هُوَ خَيْرٌ مِنْ ذَلِكَ؟ قَالَ: فَقُلْتُ لَهُ: بَلَى، قَالَ: تَقُولُ اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ، أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ، أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ، حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ، حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ، حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ، حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ، اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ، لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ،
Ia berkata: “Maukah aku tunjukkan kepadamu cara yang lebih baik dari itu?” Aku menjawab: “Tentu saja.” Ia berkata: “Kamu ucapkan: Allah Mahabesar. Allah Mahabesar 2x. Aku bersaksi tidak ada tuhan selain Allah 2x. Aku bersaksi sungguh Muhammad adalah Rasulullah 2x. Marilah menuju shalat 2x. Marilah menuju kebahagiaan 2x. Allah Mahabesar. Allah Mahabesar. Tidak ada tuhan selain Allah.”
ثُمَّ اسْتَأْخَرَ غَيْرَ بَعِيدٍ ثُمَّ قَالَ: تَقُولُ: إِذَا أُقِيمَتِ الصَّلَاةُ، اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ، أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ، حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ، حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ، قَدْ قَامَتِ الصَّلَاةُ، قَدْ قَامَتِ الصَّلَاةُ، اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ، لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ،
Kemudian ia mundur sedikit tidak jauh, lalu berkata: “Kemudian kamu ucapkan jika shalat akan segera dilaksanakan: Allah Mahabesar. Allah Mahabesar. Aku bersaksi tidak ada tuhan selain Allah. Aku bersaksi sungguh Muhammad adalah Rasulullah. Marilah menuju shalat. Marilah menuju kebahagiaan. Sungguh shalat akan segera didirikan 2x. Allah Mahabesar. Allah Mahabesar. Tidak ada tuhan selain Allah.
فَلَمَّا أَصْبَحْتُ أَتَيْتُ رَسُولَ اللهِ فَأَخْبَرْتُهُ بِمَا رَأَيْتُ، فَقَالَ: إِنَّهَا لَرُؤْيَا حَقٌّ إِنْ شَاءَ اللهُ، فَقُمْ مَعَ بِلَالٍ فَأَلْقِ عَلَيْهِ مَا رَأَيْتَ فَلْيُؤَذِّنْ بِهِ، فَإِنَّهُ أَنْدَى صَوْتًا مِنْكَ
Ketika aku bangun di waktu pagi aku datang kepada Rasulullah saw dan memberitahukan kepadanya apa yang aku lihat dalam mimpi. Kemudian beliau bersabda: “Sungguh itu mimpi yang benar, in sya`al-‘Llah. Maka berdirilah kamu bersama Bilal, dan sampaikanlah kepadanya apa yang kamu lihat, dan hendaklah Bilal adzan dengannya karena ia lebih bagus suaranya daripada kamu.” (Musnad Ahmad bab hadits ‘Abdillah ibn Zaid ibn ‘Abdi Rabbihi no. 16478 dari jalur Muhammad ibn ‘Abdillah putra ‘Abdullah ibn Zaid ibn ‘Abdi Rabbih).
Dalam riwayat Sa’id ibn al-Musayyib yang ditulis oleh Imam Ahmad pada no. 16477 disebutkan bahwa Rasulullah saw sebenarnya terpaksa menerima keputusan memukul lonceng untuk memanggil shalat karena tidak ada lagi cara lain.
وَهُوَ لَهُ كَارِهٌ لِمُوَافَقَتِهِ النَّصَارَى
Dan beliau agak keberatan dengannya karena menyerupai nashara.
Kemudian di bagian akhirnya ada tambahan tentang Bilal menambah lafazh as-shalatu khairun minan-naum pada adzan shubuh, sebagaimana akan dibahas pada syarah hadits yang akan datang.
Sementara itu dalam riwayat Abu Dawud dari jalan Muhammad ibn ‘Abdillah putra ‘Abdullah ibn Zaid ibn ‘Abdi Rabbih ada tambahan keterangan dari ‘Abdullah ibn Zaid:
فَقُمْتُ مَعَ بِلاَلٍ فَجَعَلْتُ أُلْقِيهِ عَلَيْهِ وَيُؤَذِّنُ بِهِ قَالَ فَسَمِعَ ذَلِكَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ وَهُوَ فِى بَيْتِهِ فَخَرَجَ يَجُرُّ رِدَاءَهُ وَيَقُولُ وَالَّذِى بَعَثَكَ بِالْحَقِّ يَا رَسُولَ اللَّهِ لَقَدْ رَأَيْتُ مِثْلَ مَا رَأَى. فَقَالَ رَسُولُ اللهِ فَلِلَّهِ الْحَمْدُ
Lalu aku berdiri bersama Bilal. Aku diktekan kepadanya dan ia yang mengumandangkan adzan. Lalu ‘Umar ibn al-Khaththab mendengarnya ketika ia masih di rumahnya. Ia lalu keluar sambil menarik selendangnya dan berkata: “Demi Yang mengutusmu dengan haq, sungguh aku melihat hal yang sama seperti yang ia lihat.” Rasulullah saw pun bersabda: “Maka hanya milik Allah segala puji.” (Sunan Abi Dawud bab kaifal-adzan no. 499).
Syarah Hadits
Adzan artinya “pemberitahuan, pengumuman”, sebagaimana difirmankan Allah swt dalam QS. at-Taubah [9] : 3:
وَاَذَانٌ مِّنَ اللّٰهِ وَرَسُوْلِهٖٓ اِلَى النَّاسِ يَوْمَ الْحَجِّ الْاَكْبَرِ اَنَّ اللّٰهَ بَرِيْۤءٌ مِّنَ الْمُشْرِكِيْنَ
“Dan (inilah) suatu permakluman (adzan) dari Allah dan Rasul-Nya kepada umat manusia pada hari haji akbar, bahwa sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari orang-orang musyrikin.”
Demikian juga Allah swt berfirman dalam ayat lain:
فَاَذَّنَ مُؤَذِّنٌۢ بَيْنَهُمْ اَنْ لَّعْنَةُ اللّٰهِ عَلَى الظّٰلِمِيْنَ
Kemudian seorang penyeru (malaikat) mengumumkan di antara kedua golongan itu: “Kutukan Allah ditimpakan kepada orang-orang yang zhalim.” (QS. al-A’raf [7] : 44)
Hadits ‘Abdullah ibn Zaid di atas memberitahukan bahwa sebelum ada syari’at adzan dengan mengumandangkan lafazh-lafazh khusus sebagaimana diriwayatkan di atas, Rasulullah saw memerintahkan memukul lonceng. Kemungkinan besar itu adalah asumsi dari ‘Abdullah ibn Zaid dan yang membekas dalam ingatannya, sebab sebagaimana dikemukakannya sendiri, Nabi saw tidak menyetujui hal tersebut. Dalam hadits lain dari seorang perempuan Anshar disebutkan bahwa Nabi saw menyelenggarakan musyawarah perihal cara apa yang harus digunakan untuk memanggil masyarakat shalat. Muncul beberapa usulan, yakni memasang bendera, meniup terompet, dan memukul lonceng. Tetapi tidak ada satu pun yang disetujui Nabi saw. Sampai kemudian ‘Abdullah ibn Zaid bermimpi bertemu seseorang yang membaca lonceng (Sunan Abi Dawud bab bad`il-adzan no. 498). Jadinya yang teringat oleh ‘Abdullah ibn Zaid dari usulan-usulan itu adalah loncengnya, dan itulah yang kemudian ia ceritakan dalam riwayat Ahmad di atas.
Terlebih Imam Muslim meriwayatkan hadits ‘Abdullah ibn ‘Umar ra yang menceritakan latar belakang adzan yang berbeda dengan asumsi ‘Abdullah ibn Zaid di atas:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّهُ قَالَ كَانَ الْمُسْلِمُونَ حِينَ قَدِمُوا الْمَدِينَةَ يَجْتَمِعُونَ فَيَتَحَيَّنُونَ الصَّلَوَاتِ وَلَيْسَ يُنَادِى بِهَا أَحَدٌ فَتَكَلَّمُوا يَوْمًا فِى ذَلِكَ فَقَالَ بَعْضُهُمُ اتَّخِذُوا نَاقُوسًا مِثْلَ نَاقُوسِ النَّصَارَى وَقَالَ بَعْضُهُمْ قَرْنًا مِثْلَ قَرْنِ الْيَهُودِ فَقَالَ عُمَرُ أَوَلاَ تَبْعَثُونَ رَجُلاً يُنَادِى بِالصَّلاَةِ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ يَا بِلاَلُ قُمْ فَنَادِ بِالصَّلاَةِ
Dari ‘Abdullah ibn ‘Umar, ia berkata: Kaum muslimin ketika datang ke Madinah mereka berkumpul dan mengira-ngira waktu shalat. Tidak ada seorang pun yang menyeru padanya. Pada suatu hari mereka berbincang-bincang membicarakan hal tersebut. Sebagian dari mereka berkata: “Buatlah lonceng seperti kaum Nashara.” Sebagian lain mengusulkan untuk meniup terompet seperti Yahudi. Lalu ‘Umar berkata: “Mengapa tidak kalian menunjuk seseorang untuk menyeru shalat?” Rasulullah saw bersabda: “Wahai Bilal, berdirilah, dan serukanlah shalat.” (Shahih Muslim bab bad`il-adzan no. 863)
Imam an-Nawawi menjelaskan bahwa perintah Nabi saw kepada Bilal untuk memanggil shalat dalam hadits di atas kemungkinan besar sebelum ada mimpi adzan dari ‘Abdullah ibn Zaid. Jadi hadits ini berbeda waktunya dengan hadits ‘Abdullah ibn Zaid. Setelah keputusan menyeru shalat ditetapkan oleh Nabi saw baru kemudian ‘Abdullah ibn Zaid bermimpin adzan dan menyampaikan mimpinya kepada Nabi saw. Jika kesimpulan ini yang hendak diambil, berarti syari’at adzan ini sesuai dengan keinginan Nabi saw untuk memanggil kaum muslimin shalat dengan panggilan khusus.
Imam an-Nawawi dalam hal ini menegaskan, jangan diasumsikan bahwa mimpi bisa menjadi dasar hukum dalam agama. Yang benar, dasar hukum adzan itu berasal dari pengukuhan Nabi saw berdasarkan wahyu kepadanya bahwa mimpi itu benar, bukan mutlak dari mimpi itu sendiri. Beliau menegaskan: “Ini adalah hal yang tidak diragukan lagi tanpa perselisihan. Wal-‘Llahu a’lam.”
Hadits ‘Abdullah ibn Zaid di atas adalah hadits yang paling otoritatif dalam hal menjelaskan lafazh adzan dan iqamah. Yakni bahwa lafazh Allahu akbar di awal adzan empat kali dan di akhir adzan dua kali. Sementara iqamah lafazh Allahu akbar di awal dan di akhir dua kali. Jika al-Hafizh Ibn Hajar menjelaskan dalam hadits di atas: wal-iqamah furada; lafazh iqamah satu kali-satu kali, maka maksudnya khusus untuk Allahu akbar di awal dan di akhir dua kali, atau sebagaimana Imam an-Nawawi jelaskan dalam Syarah Shahih Muslim tetap dihitung satu kali karena diucapkan satu kali nafas. Soalnya hadits inilah yang paling kuat dalam menjelaskan lafazh iqamah. Maka cukup ironi jika lafazh adzan merujuk hadits ini, tetapi lafazh iqamah-nya tidak merujuk hadits ini. Wal-‘Llahu a’lam.
Penulis : Nashruddin Syarief, Mudir ‘am Pesantren PERSIS 27 Situ Aksan Bandung