Pada bulan November tepatnya tanggal 25, masyarakat Indonesia bersemarak memperingati hari guru nasional. Beberapa hari sebelum hari guru tersebut sudah beredar naskah pidato dari Mendikbud yang belum lama dilantik oleh presiden, yakni pak Nadiem Makarim. Naskah yang mendapat perhatian cukup besar dari masyarakat Indonesia, karena isinya yang begitu terasa berasal dari hati.
Sebagian besar masyarakat meresponnya dengan positif. Walaupun ada sebagian kecilnya yang merespon sebaliknya. Karena dianggapnya para guru akan menghadapi tantangan yang lebih berat dalam menjalankan arahan Mendikbud tersebut. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan oleh Indra Charismiadji sebagai pemerhati pendidikan.[1] Menurutnya, guru akan kesulitan untuk membebaskan diri dari administrasi karena, “Mereka menghadapi atasan mereka yang sayangnya bukan Mas Menteri melainkan kepala daerah.” Ungkapnya pada Minggu, 24 November 2019 di Jakarta.
Terlepas dari respon masyarakat tersebut, penting kiranya untuk diambil inti dari naskah Mendikbud, Pak Nadiem Makarim yang secara garis besar ia menggambarkan tentang kondisi yang dihadapi para guru Indonesia pada masa ini. Poin-poin yang ia sampaikan dalam teks pidatonya adalah sebagai berikut:
- Guru Indonesia yang Tercinta, tugas Anda adalah yang termulia sekaligus yang tersulit.
- Anda ditugasi untuk membentuk masa depan bangsa, tetapi lebih sering diberi aturan dibandingkan dengan pertolongan.
- Anda ingin membantu murid yang mengalami ketertinggalan di kelas, tetapi waktu Anda habis untuk mengerjakan tugas administratif tanpa manfaat yang jelas.
- Anda tahu betul bahwa potensi anak tidak dapat diukur dari hasil ujian, tetapi terpaksa mengejar angka karena didesak berbagai pemangku kepentingan.
- Anda ingin mengajak murid keluar kelas untuk belajar dari dunia sekitarnya, tetapi kurikulum yang begitu padat menutup pintu petualangan.
- Anda frustrasi karena Anda tahu bahwa di dunia nyata kemampuan berkarya dan berkolaborasi akan menentukan kesuksesan anak, bukan kemampuan menghafal.
- Anda tahu bahwa setiap anak memiliki kebutuhan berbeda, tetapi keseragaman telah mengalahkan keberagaman sebagai prinsip dasar birokrasi.
- Anda ingin setiap murid terinspirasi, tetapi Anda tidak diberi kepercayaan untuk berinovasi.
Kurang lebih demikianlah poin yang disampaikan Mas Menteri pada Hari Guru Nasional. Dari keseluruhan poin tersebut dapat diambil benang merahnya yakni dimana ia mendeskripsikan posisi para guru di Indonesia yang memiliki harapan atau perencanaan tinggi untuk muridnya, namun terhalang oleh kebijakan-kebijakan yang berlaku. Memang benar paragraf pertama yang menyatakan bahwa guru adalah pengemban tugas mulia. Mereka adalah orang-orang yang berjasa dalam membangun sebuah peradaban. Bagaimana tidak, dari didikan merekalah generasi-generasi selanjutnya terbentuk. Bahkan segolongan guru dijadikan tolak ukur majunya suatu bangsa, sebagaimana yang dinyatakan oleh Dr. G. J. Nieuwenhuis, “Suatu bangsa tidak akan maju, sebelum ada di antara bangsa itu segolongan guru yang suka berkorban untuk keperluan bangsanya.”[2]
Dan terlebih, guru adalah orang yang berilmu dan pengajar ilmu. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam yang mengatakan bahwa ulama (orang-orang yang berilmu) itu pewaris para Nabi dan lebih utama seorang yang berilmu daripada yang ahli ibadah. Walaupun keduanya tidak bisa dipisahkan, melainkan akan lebih utama ketika ibadah diiringi dengan ilmunya. Berikut hadits dari sahabat Abu Darda` dalam riwayat Ibn Majah:
وَإِنَّ فَضْلَ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ عَلَى سَائِرِ الْكَوَاكِبِ، إِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ، إِنَّ الْأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلَا دِرْهَمًا، إِنَّمَا وَرَّثُوا الْعِلْمَ، فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ. رواه ابن ماجه, رقم ٣٥٤.
“Dan sesungguhnya keutamaan seorang yang berilmu atas seorang yang ahli ibadah seperti keutamaan bulan atas seluruh bintang. Sesungguhnya ulama (orang-orang yang berilmu), mereka adalah pewaris para Nabi. Sesungguhnya para Nabi tidak mewariskan Dinar dan tidak pula Dirham. Mereka hanya mewariskan ilmu. Barangsiapa yang mengambilnya, maka ia telah mengambil bagian yang sangat besar.” (HR. Ibn Majah, No. 354)
Ada satu hal yang ingin penulis sampaikan terkait dengan sosok guru. Terutama melihat kondisi guru-guru di Indonesia. Tidak dipungkiri bahwa apa yang disampaikan Mas Menteri terkait dengan tantangan yang dihadapi oleh guru di Indonesia adalah benar demikian. Namun, ada hal utama yang hampir-hampir luput dari tugas utama seorang guru, yakni menjadi suri teladan bagi muridnya.
Dari naskah Mendikbud tersebut seolah tugas guru hanya terfokuskan kepada diri murid-muridnya. Padahal, ada hal yang lebih utama dari hal tersebut, yaitu menjadi suri teladan bagi para muridnya. Karena peserta didik perlu contoh nyata, bukan hanya contoh dalam bayangannya. Dan sayangnya, tidak banyak di zaman sekarang guru yang betul-betul sadar bahwa kepribadiannyalah yang lebih diperlukan muridnya daripada sekedar transfer ilmu.
Sebagaimana layaknya Nabi yang diutus untuk menjadi suri teladan bagi umatnya. Hadirnya beliau adalah sebagai pendidik bagi seluruh umatnya selaku peserta didik. Sebelumnya dijelaskan bahwa orang-orang yang berilmu (baca: Guru) adalah pewaris para Nabi. Maka, suatu kemestian pula bahwa mereka berkewajiban menjadi suri teladan yang baik bagi muridnya.
Hal utama yang perlu diperhatikan bagi orang-orang yang berkecimpung dengan ilmu adalah kebersihan jiwa. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam al-Ghazali dalam bukunya Ihya` ‘Ulumud-Din, tentang Adab bagi Pelajar dan Pengajar. Ia mengungkapkan dengan kalimat sebagai berikut:
تقديم طهارة النفس عن رذائل الأخلاق ومذموم الأوصاف
“Mendahulukan kebersihan jiwa dari akhlaq dan sifat yang tercela.”[3]
Mengapa kebersihan jiwa menjadi adab utama bagi pelajar dan pengajar? Hal ini karena ilmu adalah ibadah hati dan pendekatan bathin kepada Allah Ta’ala. Ia akan tetap berada di dalam jiwa yang bersih dan hati yang jernih. Ibn Mas’ud –semoga Allah meridlainya- menjelaskan lebih lanjut dengan pernyataannya: “Bukanlah disebut ilmu dengan banyaknya riwayat, akan tetapi ilmu adalah cahaya yang memancarkan hati.”[4] Semakin terpancar hati seseorang dengan banyaknya berdzikir, menghiasi diri dengan akhlak terpuji, merasa takut kepada Allah dan senantiasa mendekatkan diri kepadaNya.
Bahkan disebutkan dalam firman Allah Ta’ala bahwa buah dari ilmu adalah khasyyah (takut) kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Berikut firmanNya dalam QS. Fathir (35) ayat 28:
{وَمِنَ النَّاسِ وَالدَّوَابِّ وَالْأَنْعَامِ مُخْتَلِفٌ أَلْوَانُهُ كَذَلِكَ إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ (٢٨)} [فاطر: ٢٨]
“……. Demikianlah sesungguhnya diantara hambaNya yang takut kepada Allah adalah ulama (orang-orang yang berilmu). Sesungguhnya Allah Maha Perkasa Maha Pengampun.”
Dengan demikian, tugas utama dari seorang pengajar adalah menjadi suri teladan yang baik yakni dengan menyucikan diri dari sifat dan akhlak tercela, menghiasi diri dengan sifat dan akhlak terpuji, serta semakin takut dan mendekatkan diri kepada Dzat Yang Berhak Disembah, Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Karena hal tersebut tidak akan tertanam pada diri pelajar, jika pengajarnya belum menanamkan hal tersebut dalam dirinya.
Wa-Llahu A’lam bish-Shawwab
Penulis : Ghina Saniawati Ahmad, Staf Pengajar Pesantren PERSIS 27 Situ Aksan Bandung
[1] Sumber: Tempo.co (Senin, 25 November 2019; 06.00 WIB) diakses pada 26/11/2019; 16.03 WIB.
[2] www.adianhusaini.net pada artikel karya Dr. Adian Husaini yang berjudul “Pak Nadiem, Beginilah Guru yang Baik Menurut KH. Hasyim Asy’ari.”
[3] Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad al-Ghazali ath-Thusi, Ihya` ‘Ulumud-Din, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, t.th), Jil. 1, Hlm. 48
[4] Ibid., Hlm. 49