Menjadi istri shalihah merupakan dambaan setiap muslimah. Salah satu karakter istri shalihah adalah memberikan ketenangan kepada suaminya. Istri shalihah akan senantiasa menjadi tempat suami merebahkan jiwanya, mencurahkan beban yang dipikulnya, dan menguatkan suami dengan doa-doanya. Allah SWT menggambarkan semua ini dalam firmanNya :
وَمِنْ ءَايَٰتِهِۦٓ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَٰجًا لِّتَسْكُنُوٓا۟ إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً ۚ إِنَّ فِى ذَٰلِكَ لَءَايَٰتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (Q.S Ar-Ruum [30]: 21).
Peran istri dalam menghadirkan sakinah, mawaddah, wa rahmah dapat menguatkan segala problematika yang dihadapi suami. Istri shalihah akan senantiasa menyejukan, menenangkan dengan ucapan yang teduh, sikap yang santun, maupun pelayanan yang indah.
Kita dapat belajar dari tauladan kita, Siti Khadijah, istri Rasulullah SAW. Perannya begitu mulia dalam menghadirkan ketenangan, menguatkan Rasulullah dalam menyebarkan risalah Islam. Kisah ini terdapat dalam Shahih Bukhari, hadits ke 3,كتاب بدء الوحي . Bagaimana ketika Rasulullah SAW bertahanuts di gua Hira dan didatangi malaikat Jibril yang menyuruh beliau untuk membaca (Q.S Al-‘Alaq 1-5) yang merupakan permulaan wahyu. Dapat kita bayangkan keadaan Rasulullah saat itu yang dilanda ketakutan yang luar biasa. Ketika Rasulullah SAW pulang ke rumah dalam keadaaan rasa takut, maka Rasulpun berkata kepada Khadijah : “Selimuti aku, selimuti aku !”. Maka Khadijah pun menyelimutinya sehingga hilang rasa takutnya. Setelah Nabi menceritakan semua yang dialaminya, Nabi berkata: “Sesungguhnya aku takut atas diriku.” Kahdijah pun menjawab : “Jangan takut demi Allah, Allah tidak akan menghinakanmu selamanya.” Engkau selalu menyambung tali silaturahmi, membantu orang yang sengsara, mengusahakan keperluan yang belum ada, memuliakan tamu, menolong orang yang kesusahan karena menegakan kebenaran. Tak sampai di situ, Khadijah pun mencari kebenaran tentang apa yang dialami suaminya Rasulullah SAW kepada pamannya Waraqah bin Naufal bin Asad bin Abdul Uzza (anak paman Khadijah) yang memeluk agama Nashrani pada masa jahiliyyah saat itu. Waraqahpun membenarkan apa yang dialami Rasulullah SAW.
Betapa santun tutur kata Khadijah menenangkan hati suami yang dilanda kecemasan, bahkan Khadijahpun menguatkan apa yang dialami suaminya dengan mencari kebenarannya.
Dalam kisah lain riwayat Muslim, dikisahkan bagaimana seorang Ummu Sulaim menenangkan hati suaminya Abu Thalhah. Diriwayatkan bahwa anak Ummu Sulaim telah meninggal. Maka Ummu Sulaim berkata kepada keluarganya agar jangan memberitahukan kematian anaknya kepada suaminya, biar nanti aku sendiri yang akan memberi tahukannya. Tatkala suaminya Abu Thalhah pulang dari bepergian, Ummu Sulaimpun menyiapkan hidangan makan malam, bahkan menggauli suaminya dengan sangat baik. Setelah melihat suaminya kenyang, barulah Ummu Sulaim berkata : “Ya Abu Thalhah, bagaimana pendapatmu jika ada seorang yang meminjamkan barang kepada kita lalu dia mengambilnya, apakah engkau akan marah? Tidak, jawab Abu Thalhah. Ummu Sulaimpun berkata : “Anak kita telah meninggal, dulu Allah menitipkannya kepada kita dan Dia telah mengambilnya kembali.”
Ma Sya’-Llah, sungguh tauladan yang luar biasa. Dalam keadaan dirundung kesedihanpun Ummu Sulaim hadir menenangkan suaminya dengan memberikan pelayanan terbaik sebelum memberitakan kabar duka kematian anaknya.
Dua kisah yang menggambarkan karakter istri shalihah, pemberi ketenangan dan kesejukan bagi suaminya. Istri yang menenangkan juga akan senantiasa mengingatkan suaminya ketika ada kesalahan yang dilakukan suaminya. Karena tak ingin hilangnya sakinah, mawaddah, wa rahmah dalam rumah tangganya. Ia akan selalu mengusahakan untuk menghadirkan keridhoan Allah dalam rumah tangganya. Allah SWT berfirman :
وَٱلْمُؤْمِنُونَ وَٱلْمُؤْمِنَٰتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَآءُ بَعْضٍ ۚ يَأْمُرُونَ بِٱلْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ ٱلْمُنكَرِ وَيُقِيمُونَ ٱلصَّلَوٰةَ وَيُؤْتُونَ ٱلزَّكَوٰةَ وَيُطِيعُونَ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥٓ ۚ أُو۟لَٰٓئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ ٱللَّهُ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Artinya: “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Q.S At-Taubah [9]: 71).
Istri yang menenangkan akan memberikan keberkahan lewat lantunan doa-doanya di sepertiga malamnya, penguat perjuangan suaminya juga ujian-ujian yang dilewatinya dalam menjalani biduk rumah tangga. Istri yang menenangkan, tak hanya lisan dan perangainya yang menjadi panutan, bahkan kehadirannya akan senantiasa dirindukan sampai ajal memisahkan. Maka pantaslah karakter istri shalihah ini dapat menyelamatkannya dari siksa api neraka.
Semoga Allah menuntun kita dan menjadikan kita istri yang menenangkan, dambaan suami yang dirindukan surgaNya. Wa-Llahu a’lam bish-shawab.