Suatu malam Nabi Muhammad saw. ketika membaca al-Quran dalam shalat malam beliau membaca salah satu ayat dalam surat al-Maidah tentang perkataan Nabi ‘Isa as.,
إِن تُعَذِّبْهُمْ فَإِنَّهُمْ عِبَادُكَ وَإِن تَغْفِرْ لَهُمْ فَإِنَّكَ أَنتَ ٱلْعَزِيزُ ٱلْحَكِيمُ
“Jika Engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba Engkau, dan jika Engkau mengampuni mereka, maka sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (Q.S. al-Maidah [5]: 118).
Nabi saw. ketika itu kemudian secara spontan mengingat umatnya. Kekhawatirannya memuncak karena rasa kasih sayang yang begitu besar kepada umatnya. Akhirnya, memuncaklah tangis beliau ketika itu, sembari mengangkat tangan ke langit kemudian Nabi berkata, “Ya Allah umatku, umatku”. Nabi ketika terus mengulang ayat itu hingga shubuh. Sampai akhirnya Allah mengutus Jibril dan berfirman, “Wahai Jibril pergilah kepada Muhammad dan sampaikan sungguh kami telah meridhaimu terhadap umatmu dan kami tidak akan berbuat buruk kepadamu”. (H.R Muslim, Bab Du’aun Nabi li Ummatihi wa Bukauhu Syafaqatan ‘alaihim. No 202)
Begitulah cinta Nabi kepada umatnya. Nabi saw. menangis karena mengingat kita sebagai umatnya. Sudah sepantasnya kita sebagai umat Nabi Muhammad saw. untuk lebih mencintai Nabi bahkan dari segala hal apapun. Sudah selayaknya kekhawatiran dan pikiran kita sibuk untuk memikirkan keridhaan Nabi saw. Cinta kepada Nabi saw. inilah diantara amalan hati yang paling luhur dan mulia di sisi Allah saw.
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيم
Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu”. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Ali Imran [3]: 31).
Al-Qur’an memerintahkan kepada kita kecintaan kepada Nabi ini bahkan harus melebihi kecintaan kepada hal apapun yang kita cintai.
قُل إِن كانَ آباؤُكُم وَأَبناؤُكُم وَإِخوانُكُم وَأَزواجُكُم وَعَشيرَتُكُم وَأَموالٌ اقتَرَفتُموها وَتِجارَةٌ تَخشَونَ كَسادَها وَمَساكِنُ تَرضَونَها أَحَبَّ إِلَيكُم مِنَ اللَّـهِ وَرَسولِهِ وَجِهادٍ في سَبيلِهِ فَتَرَبَّصوا حَتّى يَأتِيَ اللَّـهُ بِأَمرِهِ وَاللَّـهُ لا يَهدِي القَومَ الفاسِقينَ
Katakanlah, “Jika bapak-bapakmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, istri-istrimu, keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perdagangan yang kamu khawatirkan kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, lebih kamu cintai dari pada Allah dan Rasul-Nya serta berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah memberikan keputusan-Nya.” Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik. (Q.S. at-Taubah [9]: 24).
Begitu pula kesempurnaan dan ketulusan keimanan kita, tentu belumlah teruji jika belum benar-benar secara tulus mencintai Nabi saw. bahkan dari pada kecintaan terhadap diri sendiri.
لَا يُؤْمِنُ أحَدُكُمْ حتَّى أكُونَ أحَبَّ إلَيْهِ مِن والِدِهِ ووَلَدِهِ والنَّاسِ أجْمَعِينَ
“Tidak sempurna keimanan salah seorang diantara kalian sampai aku lebih dicintai dari pada orang tuanya, anaknya dan seluruh manusia” (H.R al-Bukhari, Bab Hubbur Rasul minal Iman. No 15).
Imam al-Baidhawi mengatakan bahwa kecintaan kepada Nabi itu bersifat cinta secara akal. Seperti halnya seorang yang sakit akan mendahulukan obat yang ia tidak sukai. Akalnya akan menerima dan rela untuk memakan obat itu karena akalnya memahami bahwa obat itu akan membantu penyembuhan penyakitnya, meskipun secara tabi’at ia tidak menyukai obat itu. Begitu pulalah seorang muslim dalam mencintai Nabi saw., secara tabi’at manusia biasanya berat untuk mendahulukan Nabi dari pada yang lainnya, namun justru bagi orang yang berakal mendahulukan Nabi saw. itulah yang akan menjamin kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat (al-‘Asqalani, Fathu l-Bari bi Syarh Shahih l-Bukhari).
Kecintaan kepada Nabi saw. tentu bukanlah semata-mata cinta, akan tetapi kecintaan itu harus terwujud dalam segala perkataan dan perbuatan kita. Ada beberapa Adab yang menjadi timbangan bukti cinta kita kepada Nabi saw. sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’an dan as-Sunnah.
Pertama, ta’at dan ittiba’ (mengikuti) Nabi Muhammad saw.
قُلْ أَطِيعُوا اللَّـهَ وَالرَّسُولَ فَإِن تَوَلَّوْا فَإِنَّ اللَّـهَ لَا يُحِبُّ الْكَافِرِينَ
Katakanlah Muhammad, “Ta’atilah Allah dan Rasul, jika kalian berpaling maka sungguh Allah tidak menyukai orang-orang yang kafir” (Q.S Ali Imran [3]: 32)
Kedua, memuliakan dan mengagungkan Nabi saw.
إِنَّ اللَّـهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bersalawat untuk Nabi. Wahai orang-orang yang beriman! Bersalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam dengan penuh penghormatan kepadanya. (Q.S al-Ahzab [33]: 56).
Ketiga, menolong dan membela Nabi saw. dengan melawan segala tuduhan syubhat kepada Nabi saw.
لِلْفُقَرَاءِ الْمُهَاجِرِينَ الَّذِينَ أُخْرِجُوا مِن دِيَارِهِمْ وَأَمْوَالِهِمْ يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِّنَ اللَّـهِ وَرِضْوَانًا وَيَنصُرُونَ اللَّـهَ وَرَسُولَهُ أُولَـئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ
(Harta rampasan itu juga) untuk orang-orang fakir yang berhijrah yang terusir dari kampung halamannya dan meninggalkan harta bendanya demi mencari karunia dari Allah dan keridhaan(-Nya) dan (demi) menolong (agama) Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang benar. (Q.S al-Hasyr [59]: 8).
Keempat, menjadikan Nabi sebagai qudwah (teladan) dengan menjadikan jalan hidup nabi sebagai jalan hidup terbaik.
لَّقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّـهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُو اللَّـهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّـهَ كَثِيرًا
Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat dan yang banyak mengingat Allah. (Q.S al-Ahzab [33]: 21).
Kelima, mencintai Keluarga dan Sahabat Nabi saw.
آيَةُ الإيمانِ حُبُّ الأنْصارِ، وآيَةُ النِّفاقِ بُغْضُ الأنْصارِ
“Tanda Keimanan itu mencintai Anshor dan tanda kemunafikan adalah membenci Anshor” (H.R al-Bukhari, Bab ‘Alamatul Iman Hubbul Anshor. No 17).
Lima hal inilah di antara bukti kecintaan kepada Nabi saw. Ketika cinta Nabi telah memenuhi hati seorang hamba, maka kecintaan itu menjadi jaminan bagi seorang hamba akan mendapatkan kebahagiaan di dunia dan keselamatan kelak di akhirat. Sebagaimana petikan hikmah dalam riwayat berikut,
Seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah Saw tentang hari kiamat, “Kapan hari kiamat itu?” Nabi bertanya, “Apa yang sudah engkau siapkan untuk menghadapi nya?” Dia menjawab, “Tidak ada. Hanya saja, aku mencintai Allah dan Rasul-Nya. Nabi bersabda, “Engkau akan bersama dengan yang kau cintai.” Anas berkata, “Aku mencintai Nabi Saw, Abu Bakar, dan Umar, dan aku berharap bersama mereka disebabkan kecintaanku pada mereka, walaupun belum beramal seperti amalan mereka.” (H.R al-Bukhari, Bab Manaqib ‘Umar bin Khaththab. No. 3688). Wa-Llahu a’lam bi s-shawab