Kewajiban yang melekat pada setiap muslim untuk menuntut ilmu beriringan dengan kewajiban untuk mengajarkan dan menyebarkannya. Siapa saja yang diamanahi ilmu lalu ia sengaja tidak menyebarkannya, maka laknat Allah dan para pelaknat lainnya sudah siap sedia menantinya, sebagaimana termaktub dalam al-Qur`an surat al-Baqarah [22] : 159. Berdasar pada ayat tersebut Abu Hurairah (21 SH-59 H) memaksakan diri untuk mengajarkan semua hadits yang diterimanya dari Rasulullah meski mendapatkan cibiran masyarakat umum karena terlalu banyaknya hadits yang ia sampaikan melebihi para shahabat yang lebih senior.[1]
Demikian halnya ‘Utsman ibn ‘Affan (47 SH-35 H) yang terpaksa menyampaikan hadits tentang fadlilah wudlu dan shalat sesudahnya yang akan mendatangkan ampunan Allah meski ia mengingatkan untuk tidak tertipu hadits-hadits yang semacam itu. Ia semula tidak menyampaikannya karena takut disalahfahami oleh masyarakat awam. Tetapi karena Allah melaknat siapa saja yang menyembunyikan ilmu, maka ia pun memaksakan diri untuk menyebarkannya, meski dengan tetap mewanti-wanti agar jangan salah difahami.[2]
Hal yang sama dilakukan Mu’adz ibn Jabal (20 SH-18 H) menjelang akhir hayatnya terkait jaminan surga untuk mereka yang sekedar mengucapkan syahadat. Semula Mu’adz tidak memberitahukannya kepada umat karena memang Nabi sendiri menitahkan demikian, agar umat tidak bergantung pada hal tersebut. Akan tetapi karena takut dosa menyembunyikan ilmu, Mu’adz pun kemudian memberitahukannya kepada umat menjelang wafatnya.[3]
Shahabat Abu Hurairah dalam hal ini juga pernah meriwayatkan sabda Nabi berikut:
مَنْ سُئِلَ عَنْ عِلْمٍ يَعْلَمُهُ فَكَتَمَهُ، أُلْجِمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِلِجَامٍ مِنْ نَارٍ
Siapa yang ditanya tentang satu ilmu yang ia ketahui, tetapi ia menyembunyikannya, maka ia akan diikat dengan tali kekang dari api neraka.[4]
Dalam konteks zaman millenial seperti saat ini pertanyaan umat itu disalurkan melalui dunia maya atau media sosial. Mayoritas umat hari ini menelusuri dunia maya untuk “bertanya” ilmu yang mereka butuhkan. Maka siapa saja yang berilmu dan tidak menghadirkan ilmunya di dunia maya bisa masuk ancaman Nabi dalam hadits Abu Hurairah di atas. Ia termasuk orang yang ditanya ilmu oleh umat tetapi sengaja menyembunyikan ilmunya. Sebagian lainnya memang masih menempuh cara yang konvensional yakni “bertanya” ilmu melalui penelusuran literatur buku, majalah, bulletin, dan menghadiri majelis-majelis ta’lim. Maka siapa saja yang merasa dirinya sudah diamanahi ilmu oleh Allah dan tidak mengaktifkan dirinya dalam dunia penyebaran ilmu di semua media ilmu yang tersedia; baik yang konvensional ataupun yang millenial, ia sudah terkena ancaman Nabi dalam hadits Abu Hurairah di atas.
Lain halnya dengan Khalifah ‘Umar ibn ‘Abdil-‘Aziz (61-101 H), secara khusus ia mengkhawatirkan ilmu hilang yang kemudian akan menjadi penyebab kerusakan umat. Maka ia pun mengeluarkan kebijakan agar para ulama menyebarkan ilmunya lewat majelis-majelis ilmu dan tulisan-tulisan ilmiah yang disebarkan ke tengah-tengah umat. Kebijakannya dalam hal ini ditulis oleh Imam al-Bukhari (194-256 H) dalam kitab Shahihnya sebagai berikut:
انْظُرْ مَا كَانَ مِنْ حَدِيثِ رَسُولِ اللَّهِ فَاكْتُبْهُ فَإِنِّي خِفْتُ دُرُوسَ الْعِلْمِ وَذَهَابَ الْعُلَمَاءِ وَلَا تَقْبَلْ إِلَّا حَدِيثَ النَّبِيِّ وَلْتُفْشُوا الْعِلْمَ وَلْتَجْلِسُوا حَتَّى يُعَلَّمَ مَنْ لَا يَعْلَمُ فَإِنَّ الْعِلْمَ لَا يَهْلِكُ حَتَّى يَكُونَ سِرًّا
Seleksilah yang benar-benar terbukti hadits Rasulullah , lalu tulislah. Sungguh saya takut kajian ilmu hilang dan para ulama wafat. Janganlah engkau menerima kecuali hadits Nabi saw. Kemudian sebarkanlah ilmu ini, buatlah majelis-majelis kajian, sehingga orang yang tidak tahu diajari ilmu ini. Sebab sungguh ilmu tidak akan hilang kecuali jika keadaannya sudah menjadi rahasia.[5]
Instruksi ‘Umar ibn ‘Abdil-‘Aziz di atas menunjukkan bahwa dari sejak masa-masa awal Islam, kegiatan keilmuan para ulama sudah difokuskan pada seleksi riwayat, kodifikasi, penerbitan karya ilmiah untuk masyarakat umum, dan menggelar majelis-majelis kajian ilmu. Buah dari instruksi tersebut sudah dirasakan oleh generasi hari ini, yakni terjaganya ilmu dalam berbagai khazanah turats sebagai dampak dari budaya penyebaran ilmu lewat tulisan yang diawali oleh isntruksi Khalifah ‘Umar tersebut.
Generasi para pengkaji ilmu hari ini sudah seharusnya melanjutkan budaya ilmu yang sudah dirintis oleh para ulama salaf di atas; aktif dalam melakukan kajian ilmu dan penulisan karya ilmiah serta penerbitannya ke tengah-tengah umat, yang secara otomatis akan menyuburkan majelis-majelis kajian ilmu di tengah-tengah umat. Terlebih dalam konteks millenial hari ini dimana umat membutuhkan produk-produk kajian yang lebih praktis dan tidak berwujud turats serta mudah diakses melalui media, semakin menuntut generasi ulama saat ini untuk aktif menerjemahkan dan mengemas ulang karya para ulama dalam kitab-kitab turats ke dalam karya yang lebih praktis diakses oleh umat.
Secara khusus al-Qur`an dalam surat at-Taubah [9] : 122 memerintahkan umat Islam untuk mengkondisikan agar ada sekelompok orang (tha`ifah) di tengah-tengah mereka yang fokus dalam tafaqquh fid–din. Tafaqquh sebagaimana dijelaskan oleh ar-Raghib al-Ashfahani (w. 502 H) bermakna takhashshush; mengkhususkan diri dalam memahami agama.[6] Tafaqquh fid din berarti mengkhususkan diri memperdalam ilmu agama dan menjadikan diri spesialis dalam ilmu-ilmu agama. Al-Hafizh Ibn Hajar (773-852 H) menjelaskan bahwa ilmu agama itu intinya ada tiga; tafsir, hadits, fiqh.[7] Tafaqquh fid din berarti menempa diri agar ahli dalam tiga ilmu tersebut sekaligus; tafsir, hadits, dan fiqh.
Tha`ifah yang tafaqquh fid-din ini tentu tidak hanya bertugas memperdalam ilmu agama saja, melainkan juga menyebarkannya kepada masyarakat, khususnya mereka yang sering bertugas jihad fi sabilil-‘Llah. Allahsendiri menegaskannya dalam bagian akhir ayat di atas: “dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya”.[8] Artinya, sebuah kelompok yang tafaqquh fid-din dan kemudian menyebarkan ilmu hasil tafaqquh-nya ke tengah-tengah umat hukumnya fardlu kifayah ada di tengah-tengah umat. Bagian umat yang manapun di belahan dunia ini wajib mengambil peran untuk mewujudkan kelompok tafaqquh ini, sebagaimana mereka mewujudkan keberadaan kader-kader umat yang harus siap selalu untuk terjun jihad ke medan perang fi sabilil-‘Llah.
Dalam kaitan ini, Imam al-Ghazali (450-505 H) memberikan catatan khusus pada bab al-‘ilmil-lladzi huwa fardlu kifayah di kitabnya Ihya ‘Ulumid-din, yang layak diperhatikan oleh siapa pun yang berkhidmat dalam dunia tafaqquh fid-din. Menurutnya, kegiatan tafaqquh fid-din tidak boleh hanya terbatas pada aspek fiqih sebagai pengetahuannya saja, melainkan harus sampai pada aspek fiqih sebagai ilmu untuk mendekat kepada Allah swt (muraqabah). Dalam konteks ini pula beliau menamai kitabnya Ihya ‘Ulumid-din; menghidupkan ilmu agama, karena ilmu agama yang dikaji dan disebarkan akan tetap mati jika tidak disertai ilmu muraqabah (merasa diawasi oleh Allah I). Ilmu agama hanya akan menjadi bangkai semata jika tidak disertai dengan amal shalih dan adab-adab mulia sebagaimana diuraikannya panjang lebar dalam empat bab kitabnya tersebut. Sebagai contoh, Imam al-Ghazali menyebutkan profil Imam as-Syafi’i (150-204 H) yang disebutkannya bukan hanya fokus dalam mengkaji fiqih shalat, tetapi juga ahli shalat malam dimana setiap malamnya beliau shalat malam sampai sepertiga malam dan dengan bacaan al-Qur`an yang tartil. Di samping itu Imam as-Syafi’i juga tidak pernah lagi makan sampai kenyang selama 16 tahun terakhir dari hidupnya karena menyadari bahwa perut kenyang itu akan memberatkan badan, mengeraskan hati, menghilangkan kecerdasan, menyebabkan tidur pulas, dan membuat seseorang malas dari ibadah.[9]
Terlebih dalam konteks kajian Islam yang meniscayakan keragaman manhaj, madzhab, metodologi, atau pendekatan yang sudah dikembangkan oleh para ulama dari sejak awal Islam. Jika ilmu yang dikaji dan disebarkan di tengah-tengah umat tidak disertai adab Islam maka seringkali justru menimbulkan perpecahan di tengah-tengah umat. Ilmu yang seharusnya menjadi obbat mujarab untuk fitnah, malah seringkali menjadi sumber fitnah itu sendiri, ketika ilmu tidak dikaji dengan adab-adab ilmu sebagaimana halnya para ulama dahulu mengkajinya. Jika di kalangan para pengkaji ilmunya saja sudah cukup rentan dengan timbulnya fitnah, maka apalagi di tengah-tengah umatnya. Solusi dari kerentanan terhadap fitnah ini tiada lain hanya dengan menyebarkan ilmu yang beradab di tengah-tengah umat sehingga ilmu betul-betul bisa menjadi penawar fitnah dan berdampak maslahat kepada umat.
Berdasarkan pada pertimbangan bahwa ilmu harus disebarkan meski umat mungkin belum siap menerimanya; ilmu juga harus terus diteliti secara berkelanjutan untuk kemudian ditulis dan disebarkan ke tengah-tengah umat; kewajiban kifayah bagi umat Islam untuk menghadirkan sekelompok orang spesialis yang tafaqquh fid-din dan kemudian menyebarkan buah tafaqquh-nya kepada umat agar mereka tidak lengah dari ilmu-ilmu Islam; penyebaran ilmu bukan hanya sebatas pengetahuan, tetapi juga harus sampai pada penghayatan muraqabah sehingga menyuburkan amal shalih; ilmu yang dikaji dan disebarkan harus berbasis pada adab ilmu sehingga tidak menjadi fitnah di tengah-tengah umat; dan tuntutan zaman millenial yang mengharuskan setiap orang yang diamanahi ilmu aktif menyebarkan ilmunya lewat dunia digital dan dunia maya, maka TSAQIFA Publishing bersama Asatidzah yang fokus pada tafaqquh fid-din ber’azam untuk menerbitkan Majalah Islam Digital Tafaqquh mulai Januari 2020 M sebagai bentuk penunaian amanah dari Allahdan Rasul-Nya kepada umat. Semoga Istiqamah…
MOTTO
“Mengkaji Ilmu Menebar Amal”
Penjelasan:
Fokus majalah Tafaqquh pada dua hal: ilmu dan amal. Ilmu adalah yang dikaji dan disebarkan dengan seobjektif mungkin pada ilmu. Amal menggambarkan orientasi utama majalah ini adalah berbagi amal shalih, bukan profit oriented. Di samping itu menggambarkan tujuan akhir yang hendak dicapai oleh majalah Tafaqquh yakni memasyarakatkan amal shalih di tengah-tengah umat.
VISI
Menyiarkan ilmu yang berbasis tafaqquh fid-din demi menyuburkan amal shalih di tengah-tengah umat.
MISI
- Mengkaji ilmu warisan para ulama secara ilmiah dan beradab tanpa terpenjara oleh taqlid kepada salah satu ulama, kelompok ulama, atau madzhab.
- Menyiarkan ilmu warisan ulama yang berbasis kajian ilmiah dan beradab kepada umat agar menumbuhkan pemahaman ilmu yang benar di tengah-tengah umat.
- Meningkatkan pemahaman ilmu keagamaan umat dalam tafsir, hadits, dan fiqih.
- Memberikan solusi atas permasalahan keagamaan umat yang muncul dalam dunia keseharian.
- Mengarahkan opini umat di seputar permasalahan keumatan agar sesuai dengan tuntunan ajaran Islam.
- Menyajikan kajian pemikiran dan peradaban Islam yang berlandaskan khazanah pemikiran ulama Islam (turats) dan bersih dari sekularisme dan liberalisme.
[1] Shahih al-Bukhari bab hifzhil-‘ilm no. 118.
[2] Shahih al-Bukhari bab qaulil-‘Llah ta’ala inna wa’dal-‘Llah haqq… no. 6433; Shahih Muslim bab fadllil-wudlu` was-shalat ‘aqibahu no. 564.
[3] Shahih al-Bukhari bab man khashsha qauman duna qaum no. 128
[4] Musnad Ahmad musnad Abi Hurairah no. 10420
[5] Shahîh al-Bukhârî bab kaifa yuqbadlul-‘ilm no. 100.
[6] Ar-Raghib al-Ashfahani, Mu’jam Mufradat Alfazh al-Qur`an, Beriut: Dar al-Fikr, t.th., hlm. 398.
[7] Fathul-Bari bab fadllil-‘ilm
[8] QS. at-Taubah [9] : 122
[9] Ihya` ‘Ulumid-din 1 : 24 bab al-‘ilm al-ladzi huwa fardlu kifayah