بَابُ نَوَاقِضِ اَلْوُضُوءِ
Bab Pembatal Wudlu
-
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ: كَانَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللهِ عَلَى عَهْدِهِ يَنْتَظِرُونَ اَلْعِشَاءَ حَتَّى تَخْفِقَ رُؤُوسُهُمْ, ثُمَّ يُصَلُّونَ وَلَا يَتَوَضَّئُونَ. أَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُدَ وَصَحَّحَهُ اَلدَّارَقُطْنِيُّ وَأَصْلُهُ فِي مُسْلِمٍ
Dari Anas ibn Malik ra, ia berkata: “Para shahabat Rasulullah saw di zaman beliau, menunggu shalat ‘Isya sampai terkulai kepala mereka (tertidur). Mereka kemudian shalat tanpa berwudlu.” Abu Dawud mengeluarkannya. Ad-Daraquthni menshahihkannya. Asalnya ada pada riwayat Muslim.
Syarah Mufradat
Takhfiqa
Al-Hafizh Ibn Hajar mengutip penjelasan para ulama ahli bahasa sebagai berikut:
قَالَ أَهْلُ اللُّغَةِ: خَفَقَ رَأْسَهُ إِذَا حَرَّكَهُ وَهُوَ نَاعِسٌ. وَقَالَ أَبُو زَيْدٍ: خَفَقَ بِرَأْسِهِ مِنْ النُّعَاسِ: أَمَالَهُ. وَقَالَ الْهَرَوِيُّ: مَعْنَى تَخْفِقُ رُءُوسُهُمْ تَسْقُطُ أَذْقَانُهُمْ عَلَى صُدُوْرِهِمْ
Para pakar bahasa berkata: “Khafaqa ra`sahu artinya menggerak-gerakkannya ketika terkantuk/tertidur sejenak.” Abu Zaid berkata: “Khafaqa bi ra`sihi maknanya karena kantuk yaitu menundukkan kepalanya.” Al-Harawi berkata: “Takhfiqu ru`usuhum yakni dagu mengenai dada.”
Jadi makna takhfiqa ru`usuhum itu adalah menundukkan kepala saja, atau menundukkan kepala sampai mengenai dada, atau mengangguk-anggukkan kepala. Semuanya ini disebabkan mengantuk atau tertidur.
Takhrij Hadits
Hadits di atas diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dalam Sunan Abi Dawud kitab at-thaharah bab al-wudlu minan-naum no. 200; dan Imam ad-Daraquthni dalam Sunan ad-Daraquthni kitab at-thaharah bab fi ma ruwiya fin-naum qa’idan la yanqudlul-wudlu no. 486.
Al-Hafizh Ibn Hajar menyatakan dalam kitab Bulughul-Maram sebagaimana terbaca di atas “Asalnya ada pada riwayat Muslim”, sebab menurutnya—sebagaimana diuraikan dalam kitabnya yang lain; at-Talkhishul-Habir—hadits di atas banyak jalur periwayatannya (sanad). Dalam sebagian riwayat dinyatakan bahwa para shahabat tertidur sambil duduk sebagaimana dituliskannya dalam Bulughul-Maram di atas; dalam riwayat yang lain disebutkan bahwa para shahabat tidur berbaring, tetapi oleh sebagian ulama dinyatakan bahwa itu tidur sejenak bukan tidur yang nyenyak; di riwayat yang lain disebutkan bahwa para shahabat tidur sampai mendengkur pertanda tidur nyenyak. Dari semua riwayat tersebut, menurut Ibn Hajar, pada intinya adalah para shahabat tidur; ada yang tidur sambil duduk, berbaring, sambil mendengkur dan sebagainya. Inilah yang tercantum dalam riwayat Muslim, yakni pada inti (ashal)-nya para shahabat tidur.
Riwayat yang menyebutkan bahwa para shahabat tidur sambil duduk adalah riwayat yang dituliskan dalam Bulughul-Maram sebagaimana dituliskan di muka tulisan ini, yang pada jalur riwayat Imam as-Syafi’i disebutkan dengan jelas sambil duduknya:
كَانُوا يَنْتَظِرُونَ الْعِشَاءَ فَيَنَامُونَ قُعُودًا ثُمَّ يُصَلُّونَ وَلَا يَتَوَضَّئُونَ
Mereka (para shahabat) menunggu isya sampai tidur sambil duduk, lalu mereka shalat dan tidak berwudlu (at-Talkhishul-Habir 1 : 220 no. 161).
Riwayat yang menyebutkan bahwa para shahabat tidur sambil berbaring adalah riwayat Yahya al-Qaththan yang dikeluarkan oleh al-Bazzar sebagai berikut:
عَنْ أَنَسٍ قَالَ: كَانَ أَصْحَابُ النَّبِيِّ يَنْتَظِرُونَ الصَّلَاةَ فَيَضَعُونَ جُنُوبَهُمْ فَمِنْهُمْ مَنْ يَنَامُ ثُمَّ يَقُومُ إلَى الصَّلَاةِ
Dari Anas, ia berkata: “Para shahabat Nabi saw menunggu shalat. Mereka membaringkan badan mereka. Di antara mereka ada yang tidur lalu bangun dan langsung shalat (tidak berwudlu lagi).” (at-Talkhishul-Habir 1 : 220)
Sementara riwayat yang menyebutkan bahwa mereka tertidur sampai mendengkur keras—pertanda bahwa tidur mereka nyenyak dan bukan hanya terkantuk—adalah riwayat Imam at-Tirmidzi dari Anas:
لَقَدْ رَأَيْتُ أَصْحَابَ رَسُولِ اللهِ يُوقَظُونَ لِلصَّلَاةِ حَتَّى إنِّي لَأَسْمَعُ لِأَحَدِهِمْ غَطِيطًا ثُمَّ يَقُومُونَ فَيُصَلُّونَ وَلَا يَتَوَضَّئُونَ
“Sungguh aku pernah melihat para shahabat Rasulullah saw dibangunkan untuk shalat, sampai aku mendengar salah seorang dari mereka mendengkur keras. Mereka kemudian bangun lalu shalat tanpa berwudlu lagi.” (at-Talkhishul-Habir 1 : 220).
Inti (ashal) dari semua riwayat ini adalah para shahabat tidur lalu shalat tanpa berwudlu lagi. Inilah yang terdapat dalam Shahih Muslim, tepatnya dalam kitab al-haidl bab ad-dalil ‘ala anna naumal-jalis la yanqudlul-wudlu`. Berikut matan lengkapnya:
عَنْ قَتَادَةَ قَالَ سَمِعْتُ أَنَسًا يَقُولُ كَانَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللهِ يَنَامُونَ ثُمَّ يُصَلُّونَ وَلاَ يَتَوَضَّئُونَ
Dari Qatadah ia berkata: Aku mendengar Anas berkata: “Para shahabat Rasulullah saw tidur, kemudian shalat tanpa berwudlu lagi.” (Shahih Muslim kitab al-haidl bab ad-dalil annan-naum al-jalis la yanqudlul-wudlu no. 861).
Dalam bab ini, Imam Muslim mencantumkan tiga jalur periwayatan yang kesemuanya bermuara pada Anas ibn Malik. Ketiga jalur periwayatan tersebut, sebagaimana dijelaskan Imam an-Nawawi pada hakikatnya satu kesatuan karena sama-sama bersumber dari Anas ibn Malik dan diriwayatkan oleh rawi-rawi orang Bashrah, Irak. Dalam versi jalur periwayatan kembarannya disebutkan bahwa para shahabat menunggu Nabi saw sampai tertidur tersebut disebabkan Nabi saw ada keperluan yang mendadak dan mendesak kepada seorang tokoh Arab:
عَنْ ثَابِتٍ عَنْ أَنَسٍ أَنَّهُ قَالَ أُقِيمَتْ صَلاَةُ الْعِشَاءِ فَقَالَ رَجُلٌ لِى حَاجَةٌ. فَقَامَ النَّبِىُّ يُنَاجِيهِ حَتَّى نَامَ الْقَوْمُ أَوْ بَعْضُ الْقَوْمِ ثُمَّ صَلَّوْا
Dari Tsabit, dari Anas, bahwasanya ia berkata: Iqamat shalat ‘Isya dikumandangkan. Tiba-tiba ada seorang laki-laki datang dan berkata: “Aku ada keperluan mendesak kepada anda (Nabi saw).” Maka Nabi saw pun berdiri dan berbicara berdua dengannya sampai orang-orang atau sebagian besar orang-orang tertidur, kemudian mereka shalat (Shahih Muslim kitab al-haidl bab ad-dalil annan-naum al-jalis la yanqudlul-wudlu no. 862)
Di samping hadits di muka, al-Hafizh Ibn Hajar juga mencantumkan hadits-hadits lain tentang tidur dalam kaitannya sebagai pembatal wudlu ini di bagian akhir bab nawaqidlil-wudlu/pembatal wudlu Bulughul-Maram. Hadits-hadits dimaksud adalah hadits yang dijadikan dalil oleh sekelompok ulama dalam menguatkan kesimpulan bahwa tidur membatalkan wudlu, kecuali tidur sambil duduk. Hadits-hadits dimaksud tidak ditulis secara beriringan dengan hadits di muka dalam kitab Bulughul-Maram. Wal-‘Llahu a’lam apa maksud dari al-Hafizh yang tidak menuliskannya secara beriringan, padahal temanya masih sama seputar kedudukan tidur apakah membatalkan wudlu atau tidak. Hanya hemat penulis, sebaiknya hadits-hadits tersebut dicantumkan secara beriringan, agar tidak memecah fokus perhatian dalam kajian. Maka dari itu, dalam kajian syarah hadits ini, hadits-hadits dimaksud akan disajikan berikut ini agar fokus perhatian tidak terpecah.
-
وَعَنْ مُعَاوِيَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ : الْعَيْنُ وِكَاءُ السَّهِ فَإِذَا نَامَتِ الْعَيْنَانِ اسْتَطْلَقَ الْوِكَاءُ. رَوَاهُ أَحْمَدُ وَالطَّبَرَانِيُّ
Dari Mu’awiyah ra, ia berkata: Rasulullah saw bersabda: “Mata itu pengikat dubur. Apabila dua mata tertidur maka terlepaslah ikatan itu.” Ahmad dan at-Thabrani meriwayatkannya.
-
وَزَادَ: وَمَنْ نَامَ فَلْيَتَوَضَّأْ. وَهَذِهِ الزِّيَادَةُ فِي هَذَا الْحَدِيثِ عِنْدَ أَبِي دَاوُدَ مِنْ حَدِيثِ عَلِيٍّ دُونَ قَوْلِهِ: اسْتَطْلَقَ الْوِكَاءُ. وَفِي كِلَا الْإِسْنَادَيْنِ ضَعْفٌ.
Dalam riwayat at-Thabrani ada tambahan: “Dan siapa yang tidur maka hendaklah ia wudlu.” Tambahan ini dalam hadits ini pada riwayat Abu Dawud dari ‘Ali tanpa ada pernyataan: “Terlepaslah ikatan itu.” Dalam kedua sanad ini ada kelemahan.
-
وَلِأَبِي دَاوُدَ أَيْضًا عَنْ اِبْنِ عَبَّاسٍ مَرْفُوعًا: إِنَّمَا الْوُضُوءُ عَلَى مَنْ نَامَ مُضْطَجِعًا. وَفِي إِسْنَادِهِ ضَعْفٌ أَيْضًا.
Dalam riwayat Abu Dawud juga dari Ibn ‘Abbas secara marfu’: “Sesungguhnya wudlu itu bagi orang yang tidur miring (berbaring pada lambungnya). Dalam sanadnya ada kelemahan juga.
Takhrij Hadits
Hadits no. 86 diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad Ahmad bab hadits Mu’awiyah ibn Abi Suyan no. 16274. Adapun matannya:
إِنَّ الْعَيْنَيْنِ وِكَاءُ السَّهِ فَإِذَا نَامَتْ الْعَيْنَانِ اسْتُطْلِقَ الْوِكَاءُ
Sesungguhnya dua mata itu pengikat dubur. Apabila dua mata tertidur maka terlepaslah ikatan itu.
Sementara Imam at-Thabrani meriwayatkan hadits di atas dalam al-Mu’jamul-Kabir no. 16239. Matannya hampir sama dengan matan riwayat Ahmad hanya terdapat tambahan lafazh sebagaimana disebutkan dalam Bulughul-Maram no. 87 di atas:
إِنَّمَا الْعَيْنُ وِكَاءُ السَّهِ فَإِذَا نَامَتِ الْعَيْنُ انْطَلَقَ الْوِكَاءُ فَمَنْ نَامَ فَلْيَتَوَضَّأْ
Sesungguhnya mata itu pengikat dubur. Apabila mata tertidur terlepaslah ikatan itu. Maka siapa yang tidur, hendaklah ia wudlu.
Riwayat seperti at-Thabrani ini diriwayatkan juga oleh Imam Abu Dawud—sebagaimana al-Hafizh jelaskan dalam Bulughul-Maram no. 87 di atas—dalam Sunan Abi Dawud kitab at-thaharah bab al-wudlu minan-naum no. 203. Hanya shahabat yang menjadi rawi pertamanya bukan Mu’awiyah, tetapi ‘Ali ibn Abi Thalib. Dan matannya:
وِكَاءُ السَّهِ الْعَيْنَانِ فَمَنْ نَامَ فَلْيَتَوَضَّأْ
Pengikat dubur itu adalah dua mata. Maka siapa yang tidur, hendaklah ia wudlu.
Sementara hadits no. 88 dari Ibn ‘Abbas yang menyatakan keharusan wudlu hanya bagi yang tidur berbaring, dituliskan oleh Imam Abu Dawud dalam Sunan Abi Dawud no. 202.
Tiga hadits di atas—riwayat Mu’wiyah, ‘Ali ibn Abi Thalib dan Ibn ‘Abbas—menurut al-Hafizh Ibn Hajar sebagaimana disebutkan dalam Bulughul-Maram di atas, ada kelemahan, ketiga-tiganya. Hadits dari Mu’awiyah—yang matannya: Sesungguhnya mata itu pengikat dubur. Apabila mata tertidur terlepaslah ikatan itu. Maka siapa yang tidur, hendaklah ia wudlu—ada kelemahan disebabkan ada rawi yang bernama Abu Bakar ibn Abi Maryam, wa huwa dla’if; dia seorang yang dla’if (at-Talkhishul-Habir 1 : 219).
Sementara hadits ‘Ali—yang matannya: Pengikat dubur itu adalah dua mata. Maka siapa yang tidur, hendaklah ia wudlu—ada kelemahan disebabkan ada rawi al-Wadlin ibn ‘Atha` seseorang yang wahin (lemah). Ia seorang yang shaduq (jujur) tetapi sayyi`ul-hifzhi (jelek hafalan). Maka dari itu al-Mundziri, Ibnus-Shalah dan an-Nawawi menilai hadits ini hasan.Sebabnya, meski jelek hafalan, tetapi ia shaduq, dan cacat hafalannya terbantu oleh banyaknya sanad (at-Talkhishul-Habir 1 : 219).
Dalam hal ini, Syaikh al-Albani sama menilai hadits ‘Ali di atas hasan. Oleh karena itu, hadits Mu’awiyah pun statusnya terangkat menjadi hasan li ghairihi (Irwa`ul-Ghalil 1 : 148, Misykatul-Mashabih no. 315). Dengan kata lain, pernyataan al-Hafizh “pada kedua sanadnya ada kelemahan” tidak berarti dla’if, melainkan hasan. Disebut “ada kelemahan” karena memang tidak shahih, hanya hasan, tetapi bukan berarti dla’if yang tidak bisa dijadikan hujjah. Jika sama sekali tidak ada kelemahan, maka itu shahih.
Terakhir, hadits Ibn ‘Abbas yang menyatakan keharusan wudlu hanya bagi yang tidur berbaring, dinyatakan sendiri oleh Abu Dawud sebagai periwayat hadits tersebut sebagai hadits munkar, sebab ada rawi yang bernama Yazid Abu Khalid ad-Dalani. Imam Ahmad pernah mengomentarinya dengan pedas dan menyatakan bahwa ia tidak pernah sama sekali berguru hadits kepada Qatadah yang dinyatakan sebagai gurunya dalam hadits ini.
Syarah Ijmali
Kemungkinan besar al-Hafizh Ibn Hajar mencantumkan hadits no. 72 di bab pembatal wudlu dan tidak hadits yang “ashal”-nya sebagaimana diriwayatkan Imam Muslim, sebab mayoritas ulama berpegang pada hadits ini sebagai dasar ijtihad bahwa tidur membatalkan wudlu, kecuali tidur yang sejenak dan sambil duduk sebagaimana diisyaratkan hadits ini. Dengan menyatakan bahwa “ashal” hadits ini ada pada riwayat Muslim, al-Hafizh hendak menunjukkan bahwa pendapat mayoritas ulama tersebut tidak tepat. Sebab pada intinya, sebagaimana disebutkan dalam sanad Imam Muslim, tidur yang dimaksud adalah tidur secara umum; baik yang berbaring atau duduk, baik yang sejenak atau lama. Pada intinya tidur tidak membatalkan wudlu, sebab para shahabat pun langsung shalat sesudah tidur tanpa berwudlu lagi.
Kedudukan hadits Mu’awiyah dan ‘Ali (hadits no. 86-87) yang berstatus hasan dengan demikian sifatnya hanya sebagai anjuran, tidak mutlak wajib. Sebab hadits yang menyatakan mutlak wajib berwudlu bagi yang tidur berbaring—hadits no. 88 dari Ibn ‘Abbas—statusnya munkar atau dla’if cukup fatal. Hadits no. 86-87 juga tidak secara langsung menyatakan tidur membatalkan wudlu. Hanya memberitahukan bahwa orang yang tidur itu kemungkinan besar akan kentut tanpa disengaja. Jadi yang membatalkan wudlunya bukan tidurnya, melainkan kentutnya. Sehingga kalau yakin belum kentut maka tidak wudlu pun tidak jadi soal. Terlebih apa yang terjadi ketika tidur tidak ada konsekuensi hukum apa-apa, sama seperti halnya orang gila sampai ia normal dan anak kecil sampai ia dewasa. Hanya memang sebaiknya wudlu saja jika dikhawatirkan sudah kentut.
Dalam Fathul-Bari bab al-wudlu minan-naum wa man lam yara minan-na’sah wan-na’satain awil-khafqah, al-Hafizh menjelaskan bahwa secara umum pendapat fiqh seputar tidur membatalkan wudlu ini ada tiga pendapat.
Pertama, pendapat yang menyatakan bahwa tidur membatalkan wudlu secara mutlak; tidur dengan cara apapun itu. Haditsnya yang ditulis oleh Ibn Hajar dalam Bulughul-Maram no. 66, yaitu:
وَعَنْ صَفْوَانَ بْنِ عَسَّالٍ قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللهِ يَأْمُرُنَا إِذَا كُنَّا سَفْرًا أَنْ لَا نَنْزِعَ خِفَافَنَا ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ وَلَيَالِيَهُنَّ, إِلَّا مِنْ جَنَابَةٍ وَلَكِنْ مِنْ غَائِطٍ, وَبَوْلٍ, وَنَوْمٍ. أَخْرَجَهُ النَّسَائِيُّ وَاَلتِّرْمِذِيُّ وَاللَّفْظُ لَهُ, وَابْنُ خُزَيْمَةَ وَصَحَّحَاه
Dari Shafwan ibn ‘Assal ra, ia berkata: “Rasulullah saw memerintahkan kami apabila kami safar untuk tidak melepaskan sepatu-sepatu kami selama tiga hari tiga malam, kecuali jika junub. Tetapi kalau sebatas buang air, kencing, dan tidur (tidak perlu dilepas).” An-Nasa`i dan at-Tirmidzi mengeluarkannya. Tetapi lafazh hadits ini riwayat at-Tirmidzi. At-Tirmidzi dan Ibn Khuzaimah menshahihkannya.
Dalam hadits ini Nabi saw menyebutkan tidur satu paket dengan buang air besar dan kencing dalam kaitannya pembatal wudlu. Tetapi jika hendak mengusap sepatu dalam berwudlunya maka sepatu itu tidak perlu dilepas. Pendapat ini dikemukakan oleh al-Muzanni, Abu ‘Ubaid, Ishaq ibn Rahawaih, Hasan al-Bashri dan Ibnul-Mundzir. Bahkan Ibnul-Mundzir, sebagaimana dikutip oleh an-Nawawi, menyatakan bahwa pendapat ini dikemukakan juga oleh shahabat Ibn ‘Abbas, Anas dan Abu Hurairah radliyal-‘Llah ‘anhum.
Kedua, bagi ulama mayoritas, dalil yang dijadikan sandaran oleh pendapat pertama di atas di-takhshish (dibatasi/dikecualikan) oleh hadits tentang shahabat tidur sampai terkulai kepala mereka dan tidak wudlu lagi (Bulughul-Maram no. 72). Artinya, meski tidur membatalkan wudlu, dikecualikan jika tidur itu sambil duduk dan sebentar. Pendapat ini dikemukakan oleh as-Syafi’i dalam qaul jadid (fatwa terbaru)-nya. Imam al-Bukhari dan Muslim juga berpendapat yang sama sebagaimana terlihat dari tarjamah (komentar atas hadits yang diriwayatkan mereka dan dijadikan judul bab) mereka dalam kitab haditsnya.
Akan tetapi yang paling tepat adalah pendapat ketiga yang menyatakan bahwa tidur tidak membatalkan wudlu, berdasarkan uraian di atas. Hadits yang menyebutkan tidur satu paket dengan buang air besar dan kencing tidak secara jelas menyebutkannya sebagai pembatal wudlu. Yang dimaksud hadits tersebut, jika hendak wudlu sesudah tidur, sepatunya tidak perlu dilepas. Tidak ada isyarat yang tegas sama sekali dari hadits tersebut bahwa tidur membatalkan wudlu. Dari kalangan shahabat yang berpendapat seperti ini adalah Abu Musa al-Asy’ari, Ibu ‘Umar dan Sa’id ibn al-Musayyab radliyal-‘Llah ‘anhum. Wal-‘Llahu a’lam.