Umat Islam yang mengamalkan muludan (peringatan maulid/kelahiran Nabi Muhammad saw) sering mengemukakan dalil-dalil tertentu untuk menyatakan bahwa muludan termasuk sunnah yang akan diganjar pahala. Dalil-dalil tersebut dituangkan oleh beberapa ulama dari kalangan mereka dalam berbagai kitab, mulai dari Jalaluddin as-Suyuthi pada abad 9 H dalam kitabnya, Husnul–Maqshad fi ‘Amalil–Maulid, sampai Muhammad ibn ‘Alawi al-Maliki yang wafat Oktober 2004 di Makkah, melalui kitabnya Haulal-Ihtifal bi Dzikral-Maulidin-Nabawiyyis-Syarif.
Jalaluddin as-Suyuthi menulis kitab Husnul–Maqshad fi ‘Amalil–Maulid sebagai bantahan atas kitab Tajuddin al-Fakihani, seorang ulama Mesir madzhab Maliki, berjudul al-Maurid fi ‘Amalil-Maulid. Dalam kitabnya tersebut, al-Fakihani dengan tegas menyatakan bahwa muludan tidak ada dasar dalilnya. Dengan sendirinya bukan sunnah, melainkan bid’ah. Pembagian bid’ah pada lima menjadi wajib, sunnat, mubah, haram dan makruh, ditolak tegas oleh al-Fakihani. Menurutnya, bid’ah tidak mungkin wajib atau sunnat, sebab untuk dua hukum ini kriterianya harus ada “tuntutan/perintah dari pembuat syari’at”. Bid’ah juga tidak mungkin mubah, sebab dilarang Nabi saw dan ditentang oleh para ulama di setiap zaman. Pilihannya hanya haram atau makruh. Dalam kaitan muludan, menurut al-Fakihani, muludan menjadi haram ketika faktanya hanya diisi dengan pesta rakyat, bernyanyi, dan bercampur baur lelaki dan wanita. Dan muludan bisa hanya makruh jika sebatas mengeluarkan uang untuk makan-makan, sesuatu yang jelas tidak bermanfaat dalam urusan agama.[1]
As-Suyuthi membantah pendapat al-Fakihani di atas dengan menyatakan bahwa bid’ah bisa dikategorikan pada lima; wajib, sunnat, haram, makruh dan mubah. Sebab ‘Umar ibn al-Khaththab pun menegaskan bahwa bid’ah ada yang baik (dalam kasus shalat Tarawih yang disatukan dalam satu imam). Terkait muludan, menurutnya salah jika dikatakan tidak ada dasar dalilnya. Sebab dasar dalilnya itu ada, sebagaimana telah dikemukakan oleh al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani dalam salah satu fatwanya, yaitu:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رضى الله عنهما أَنَّ رَسُولَ اللهِ قَدِمَ الْمَدِينَةَ فَوَجَدَ الْيَهُودَ صِيَامًا يَوْمَ عَاشُورَاءَ فَقَالَ لَهُمْ رَسُولُ اللهِ : مَا هَذَا الْيَوْمُ الَّذِى تَصُومُونَهُ. فَقَالُوا هَذَا يَوْمٌ عَظِيمٌ أَنْجَى اللهُ فِيهِ مُوسَى وَقَوْمَهُ وَغَرَّقَ فِرْعَوْنَ وَقَوْمَهُ فَصَامَهُ مُوسَى شُكْرًا فَنَحْنُ نَصُومُهُ. فَقَالَ رَسُولُ اللهِ : فَنَحْنُ أَحَقُّ وَأَوْلَى بِمُوسَى مِنْكُمْ. فَصَامَهُ رَسُولُ اللهِ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ.
Dari Ibn ‘Abbas ra bahwasanya Rasulullah saw ketika datang ke Madinah menemukan bangsa Yahudi selalu shaum pada hari ‘Asyura. Rasul saw bertanya kepada mereka: “Hari apa yang selalu kalian lakukan shaum ini?” Mereka menjawab: “Allah menyelamatkan Musa dan kaumnya pada hari ini dan menenggelamkan Fir’aun dan kaumnya pada hari ini. Musa lalu melaksanakan shaum pada hari ini sebagai bentuk syukur, dan kami pun turut melaksanakannya.” Rasul saw kemudian bersabda: “Kami lebih berhak dan lebih dekat kepada Musa daripada kalian.” Lalu Rasulullah saw melaksanakan shaum ‘Asyura dan memerintahkan shaum tersebut.[2]
Berdasarkan hadits ini, menurut as-Suyuthi, Ibn Hajar membolehkan muludan sebagai bentuk syukur akan kelahiran Muhammad saw, sebagaimana bolehnya bersyukur atas peristiwa penting seperti peristiwa ‘Asyura di atas.
Dasar dalil yang lain, menurut as-Suyuthi, penghormatan dari Nabi saw atas hari kelahirannya dengan melaksanakan ibadah, yakni shaum Senin. Istinbath hukumnya, dalil ini menunjukkan boleh memuliakan hari kelahiran Nabi saw dengan ibadah. Berikut dalil yang dimaksud:
عَنْ أَبِى قَتَادَةَ الأَنْصَارِىِّ أَنَّ رَسُولَ اللهِ سُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ الاِثْنَيْنِ قَالَ: ذَاكَ يَوْمٌ وُلِدْتُ فِيهِ وَيَوْمٌ بُعِثْتُ أَوْ أُنْزِلَ عَلَىَّ فِيهِ
Dari Abu Qatadah al-Anshari ra, Rasulullah saw ditanya tentang shaum hari Senin, beliau menjawab: “Itu adalah hari aku dilahirkan, diutus menjadi Nabi, dan diturunkan wahyu pertama kali.”[3]
Selanjutnya as-Suyuthi mengutip pendapat para ulama yang menguatkan pendapatnya bahwa bid’ah dibagi pada lima; wajib, sunnat, haram, makruh dan mubah. Penentuan mana dari kelima hukum tersebut yang sesuai untuk muludan, menurutnya tergantung pada kegiatan dari muludan itu sendiri. Untuk kegiatan muludan yang isinya baik seperti mengenang perjuangan Rasulullah saw, maka hukumnya bid’ah hasanah/bid’ah baik dan sunnat. Tetapi yang diisi perayaan-perayaan yang melenceng dari norma Islam, maka itu bid’ah sayyi`ah/bid’ah jelek.[4]
Di samping dalil-dalil di atas, Muhammad ibn ‘Alawi al-Maliki juga mengemukakan dalil lain, yaitu bahwa Abu Lahab diringankan siksanya setiap hari Senin karena pada hari itu ia pernah membebaskan hamba sahayanya, Tsuwaibah, setelah Tsuwaibah yang kelak menjadi ibu susu Nabi saw ini memberitahukan kepadanya kelahiran Muhammad saw. Menurutnya, ini dalil yang jelas bahwa berbahagia dengan kelahiran Nabi Muhammad saw mendatangkan manfa’at yang besar, terhadap orang kafir sekalipun.
Dalil yang dimaksud, menurut Ibn ‘Alawi, termaktub dalam Shahih al-Bukhari kitab Nikah, dinukil juga oleh al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fathul-Bari, demikian juga oleh ‘Abdurrazzaq dalam Mushannafnya, al-Baihaqi dalam Dala`ilnya, dan Ibn Katsir dalam al-Bidayah wan-Nihayah. Ibn ‘Alawi mengakui bahwa status riwayat tersebut mursal/dla’if, tetapi mengingat al-Bukhari turut mengutipnya, dan masalah ini masuk kategori kisah, bukan hukum, maka menggunakan hadits dla’if dibenarkan.[5]
Dalil ‘Asyura dan Kelahiran Nabi saw
Menyikapi perbedaan pendapat dalam persoalan agama, selama itu masih berpijak pada al-Qur`an dan Sunnah, maka semua ulama madzhab sudah sepakat menyatakan haramnya taqlid, dalam artian mengikuti secara fanatik buta pendapat ulama tanpa mau meneliti ulang.[6] Di samping itu juga haram untuk bersikap takabbur/kibr yang ditandakan dengan merendahkan dan menghina ulama yang pendapatnya berbeda. Syaikhul-Islam Ibn Taimiyyah menulis satu risalah khusus dalam Majmu’ Fatawa-nya berjudul Raf’ul-Malam ‘an A`immatil-A’lam [menghilangkan celaan dari para imam-ulama], yang intinya menekankan bahwa kalaupun hendak membantah pendapat satu ulama yang pendapatnya berbeda, maka bantahlah pendapatnya saja, jangan menghina ulamanya, apalagi sampai merendahkannya dengan melupakan kebaikan dan jasa ulama tersebut. Dalam hal inilah, kita umat Islam juga diharuskan bersikap bijak dan tepat, tanpa taqlid dan takabbur ketika menyikapi perbedaan pendapat dalam keabsahan muludan.
Dua dalil tentang shaum ‘Asyura dan shaum Senin sebagaimana dikemukakan as-Suyuthi di atas, jelas sudah ada sejak Nabi Muhammad saw hidup dan dipahami dengan jelas di masa para shahabat dan generasi sesudahnya. Akan tetapi tidak sampai kemudian muncul sebuah ajaran dari Nabi saw bahwa setiap ada hari penting maka harus diperingati dengan syukur yang dikemas dalam bentuk khusus. Para shahabat dan tabi’in pun yang notabene “orangtua” kita, tidak ada yang memahami demikian. Cukup diyakini dan diamalkan seperti yang diajarkan Rasul saw saja: peristiwa ‘Asyura dengan shaum ‘Asyura, kelahiran Nabi saw/Islam dengan shaum Senin. Selebihnya, Nabi saw tidak menganjurkan diadakan peringatan rutin untuk memperingati peristiwa-peristiwa tersebut.
Masalah Perayaan dan Tasyabbuh
Perayaan peristiwa bersejarah pasti ada kaitannya dengan “keyakinan”: Kenapa harus dirayakan? Dalam hal ini maka mutlak perlu dalil. Jika alasannya sebatas karena peristiwa tersebut bersejarah, dari sejak awal tidak ada anjuran untuk merayakannya secara rutin, cukup dikenang dan dikenalkan kepada generasi selanjutnya. Terlebih ketika faktanya jelas bahwa merayakan secara khusus dan rutin hari bersejarah merupakan adat orang-orang Yahudi dan Kristen. Dalam Shahih al-Bukhari kitab al-iman bab ziyadatil-iman wa nuqshanihi dijelaskan ada seorang Yahudi datang kepada ‘Umar ibn Khaththab dan mengusulkan agar hari turunnya firman QS. al-Ma`idah [5] : 3 diperingati setiap tahun. Tetapi ‘Umar cukup menjawabnya dengan:
قَدْ عَرَفْنَا ذَلِكَ الْيَوْمَ وَالْمَكَانَ الَّذِي نَزَلَتْ فِيهِ عَلَى النَّبِيِّ وَهُوَ قَائِمٌ بِعَرَفَةَ يَوْمَ جُمُعَةٍ
“Kami sudah tahu hari dan tempat ayat itu turun, yakni ketika Nabi saw berkhutbah di ‘Arafah pada hari Jum’at.”[7]
‘Umar menjawab seperti ini, karena menurut Ibn Hajar, hari yang diusulkan Yahudi tersebut memang sudah hari ‘Id, yakni ‘Arafah dan Jum’at.[8] Meski demikian, ini jadi dalil bahwa bagi Yahudi—juga Kristen yang melanjutkan Yahudi—hari bersejarah itu harus dirayakan.
Hari kelahiran dipandang sebagai hari istimewa juga bagian dari adat Yahudi-Kristen yang memandangnya sebagai hari bersejarah seperti tampak dalam perayaan Hari Ulang Tahun/Birthday dan Natal. Dalam Islam, tidak ada satu pun dalil yang menganjurkan hal ini. Dalam kaitan ini kita harus ingat sabda Nabi saw:
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
Siapa yang menyerupai suatu kaum (di luar Islam), berarti ia bagian dari mereka.[9]
Syaikhul-Islam Ibn Taimiyyah dalam kitabnya, Iqtidla`us-Shirathil-Mustaqim, sebagaimana dikutip Imam al-‘Azhim Abadi dalam kitab ‘Aunul-Ma’bud, menjelaskan bahwa hadits ini menyiratkan haramnya tasyabbuh dengan orang kafir. Imam Ahmad ibn Hanbal di antara yang berhujjah seperti ini. Hadits ini, menurut Ibn Taimiyyah semakna dengan firman Allah swt:
۞يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَتَّخِذُواْ ٱلۡيَهُودَ وَٱلنَّصَٰرَىٰٓ أَوۡلِيَآءَۘ بَعۡضُهُمۡ أَوۡلِيَآءُ بَعۡضٖۚ وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمۡ فَإِنَّهُۥ مِنۡهُمۡۗ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَهۡدِي ٱلۡقَوۡمَ ٱلظَّٰلِمِينَ ٥١
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai wali-wali (orang yang dekat dan dicintai); sebahagian mereka adalah wali bagi sebahagian yang lain. Siapa di antara kamu menjadikan mereka sebagai wali, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zhalim (QS. al-Ma`idah [5] : 51).
Wali artinya al-mahabbah al-qarb; yang dicintai dan dekat. Demikian dijelaskan oleh Ibn Taimiyyah dalam risalahnya, al-Furqan baina Auliya`ir-Rahman wa Auliya`is-Syaithan. Orang yang merayakan peristiwa-peristiwa bersejarah yang tidak diajarkan syari’at, seperti kelahiran seorang tokoh, artinya sudah terlalu dekat, simpati, dan cinta kepada orang-orang kafir yang menjadi sumber awal perayaan tersebut. Berarti ia bagian dari mereka, meski tidak sampai kafir mutlak/murtad.
Sikap Nabi saw terhadap setiap perayaan yang menyerupai Jahiliyyah tegas menolaknya. Nabi saw juga menegaskan bahwa hari raya itu hanya dua; ‘Idul-Fithri dan ‘Idul-Adlha:
عَنْ أَنَسٍ قَالَ قَدِمَ رَسُولُ اللهِ الْمَدِينَةَ وَلَهُمْ يَوْمَانِ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا فَقَالَ: مَا هَذَانِ الْيَوْمَانِ. قَالُوا كُنَّا نَلْعَبُ فِيهِمَا فِى الْجَاهِلِيَّةِ. فَقَالَ رَسُولُ اللهِ : إِنَّ اللهَ قَدْ أَبْدَلَكُمْ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا يَوْمَ الأَضْحَى وَيَوْمَ الْفِطْرِ
Dari Anas, ia berkata: Ketika Rasulullah saw datang ke Madinah, penduduknya mempunyai dua hari yang biasa dirayakan (Nairuz dan Mihrajan). Tanya Rasul saw: “Ada apa dengan dua hari itu?” Mereka menjawab: “Kami sudah biasa merayakannya sejak zaman jahiliyyah.” Sabda Rasul saw: “Sesungguhnya Allah telah menggantikan untuk kalian dua hari tersebut dengan dua hari yang lebih baik, yaitu hari Adlha dan hari Fithri.”[10]
Imam al-A’zhim Abadi menjelaskan bahwa dua hari yang dimaksud adalah hari Nairuz dan Mihrajan. Keduanya merupakan dua perayaan Jahiliyyah. Hari Nairuz adalah hari pertama dalam perhitungan tahun bangsa Arab yang diukurkan ketika matahari berada pada pada titik bintang haml/aries. Hari Nairuz dalam perhitungan tahun matahari versi bangsa Arab sama dengan hari pertama Muharram dalam tahun berdasarkan bulan (Hijriah). Merayakan hari Nairuz artinya merayakan tahun baru matahari (Masehi). Sementara hari Mihrajan adalah hari pertengahan tahun, tepatnya ketika matahari berada pada titik bintang mizan/gemini di awal musim semi, pertengahan antara musim dingin dan panas.[11]
Ini berarti bahwa hadits di atas dengan tegas menyatakan perayaan jahiliyyah seperti tahun baru harus ditinggalkan. Hadits di atas juga hanya membatasi dua hari yang boleh dirayakan hanya pada ‘Idul-Fithri dan ‘Idul-Adlha saja.
Dalam hal ini, shahabat ‘Abdullah ibn ‘Amr sampai menyatakan:
مَنْ بَنَى بِأَرْضِ الْمُشْرِكِينَ وَصَنَعَ نَيْرُوزَهُمْ وَمِهْرَجَانَهمْ وَتَشَبَّهَ بِهِمْ حَتَّى يَمُوت حُشِرَ مَعَهُمْ يَوْم الْقِيَامَة
Siapa yang membangun rumah di negeri orang-orang musyrik, turut terlibat dalam perayaan Nairuz dan Mihrajan mereka, dan bertasyabbuh dengan mereka sampai ia meninggal, maka kelak akan dikumpulkan bersama mereka pada hari kiamat.[12]
Kalaupun alasannya sebab di masa Nabi saw peristiwa-peristiwa bersejarah masih membekas di tengah-tengah masyarakat yang jaraknya tidak jauh, sedangkan di masa berikutnya sudah cukup jauh sehingga harus diadakan peringatan khusus, maka alasan ini tidak tepat. Mengingat perayaan muludan baru ada pada abad 5 H, artinya lima abad sesudah Nabi saw wafat.[13] Jarak lima abad tersebut jelas bukan jarak yang dekat, tetapi jauh. Akan tetapi tidak ada satu pun shahabat, tabi’in, tabi’ut-tabi’in, bahkan para ulama pengasas madzhab di masa lima abad sebelumnya tersebut yang mengajarkan harus diadakan peringatan-peringatan khusus untuk peristiwa bersejarah. Sebab memang memperingati satu peristiwa tidak perlu dengan mengadakan satu peringatan khusus melalui perayaan. Cukup dengan diajarkan melalui dakwah, tarbiyah, ta’lim di sepanjang waktu, dan itulah yang diajarkan Nabi saw dan para shahabat.
Dalil tentang Abu Lahab
Hadits tentang Abu Lahab yang diringankan siksanya karena senang dengan kelahiran Nabi saw, sebenarnya tidak diriwayatkan al-Bukhari secara utuh. Dalam Shahih al-Bukhari hanya disebutkan bahwa Abu Lahab diringankan siksanya karena membebaskan Tsuwaibah yang menyusui Nabi saw. Berikut matan lengkapnya:
عن أُمِّ حَبِيبَةَ بِنْتِ أَبِي سُفْيَانَ قَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ انْكِحْ أُخْتِي بِنْتَ أَبِي سُفْيَانَ فَقَالَ أَوَتُحِبِّينَ ذَلِكِ فَقُلْتُ نَعَمْ لَسْتُ لَكَ بِمُخْلِيَةٍ وَأَحَبُّ مَنْ شَارَكَنِي فِي خَيْرٍ أُخْتِي فَقَالَ النَّبِيُّ إِنَّ ذَلِكِ لَا يَحِلُّ لِي قُلْتُ فَإِنَّا نُحَدَّثُ أَنَّكَ تُرِيدُ أَنْ تَنْكِحَ بِنْتَ أَبِي سَلَمَةَ قَالَ بِنْتَ أُمِّ سَلَمَةَ قُلْتُ نَعَمْ فَقَالَ لَوْ أَنَّهَا لَمْ تَكُنْ رَبِيبَتِي فِي حَجْرِي مَا حَلَّتْ لِي إِنَّهَا لَابْنَةُ أَخِي مِنْ الرَّضَاعَةِ أَرْضَعَتْنِي وَأَبَا سَلَمَةَ ثُوَيْبَةُ فَلَا تَعْرِضْنَ عَلَيَّ بَنَاتِكُنَّ وَلَا أَخَوَاتِكُنَّ
قَالَ عُرْوَةُ وثُوَيْبَةُ مَوْلَاةٌ لِأَبِي لَهَبٍ كَانَ أَبُو لَهَبٍ أَعْتَقَهَا فَأَرْضَعَتْ النَّبِيَّ فَلَمَّا مَاتَ أَبُو لَهَبٍ أُرِيَهُ بَعْضُ أَهْلِهِ بِشَرِّ حِيبَةٍ قَالَ لَهُ مَاذَا لَقِيتَ قَالَ أَبُو لَهَبٍ لَمْ أَلْقَ بَعْدَكُمْ غَيْرَ أَنِّي سُقِيتُ فِي هَذِهِ بِعَتَاقَتِي ثُوَيْبَةَ
Dari Ummu Habibah binti Abu Sufyan (salah seorang istri Rasulullah saw), ia berkata: “Wahai Rasulullah, nikahilah saudariku putri Abu Sufyan.” Nabi saw bertanya: “Kamu suka hal itu?” Aku (Ummu Habibah) menjawab: “Ya, aku tidak mungkin mendorong anda pada kecelakaan, dan yang paling aku inginkan bersama-sama denganku dalam kebaikan (sebagai istri Nabi saw) addalah saudariku.” Nabi saw menjawab: “Tetapi itu tidak halal bagiku (memperistri dua saudari sekaligus diharamkan QS. 4 : 23).” Aku berkata lagi: “Kami dapat kabar bahwa anda ingin menikahi putri Abu Salamah.” Nabi saw bertanya: “Putri Abu Salamah?” Aku menjawab: “Ya.” Nabi saw berkata: “Seandainya ia bukan anak tiriku (tentu halal). Tetapi ia tidak halal bagiku (haram menikahi anak tiri [QS. 4 : 23]. Ummu Salamah, sepeninggal Abu Salamah dinikahi oleh Nabi saw). Sesungguhnya ia juga termasuk anak saudara sepersusuanku. Karena Tsuwaibah sama-sama menyusuiku dan Abu Salamah. Janganlah kalian menawarkan kepadaku untuk menikahi anak-anak kalian atau saudara-saudara kalian.”
‘Urwah berkata: Tsuwaibah itu adalah maula Abu Lahab. Abu Lahab memerdekakannya lalu ia menyusui Nabi saw. Ketika Abu Lahab meninggal, sebagian keluarganya bermimpi melihat siksa yang dahsyat untuk Abu Lahab. Ia bertanya kepada Abu Lahab: “Apa yang kamu temukan?” Abu Lahab menjawab: “Tidak pernah aku bertemu sesudah kalian (kesenangan) pun, kecuali aku diberi minum pada (hari) ini karena aku pernah memerdekakan Tsuwaibah.”[14]
Yang diriwayatkan dengan bersanad shahih oleh Imam al-Bukhari hanya dari Ummu Habibah. Adapun pernyataan ‘Urwah berikutnya sebatas dicantumkan oleh al-Bukhari tanpa sanad dan mursal (tidak menyebutkan shahabat sumber riwayat), sebagai penguat bahwa Tsuwaibah itu benar-benar menyusui Nabi saw, sesudah ia dimerdekakan Abu Lahab. Abu Lahab pun konon diringankan siksaannya setelah membebaskan Tsuwaibah tersebut. Tidak ada sedikit pun celah isyarat tentang kelahiran Nabi saw (maulid) dalam Shahih al-Bukhari di atas.
Al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fathul-Bari kemudian menelusuri jalur periwayatan lain untuk lebih memperjelas maksud dari riwayat tersebut. Maka ditemukanlah riwayat as-Suhaili yang menyebutkan bahwa yang bermimpi itu adalah ‘Abbas, saudara Abu Lahab, sama-sama paman Nabi saw. Abu Lahab menyatakan pada hari ini diberi keringanan siksa, maksudnya hari Senin, ketika itu Tsuwaibah menyampaikan kabar gembira kelahiran Muhammad saw, lalu Abu Lahab pun memerdekakan Tsuwaibah saking gembiranya dengan kabar tersebut.
Akan tetapi riwayat di atas tidak bisa dijadikan hujjah pembenaran muludan disebabkan beberapa pertimbangan:
Pertama, al-Hafizh Ibn Hajar sendiri dalam Fathul-Bari dengan tegas menyatakan bahwa riwayat tersebut tidak bisa dijadikan dalil bahwa orang kafir benar-benar diringankan siksanya karena amal baiknya. Sebab amal baik orang kafir pasti hangus dan tidak akan bermanfaat meringankan siksa di akhirat berdasarkan firman Allah swt:
وَقَدِمۡنَآ إِلَىٰ مَا عَمِلُواْ مِنۡ عَمَلٖ فَجَعَلۡنَٰهُ هَبَآءٗ مَّنثُورًا ٢٣
Dan Kami hadapi segala amal yang mereka (orang-orang kafir) kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan.[15]
Dalam al-Qur`an, amal orang kafir sering disebut dengan firman Allah swt: habithat a’maluhum fid-dunya wal-akhirah (hancur semua amal baik mereka di dunia dan akhirat).
Kedua, seandainya riwayat di atas shahih tentu bisa dikompromikan dengan ayat-ayat di atas. Akan tetapi faktanya riwayat tersebut statusnya dla’if (mursal) dan tidak ada penguatnya, sehingga tidak bisa dijadikan hujjah. Yang dijadikan hujjah oleh Imam al-Bukhari sebatas Tsuwaibah yang dimerdekakan oleh Abu Lahab lalu menyusui Nabi saw. Sementara tentang Abu Lahab yang diringankan siksanya, al-Bukhari tidak menjadikannya sebagai rujukan istidlal.
Ketiga, para ulama sepakat bahwa mimpi tidak bisa dijadikan dasar ‘aqidah/syari’at.[16]
Keempat, kalaupun hadits ini hendak dipaksakan untuk dijadikan hujjah muludan, tetap keliru, sebab tidak ada sedikit pun isyarat bolehnya merayakan kelahiran Nabi saw. Hanya sebatas berbahagia. Dan memangnya siapa yang tidak bahagia dengan kelahiran Nabi saw? Semua muslim pasti berbahagia. Hanya orang kafir yang tidak berbahagia dengan kelahiran Nabi Muhammad saw. Tetapi itu tidak jadi dalil harus dirayakan setiap bulan Rabi’ul-Awwal. Orangtua-orangtua kita (shahabat, tabi’in) yang lebih tahu tentang Islam juga tidak ada satu pun yang menjadikannya dalil untuk merayakan muludan.
Dengan demikian penggunaan dalil tentang Abu Lahab ini untuk mengabsahkan muludan jelas batalnya. Wal-‘Llahu a’lam
Bid’ah Hasanah vs Dlalalah
Persoalan bid’ah apakah semuanya dlalalah ataukah ada yang hasanah dan sayyi`ah, merupakan persoalan yang selalu diperdebatkan di kalangan para penganutnya, khususnya antara madzhab Maliki, Hanbali, dengan Madzhab Syafi’i. Para ulama madzhab Syafi’i, semisal an-Nawawi, Ibn Hajar, al-Haramain/al-Juwaini. ‘Izzuddin ibn ‘Abdissalam, al-Ghazali, dan as-Syafi’i sendiri selalu menyatakan bahwa bid’ah ada yang baik (hasanah/mahmudah) dan ada yang jelek (sayyi`ah/madzmumah), tidak semuanya jelek/sesat.[17] Sementara sebaliknya dari para ulama madzhab Maliki dan Hanbali dengan tegas menyatakan semua bid’ah sesat sebagaimana disabdakan Nabi saw sendiri dalam berbagai haditsnya: Kullu bid’atin dlalalah; semua bid’ah sesat.[18]
Madzhab Syafi’i selalu berpegang pada pernyataan ‘Umar bahwa upayanya dalam menyatukan jama’ah shalat Tarawih pada satu imam adalah “bid’ah yang baik” (ni’mal-bid’atu hadzihi) sebagai dalil bahwa bid’ah tidak semuanya dlalalah. Dalil lainnya, Abu Bakar yang mengumpulkan shuhuf al-Qur`an dan ‘Utsman ibn ‘Affan yang menambahkan adzan sebelum Jum’at di pasar. Akan tetapi para ulama yang berbeda pendapat dari madzhab Syafi’i tersebut mempunyai analisa yang lebih cermat.
Pertama, terobosan baru yang dilakukan Abu Bakar, ‘Umar dan ‘Utsman sudah terjamin oleh Nabi saw sendiri terbebas dari bid’ah:
فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
Kalian mesti mengikuti sunnahku dan sunnah para khalifah yang mendapatkan hidayah dan petunjuk, peganglah ia dengan teguh dan gigitlah dengan gigi geraham. Dan jauhilah olehmu perkara yang dibuat-buat, karena setiap yang dibuat-buat itu adalah bid’ah, dan setiap bid’ah itu adalah sesat.[19]
Jaminan Nabi saw tersebut benar-benar sesuai dengan fakta kasusnya. Jika dianalisa lebih lanjut, apa yang dilakukan Abu Bakar, ‘Umar dan ‘Utsman tersebut bukan bid’ah, melainkan tetap sunnah. Apa yang dilakukan oleh Abu Bakar bukan bid’ah karena Abu Bakar sama sekali tidak menambah al-Qur`an. Urutan surat disusun sedemikian rupa pun di masa ‘Utsman bukan bid’ah sebab tidak dengan pembuatan aturan bahwa surat-surat tersebut harus dibaca berurutan tidak boleh acak. Surat-surat dalam mushhaf saat ini tetap boleh dibaca secara acak. Yang tidak boleh itu ayatnya, sebab ayat sudah disusun di masa Nabi saw berdasarkan petunjuk Jibril dan harus dibaca berurutan. ‘Umar pun demikian, shalat Tarawih berjama’ah pernah dicontohkan Rasul saw hanya memang tidak dirutinkan, sebabnya takut diwajibkan. Ketika Nabi saw wafat ketakutan itu sudah tidak ada, maka ‘Umar memutuskan berjama’ah itu sebaiknya dirutinkan. Adapun ‘Utsman menambah adzan pertama bukan bid’ah, karena bukan adzan syar’i, melainkan pengumuman untuk orang-orang di pasar saja bahwa Jum’at sudah dekat, dan jaraknya jauh berselang dari adzan syar’i di masjid. Yang bid’ah itu ketika adzan tersebut dibawa ke masjid dan dianggap sebagai syari’at yang tidak boleh ditinggalkan.
Kedua, para shahabat justru sangat benci pada setiap amal-amal ibadah yang dibuat baru dan tidak dicontohkan Nabi saw, meski itu baik. Ketika ada halaqah-halaqah dzikir di masjid yang dipandu oleh seseorang dengan aturan takbir, tahlil dan tasbih masing-masing dibaca 100 kali, Ibn Mas’ud memprotesnya dengan keras dan menyatakan bahwa amal itu sesat karena tidak mengikuti sunnah Nabi saw dan shahabat.
وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ إِنَّكُمْ لَعَلَى مِلَّةٍ هِيَ أَهْدَى مِنْ مِلَّةِ مُحَمَّدٍ أَوْ مُفْتَتِحُوْا بَابَ ضَلاَلَةٍ؟ قَالُوا وَاللهِ يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ مَا أَرَدْنَا إِلاَّ الْخَيْرَ قاَلَ وَكَمْ مِنْ مُرِيْدٍ لِلْخَيْرِ لَنْ يُصِيْبَهُ. إِنَّ رَسُوْلَ اللهِ حَدَّثَنَا أَنَّ قَوْمًا يَقْرَؤُوْنَ الْقُرْآنَ لاَ يُجَاوِزُ تَرَاقِيَهُمْ وَأَيْمَ اللهِ مَا أَدْرِي لَعَلَّ أَكْثَرَهُمْ مِنْكُمْ. ثُمَّ تَوَلَّى عَنْهُمْ.
Demi Allah, apakah kalian mengira ada dalam millah yang lebih bagus daripada millah Muhammad, ataukah justru kalian membuka pintu kesesatan?” Mereka menjawab: “Wahai Abu ‘Abdirrahman, maksud kami baik.” Jawab ‘Abdullah: “Bukankah banyak dari orang yang bermaksud baik tapi ia tidak mencapai kebaikan!? Sesungguhnya Rasulullah saw sudah mengingatkan kita akan adanya sekelompok orang yang mereka membaca al-Qur`an, tapi tidak bisa melewati tenggorokan mereka. Demi Allah, aku tidak tahu, bisa jadi kebanyakan dari kalian termasuk dari mereka.” Kemudian ia pergi meninggalkan mereka.[20]
Ketiga, maka dari itu Ibn Taimiyyah dan as-Syathibi, misalnya, secara lebih cermat membedakan mana yang masuk persoalan “agama” dan “dunia”. Jika bukan persoalan “agama” dalam wujud syari’at/ketentuan baru yang berdosa jika ditinggalkan, maka itu bukan bid’ah melainkan mashlahah mursalah (maslahat yang terlepas dari dalil). Contohnya mengumpulkan al-Qur`an, mengumumkan jum’at sudah dekat lewat adzan di luar masjid, mendirikan pesantren, dan semacamnya. Sementara jika wujudnya ketentuan baru yang dipandang berdosa ketika ditinggalkan, seperti muludan, tahlilan, maka itu muhdatsah yang baru diadakan di luar yang ditentukan al-Qur`an dan sunnah. Dalam hal ini, Nabi saw sudah jelas bersabda: Setiap muhdatsah bid’ah, dan setiap bid’ah sesat.[21] Sabda Nabi saw ini susah untuk tidak dipahami sebagai pukul rata pada semua bid’ah yang diadakan baru dari tuntunan Nabi saw sebagai sebuah kesesatan.
Akhir-akhir ini, sebagian ulama yang menyetujui muludan memang menyatakan bahwa muludan itu hanya persoalan “dunia” bukan “agama”. Maka dari itu menurut mereka jangan diperdebatkan pada wilayah sunnah atau bid’ah, melainkan mubah atau haram. Jadinya kembali pada zat hal “dunia” tersebut, apakah berisi kegiatan yang dihalalkan atau diharamkan. Akan tetapi jika pendapat ini akan dijadikan pegangan, tetap melahirkan dua problem: Pertama, pada faktanya perayaan muludan tersebut tasyabbuh kepada orang kafir. Kedua, pada faktanya juga, ketika satu peringatan khusus diyakini harus diadakan untuk memperingati satu peristiwa istimewa, meski sebatas persoalan “dunia” seperti muludan, konsekuensinya akan lahir pendapat bahwa mengamalkannya sunnah dan meninggalkannya berarti tercela. Bahkan dalam konteks muludan, meninggalkannya dinilai tidak mencintai Nabi saw, bukan Ahlus-Sunnah, dan sebagainya. Jadi pada faktanya, muludan sebagai perayaan “dunia” tetap tidak bisa tidak terikat dengan legalisasi “agama”. Dalam hal ini munculnya syari’at/ibadah baru sulit dibendung, sebab sudah meyakini adanya aturan keagamaan baru yang jika ditinggalkan tercela padahal tidak dinashkan oleh Allah swt dan Rasul-Nya. Cara membendung yang paling efektif tidak ada lagi kecuali dengan saddu dzari’ah; mengharamkan sesuatu yang halal ketika yang halal itu mendorong pada yang haram. Dalam konteks muludan maka itu ditempuh dengan cara mengharamkan (meniadakan) perayaan muludan yang dinilai halal oleh sebagian ulama, karena perayaan tersebut mendorong lahirnya syari’at/keyakinan keagamaan baru yang diharamkan.
Dari kajian di atas, jelaslah bahwa dalil-dalil yang dijadikan sandaran untuk melegalkan muludan sebagai sunnah adalah bathil. Yang benar muludan tetap bid’ah. Meski kita tidak perlu kemudian menilai para ulama madzhab Syafi’i sebagai “Ahli Bid’ah”. Yang tepat mereka para ulama yang kurang tepat dalam menentukan sunnah dan bid’ah dalam hal muludan. Hal yang sama berlaku juga untuk para pengikutnya yang mengamalkan muludan. Jangan menyinggung mereka dengan vonis “Ahli Bid’ah”, tetapi cukup dengan penilaian bahwa mereka kurang tepat dalam menempatkan sunnah dan bid’ah.
Wal-‘Llahu a’lam.
[1] al-Fakihani, al-Maurid fi ‘Amalil-Maulid, dalam Rasa`il fi Hukmil-Ihtifal bil-Maulidin-Nabawi, editor: Idarah al-Buhuts al-‘Ilmiyyah wal-Ifta, Riyadl: Dar al-‘Ashimah, 1998, juz 1, hlm. 6-14
[2] Shahih Muslim kitab as-shiyam bab shaum yaum ‘asyura no. 2714, Shahih al-Bukhari kitab as-shaum bab shiyam yaum ‘asyura no. 2004
[3] Shahih Muslim kitab as-shiyam bab istihbabis-shiyam tsalatsati ayyam no. 2804
[4] Jalaluddin as-Suyuthi, Husnul–Maqshad fi ‘Amalil–Maulid, editor: Mushthafa ‘Abdul-Qadir ‘Atha, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1985, hlm. 43-70
[5] Muhammad ibn ‘Alawi al-Maliki, Haulal-Ihtifal bi Dzikral-Maulidin-Nabawiyyis-Syarif, Makkah: al-Maktabah at-Takhashshushiyyah lir-Radd ‘alal-Wahhabiyyah, t.th., hlm. 8-10
[6] Rujuk al-Hidayah tulisan Ustadz A. Zakaria, atau Shifat Shalat an-Nabiy tulisan Syaikh al-Albani
[7] Shahih al-Bukhari kitab al-iman bab ziyadatil-iman wa nuqshanihi no. 45.
[8] Fathul-Bari kitab al-iman bab ziyadatil-iman wa nuqshanihi.
[9] Sunan Abi Dawud kitab al-libas bab fi labsis-syuhrah no. 4033. Al-Hafizh Ibn Hajar dan al-Albani menilai hadits ini hasan. Maksudnya bukan “kafir”, tetapi “seperti orang kafir”
[10] Sunan Abi Dawud kitab as-shalat bab shalat al-‘idain no. 1136 dan Sunan an-Nasa`i kitab shalat al-‘idain no. 1567
[11] ‘Aunul-Ma’bud bab shalatil-‘idain
[12] Aunul-Ma’bud kitab al-libas bab fi labsis-syuhrah. Pernyataan ini tentu hanya sebatas taghlizh (peringatan keras), seperti halnya sabda-sabda Nabi saw kepada para pelaku dosa besar yang menyebut mereka kafir.
[13] Sebuah disertasi hasil penelitian selama lima tahun terhadap perayaan maulid di berbagai negara telah ditulis oleh Nico Kaptein dan membuktikan hal tersebut. Disertasi ini diterbitkan dalam edisi Indonesia dengan judul Perayaan Hari Lahir Nabi Muhammad SAW, Jakarta: Indonesian-Netherlands Cooperation in Islamic Studies (INIS).
[14] Shahih al-Bukhari kitab an-nikah bab wa ummahatukumul-lati ardla’nakum no. 5101
[15] QS. al-Furqan [25] : 23
[16] Fathul-Bari kitab an-nikah bab wa ummahatukumul-lati ardla’nakum.
[17] Pendapat para ulama ini di antaranya dikemukakan oleh al-Hafizh dalam Fathul-Bari kitab al-i’tisham bil-kitab was-sunnah bab al-iqtida` bi sunani Rasulillah saw
[18] Shahih Muslim kitab al-jumu’ah bab takhfifis-shalat wal-khutbah no. 2042.
[19] Sunan Abi Dawud kitab as-sunnah bab fi luzum as-sunnah no. 4609
[20] Sunan ad-Darami kitab al-muqaddimah bab fi karahiyah akhdzir-ra`yi no. 204. Hadits dinilai shahih oleh al-Albani (as-Silisilah as-Shahihah 5 : 4). Pernyataan Ibn Mas’ud ini ditujukan kepada halaqah-halaqah dzikir yang dipandu oleh seseorang untuk mengucapkan tasbih 100 kali, takbir 100 kali, dan tahlil 100 kali, dengan menggunakan batu kerikil.
[21] Shahih Muslim kitab al-jumu’ah bab takhfifis-shalat wal-khutbah no. 2042