-
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ : أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ وَلَمْ تَصُمْ؟ مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ فِي حَدِيثٍ طَوِيْلٍ
Dari Abu Sa’id—semoga Allah meridlainya—ia berkata: Rasulullah—shalawat dan salam untuknya—bersabda: “Bukankah jika ia (seorang perempuan) haidl tidak shalat dan tidak shaum?” Disepakati keshahihannya dan dikutip dari hadits yang panjang.
Hadits Abu Sa’id di atas ditulis oleh Imam al-Bukhari dalam Shahih al-Bukhari kitab al-haidl bab tarkil-ha`idl as-shaum no. 304. Potongan hadits ini dituliskan kembali oleh Imam al-Bukhari dalam kitab as-shaum bab al-ha`idl tatrukus-shaum was-shalat no. 1951 dan kitab as-syahadat bab syahadatin-nisa` no. 2658. Sementara Imam Muslim menuliskan hadits di atas dalam Shahih Muslim kitab al-iman bab bayan nuqshanil-iman bi nuqshanit-tha’at no. 250.
Matan hadits di atas adalah kutipan dari hadits panjang, berikut selengkapnya:
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ خَرَجَ رَسُولُ اللهِ فِي أَضْحَى أَوْ فِطْرٍ إِلَى الْمُصَلَّى فَمَرَّ عَلَى النِّسَاءِ فَقَالَ يَا مَعْشَرَ النِّسَاءِ تَصَدَّقْنَ فَإِنِّي أُرِيتُكُنَّ أَكْثَرَ أَهْلِ النَّارِ فَقُلْنَ وَبِمَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ تُكْثِرْنَ اللَّعْنَ وَتَكْفُرْنَ الْعَشِيرَ مَا رَأَيْتُ مِنْ نَاقِصَاتِ عَقْلٍ وَدِينٍ أَذْهَبَ لِلُبِّ الرَّجُلِ الْحَازِمِ مِنْ إِحْدَاكُنَّ قُلْنَ وَمَا نُقْصَانُ دِينِنَا وَعَقْلِنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ أَلَيْسَ شَهَادَةُ الْمَرْأَةِ مِثْلَ نِصْفِ شَهَادَةِ الرَّجُلِ قُلْنَ بَلَى قَالَ فَذَلِكِ مِنْ نُقْصَانِ عَقْلِهَا أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ وَلَمْ تَصُمْ قُلْنَ بَلَى قَالَ فَذَلِكِ مِنْ نُقْصَانِ دِينِهَا
Dari Abu Sa’id al-Khudri ra, ia berkata: Rasulullah saw keluar pada hari ‘Idul-Adlha atau ‘Idul-Fithri ke satu tempat shalat di luar masjid. Beliau lalu lewat kepada kaum perempuan dan berkata: “Wahai kaum perempuan, bershadaqahlah, sebab aku diperlihatkan bahwa kalian adalah penghuni neraka yang terbanyak.” Mereka bertanya: “Mengapa wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Kalian banyak melaknat dan kufur pada (kebaikan) suami. Aku tidak pernah melihat orang-orang yang kurang akal dan agama tapi paling mampu menundukkan hati lelaki yang keras sekalipun melainkan itu adalah salah seorang dari kalian.” Mereka bertanya lagi: “Apa yang dimaksud kami kurang akal dan agama wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Bukankah kesaksian seorang perempuan sebanding dengan setengah kesaksian seorang lelaki?” Mereka menjawab: “Iya.” Beliau mengatakan: “Itulah kurang akalnya. Dan bukankah apabila seorang perempuan haidl maka ia tidak shalat dan shaum?” Mereka menjawab: “Iya.” Beliau mengatakan: “Itulah kurang agamanya.” (Shahih al-Bukhari no. 304)
Hadits ini dengan tegas menyatakan bahwa seorang perempuan yang haidl haram shalat dan shaum. Penegasan haram shalat juga sudah disampaikan Nabi saw dalam hadits-hadits yang menjelaskan darah haidl dan istihadlah, sebagaimana sudah dibahas sebelumnya. Shaum kemudian wajib diqadla atau diganti pada hari selain Ramadlan ketika sudah suci, sementara shalat tidak. Ini berdasarkan hadits ‘Aisyah ra:
عَنْ مُعَاذَةَ قَالَتْ سَأَلْتُ عَائِشَةَ فَقُلْتُ مَا بَالُ الْحَائِضِ تَقْضِى الصَّوْمَ وَلاَ تَقْضِى الصَّلاَةَ فَقَالَتْ أَحَرُورِيَّةٌ أَنْتِ قُلْتُ لَسْتُ بِحَرُورِيَّةٍ وَلَكِنِّى أَسْأَلُ. قَالَتْ كَانَ يُصِيبُنَا ذَلِكَ فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلاَ نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلاَةِ
Dari Mu’adzah, ia berkata: Aku bertanya kepada ‘Aisyah: “Apa sebabnya perempuan yang haidl mengqadla shaum tetapi tidak mengqadla shalat?” ‘Aisyah bertanya: “Apakah kamu pengikut Haruriyyah?” Aku jawab: “Aku bukan Haruriyyah, aku hanya bertanya.” ‘Aisyah menjawab: “Dahulu ketika kami mengalami haidl, kami diperintah mengqadla shaum, tetapi tidak diperintah mengqadla shalat.” (Shahih Muslim kitab al-haidl bab wujub qadla`is-shaum ‘alal-ha`idl no. 798).
Haruriyyah yang dimaksud adalah kelompok Khawarij yang berani mengkafirkan umat Islam termasuk shahabat dan mewajibkan perempuan haidl mengqadla shalat. Mereka berkumpul di Harura, satu tempat dekat Kufah, Irak. Sehingga mereka disebut Haruriyyah oleh para shahabat (Syarah an-Nawawi ‘ala Shahih Muslim)
-
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ: لَمَّا جِئْنَا سَرِفَ حِضْتُ, فَقَالَ النَّبِيُّ اِفْعَلِي مَا يَفْعَلُ الْحَاجُّ غَيْرَ أَنْ لاَ تَطُوفِي بِالْبَيْتِ حَتَّى تَطْهُرِي. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ فِي حَدِيثٍ طَوِيْلٍ
Dari ‘Aisyah—semoga Allah meridlainya—ia berkata: Ketika kami tiba di Sarif, saya haidl. Maka Nabi—shalawat dan salam untuknya—bersabda: “Lakukanlah semua yang harus dilakukan oleh orang yang beribadah haji, tetapi jangan kamu thawaf di Baitullah hingga kamu suci.” Disepakati keshahihannya dalam sebuah hadits yang panjang.
Hadits ‘Aisyah ini diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Muslim dalam kitab Shahih mereka, yakni Shahih al-Bukhari kitab al-haidl bab taqdlil-ha`idl manasik kullaha illat-thawaf no. 305 dan Shahih Muslim kitab al-hajj bab wujuhil-ihram no. 2977. Hadits panjang yang dimaksud al-Hafizh Ibn Hajar di atas adalah:
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ خَرَجْنَا مَعَ النَّبِيِّ لَا نَذْكُرُ إِلَّا الْحَجَّ فَلَمَّا جِئْنَا سَرِفَ طَمِثْتُ فَدَخَلَ عَلَيَّ النَّبِيُّ وَأَنَا أَبْكِي فَقَالَ مَا يُبْكِيكِ قُلْتُ لَوَدِدْتُ وَاللَّهِ أَنِّي لَمْ أَحُجَّ الْعَامَ قَالَ لَعَلَّكِ نُفِسْتِ قُلْتُ نَعَمْ قَالَ فَإِنَّ ذَلِكِ شَيْءٌ كَتَبَهُ اللَّهُ عَلَى بَنَاتِ آدَمَ فَافْعَلِي مَا يَفْعَلُ الْحَاجُّ غَيْرَ أَنْ لَا تَطُوفِي بِالْبَيْتِ حَتَّى تَطْهُرِي
Dari ‘Aisyah, ia berkata: Kami keluar bersama Nabi saw. Kami tidak berniat apapun selain untuk haji. Ketika kami datang ke Sarif (satu lembah yang berjarak + 18 km dari Masjidil-Haram—pen), aku haidl. Ketika Nabi saw menemuiku, aku sedang menangis. Beliau bertanya: “Apa yang menyebabkanmu menangis?” Aku jawab: “Demi Allah, sungguh aku tidak bisa haji pada tahun ini.” Nabi saw bertanya: “Apakah kamu nifas/berdarah/haidl?” Aku jawab: “Ya.” Beliau bersabda: “Sungguh itu adalah taqdir yang sudah Allah tetapkan untuk anak-anak perempuan Adam. Kerjakan olehmu semua yang dikerjakan oleh yang beribadah haji, kecuali thawaf di Baitullah sehingga kamu suci.” (Shahih al-Bukhari no. 305)
Berdasarkan hadits ini berarti tidak ada pantangan bagi perempuan yang haidl untuk beribadah haji selain thawaf di Baitullah/Ka’bah. Meski sa’i antara Shafa dan Marwah juga disebut thawaf oleh al-Qur`an (surat al-Baqarah [2] : 158), tetapi Nabi saw tidak melarangnya. Hal ini berbeda tentunya dengan shalat dan shaum yang dilarang sama sekali. Larangan thawaf di Baitullah itu sendiri berlaku karena terlarang masuk masjidnya dan kedudukan thawafnya yang seperti shalat, dimana salah satu syaratnya harus sedang suci. Ibn ‘Abbas menyampaikan sebuah hadits:
الطَّوَافُ حَوْلَ البَيْتِ مِثْلُ الصَّلَاةِ، إِلَّا أَنَّكُمْ تَتَكَلَّمُونَ فِيهِ، فَمَنْ تَكَلَّمَ فِيهِ فَلَا يَتَكَلَّمَنَّ إِلَّا بِخَيْرٍ
Thawaf mengelilingi Baitullah/Ka’bah itu seperti shalat, kecuali kalian diperbolehkan berbincang-bincang pada thawaf. Maka siapa yang hendak berbincang-bincang janganlah ia berbincang-bincang kecuali dengan baik (Sunan at-Tirmidzi abwab al-hajj bab ma ja`a fil-kalam fit-thawaf no. 960).
Hadits di atas diriwayatkan oleh Imam at-Tirmidzi secara marfu’ dari sabda Nabi saw dan mauquf dari pernyataan Ibn ‘Abbas. Menurut Imam an-Nawawi, yang shahih adalah yang mauquf dari pernyataan Ibn ‘Abbas. Meski demikian menurutnya, jika pernyataan shahabat sudah tersebar dan tidak ada penolakan dari yang lain, maka itu bisa dijadikan dalil (Syarah an-Nawawi ‘ala Shahih Muslim bab ma yalzamu man thafa bil-bait).
Dalam kaitan larangan masuk masjid itu pula, mengingat Shafa dan Marwah saat ini sudah masuk bagian Masjidil-Haram, berarti terlarang juga thawaf/sa’i antara Shafa dan Marwah bagi perempuan yang haidl.
-
عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ: كَانَتِ النُّفَسَاءُ تَقْعُدُ فِي عَهْدِ رَسُولِ اللهِ بَعْدَ نِفَاسِهَا أَرْبَعِينَ. رَوَاهُ الْخَمْسَةُ إِلاَّ النَّسَائِيَّ وَاللَّفْظُ لِأَبِي دَاوُدَ
Dari Ummu Salamah—semoga Allah meridlainya—ia berkata: “Perempuan-perempuan yang nifas (berdarah sesudah melahirkan) pada zaman Rasulullah saw duduk sesudah nifasnya selama 40 hari.” Lima Imam meriwayatkannya kecuali an-Nasa`i (Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi, dan Ibn Majah). Lafazh hadits ini dari riwayat Abu Dawud.
-
وَفِي لَفْظٍ لَهُ: وَلَمْ يَأْمُرْهَا النَّبِيُّ بِقَضَاءِ صَلاَةِ النِّفَاسِ. وَصَحَّحَهُ الْحَاكِمُ
Dalam lafazh riwayat Abu Dawud tersebut disebutkan juga: “Nabi saw tidak memerintah mengqadla shalat nifas.” Al-Hakim menshahihkannya.
Hadits no. 161 tertulis dalam kitab Musnad Ahmad bab hadits Ummi Salamah no. 25350, 25372, 25378, 25420; Sunan Abi Dawud kitab at-thaharah bab ma ja`a fi waqtin-nufasa` no. 311; Sunan at-Tirmidzi abwab at-thaharah bab ma ja`a fi kam tamkutsun-nufasa` no. 139; dan Sunan Ibn Majah kitab at-thaharah bab an-nufasa` kam tajlisu no. 128.
Sementara hadits no. 162 tertulis dalam Sunan Abi Dawud kitab at-thaharah bab ma ja`a fi waqtin-nufasa` no. 312 dan al-Mustadrak al-Hakim kitab at-thaharah no. 622. Pernyataan Ummu Salamah di atas sebagai jawaban atas pernyataan Mussah yang mengkonfirmasi pendapat Samurah ibn Jundub bahwa perempuan nifas harus mengqadla shalat.
Terkait fiqih hadits di atas, Imam at-Tirmidzi menjelaskan dalam kitab Sunannya:
وَقَدْ أَجْمَعَ أَهْلُ العِلْمِ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ وَالتَّابِعِينَ وَمَنْ بَعْدَهُمْ عَلَى أَنَّ النُّفَسَاءَ تَدَعُ الصَّلَاةَ أَرْبَعِينَ يَوْمًا إِلَّا أَنْ تَرَى الطُّهْرَ قَبْلَ ذَلِكَ فَإِنَّهَا تَغْتَسِلُ وَتُصَلِّي. فَإِذَا رَأَتِ الدَّمَ بَعْدَ الأَرْبَعِينَ فَإِنَّ أَكْثَرَ أَهْلِ العِلْمِ قَالُوا: لَا تَدَعُ الصَّلَاةَ بَعْدَ الأَرْبَعِينَ، وَهُوَ قَوْلُ أَكْثَرِ الفُقَهَاءِ وَبِهِ يَقُولُ سُفْيَانُ الثَّوْرِيُّ وَابْنُ المُبَارَكِ وَالشَّافِعِيُّ وَأَحْمَدُ وَإِسْحَاقُ. وَيُرْوَى عَنِ الحَسَنِ البَصْرِيِّ أَنَّهُ قَالَ: إِنَّهَا تَدَعُ الصَّلاَةَ خَمْسِينَ يَوْمًا إِذَا لَمْ تَرَ الطُّهْرَ. وَيُرْوَى عَنْ عَطَاءِ بْنِ أَبِي رَبَاحٍ وَالشَّعْبِيِّ سِتِّينَ يَوْمًا
Para ulama dari kalangan shahabat, tabi’in, dan generasi berikutnya telah ijma’/sepakat bahwa perempuan-perempuan yang nifas meninggalkan shalat selama 40 hari, kecuali jika mereka sudah suci sebelum 40 hari itu, maka perempuan itu harus mandi dan kembali shalat. Jika seorang perempuan masih keluar darah nifas sesudah 40 hari, maka mayoritas ulama berpendapat tidak boleh meninggalkan shalat selepas 40 hari. Ini adalah pendapat mayoritas fuqaha, di antaranya Sufyan ats-Tsauri, Ibnul-Mubarak, as-Syafi’i, Ahmad, dan Ishaq. Diriwayatkan dari al-Hasan al-Bashri bahwa ia berkata: Perempuan meninggalkan shalat selama 50 hari jika ia masih belum suci. Diriwayatkan juga dari ‘Atha` ibn Abi Rabah dan as-Sya’bi selama 60 hari.
Apa yang dipegang oleh mayoritas ulama tentu lebih tepat dan selamat, sebab di zaman Nabi saw pun sangat mungkin ada perempuan yang masih berdarah nifas selepas 40 hari, tetapi masa diperbolehkan meninggalkan shalatnya tetap 40 hari. Jadi masa 40 hari ini adalah batasan maksimal. Adapun masa minimalnya tergantung pada berhenti darahnya. Sama seperti halnya perempuan yang haidl, perempuan yang nifas pun tidak ada kewajiban mengqadla shalat. Sementara mengqadla shaum tetap wajib berdasarkan hadits ‘Aisyah di atas. Wal-‘Llahu a’lam.