-
وَعَنْ عِيسَى بْنِ يَزْدَادَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ إِذَا بَالَ أَحَدُكُمْ فَلْيَنْتُرْ ذَكَرَهُ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ. رَوَاهُ ابْنُ مَاجَهْ بِسَنَدٍ ضَعِيْفٍ
Dari ‘Isa ibn Yazdad, dari ayahnya, ia berkata: Rasulullah—shalawat dan salam senantiasa tercurah untuknya—bersabda: “Apabila seseorang di antara kamu telah selesai buang air kecil maka hendaklah ia mengurut kemaluannya tiga kali.” Ibnu Majah meriwayatkannya dengan sanad yang lemah.
Takhrij Hadits
Ibn Majah menuliskan hadits di atas dalam kitab Sunannya kitab at-thaharah wa sunaniha bab al-istibra ba’dal-baul no. 326.
Al-Hafizh Ibn Hajar dalam kitabnya at-Talkhishul-Habir menjelaskan bahwa hadits ini diriwayatkan juga oleh Ahmad dalam Musnadnya, Ibn Majah dan al-Baihaqi dalam Sunannya, Ibn Qani’ dan Abu Nu’aim dalam kitab al-Ma’rifah, Abu Dawud dalam kitab al-Marasil, dan al-‘Uqaili dalam kitab ad-Dlu’afa. Semuanya dari riwayat ‘Isa ibn Yazdad—ada juga yang menyebut Azdad—ibn Fasa`ah al-Yamani yang menerima dari ayahnya, Yazdad/Azdad ibn Fasa`ah.
Menurut al-Hafizh, Abu Hatim berkata: Hadits ini mursal karena Yazdad bukan seorang shahabat. Ibn Hibban menyebutnya sebagai shahabat, tetapi itu dibantah oleh al-Bukhari dengan mengatakan: “Tidak shah.” Ibn ‘Addi mengategorikan dia dalam tabi’in. Ibn Ma’in berkata: “Isa dan ayahnya tidak dikenal.” Al-‘Uqaili berkata: “Ia tidak dirujuk dan tidak dikenal kecuali melalui dia.” An-Nawawi berkata dalam Syarh al-Muhadzdzab bahwa para ulama sepakat hadits ini dla’if.
Syarah Ijmali
Meski al-Hafizh Ibn Hajar menilai hadits ini dla’if, tetapi beliau menyatakan:
وَأَصْلُ الِانْتِثَارِ فِي الْبَوْلِ فِي حَدِيثِ ابْنِ عَبَّاسٍ الْمُتَّفَقِ عَلَيْهِ فِي قِصَّةِ الْقَبْرَيْنِ اللَّذَيْنِ يُعَذَّبَانِ
Asal mengurut (dzakar) sesudah kencing ada dalam hadits Ibn ‘Abbas yang disepakati keshahihannya (berdasarkan standar al-Bukhari Muslim) tentang kisah dua penghuni kubur yang disiksa.
Maksudnya, beliau mengisyaratkan bahwa hadits di atas boleh diamalkan untuk memastikan air kencing di dzakar sudah habis dan tidak akan keluar menyusul sesudah kencing selesai (biasa disebut air wadi). Sebab orang yang kencingnya tidak bersih sempurna akan menjadi salah satu penyebab siksa kubur sebagaimana diriwayatkan oleh Ibn ‘Abbas dalam riwayat al-Bukhari Muslim. Haditsnya sudah dibahas dalam syarah hadits no. 109 dan 110 sebelumnya. Dalam salah satu riwayatnya disebutkan bahwa yang disiksa dalam kubur itu salah seorangnya:
وَأَمَّا الآخَرُ فَكَانَ لاَ يَسْتَنْزِهُ مِنْ بَوْلِهِ
Yang satunya lagi ia tidak membersihkan diri dari kencingnya (Shahih Muslim kitab at-thaharah bab ad-dalil ‘ala najasatil-baul wa wujubil-istibra` minhu no. 704).
Di sini tampak pilihan ijtihad Ibn Hajar yang memilih untuk tetap ikut madzhabnya, meski hadits yang dijadikan rujukannya dla’if. Pilihan ijtihad Ibn Hajar tersebut adalah berani menyatakan hadits ini dla’if, tetapi tetap mengakui ijtihad madzhab Syafi’i seputar mengurut dzakar sesudah kencing ini. Dasar ijtihadnya, meski hadits di atas dla’if, ada syahid (penguat)-nya yaitu hadits Ibn ‘Abbas yang shahih.
Madzhab Syafi’i memang mengajarkan adab mengurut dzakar sesudah kencing sebagaimana tertulis dalam kitab al-Muhadzdzab karya as-Syirazi dan al-Wajiz karya al-Ghazali. Ini didasarkan pada ijtihad Imam as-Syafi’i yang menyatakan:
وَيَسْتَبْرِئُ الْبَائِلُ مِنَ الْبَوْلِ لِئَلاَّ يَقْطُرَ عَلَيْهِ وَأُحِبُّ إِلَى أَنْ يَسْتَبْرِئَ مِنَ الْبَوْلِ وَيُقِيْمَ سَاعَةً قَبْلَ الْوُضُوْءِ ثُمَّ يَنْثُرُ ذَكَرَهُ قَبْلَ الْاِسْتِنْجَاءِ ثُمَّ يَتَوَضَّأُ
Orang yang kencing harus membersihkan air kencingnya agar tidak ada yang menetes lagi. Saya menganjurkan agar membersihkan air kencing, lalu berdiri sejenak sebelum wudlu, kemudian mengurut dzakarnya sebelum istinja. Setelah itu baru berwudlu (al-Umm 1 : 37).
Selain mengurut dzakar, dianjurkan juga berdehem agar air kencing sisanya keluar habis dan tidak menetes kemudian. Imam an-Nawawi menjelaskan:
قَالَ أَصْحَابُنَا وَهَذَا الْأَدَبُ وَهُوَ النَّتْرُ وَالتَّنَحْنُحُ وَنَحْوُهُمَا مُسْتَحَبٌّ, فَلَوْ تَرَكَهُ فَلَمْ يَنْتُرْ وَلَمْ يَعْصِرِ الذَّكَرَ وَاسْتَنْجَى عَقِيْبَ انْقِطَاعِ الْبَوْلِ ثُمَّ تَوَضَّأَ فَاسْتِنْجَاءُهُ صَحِيْحٌ وَوُضُوْءُهُ كَامِلٌ لِأَنَّ الْأَصْلَ عَدَمُ خُرُوْجِ شَيْءٍ آخَرَ. قَالُوا وَالْاِسْتِنْجَاءُ يَقْطَعُ الْبَوْلَ فَلاَ يَبْطُلُ اسْتِنْجَاءُهُ وَوُضُوْءُهُ إِلاَّ أَنْ يَتَيَقَّنَ خُرُوْجُ شَيْءٍ. وَاحْتَجَّ جَمَاعَةٌ فِي هَذَا الْأَدَبِ بِمَا رَوَى يَزْدَادُ وَقِيْلَ أَزْدَادُ بْنُ فَسَاءَةَ
Para ulama madzhab kami (Syafi’i) berkata bahwa adab ini, yakni mengurut dzakar dan berdehem atau lainnya, adalah mustahab/sunat. Seandainya ditinggalkan, lalu seseorang tidak mengurut atau memijit dzakar, tapi ia istinja (bersuci dengan air) setelah selesai kencing dan berwudlu, maka istinjanya sah dan wudlunya pun sempurna, karena yang asal tidak ada sedikit pun yang keluar dari dzakar. Para ulama berkata: Istinja itu memutus kencing, maka istinjanya tidak batal demikian juga wudlunya kecuali jika ia yakin benar ada sedikit kencing yang keluar. Sekelompok ulama berdalil atas adab ini dengan riwayat Yazdad atau Azdad ibn Fasa`ah (al-Majmu’ 1 : 106).
Artinya adab ini dianjurkan untuk memastikan air kencing habis tidak tersisa sehingga tidak ada yang menetes sisanya menjadi air wadi. Amal ini tidak wajib diamalkan selama bisa dipastikan tidak ada air kencing sisa yang menetes. Dan tidak hanya amal ini saja yang dianjurkan, apapun bisa dilakukan untuk bisa memastikan air kencing sudah bersih tak tersisa, seperti berdehem.
-
وَعَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ النَّبِيَّ سَأَلَ أَهْلَ قُبَاءٍ فَقَالَ إِنَّ اللهَ يُثْنِي عَلَيْكُمْ فَقَالُوا: إِنَّا نُتْبِعُ الْحِجَارَةَ الْمَاءَ. رَوَاهُ الْبَزَّارُ بِسَنَدٍ ضَعِيْفٍ وَأَصْلُهُ فِي أَبِي دَاوُدَ
Dari Ibnu ‘Abbas—semoga Allah meridlai keduanya—bahwa Nabi—shalawat dan salam senantiasa tercurah untuknya—bertanya kepada penduduk Quba. Beliau bersabda: “Sesungguhnya Allah memuji kamu sekalian.” Mereka menjawab: “Sesungguhnya kami selalu menyertakan batu dengan air (dalam istinja`).” al-Bazzar meriwayatkannya dengan sanad yang lemah. Dan asalnya ada pada riwayat Abu Dawud.
-
وَصَحَّحَهُ ابْنُ خُزَيْمَةَ مِنْ حَدِيثِ أَبِي هُرَيْرَةَ بِدُونِ ذِكْرِ اَلْحِجَارَة
Ibn Khuzaimah menshahihkan riwayat ini dari hadits Abu Hurairah—semoga Allah meridlainya—tanpa menyebut istinja’ dengan batu
Takhrij Hadits
Dari dua hadits di atas, al-Hafizh Ibn Hajar hendak menunjukkan kepada kita tentang pujian Allah swt kepada penduduk Quba—sebuah perkampungan yang dekat dengan Madinah—dalam hal bersuci yang selalu menggunakan air sesudah buang air besar. Akan tetapi ada dua hadits yang meriwayatkannya: Pertama, yang menyebutkan bahwa penduduk Quba selalu menggunakan air di samping batu. Kedua, yang menyebutkan penduduk Quba selalu menggunakan air saja, tanpa batu. Dari penyajian hadits dalam Bulughul-Maram di atas, diketahui bahwa al-Hafizh hendak menunjukkan yang shahih adalah yang menyatakan menggunakan air saja, tanpa batu. Yang menyatakan menggunakan batu riwayatnya dla’if.
Penulis belum berhasil menemukan data riwayat al-Bazzar yang disebutkan al-Hafizh di atas. Untuk riwayat Abu Dawud dan Ibn Khuzaimah, matan lengkapnya sebagai berikut:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِىِّ قَالَ نَزَلَتْ هَذِهِ الآيَةُ فِى أَهْلِ قُبَاءَ (فِيهِ رِجَالٌ يُحِبُّونَ أَنْ يَتَطَهَّرُوا) قَالَ كَانُوا يَسْتَنْجُونَ بِالْمَاءِ فَنَزَلَتْ فِيهِمْ هَذِهِ الآيَةُ.
Dari Abu Hurairah ra, dari Nabi saw, beliau bersabda: Ayat ini turun pada penduduk Quba: {di sana ada orang-orang yang senang membersihkan diri—QS. at-Taubah [9] : 108}. Sabda beliau: “Mereka selalu bersuci dengan air, lalu turunlah ayat ini ditujukan kepada mereka.” (Sunan Abi Dawud kitab at-thaharah bab fil-istinja` bil-ma` no. 44)
عَنْ عُوَيْمِ بْنِ سَاعِدَةَ الْأَنْصَارِيِّ ثُمَّ الْعَجْلَانِيِّ: أَنَّ النَّبِيَّ قَالَ لِأَهْلِ قُبَاءٍ: إِنَّ اللهَ قَدْ أَحْسَنَ عَلَيْكُمُ الثَنَاءَ فِي الطُّهُورِ وَقَالَ: (فِيهِ رِجَالٌ يُحِبُّونَ أَنْ يَتَطَهَّرُوا) حَتَّى انْقَضَتِ الْآيَةُ. فَقَالَ لَهُمْ: مَا هَذَا الطُّهُورُ؟ فَقَالُوا: مَا نَعْلَمُ شَيْئًا إِلَّا أَنَّهُ كَانَ لَنَا جِيرَانٌ مِنَ الْيَهُودِ، وَكَانُوا يَغْسِلُونَ أَدْبَارَهُمْ مِنَ الْغَائِطِ، فَغَسَلْنَا كَمَا غَسَلُوا.
Dari ‘Uwaim ibn Sa’idah al-Anshari al-‘Ajlani, bahwasanya Nabi saw bertanya kepada penduduk Quba: “Sesungguhnya Allah telah baik dalam memuji kalian di seputar hal bersuci. Dia berfirman: {di sana ada orang-orang yang senang membersihkan diri} hingga akhir ayat.” Nabi saw bertanya kepada mereka: “Bersuci yang mana ini?” Mereka menjawab: “Kami tidak tahu sedikit pun kecuali tetangga kami bangsa Yahudi suka mencuci (dengan air) sesudah buang air besar, maka kami pun melakukan hal yang sama seperti mereka (Shahih Ibn Khuzaimah bab dzikr tsana`il-‘Llah ‘alal-mutathahhirin bil-ma` no. 83).
Syarah Hadits
Imam al-Ghazali dalam kitabnya, al-Wajiz—salah satu kitab fiqih yang dijadikan rujukan dalam madzhab Syafi’i—menulis dalam bab kaifiyyah al-istinja:
وَالْأَفْضَلُ أَنْ يُجْمَعَ بَيْنَ الْمَاءِ وَالْحَجَرِ
Yang paling utama itu digabungkan antara air dan batu.
Imam ar-Rafi’i dalam as-Syarhul-Kabir menjelaskan:
قَدْ أَثْنَى اللهُ تعالى عَلَى أَهْلِ قُبَاءَ بِذَلِكَ وَأَنْزَلَ فِيْهِ قَوْلَهُ تَعَالَى فِيْهِ رِجَالٌ يُحِبُّوْنَ أَنْ يَتَطَهَّرُوْا الآيَةَ وَفِيْهِ مِنْ طَرِيْقِ الْمَعْنَى أَنَّ الْعَيْنَ تَزُوْلُ بِالْحَجَرِ وَالْأَثَرَ بِالْمَاءِ فَلاَ يَحْتَاجُ إِلَى مُخَامَرَةِ عَيْنِ النَّجَاسَةِ وَهِيَ مَحْبُوْبَةٌ فَإِنِ اقْتَصَرَ عَلَى أَحَدِهِمَا فَالْمَاءُ أَوْلَى لِأَنَّهُ يَزِيْلُ الْعَيْنَ وَالْأَثَرَ وَالْحَجَرُ لاَ يَزِيْلُ إِلاَّ الْعَيْنَ والله أعلم
Sungguh Allah Ta’ala telah memuji penduduk Quba atas adab itu (menggabungkan air dan batu). Dan Dia menurunkan firman-Nya: {di sana ada orang-orang yang senang membersihkan diri} hingga akhir ayat. Secara makna mudah dipahami karena zat kotoran hilang dengan batu, sementara bekasnya hilang dengan air, sehingga tidak perlu bersentuhan langsung dengan zat najis, dan ini dianjurkan. Seandainya mau memilih salah satunya, maka air harus diprioritaskan, karena air bisa menghilangkan zat kotoran dan bekasnya. Sementara batu hanya zat kotorannya saja. Wal-‘Lahu a’lam (al-‘Aziz as-Syarhul-Kabir 1 : 150).
Karena hadits yang menerangkan pujian bagi penduduk Quba dalam hal menggabungkan air dan batu statusnya dla’if, dan yang shahih hanya yang menyebutkan air saja, maka tentu tidak bisa dijadikan hukum afdlal (lebih utama) berdasarkan dalil atau pertimbangan pahala. Pertimbangan afdlal-nya hanya sebatas logika kebersihan saja, itu pun bagi yang menyetujuinya. Sebab di zaman sekarang justru lebih praktis dan bersih bersuci dari kotoran dengan mengandalkan air saja. Wal-‘Llahu a’lam