Ada sebuah perubahan besar yang terjadi pada awal milenium ketiga, yaitu terbentuknya sebuah dunia baru sebagai akibat dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi mutakhir, yang di dalamnya tercipta berbagai definisi dan pemahaman baru mengenai apa yang disebut dengan realitas (kenyataan). Di dalam relasi baru realitas tersebut, tanda tidak lagi merepresentasikan realitas; representasi tidak lagi berkaitan dengan kebenaran; informasi tidak lagi mengandung objektivitas pengetahuan. Dunia baru itu, sebaliknya, adalah dunia yag dibangun oleh berbagai bentuk distorsi realitas, permainan bebas tanda, penyimpangan makna, dan kesemuan makna (Piliang, Posrealitas: Kebudayaan dalam Era Posmetafisika, 2004: 53)
Hari ini deras informasi mengakibatkan obesitas (kegemukan) informasi. Gosip-gosip samping lalu, clickbait (pancingan klik), sampai video odading lebih laku digandrungi. Mirisnya, berita kriminal, di satu sisi, tidak menjadi hal yang menakutkan, seolah biasa saja. Walaupun terbatas PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) kegiatan jual beli tidak ada matinya. Benar bahwa pasar-pasar konvensional mungkin tutup, tapi tidak dengan pasar virtual. Orang yang dulunya berdesak-desakkan di pasar kini berjubel di tiap marketplace, berselancar menghabiskan 3-6 jam untuk berburu diskon tanggal cantik. Teknologi yang dulu sekedar “pembantu” kehidupan manusia kini beralih menjadi “pengatur” –untuk tidak menyebut majikan- kehidupan manusia. Disadari atau tidak, teknologi, khususnya informasi, telah mengubah pola kebudayaan manusia.
Bekembanglah fiqih-fiqih kontemporer yang membahas isu-isu bagaimana mukallaf (muslim) berinteraksi antara Tuhannya, sesama manusia, dan neng (dunia) maya. Lebih dari itu, bagaimanakah identitas muslim di era cyberspace (ruang virtual)?
Rata-rata orang berlama-lama di media sosial itu mulai dari 3 sampai 6 jam, semua aktivitas sudah beralih fungsi ke jagat media sosial. Kini, orang-orang walau tersekat olah jarak dan waktu tapi bisa menikmati kajian live streaming bila salah seorang ustadz menyiarkan taklimnya. Kita dengan mudah bisa menyimak kajian para asatidz di kanal berbagi video. Bahkan masyaikh luar negeri, seperti Timur Tengah, kini bisa kita ikuti dengan begitu mudah. Hal seperti ini, disadari atau tidak, oleh al-marhum Kuntowijoyo sebagai penjabaran dari Muslim Tanpa Masjid:
Pengetahuan agama mereka juga tidak didapat dari lembaga-lembaga konvensional, seperti masjid, pesantren, dan madrasah, atau dari perorangan, seperti kiai, ustadz, ulama, dan da’i. Mereka mendapatkannya dari sumber-sumber yang anonim, seperti CD, VCD, Internet, Radio, dan Televisi. Buku-bukum majalah-majalah, dan brosur keagamaan juga dari sumber anonim, seperti penerbit, kursus-kursus tertulis, seminar, dan ceramah. Guru agama di Sekolah lebih merupakan fungsi yang anonim tanpa ikatan yang konkret, sama seperti seorang bayi yang mendapat susu dari botol dan tidak dari ASI (Kuntowijoyo, 2018: 133)
Lewat buku tersebut, Kuntowijoyo, menurut Ridwan Rustandi di Savanapost.com, mewariskan dua pesan utama. Pertama, bahwa Muslim tanpa masjid adalah realitas sekaligus kesadaran yang mesti dibangun umat Islam Indonesia bahwa seorang muslim hendaknya tidak sekedar kuat dalam aspek spiritual-ritualistik ibadah yang disimbolkan dengan Masjid. Melainkan juga mesti mengejawantahkan etika profetik Islam dalam konteks ekonomi, budaya bahkan politik. Kedua, Muslim tanpa Masjid adalah fenomena yang tak bisa dihindari bahwa hari ini umat Islam memahami keislamannya tidak sekedar lewat medium masjid sebagai simbol. Tetapi mulai berkecambah dengan tantangan dan perkembangan zaman yang mewujud dalam teknologi informasi semacam internet (Savanapost.com).
Meskipun di satu sisi, positifnya, kini majelis taklim tidak terbatas halaqah di masjid saja, tapi orang-orang pun kini membuat majelis taklim seperti di grup Whatsapp, Youtube, Facebook, dan Instagram. Bahkan tanya jawab dan diskusi bisa lewat kolom komentar, tanpa perlu ada moderator. Tapi di sisi lain dunia yang kini orang-orang sedang terlena dengannya, tanpa disadari banyak sekali menyimpan monster-monster nyata di depan layar yang menyerang kita, tanpa terkecuali anak-anak kita. Dunia masa kecil yang begitu menentukan dalam masa kembang anak dapat dicemari oleh video game yang tak ada batasan antara dunia orang dewasa dan anak-anak. Hal ini menuntut perkembangan hukum Islam semakin dinamis. Skincare (alat agar wajah menjadi mulus), misalnya, ada yang dibuat dari sperma laki-laki seperti diberitakan oleh Republika.com. Contoh lain ialah bagaimana game online tertentu terdapat simbol-simbol kemusyrikan di dalamnya. Dan masih banyak lagi hal-hal serupa yang menuntut penyelesainnya secepat mengklik di mesin pencarian.
Ini menandakan bahwa muslim tanpa masjid adalah generasi dua sisi: Pertama, lahir di era serba mudah. Kedua, lahir dihadapkan permasalahan yang kian kompleks. Hal ini menimbulkan kekhawatiran dari Mohammad Assad dalam Islam Di Simpang Jalan
Saya menyadari bahwa satu-satunya sebab kemunduran sosial dan kultural kaum Muslimin terletak dalam kenyataan bahwa mereka secara berangsur-angsur melalaikan jiwa ajaran-ajaran Islam. Islam masih ada pada mereka, tetapi tinggal jasad tanpa jiwanya. Satu-satunya unsur yang dahulu tegak mengokohkan dunia Islam sekarang menjadi sebab kelemahannya; masyarakat Islam telah dibangun sejak dari permulaanya hanya atas dasar agamawi, dan pelemahan-pelemahan unsur itu tentu melemahkan struktul kulturalnya, bahkan, mungkin akan menyebabkan musnahnya (Asad, 2013:14).
Muhammad Assad dalam hal ini mengkritik sebagian umat Islam yang terlalu ter-Baratkan sehingga menjadi muslim ‘jasad tanpa jiwa’ dan hal inipun terkontekstualkan di era virtualitas. Apa yang digambarkan oleh Kuntowijoyo adalah sebagai formulasi generasi baru Islam unthuk menjawab tantangan seperti dikatakan oleh Muhammad Assad.
Pada kesimpulannya, indentitas muslim di era cyberspace harus menanamkan adab-adab Islami, mencari keberkahan, serta tetap melakukan amar ma’ruf nahyi munkar di jagat media sosial. Agar mampu menjadi pelopor segala kebaikan dan kebajikan. Terlebih di zaman di mana tindakan baik (moral) berbenturan dan bercampur dengan tindakan buruk (amoral). Keduanya lebur dalam kumpara makna tak beraturan. Situasi inilah yang disebut sebagai gejala hipemoralitas.
Kejadian amoral yang heboh beberapa waktu lalu di mana Syaikh Ali Jaber menjadi korban (13 September 2020) adalah salah satu contoh dari hipemoralitas. Ketika isu dari kejadian tersebut saling tarik-menarik antara yang respect (iba) terhadap Syaikh dan yang justru menyalahkan Syaikh –atau setidaknya panitia- karena menyelenggarakan acara di tengah pandemi. Sudah jelas ada korban yang perlu dibela, tapi isunya malah kabur kepada komentar-komentar yang menunjukkan ketidakberpihakan kepada korban. Memang lucu. Oleh karenanya, Ronggowarsito, pujangga Jawa, dalam bukunya, Zaman Edan, bersyair,
Di saat zaman terkena bencana,
kerendahan budi merajalela,
kekacauan di berbagai tempat,
niat menyimpang dan berbuat jahat
kelurusan hati tak lagi melihat (Ronggowarsito, 2014: 58)
Apa yang disenandungkan oleh Ronggowarsito sejalan dengan apa yang disebut dengan Hipemoralitas di mana sebuah situasi bercampur aduk antara tindakan moral dengan tindakan amoral. Dalam hal ini Yasraf Amir Piliang menyebutkan:
Bila tindakan amoral itu dilakukan oleh orang-orang yang seharusnya melindungi nilai-nilai moral, maka ia telah melakukan tindakkan amorailtas yang “melampaui” jangkauan moralitas itu sendiri. Ia melalukan semacam hipermoralitas –tindakan melampaui batas-batas moral, tindakan yang menghancurkan nilai-nilai moralitas itu sendiri (Piliang, 2011: 216).
Pelajaran berharga yang dapat dipetik dalam menghadapi gejala hipemoralitas ini justru disampaikan oleh Syaikh dalam sebuah kesempatan podcast Dedy, terutama pada menit 52.56, “Belajar Islam dari Islam itu sendiri, jangan belajar Islam dari perilaku orang. Karena kita bukan mewakili Islam, kita hanya menyampaikan, belum tentu menjadi contoh.” Wa-Llahu ’alam.