Fitrah berasal dari bahasa Arab فطرة (baca: Fithrah) lalu diserap ke dalam bahasa Indonesia dengan tulisan fitrah tanpa h dari bentuk literasi asal ط (th) karena sudah menjadi bahasa serapan memiliki arti yang sama dengan bahasa asalnya yaitu sifat asal; kesucian; bakat; pembawaan. Dari semua arti tersebut yang lebih tepat dalam konteks di sini adalah sifat asal, pembawaan atau naluri yang dibawa sejak awal penciptaannya. Dalam Lisanul-‘Arab penjelasan lain dari istilah فطرة/ فطر adalah ابتداع الخلقة(karakter asal). [Lisanul-‘Arab, 5: 58]
Sejak perempuan diciptakan ia membawa sifat-sifat naluriah yang melekat dalam dirinya. Namun, tidak menutup kemungkinan seorang perempuan belum menyadari akan fitrahnya. Misalnya saja kelompok perempuan yang memohon kesetaraan gender dengan laki-laki. Padahal, jelas Allah Ta’ala menegaskan bahwa laki-laki tidaklah sama dengan perempuan. Dalam ayat yang menceritakan tentang kisah kelahiran Maryam:
{…وَلَيْسَ الذَّكَرُ كَالْأُنْثَى …} [آل عمران: 36]
“…Dan tidaklah sama laki-laki dan perempuan…” (QS. Ali ‘Imran [3] ayat 36)
Lalu, dalam ayat yang berbicara tentang tanggungan yang berbeda antara laki-laki dan perempuan. Allah Ta’ala lebihkan salah satu di antara keduanya:
{الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ…} [النساء: 34]
“Laki-laki itu pemimpin bagi perempuan karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian lainnya (perempuan), dan karena laki-laki telah menafkahkan mereka (perempuan) dari harta mereka (laki-laki)…” (QS. An-Nisa` [4] ayat 34)
Perbedaan itu bukan untuk merendahkan gender yang satu dengan yang lainnya ataupun meninggikan salah satunya, melainkan sebagai bukti betapa indah dan sempurnanya syari’at Islam, dengan mengatur hubungan atau peran antara laki-laki dan perempuan agar berjalan secara harmonis di muka bumi ini. Laki-laki yang memiliki tanggungan untuk mencari nafkah, sedang perempuan tidak memiliki tanggungan tersebut secara fitrahnya. Inilah salah satu contoh keharmonisan hubungan antara laki-laki dan perempuan. Namun, dalam hal meraih surga, Allah Ta’ala sediakan peluang yang sama (QS. An-Nisa` [4]: 124; QS. Al-Hujurat [49]: 13; QS. Al-Ahzab [33]: 35) dengan cara yang tidak selalu sama dalam pengaplikasiannya.
Dalam segi dzat penciptaannya, laki-laki dan perempuan berasal dari dzat yang sama:
{يَاأَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا (1)} [النساء: 1]
“Wahai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang menciptakanmu dari diri yang satu (Adam) dan menciptakan darinya pasangannya (Hawa). Serta dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Bertakwalah kepada Allah yang kalian saling meminta dengan namaNya. Dan peliharalah hubungan kekeluargaan. Sesungguhnya Allah selalu mengawasimu.” (QS. An-Nisa` [4] ayat 1)
{ وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ مِنْ سُلَالَةٍ مِنْ طِينٍ (12)} [المؤمنون: 12]
“Dan sungguh kami menciptakan manusia (baik laki-laki maupun perempuan) dari saripati yang berasal dari tanah.” (QS. Al-Mu`minun [23] ayat 12)
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «اسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ، فَإِنَّ المَرْأَةَ خُلِقَتْ مِنْ ضِلَعٍ، وَإِنَّ أَعْوَجَ شَيْءٍ فِي الضِّلَعِ أَعْلاَهُ، فَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيمُهُ كَسَرْتَهُ، وَإِنْ تَرَكْتَهُ لَمْ يَزَلْ أَعْوَجَ، فَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ». رواه البخاري, باب خلق ادم صلوات الله عليه و ذريته
Dari Abu Hurairah –semoga Allah meridlainya- berkata: Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: “Berwasiatlah kepada perempuan, karena sesungguhnya perempuan tercipta dari tulang rusuk. Dan sesuatu yang paling bengkok dari tulang rusuk adalah bagian paling atas. Jika kau paksa untuk membuatnya lurus maka akan patah. Dan jika kamu biarkan maka dia akan tetap bengkok. Maka, berwasiatlah kepada perempuan.” (HR. Bukhari, Bab Penciptaan Adam dan Keturunannya –semoga keselamatan atasnya-)
Tercipta dari dzat yang sama, namun dengan karakter yang berbeda. Dalam lafazh hadits tersebut jelas disebutkan perbedaan karakter perempuan dengan laki-laki. Jika di ayat sebelumnya disebutkan bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan. Sedangkan di hadits ini disebutkan bahwa naluri seorang perempuan butuh diberi wasiat agar tidak tetap dalam kebengkokannya. Lafazh اوصى dalam kamus bahasa Arab memiliki arti lain selain dari berwasiat, yakni memerintah. Sebagaimana wasiat yang sifatnya wajib untuk dikerjakan, tidak beda jauh tujuannya dengan perintah (menuntut adanya pekerjaan). Hal ini yang mendasari bahwa naluri seorang perempuan tidak untuk memerintah (memimpin), melainkan untuk diperintah (dipimpin). Butuh sosok yang dapat memimpinnya serta membimbingnya agar tidak tetap bengkok.
Kemudian, hadirnya seorang perempuan adalah untuk membuat tentram pasangannya. Sebagaimana penciptaan Hawa dari bagian Adam untuk membuatnya tentram (QS. Ar-Rum [30]: 21). Dan dijelaskan bahwa karakter perempuan yang shalihah adalah:
{…فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ…} [النساء: 34]
“…Maka perempuan yang shalihah itu yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada karena Allah telah menjaga mereka…”
{وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى وَأَقِمْنَ الصَّلَاةَ وَآتِينَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا (33)} [الأحزاب: 33]
“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah dahulu. Dan laksanakanlah shalat, tunaikanlah zakat. Dan taatilah Allah dan RasulNya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, wahai ahlul bait. Dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” (QS. Al-Ahzab [33] ayat 33)
Dengan demikian, bagian dari fitrah/ karakter seorang muslimah yang sebenarnya adalah taat kepada Allah dan RasulNya, senantiasa menjaga dirinya hanya bagi yang halal, betah di rumah, tidak berhias ketika keluar rumah, serta melaksanakan shalat dan menunaikan zakat.
Wallahu Ta’ala A’lam
Penulis: Ghina Saniawati Ahmad