يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا قُمْتُمْ اِلَى الصَّلٰوةِ فَاغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ وَاَيْدِيَكُمْ اِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوْا بِرُءُوْسِكُمْ وَاَرْجُلَكُمْ اِلَى الْكَعْبَيْنِۗ
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka cucilah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan usaplah kepalamu dan (cuci) kakimu sampai dengan kedua mata kaki,… (QS. al-Ma`idah [5] : 6)
TAFSIR ‘AM
Islam mengajarkan kepada umatnya syari’at dalam segala aspek kehidupan manusia, baik itu ibadah maupun mu’amalah, hingga mencakup kebersihan (thaharah). Islam menekankan dan mengutamakan thaharah karena thaharah merupakan salah satu syarat dalam melakukan suatu ibadah.
Thaharah secara bahasa berarti:
نَظَافَةٌ, نَقِيٌّ, سَلِمَ مِنَ النَّجَاسَةِ وَالْأَوْسَاخِ
Bersih, suci, selamat dari najis dan kotoran.
Thaharah merupakan salah satu amalan yang menuntun seorang muslim untuk selalu menyucikan diri dan jiwa. Maka thaharah mencakup thaharah fisik dan thaharah batin/jiwa. Thaharah batin/jiwa memiliki arti mensucikan hati dari sifat syirik dan maksiat terhadap Allah ta’ala dengan cara men–tauhid–kan Allah swt. Adapun thaharah fisik yakni mensucikan diri, pakaian, dan lingkungan ibadah dari hadats dan najis. Allah ta´ala dalam al-Qur`an dan hadits, mensyari’atkan thaharah dengan cara wudlu dan mandi atau tayammum ketika tidak ada air.
Allah ta’ala menjelaskan kaifiyyat thaharah secara khusus dalam Q.S. al-Ma`idah [5] : 6:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا قُمْتُمْ اِلَى الصَّلٰوةِ فَاغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ وَاَيْدِيَكُمْ اِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوْا بِرُءُوْسِكُمْ وَاَرْجُلَكُمْ اِلَى الْكَعْبَيْنِۗ وَاِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوْاۗ وَاِنْ كُنْتُمْ مَّرْضٰٓى اَوْ عَلٰى سَفَرٍ اَوْ جَاۤءَ اَحَدٌ مِّنْكُمْ مِّنَ الْغَاۤىِٕطِ اَوْ لٰمَسْتُمُ النِّسَاۤءَ فَلَمْ تَجِدُوْا مَاۤءً فَتَيَمَّمُوْا صَعِيْدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوْا بِوُجُوْهِكُمْ وَاَيْدِيْكُمْ مِّنْهُ ۗمَا يُرِيْدُ اللّٰهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِّنْ حَرَجٍ وَّلٰكِنْ يُّرِيْدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهٗ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki. Dan jika kamu junub maka mandilah. Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.
Dalam ayat di atas, Allah swt menjelaskan tiga jenis kaifiyyat thaharah, yaitu: wudlu, mandi, dan tayammum. Pembahasan di bawah ini, kakan menyoroti terlebih dahulu thaharah dengan wudlu.
TAFSIR AHKAM
Berikut ini penulis akan sajikan intisari tafsir ahkam ayat di atas dari kitab Taisirul-Bayan tulisan Imam Ibn Nuriddin (w. 825 H).
Berdasarkan ayat ke-6 QS. al-Ma`idah di atas, Allah swt mewajibkan wudlu kepada kaum mukminin. Ini dikuatkan kemudian oleh hadits Nabi saw:
لاَ يَقْبَلُ اللهُ صَلاَةَ مَنْ أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ
Allah tidak akan menerima shalat orang yang berhadats hingga dia berwudlu (Shahih al-Bukhari bab la tuqbalu shalat bi ghair thahur no. 135; Shahih Muslim bab wujubit-thaharah lis-shalat no. 225 dari hadits Abu Hurairah).
Dari ayat di atas bisa diuraikan beberapa hukum terkait wudlu, yaitu:
اِذَا قُمْتُمْ اِلَى الصَّلٰوةِ
Dalam penggalan ayat tersebut, Allah ta´ala mengaitkan wajibnya wudlu dengan melaksanakan shalat. Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat mengenai kapan wajibnya wudlu. Ada yang berpendapat bahwasanya penggalan ayat tersebut mengandung hukum wajibnya wudlu setiap kali hendak melaksanakan shalat sebagaimana yang diceritakan dari Ikrimah dan Ibn Sirin. Ibn Sirin sendiri dalam hal ini berhujjah dengan amal para khalifah dimana mereka berwudlu untuk setiap kali shalat.
Adapula yang berpendapat wajibnya wudlu itu hanya ketika berhadats. Ini di antaranya dijelaskan oleh Ibn ‘Abbas ketika menafsirkan ayat di atas: “Apabila kamu hendak shalat dan kamu sudah hadats.”
Mayoritas ahli ilmu bersepakat berdasarkan amal Nabi saw bahwasanya beliau (pernah) melaksanakan beberapa shalat dengan satu kali wudlu, maka wajibnya wudlu itu ketika hendak shalat dalam keadaan hadats. Adapun praktik wudlu para khalifah untuk setiap kali shalat berarti hanya sekedar menunjukkan keutamaan, bukan suatu keharusan.
فَاغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ
Maka basuhlah mukamu, yakni dengan air. Sebagian ulama berpendapat bahwa berkumur dan menghirup air lewat hidung termasuk membasuh muka. Terdapat juga dalil yang menunjukkan disyari’atkannya menyela-nyela janggut dengan air ketika berwudlu. Adapun batasan wajah adalah ‘idzar yaitu tepian tempat tumbuhnya rambut di kedua pipi dan dagu (jenggot). Dan itu mesti dibasuh pula.
وَاَيْدِيَكُمْ اِلَى الْمَرَافِقِ
Dan tanganmu sampai dengan sikut.
Hukum membasuh tangan hingga sikut (beserta siku) berdasarkan ayat di atas hukumnya wajib. Dimulai dari tangan kanan lalu tangan kiri. Makna ila dalam ayat di atas adalah ma’a (beserta) sebagaimana sudah umum dipahami oleh masyarakat Arab, jadi sikutnya harus terbasuh air juga.
وَامْسَحُوْا بِرُءُوْسِكُمْ
Dan sapulah kepalamu, yakni dengan air. Ulama ijma’ bahwasanya rukun ini wajib. Namun mereka berbeda pendapat mengenai ukuran/kadar kepala yang wajib diusap. Ada yang berpendapat wajib diusap seluruh kepala (Malik, al-Muzanni, Ahmad); ada yang mewajibkan hanya seperempat bagian kepala (Abu Hanifah); adapula yang mewajibkan hanya sebagian kepala saja meski tidak sampai seperempat (Asy-Syafi’i). Dalil Imam Abu Hanifah dan as-Syafi’i sama, yakni hadits al-Mughirah ibn Syu’bah berikut:
وَعَنْ الْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةٍ t: أَنَّ النَّبِيَّ r تَوَضَّأَ, فَمَسَحَ بِنَاصِيَتِهِ وَعَلَى الْعِمَامَةِ وَالْخُفَّيْنِ.
Dan dari al-Mughirah ibn Syu’bah ra: “Sesungguhnya Nabi saw berwudlu, lalu beliau membasuh bagian depan kepalanya dan sorban dan kedua sepatunya.” (Shahih Muslim kitab at-thaharah bab al-mashi ‘alan-nashiyah wal-‘imamah no. 659).
Bagian depan kepala yang dibasuh oleh Nabi saw dalam hadits di atas diperkirakan oleh Imam Abu Hanifah adalah ¼ -nya. Tetapi Imam as-Syafi’i memperkirakannya lebih kurang dari itu, makanya beliau tidak membatasinya pada ¼ bagian kepala, bahkan bisa lebih sedikit dari itu. Imam Ibn Nuriddin sendiri penulis kitab Taisirul-Bayan lebih condong pada ijtihad Imam as-Syafi’i karena memang berlatar madzhab Syafi’i. Hujjahnya sama dengan hujjah Imam as-Syafi’i bahwa sorban sebagai penutup kepala tidak bisa menggantikan kepala. Jika faktanya Nabi saw mengusap sorban, itu berarti sengaja tidak mengusap kepala. Itu berarti bahwa yang wajib dalam mengusap kepala hanya bagian depannya saja. Meski tidak dipungkiri ada juga hadits-hadits lain yang mencontohkan mengusap kepala keseluruhannya, tetapi itu hanya dalam makna sunat saja. Yang wajibnya tetap sebagian saja berdasarkan hadits al-Mughirah di atas.
Ibn Nuriddin tidak menampik bahwa Imam Ahmad justru menyatakan sebaliknya. Hadits di atas justru menjadi dalil bahwa sorban penutup kepala itu bisa menggantikan kepala. Jadi kepala semuanya harus diusap/disapu baik itu ada penutup kepala apalagi tidak ada. Yang lebih selamat tentu memilih ijtihad Imam Ahmad (dan Imam Malik) seperti ini. Meski kedua-duanya sama wilayah ijtihad sehingga tidak perlu saling menyesatkan. Yang dituntut hanya mengambil ijtihad yang menurut pertimbangan ilmu pribadi masing-masing lebih kuat.
وَاَرْجُلَكُمْ اِلَى الْكَعْبَيْنِۗ
Dan kedua kakimu hingga kedua mata kaki.
Lafal wa arjulakum, huruf lam-nya berharakat fathah. Maka ‘athaf-nya pada wajah dan tangan sehingga sama-sama harus dibasuh/dicuci. Demikianlah pendapat jumhur ulama. Dan jumhur ulama sepakat juga memahami ila dalam firman tersebut seperti halnya ilal-mirfaqain dalam petikan firman sebelumnya, yakni bermakna ma’a (beserta) sehingga harus sama-sama dicuci. Ini dikuatkan oleh hadits Nabi saw berikut:
عن محمدِ بنِ زيادٍ قال: سمعتُ أبا هريرةَ، وكان يَمُرُّ بنا والناسُ يتوضَّؤون من المطْهَرَةِ، فقال: أَسْبغوا الوُضوءَ؛ فإن أبا القاسِم r قال: “وَيْلٌ للأَعْقابِ منَ النارِ
Dari Muhammad ibn Ziyad, ia berkata: Aku mendengar Abu Hurairah ketika ia lewat kepada kami dan saat itu orang-orang sedang berwudlu dari wadah air, ia berkata: “Sempurnakanlah wudlu, karena sungguh Abul-Qasim saw bersabda: Kecelakaan bagi tumit-tumit dari neraka.” (Shahih al-Bukhari bab ghaslil-a’qab no. 165).
Perintah “mencuci kaki” dalam ayat di atas dan ancaman dari Nabi saw dalam hadits menunjukkan bahwa bagian kaki ini tidak boleh diabaikan. Jika sengaja diabaikan—apalagi karena menjadi rukun yang paling akhir—ancamannya ternyata neraka.
Dalam hadits lain Nabi saw menjelaskan, hanya karena “mengusap” saja dari yang seharusnya “membasuh/mencuci”, Nabi saw juga ternyata mengancam dengan neraka:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ تَخَلَّفَ رَسُولُ اللهِ فِي سَفَرٍ سَافَرْنَاهُ فَأَدْرَكَنَا وَقَدْ أَرْهَقْنَا الصَّلاةَ صَلاةَ الْعَصْرِ وَنَحْنُ نَتَوَضَّأُ فَجَعَلْنَا نَمْسَحُ عَلَى أَرْجُلِنَا فَنَادَى بِأَعْلَى صَوْتِهِ وَيْلٌ لِلْأَعْقَابِ مِنْ النَّارِ مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلَاثًا
Dari ‘Abdullah ibn ‘Amr, ia berkata: Rasulullah saw tertinggal dalam suatu safar. Lalu ketika beliau bertemu kami kembali, kami sudah terdesak oleh waktu shalat ‘Ashar (sudah hampir habis). Ketika itu kami berwudlu dengan mengusap kaki kami. Lalu beliau berteriak dengan keras: “Kecelakaan bagi tumit-tumit dari api neraka.” 2x atau 3x (Shahih al-Bukhari kitab al-‘ilm bab man a’adal-hadits tsalatsan no. 96. Kekeliruan yang dilakukan dalam hadits ini adalah mengusap kaki, padahal seharusnya mencucinya, tidak sebatas mengusapnya saja).
Termasuk di antaranya yang abai sehingga menyebabkan ada bagian tumit yang tidak terbasuh dengan sempurna.
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ رَجَعْنَا مَعَ رَسُولِ اللهِ مِنْ مَكَّةَ إِلَى الْمَدِينَةِ حَتَّى إِذَا كُنَّا بِمَاءٍ بِالطَّرِيقِ تَعَجَّلَ قَوْمٌ عِنْدَ الْعَصْرِ فَتَوَضَّئُوا وَهُمْ عِجَالٌ فَانْتَهَيْنَا إِلَيْهِمْ وَأَعْقَابُهُمْ تَلُوحُ لَمْ يَمَسَّهَا الْمَاءُ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ وَيْلٌ لِلأَعْقَابِ مِنَ النَّارِ أَسْبِغُوا الْوُضُوءَ
Dari ‘Abdullah ibn ‘Amr, ia berkata: Kami pernah pulang bersama Rasulullah saw dari Makkah ke Madinah. Ketika kami sampai di sebuah mata air di perjalanan, beberapa orang ada yang tergesa-gesa di waktu ‘Ashar dan mereka berwudlu dengan tergesa-gesa. Ketika kami menemui mereka, tumit-tumit mereka terlihat jelas belum terbasuh air. Lalu Rasulullah saw bersabda: “Kecelakaan bagi tumit-tumit dari api neraka. Sempurnakanlah wudlu.” (Shahih Muslim kitab at-thaharah bab wujub ghaslir-rijlain bi kamalihima no. 593).
Dalam hadits lain, Nabi saw sampai memerintahnya untuk mengulangi lagi hanya karena ada bagian kecil dari tumit yang tidak terbasuh air.
وَعَنْ أَنَسٍ قَالَ: رَأَى النَّبِيُّ رَجُلاً وَفِي قَدَمِهِ مِثْلُ الظُّفْرِ لَمْ يُصِبْهُ الْمَاءُ. فَقَالَ: اِرْجِعْ فَأَحْسِنْ وُضُوءَكَ.
Dari Anas ra, ia berkata: Nabi saw melihat seorang lelaki yang pada tumitnya ada sebesar kuku tidak terbasuh air. Beliau lalu bersabda: “Kembalilah dan perbaikilah wudlumu.” (Sunan Abi Dawud kitab at-thaharah bab tafriqil-wudlu no. 173).
Maka dari itu, setiap selesai wudlu sebaiknya diperiksa lagi dengan seksama agar tidak ada anggota wudlu yang tidak tercuci/terbasuh air.
Bagi yang memakai cincin, gelang, jam tangan, atau perhiasan lainnya yang ada pada bagian tubuh yang harus dicuci ketika wudlu, mesti diperhatikan dengan seksama agar betul-betul tercuci, tidak hanya terbasuh air, sebagaimana diajarkan Nabi saw dalam hadits di atas (Shahih al-Bukhari no. 96). Jika sulit, sebaiknya perhiasan-perhiasan itu dilepas dahulu.
Hadits di atas juga mengajarkan bahwa amar ma’ruf nahyi munkar dalam kaitan ibadah tidak boleh ditangguhkan. Jika ada kesalahan yang terjadi, segera ingatkan saat itu juga.
oleh : Hassya Dinan Hamidah (*) Santri Mu’allimin Pesantren Persis 27)
Tulisan ini adalah intisari pelajaran Tafsir Ahkam pada kelas 1 Mu’allimin yang merujuk kitab Imam Ibn Nuriddin, Taisirul-Bayan