-
عَنْ أَنَسٍ أَنَّ الْيَهُودَ كَانُوا إِذَا حَاضَتِ الْمَرْأَةُ لَمْ يُؤَاكِلُوهَا, فَقَالَ النَّبِيُّ اِصْنَعُوا كُلَّ شَيْءٍ إِلاَّ النِّكَاحَ. رَوَاهُ مُسْلِم ٌ
Dari Anas—semoga Allah meridlainya—bahwasanya kaum Yahudi, apabila ada seorang perempuan haidl, mereka tidak akan mengajaknya makan bersama. Maka Nabi—shalawat dan salam untuknya—bersabda: “Silahkan lakukan apapun kecuali nikah.” Muslim meriwayatkannya.
Hadits di atas tercatat dalam kitab-kitab hadits berikut: (1) Shahih Muslim kitab al-haidl bab jawaz ghaslil-ha`idl ra`sa zaujiha no. 720. (2) Musnad Ahmad bab musnad Anas ibn Malik no. 11904. (3) Sunan Abi Dawud kitab at-thaharah bab fi mu`akalatil-ha`idl wa mujama’atiha no. 258. (4) Sunan at-Tirmidzi abwab tafsir al-qur`an bab wa min suratil-baqarah no. 2977. (5) Sunan an-Nasa`i kitab al-haidl wal-istihadlah bab ma yanalu minal-ha`idl no. 369. (6) Sunan Ibn Majah kitab at-thaharah bab ma ja`a fi mu`akalatil-ha`idl no. 644.
Redaksi hadits dalam Bulughul-Maram di atas merupakan ringkasan dari yang lengkapnya:
عَنْ أَنَسٍ أَنَّ الْيَهُودَ كَانُوا إِذَا حَاضَتِ الْمَرْأَةُ فِيهِمْ لَمْ يُؤَاكِلُوهَا وَلَمْ يُجَامِعُوهُنَّ فِى الْبُيُوتِ فَسَأَلَ أَصْحَابُ النَّبِىِّ النَّبِىَّ فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى (وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِى الْمَحِيضِ) إِلَى آخِرِ الآيَةِ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ اصْنَعُوا كُلَّ شَىْءٍ إِلاَّ النِّكَاحَ. فَبَلَغَ ذَلِكَ الْيَهُودَ فَقَالُوا مَا يُرِيدُ هَذَا الرَّجُلُ أَنْ يَدَعَ مِنْ أَمْرِنَا شَيْئًا إِلاَّ خَالَفَنَا فِيهِ فَجَاءَ أُسَيْدُ بْنُ حُضَيْرٍ وَعَبَّادُ بْنُ بِشْرٍ فَقَالاَ يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّ الْيَهُودَ تَقُولُ كَذَا وَكَذَا. فَلاَ نُجَامِعُهُنَّ فَتَغَيَّرَ وَجْهُ رَسُولِ اللَّهِ حَتَّى ظَنَنَّا أَنْ قَدْ وَجَدَ عَلَيْهِمَا فَخَرَجَا فَاسْتَقْبَلَهُمَا هَدِيَّةٌ مِنْ لَبَنٍ إِلَى النَّبِىِّ فَأَرْسَلَ فِى آثَارِهِمَا فَسَقَاهُمَا فَعَرَفَا أَنْ لَمْ يَجِدْ عَلَيْهِمَا
Dari Anas: Sesungguhnya orang-orang Yahudi itu, apabila seorang perempuan di antara mereka haidl, mereka tidak akan mengizinkannya makan dan tinggal bersama di rumah. Para shahabat Nabi lalu bertanya kepada Nabi saw. Allah swt lalu menurunkan ayat: “Mereka bertanya kepadamu tentang haidl. Katakanlah: “Haidl itu adalah kotoran”. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidl…sampai akhir ayat (QS. al-Baqarah [2] : 222). Rasulullah saw kemudian menegaskan: “Silahkan lakukan apapun kecuali nikah.” Berita ini kemudian sampai kepada orang-orang Yahudi. Mereka pun berkata: “Lelaki ini (Nabi saw) tidak meninggalkan sedikit pun urusan kita kecuali ia ingin menyalahinya.” Usaid ibn Hudlair dan ‘Abbad ibn Bisyr lantas datang dan melaporkan: “Wahai Rasulullah saw, orang-orang Yahudi mengatakan ini dan itu. Bagaimana kalau kami diperbolehkan saja berjima’ dengan mereka (agar berbeda sepenuhnya dengan Yahudi—pen)?” Maka berubahlah wajah Rasulullah saw sehingga kami mengira beliau marah kepada kedua shahabat tersebut. Keduanya kemudian keluar. Tidak lama datang hadiah untuk Nabi saw berupa air susu. Beliau pun mengirim orang untuk mengejar kedua shahabat tersebut dan memberi mereka minum dari air susu itu. Maka kami jadi tahu bahwa beliau tidak marah kepada kedua shahabat tersebut.
Dalam riwayat Ibn Majah, sabda Nabi saw dalam hadits Anas ini redaksinya:
اصْنَعُوا كُلَّ شَيْءٍ إِلاَّ الْجِمَاعَ
“Silahkan lakukan apapun kecuali jima’.”
Demikian halnya, dalam riwayat Abu Dawud, pertanyaan kedua orang shahabat di atas, redaksinya:
أَفَلاَ نَنْكِحُهُنَّ فِى الْمَحِيضِ
“Mengapa kami tidak diperkenankan menikahi (menjima’) istri di waktu haidl?” (Imam al-‘Azhim Abadi menjelaskan: Maksudnya agar sepenuhnya berbeda dengan Yahudi [‘Aunul-Ma’bud]).
Artinya, nikah yang dimaksud dalam hadits Anas di atas bukan nikah dalam arti akad nikah, melainkan jima’/bersenggama. Dengan tidak diterimanya usulan kedua shahabat, Usaid dan ‘Abbad, di atas, menandakan bahwa jima’ dengan istri hukumnya haram selama istri haidl.
-
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ: كَانَ رَسُولُ اللهِ يَأْمُرُنِي فَأَتَّزِرُ, فَيُبَاشِرُنِي وَأَنَا حَائِضٌ. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Dari ‘Aisyah—semoga Allah meridlainya—ia berkata: “Rasulullah—shalawat dan salam untuknya—menyuruhku berpakaian menutup dari pusar ke bawah. Beliau lalu bercumbu (menyentuhkan tubuhnya) denganku. Ketika itu saya sedang haidl.” Disepakati keshahihannya.
Hadits di atas tercatat dalam kitab Shahih al-Bukhari kitab al-i’tikaf bab ghaslil-mu’takif no. 2030 dan Shahih Muslim kitab al-haidl bab mubasyaratil-ha`idl fauqal-izar no. 705.
Dalam riwayat Muslim disebutkan bahwa yang menyatakan di atas adalah ‘Aisyah dan Maimunah (no. 707). Istri Nabi saw lainnya yang menyatakan hal sama juga Ummu Salamah (as-Sunanul-Kubra al-Baihaqi bab mubasyaratil-ha`idl fima fauqal-izar no. 1492-1493). Dalam riwayat Muslim, ‘Aisyah sampai mewanti-wanti:
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ إِحْدَانَا إِذَا كَانَتْ حَائِضًا أَمَرَهَا رَسُولُ اللَّهِ أَنْ تَأْتَزِرَ فِى فَوْرِ حَيْضَتِهَا ثُمَّ يُبَاشِرُهَا. قَالَتْ وَأَيُّكُمْ يَمْلِكُ إِرْبَهُ كَمَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ يَمْلِكُ إِرْبَهُ.
Dari ‘Aisyah, ia berkata: “Salah seorang di antara kami (istri-istri Nabi saw) apabila haidl diperintah oleh Rasulullah saw untuk bersarung (kain yang dipakaikan untuk menutup tubuh dari mulai pinggang ke bawah—syarah an-Nawawi) di masa haidlnya banyak, kemudian beliau mencumbunya. Tapi siapa orangnya di antara kalian yang mampu mengendalikan nafsunya seperti Rasulullah saw?” (no. 706).
Kata yubasyiru/mubasyarah asal katanya basyarah; kulit. Maknanya, sebagaimana dijelaskan oleh Imam al-Mubarakfuri: “lamsu basyaratil-rajul basyaratal-mar`ah; menyentuhkan kulit tubuh suami pada kulit istrinya.” (Tuhfatul-Ahwadzi).
Imam an-Nawawi menjelaskan, dalam praktiknya mubasyarah itu ada tiga macam: Pertama, mubasyarah dalam makna jima’. Yang ini hukumnya jelas haram. Kedua, mubasyarah pada bagian tubuh di atas pusar dan di bawah lutut. Yang ini para ulama sepakat akan halalnya berdasarkan hadits-hadits di atas. Ketiga, mubasyarah pada bagian tubuh antara pusar dan lutut. Hukumnya haram jika sampai jima’ dan makruh jika tidak sampai jima’. Akan tetapi sebagai langkah pencegahan (saddu dzari’ah), sebagian ulama lainnya mengharamkan mutlak. Sebab Nabi saw saja yang paling bisa menjaga nafsunya selalu menyuruh istri-istrinya yang haidl memakai kain di wilayah pusar sampai lutut atau sampai ke bawah lutut ketika hendak mencumbunya (Syarah an-Nawawi ‘ala Shahih Muslim).
-
عَنِ اِبْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا, عَنِ النَّبِيِّ فِي الَّذِي يَأْتِي اِمْرَأَتَهُ وَهِيَ حَائِضٌ قَالَ: يَتَصَدَّقُ بِدِينَارٍ أَوْ نِصْفِ دِينَارٍ. رَوَاهُ اَلْخَمْسَةُ وَصَحَّحَهُ اَلْحَاكِمُ وَابْنُ اَلْقَطَّانِ, وَرَجَّحَ غَيْرُهُمَا وَقْفَهُ
Dari Ibn ‘Abbas—semoga Allah meridlai mereka berdua—, dari Nabi—shalawat dan salam untuknya—tentang orang yang mendatangi (bersetubuh dengan) istrinya ketika ia haidl, beliau bersabda: “Ia mesti shadaqah satu dinar atau setengah dinar.” Lima Imam meriwayatkannya dan al-Hakim serta Ibnul-Qaththan menshahihkannya. Sedangkan ulama lain selain mereka berdua, mengukuhkannya sebagai mauquf (pernyataan Ibn ‘Abbas).
Hadits di atas tercatat dalam kitab: (1) Musnad Ahmad bab bidayah musnad ‘Abdillah ibn ‘Abbas no. 2015, 2464, 2840, 2978. (2) Sunan Abi Dawud kitab at-thaharah bab fi ityanil-ha`idl no. 264. (3) Sunan at-Tirmidzi abwab at-thaharah bab al-kaffarah fi dzlika no. 137. (4) Sunan an-Nasa`i kitab at-thaharah bab ma yajibu ‘ala man ata halilatahu fi hali haidlatiha no. 289. (5) Sunan Ibn Majah kitab at-thaharah bab fi kaffarah man ata ha`idlan no. 640.
Hadits ini dinilai mudltharib (rancu/tidak ada kejelasan) dalam hal sanad dan matannya oleh sebagian ulama. Imam as-Syafi’i menyatakan bahwa hadits ini tidak bisa dijadikan hujjah. Imam Ibn ‘Abdil-Barr manilai hadits ini mudltharib sebagaimana hadits ‘air dua qullah’. Para ulama umumnya tidak setuju dengan penialian shahih dari al-Hakim, sehingga Ibnus-Shalah dan an-Nawawi menyatakan bahwa para ulama hadits sepakat akan kedla’ifannya (at-Talkhishul-Habir).
Meski demikian, sebagaimana tampak dalam pernyataannya di atas, al-Hafizh Ibn Hajar lebih cenderung menyetujui penilaian shahih dari al-Hakim dan Ibnul-Qaththan. Meski kemungkinannya antara marfu’ (sabda Nabi saw) atau mauquf (pernyataan Ibn ‘Abbas). Mengingat persoalan ini termasuk persoalan agama yang tidak mungkin shahabat berijtihad, maka meskipun mauquf, secara hukum tetap marfu’. Sebab tidak mungkin Ibn ‘Abbas menyatakan seperti di atas kalau tidak bersumber dari Nabi saw.
Imam Abu Dawud sendiri yang meriwayatkan hadits di atas men-tarjih (menyeleksi yang terkuat/rajih) sanad-sanad yang dinilai mudltharib antara sanad: (1) ‘Abdul-Hamid, dari Miqsam, dari Ibn ‘Abbas; (2) Abul-Hasan, dari Miqsam, dari Ibn ‘Abbas; (3) ‘Abdul-Karim, dari Miqsam, dari Ibn ‘Abbas; (4) Khushaif, dari Miqsam, dari Ibn ‘Abbas; dan (5) ‘Ali ibn Badzimah, dari Miqsam, dari Ibn ‘Abbas, dengan menyatakan:
قَالَ أَبُو دَاوُدَ هَكَذَا الرِّوَايَةُ الصَّحِيحَةُ قَالَ دِينَارٌ أَوْ نِصْفُ دِينَارٍ. وَرُبَّمَا لَمْ يَرْفَعْهُ شُعْبَةُ
Abu Dawud berkata: “Demikianlah riwayat yang shahih. Yakni sabda: ‘satu dinar atau setengah dinar’. Tetapi terkadang Syu’bah (salah satu rawi) menyatakan bahwa ini tidak marfu’.
Al-Hafizh Ibn Hajar menilai sanad hadits ini semuanya diisi perawi yang shahih. Kecuali Miqsam, yang hanya dirujuk oleh Imam al-Bukhari satu kali, itupun disertai mutabi’/rawi penguat yang lain (at-Talkhishul-Habir no. 228). Ibn Hajar sendiri menyatakan bahwa Miqsam ini shaduq wa kana yursilu; rawi yang jujur dan sering meriwayatkan mursal (Taqribut-Tahdzib). Penilaian seperti ini tidak jatuh pada dla’if. Minimalnya hasan. Maka dari itu Imam Ahmad menilai sanad ini hasan (at-Talkhishul-Habir no. 228).
Dengan demikian, alasan sebagian ulama yang menyatakan bahwa hadits ini mudltharib gugur mengingat hadits ini masih bisa di-tarjih (diseleksi mana yang lebih rajih). Sebuah hadits sah dinilai mudltharib jika memang tidak bisa di-tarjih.
Maka konsekuensinya, Syaikh al-Albani menyatakan, seorang suami yang mendatangi istrinya di waktu ia haidl harus membayar kifarat dengan shadaqah 1 dinar atau ½ dinar. Ini murni takhyir (pilihan) biasa; jika mampu 1 dinar, jika tidak ½ dinar (Irwa`ul-Ghalil no. 197). 1 dinar itu sendiri adalah emas seberat 4,5 gram.
Bagi ulama yang menilai hadits ini dla’if, konsekuensinya tidak memberlakukan adanya kifarat bagi seorang suami yang mendatangi istrinya di waktu haidl. Mengingat dalam hukum Islam asas ihtiyath/wara’ (kehati-hatian) harus dijadikan pertimbangan, hemat penulis, sebaiknya pendapat ulama yang mewajibkan kifarat lebih selamat untuk dijadikan pegangan. Tentunya dengan satu catatan, bukan berarti mendatangi istri ketika haidl jadi halal asal ada kifarat. Hukumnya tetap haram, dan kalau ternyata terjadi, dosa itu harus dihapus dengan kifarat, bukan hanya dengan taubat.
-
عَنْ مُعَاذٍ أَنَّهُ سَأَلَ النَّبِيَّ مَا يَحِلُّ لِلرَّجُلِ مِنِ امْرَأَتِهِ وَهِيَ حَائِضٌ? قَالَ: مَا فَوْقَ اَلْإِزَارِ. رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ وَضَعَّفَهُ
Dari Mu’adz—semoga Allah meridlainya—bahwasanya ia bertanya kepada Nabi saw: “Apa yang dihalalkan bagi lelaki dari istrinya ketika haidl?” Nabi—shalawat dan salam untuknya—menjawab: “Yang di atas izar (sarung).” Abu Dawud meriwayatkannya dan mendla’ifkannya.
Hadits ini ditulis dalam Sunan Abi Dawud kitab at-thaharah bab fi mubasyaratil-ha`idl no. 213. Imam Abu Dawud menyatakan laisa bil-qawiy (tidak kuat). Al-Hafizh Ibn Hajar menjelaskan karena ada rawi Baqiyyah dan Sa’id ibn ‘Abdillah, kedua-duanya majhul (tidak dikenal). Rawi lainnya, ‘Abdurrahman ibn ‘A`idz dipastikan tidak menerima langsung dari Mu’adz. Tetapi hadits ini dikuatkan oleh jalur Haram ibn Hakim yang juga diriwayatkan Abu Dawud (at-Talkhishul-Habir 1 : 431 no. 228) Syaikh al-Albani juga mendla’ifkan sanad jalur Baqiyyah tetapi menshahihkan jalur Haram ibn Hakim, sebab ia rawi yang shaduq (Shahih Sunan Abi Dawud no. 2017). Di samping itu hukum seputar hadits ini kembali pada hadits shahih dari ‘Aisyah, Ummu Salamah, dan Maimunah pada hadits no. 156 di atas.