Pertanyaan :
“Bismillaah ustadz. Berdasarkan surat edaran dari pemerintah yang menginstruksikan untuk menghentikan aktivitas di luar rumah. Bagaimana dengan jadwal pengajian rutin yang biasa kami hadiri?. Ini kan merupakan sebuah kebaikan untuk umat Muslim agar tetap mencari ilmu. 0896-6612-xxxx”
Jawaban :
Ketika wabah penyakit itu merajalela maka meninggalkan kemafsadatan itu mesti lebih didahulukan daripada menarik kemaslahatan. Sebab, menghilangkan kemasfsadatan itu diantara tujuan syari’at Islam. Dalam masalah ini para ulama telah memberikan kaidah penting jika mafsadat dan maslahat bertemu secara berbarengan.
دَرْءُ المَفَاسِدِ مُقَدَمٌ عَلَى جَلْبِ المَصَالِحِ
“Menolak keburukan mesti didahulukan daripada menarik kemaslahatan” ((lihat al-Qawa’id al-fiqhiyah wa Thabiqatuha fil Madzahibil Arba’ah : 238)
Dalam pengajian umum memang benar ada kemaslahatan, namun dampak kemafsadatannya dalam hal ini akan lebih besar untuk umat ketika wabah sedang tidak terkendali. Dalam hal ini Nabi saw. telah memberi petunjuk bahwa setiap kerugian itu harus dihilangkan.
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ
Dari ‘Abdullah bin ‘Abbas, Bahwasannya Rasulullah saw. bersabda, “Tidak boleh berbuat madharat dan hal yang menimbulkan madharat” (H.R Ibnu Majah Bab Man Baan fi Haqqihi Maa Yadurru fi Jaarihi no. 2341. Shahih Li Ghairih menurut Syaikh Al-Arnauth)
Dengan adanya pengajian umum dan berkumpulnya orang-orang itu dikhawatirkan akan semakin menambah panjang mata rantai wabah yang ada. Orang yang terinfeksi virus wabah dengan tidak sadar akan merugikan orang lain dan orang yang sehat secara tidak sadar akan dirugikan dengan hadirnya ke pengajian ketika wabah merebak.
Kalaupun orang beralasan mengadakan pengajian untuk berdo’a atau dengan sengaja berkumpul di suatu lapangan disaat wabah terjadi dengan berniat untuk meminta tolong kepada Allah seperti halnya shalat Istisqa (meminta hujan) dengan shaum tiga hari sebelumnya, maka menurut Ibnu Hajar al-Asqalani, perbuatan ini termasuk perbuatan bid’ah. (Lihat Badzlul Ma’un fi fadhlit Tha’un : 328)
Imam Ibnu Hajar dalam hal ini mengkisahkan bahwa di zaman dahulupun pernah terjadi pengumpulan masa seperti ini untuk berdo’a kepada Allah swt, pada tahun 764 H ketika terjadi wabah di Damaskus. Mereka berdo’a dan beristighasah ketika itu namun wabah itu justru bertambah besar padahal sebelum mereka berdo’a wabah itu lebih ringan. Begitupula pengumpulan masa ini pernah terjadi pula di zaman Imam Ibnu Hajar al-Asqalani di kairo pada tanggal 27 Rabi’ul awal tahun 833 H. karena wabah yang terjadi ketika itu yang meninggal di bawah empat puluh orang. Kemudian mereka keluar kelapangan pada tanggal 4 Jumadil Ula, mereka berdo’a selama satu jam kemudian mereka pulang. Setelah itu, belum sampai satu bulan jumlah orang yang meninggal menjadi 1000 orang dan terus bertambah. ((Lihat Badzlul Ma’un fi fadhlit Tha’un : 329)
Dengan demikian, dalam hal ini umat dan para ulama mesti bersabar ketika terjadinya wabah untuk menahan diri agar wabah itu tidak menjadi musibah yang lebih besar sampai situasi dan kondisi dapat terkendali atau wabah itu telah diangkat oleh Allah swt. Maka mengadakan pengajian dengan bertatap muka langsung dan berkumpul di suatu tempat secara umum ketika wabah merajalela itu sangat tidak dianjurkan dalam syari’at Islam karena akan menimbulkan kemafsadatan yang lebih luas.
Ketika datangnya wabah itu baiknya menanamkan adab-adab berikut dalam diri. Pertama memperbanyak do’a dan Meminta Perlindungan kepada Allah swt dengan penuh kerendahan dan ketundukan. Karena musibah itu, hakikatnya Allah sedang menguji kuatnya isti’anah kita kepada Allat swt.
ادْعُوا رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ
“Berdo’alah kepada Rabmu dengan rendah hati dan suara yang lembut. Sungguh, dia tidak meyukai orang yang melampaui batas” (Q.S al-A’raf : 55)
Kedua, bersabar atas ketetapan Allah swt. dan ridha terhadap segela takdir-Nya. Jadikan ujian ini sebagai peluang pahala yang berlimpah bagi kita sebagaimana sabda Nabi saw.
«عِظَمُ الْجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ الْبَلَاءِ، وَإِنَّ اللَّهَ إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلَاهُمْ، فَمَنْ رَضِيَ فَلَهُ الرِّضَا، وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السُّخْطُ»
“Besarnya pahala sesuai dengan besarnya cobaan dan sesungguhnya apabila Allah mencintai suatu kaum pasti Allah akan menguji mereka barang siap yang ridha maka baginya keridhaan Allah namun barang siap yang murka maka baginya murka Allah” (H.R Ibnu Majah. Bab ash-Shabru ‘Alal Bala’ no. 4031. Hasan Menurut Imam al-Bani)
Ketiga, Berprasangka baik kepada Allah swt. serta mengakui berbagai dosa dan kekurangan. Yakinilah bahwa setiap ujian itu ketika dihadapi dengan kesabaran dan prasangka yang baiak akan menghadirkan ampunan dan pahala dari Allah swt.
Dewan Kajian Masa`il:
Nashruddin Syarief, Robi Permana, Iwan Abu ‘Ayyasy, Irsyad Taufieq Rahman, Achmad Nurdiyansyah, Oman Warman, Muhammad Atim, Husna Hisaba Kholid, Saeful Japar Sidik, Fauzy Barokah Ramdani, Iwan Ridwan