Sudah menjadi fitrahnya seorang manusia bahwa setiap manusia itu tidak mau dirugikan. Islam sebagai agama yang sempurna, telah memberikan prinsip kehidupan dalam hal ini agar kita tidak merugikan orang lain ataupun dirugikan. Larangan merugikan dan dirugikan ini sebagaimana sabda Nabi saw.
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: “لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ
“Dari ‘Abdullah bin ‘Abbas, Bahwasannya Rasulullah saw. bersabda, “Tidak boleh berbuat madharat dan hal yang menimbulkan madharat” (H.R Ibnu Majah Bab Man Baan fi Haqqihi Maa Yadurru fi Jaarihi no. 2341. Shahih Li Ghairih menurut Syaikh Al-Arnauth)
Hadis ini kemudian dijadikan kaidah penting oleh para ahli fiqih dalam memecahkan berbagai masalah fiqih. Berdasarkan hadis ini, untuk menghilangkan kerugian maka seorang boleh mengembalikan barang yang cacat setelah membeli barang dari seorang pedagang jika memang tidak diketahui dan tidak diberi tahu sebelumnya ada kecacatan dalam barang tersebut. Bersandar kepada hadis ini pula seorang boleh membatalkan ikatan pernikahan karena pasangannya menyembunyikan aib yang tidak bisa dibenarkan yang dikenal dalam istilah syari’at sebagai fasakh nikah.
Dari hadis La Dharara wa La Dhirara kemudian terlahirlah beberapa kaidah cabang dari kaidah ini diantaranya, Pertama,
الضَّرُورِيَّاتُ تُبِيحُ الْمَحْظُورَاتِ
“Kemadharatan itu membolehkan sesuatu yang terlarang” (Lihat al-Asybah wa an-Nazhair : 84)
Berdasarkan kaidah ini maka seorang dalam keadaan terdesak boleh meneguk khamr misalnya, yang secara asal diharamkan secara syariat disebabkan kehausan yang sangat hebat, jika memang ia tidak menemukan lagi minuman yang lain untuk diminum ketika itu. Begitupula, seorang boleh memakan bangkai dalam keadaan darurat dalam keadaan sangat lapar jika memang ia tidak menemukan makanan yang lain kecuali bangkai untuk menjaga keberlangsungan hidupnya. Kedaruratan ini sebagaimana dijelaskan oleh Allah swt. dalam al-Qur’an dalam ayat berikut.
إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan atasmu bangkai, darah, daging babi, dan (hewan) yang disembelih dengan (menyebut nama) selain Allah, tetapi barang siapa terpaksa (memakannya) bukan karena menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sungguh Allah Maha Pengampun Maha Penyayang (Q.S an-Nahl : 115)
Kaidah Kedua,
مَا أُبِيحَ لِلضَّرُورَةِ يُقَدَّرُ بِقَدْرِهَا
“Sesuatu yang dibolehkan karena kedaruratan diukur sesuai dengan kadarnya” (Lihat al-Asybah wa an-Nazhair : 84)
Kaidah ini menjelaskan sesuatu yang dibolehkan dalam keadaan darurat harus ditakar sesuai dengan kebutuhannya saja. Dengan demikian bangkai dalam keadaan terdesak tidak boleh dimakan kecuali hanya untuk sekedar menutupi kebutuhannya ketika itu saja agar terhindar dari kebinasaan. Jika ia memakan bangkai itu secara berlebihan maka tentu hal ini dilarang, karena secara pokok tentu bangkai itu diharamkan oleh syariat. Demikian pula, boleh seorang memberi makan hewan dengan tumbuhan yang haram, namun jika ia menjual tumbuhan itu maka tentu tidak diperbolehkan. Begitupula kaidah ini membolehkan seorang dokter laki-laki yang hendak mengobati seorang perempuan yang bukan mahram, untuk memeriksa bagian yang memang terpaksa untuk dibuka karena kedaruratan pengobatan, jika perempuan itu tidak menemukan dokter yang lain yang diperbolehkan secara syariat. (Lihat al-Asybah wa an-Nazhair : 84)
Kaidah Ketiga
الضَّرَرَ لَا يُزَالُ بِالضَّرَرِ
“Kerugian itu tidak bisa dihilangkan dengan kerugian” (Lihat al-Asybah wa an-Nazhair : 86)
Kemadharatan yang tidak bisa dihilangkan kecuali dengan menggunakan kemadharatan yang lain yang semisal maka berdasarkan kaidah ini tentu tidak diperbolehkan. Apalagi jika dihilangkan dengan kemadharatan yang lebih besar tentu diharamkan. Sebagai contoh, seorang tidak boleh melakukan sesuatu perbuatan demi menjaga keberadaan hartanya namun dengan cara merugikan dan menghilangkan harta orang lain maka cara seperti ini tidak diperbolehkan. Atau misalnya, jika terdapat dua orang dalam keadaan lapar yang hebat kemudian keduanya tidak menemukan makanan, maka dalam keadaan seperti ini haram hukumnya salah satu dari keduanya membunuh salah satu rekannya kemudian memakannya untuk menghilangkan rasa lapar. Karena kemadharatan itu tidak bisa dihilangkan dengan kemadharatan yang lain. (lihat al-Qawa’id al-fiqhiyah wa Thabiqatuha fil Madzahibil Arba’ah : 215-216)
Kaidah keempat
إذَا تَعَارَضَ مَفْسَدَتَانِ رُوعِيَ أَعْظَمُهُمَا ضَرَرًا بِارْتِكَابِ أَخَفِّهِمَا
“Apabila dua mafsadat bertentangan maka diperhatikan mana mafsadat yang paling besar dengan memilih kemadharatan yang paling ringan” (Lihat al-Asybah wa an-Nazhair : 87)
Kaidah ini menjelaskan bahwa jika seorang terpakasa harus memilih diantara dua keburukan maka yang harus ia pilih adalah mana keburukan yang paling ringan. Sebagai contoh, talak itu sebuah kemadharatan namun jika dengan talak itu akan menimbulkan kemadharatan yang lebih besar dan menghadirkan kesulitan yang lebih banyak maka seorang lebih baik tidak melakukan talak. Namun sebaliknya, jika ternyata dengan talak akan menghadirkan kemadharatan yang lebih ringan maka talak lebih baik untuk dipilih. Atau misalnya seorang yang tidak mampu menutup aurat ketika hendak melaksanakan shalat karena penyakit misalnya atau tidak mampu menghadap kiblat maka ia diperbolehkan untuk melakukannya sesuai kemampuannya karena tentu meninggalkan shalat lebih besar kemadharatannya. ((lihat al-Qawa’id al-fiqhiyah wa Thabiqatuha fil Madzahibil Arba’ah : 220)
Begitupula dengan konteksnya saat ini kaidah ini dapat diterapkan dalam suatu wilayah yang tertimpa wabah penyakit yang merajalela tak terkendali, maka ia tentu boleh tidak melakukan shalat jum’at dengan menggantinya dengan shalat zhuhur karena dikhawatirkan akan tertimpa wabah penyakit yang berdampak kepada keburukan yang lebih besar daripada meninggalkan shalat jum’at di masjid. Begitupula boleh seorang meninggalkan shalat berjama’ah di masjid jika dengan shalat berjama’ah di masjid itu akan menimbulkan madharat yang lebih besar. Berbeda tentunya, jika memang wabah penyakit itu masih berada dalam kendali. Maka tentu shalat jum’at tetap wajib dan berjama’ah itu tetap diutamakan.
Menghindari sesuatu demi menghindari kemadharatn yang lebih besar inipun telah diajarkan sendiri di dalam al-Qur’an, sebagaimana firman Allah swt.
وَلَا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ
“Dan Janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan” (Q.S Al-An’am : 108)
Dalam ayat ini Allah menegaskan bahwa kita dilarang memaki sembahan orang-orang kafir untuk menghindari kemadharatan yang lebih besar. Karena jika hal itu dilakukan, maka orang-orang kafir akan memaki lebih keji kepada Allah swt. dengan demikian, Allah melarang hal itu agar kita menjaga Ke-Maha Sucian Allah swt.
Kaidah Kelima,
يُتَحَمَلُ الضَرَرُ الخَاصُ لِدَفْعِ الضَرَرِ العَامِ
“Kemadharatan yang khusus diambil untuk menolak kemadharatan yang lebih umum” (lihat al-Qawa’id al-fiqhiyah wa Thabiqatuha fil Madzahibil Arba’ah : 235)
Kaidah ini menjelaskan seorang boleh memilih kemadharatan secara khusus demi menghilangkan kemadharatan secara umum. Hal ini dilakukan karena untuk kemaslahatan umum yang lebih besar sebagai contoh, seorang boleh mengasingkan seorang dokter yang bodoh atau seorang mufti yang terlalu banyak bergurau demi kemaslahatan umat. Karena jika tidak seperti itu kedua orang itu akan menimbulkan kemadharatan yang lebih besar untuk masyarakat umum. Atau bolehnya membuat aliran sungai yang melewati tanah milik orang lain jika memang dibutuhkan untuk kemaslahatan umum. Hal ini dilakukan untuk menhindari keburukan yang lebih besar untuk masyarakat luas. (lihat al-Qawa’id al-fiqhiyah wa Thabiqatuha fil Madzahibil Arba’ah : 236)
Kaidah Keenam
دَرْءُ المَفَاسِدِ أَوْلَى مِنْ جَلْبِ المَنَافِعِ
“Meninggalkan Mafsadat mesti lebih diutamakan dari pada menarik Manfa’at” (lihat al-Qawa’id al-fiqhiyah wa Thabiqatuha fil Madzahibil Arba’ah : 238)
Kaidah ini pun berdasarkan isyarat dari bimbingan hadis nabi bahwa meninggalkan kemafsadatan itu harus lebih diutamakan,
فَإِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْءٍ فَاجْتَنِبُوهُ، وَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Jika aku melarang kalian dari sesuatu maka jauhilah, dan apabila aku perintahkan kalian dengan sesuatu maka kerjakanlah semampu kalian.” (H.R al-Bukhari Bab al-Iqtida bi Sunani Rasulillah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. No. 7288)
Berdasarkan kaidah ini maka seorang boleh tidak ikut shalat berjama’ah dan mengganti shalat jum’at disebabkan sakit atau karena ada ketakutan yang membahayakan, seperti hujan lebat atau karena dikhawatirkan akan menyebarkan penyakit kepada orang lain jika menghadiri shalat berjama’ah dan shalat jum’at. (lihat al-Qawa’id al-fiqhiyah wa Thabiqatuha fil Madzahibil Arba’ah : 238)
Dalam memahami kaidah-kaidah diatas seorang harus cermat dan benar ketika menimbang kemadharatan yang ada. Tidak semua kemadharatan secara mutlaq akhirnya menjadi alasan untuk membolehkan sesuatu yang terlarang. Dalam menimbang kemadharatan ini maka haruslah orang yang benar-benar mampu memilah-memlih dan menimbang segala kemadaratan yang dihadapi.
Inilah diantara kaidah-kaidah turunan yang dibuat oleh para ulama untuk memecahkan berbagai permasalahan fiqih. Dengan demikian syari’at Islam tidak akan pernah kering untuk menjawab persoalan umat. Atas kesunggu-sungguhan para ulama inilah berbagai kesulitan menjadi mudah untuk dipecahkan. Sebagaimana syari’at kehendaki bahwa setiap kerugian itu mesti dihilangkan. Wallahu A’lam bis Shwwab.