Sebuah Kritik Imam al-Ghazali Terhadap Ulama-Fuqaha
Kondisi Ulama di Masa al-Ghazali
Di antara faktor penyebab kekalahan umat Islam pada abad ke-5 H dari serangan tentara Salib Eropa terhadap kaum muslimin pada saat itu, adalah karena rusaknya worldview (cara pandang; pola pikir) umat Islam. Rusaknya cara dan pola pikir umat Islam, diindikasikan dengan munculnya perpecahan dan perselisihan antar mazhab yang berkembang pada saat itu. Latar belakang munculnya mazhabisme tersebut, secara umum diterangkan oleh Majid Kailani sebagai berikut:
Pada awal perkembangannya, kelompok-kelompok (mazhab) ini hanya merupakan madrasah (institusi) intelektual, seperti Madrasah Sufyan ats-Tsauri, Madrasah Abu Hanifah, Madrasah Syafi’i dan Madrasah Ahmad bin Hanbal. Madrasah-madrasah tersebut lebih mencerminkan bidang-bidang spesialisasi dalam kerangka risalah Islam yang satu dan antara kebanyakan tokoh utamanya terjalin hubungan guru dan murid yang saling mencintai dan menghormati. Fungsi utama madrasah-madrasah tersebut adalah membangun berbagai macam sistem yang akan diimplementasikan dalam institusi sosial, kultur, pemerintahan, ekonomi, dan lain-lain. Namun, pada fese-fase berikutnya, madrasah-madrasah intelektual tersebut berubah menjadi mazhab yang serupa dengan partai atau kelompok (jama’ah) yang ada di zaman sekarang.[1]
Dampak negatif dari mazhabisme tersebut menyebabkan tradisi taklid dan jumud berkembang pada paruh kedua abad ke-5 H ini. Dimana setiap mazhab mengklaim bahwa golongannya adalah satu-satunya representasi kebenaran, sehingga patut untuk diikuti dan disebarluaskan ajarannya. Bahkan tidak sampai disana, sikap ujub dan menganggap dirinya sebagai satu-satunya yang terkategori ahlu sunnah wa al-jama’ah, acapkali muncul dari para pengikut mazhab.
Parahnya, fanatisme mazhab ini tidak berhenti hanya pada masyarakat awam, tapi berlanjut pada para ulama yang dijadikan rujukan oleh umat saat itu. Berikut adalah Muhammad bin Musa al-Bilasa’uni, salah satu contoh ulama yang kefanatikannya dipotret oleh Ibnu Katsir dalam al-Bidāyah wa an-Nihāyah:
Muhammad bin Musa al-Bilasa’uni (w. 506 H) dikenal dengan sebutan ad-Dimasyqi, memegang jabatan hakim (qādhi) di wilayah Baitul Maqdis kemudian wilayah Damaskus. Dia adalah seorang pengikut mazhab Hanafi yang sangat fanatik, sehingga pernah mengatakan, “Seandainya aku menjadi gurbernur, maka aku akan menetapkan jizyah kepada pengikut mazhab Syafi’i.[2]
Kejadian di atas, tidak hanya menimpa mazhab hanafi saja, tapi hampir semua mazhab pun terjebak pada fanatisme sektarian. Hal itu, menurut Majid Kailani, orientasi para tokoh mazhab berpaling dari tujuan menegakan agama Islam berubah menjadi menegakan kepentingan otoritas dan hegemoni tokoh-tokoh mazhab. Rusaknya niat para ulama yang tergabung dalam formalitas mazhab disebabkan dua faktor:
Pertama: persaingan anatara tokoh-tokoh mazhab untuk menjalin hubungan lebih dekat dengan sultan (penguasa) dan para elit kekuasaan. Setiap mazhab berusaha menjatuhkan rivalnya dan memonopoli jabatan dan kedudukan di dalam pemerintahan.
Kedua: bagi orang-orang yang oportunis (ingin memperoleh keuntungan sendiri), bergabung dengan mazhab merupakan sebuah batu loncatan untuk mewujudkan hasrat nafsunya. Maka tidak mengherankan jika banyak orang yang tidak segan untuk pindah dari suatu mazhab ke mazhab lain sesuai peluang yang dapat menguntungkan dirinya.[3]
Ibnu Aqil -sebagaimana yang dikutip Ibnul Zauji- menceritakan bagaimana fenomena mazhab dijadikan alat untuk meraih kepentingan duniawi. Ibnu Aqil mengatakan bahwa masyarakat pada saat itu berprilaku hanya untuk meraih kepentingan pragmatis semata. Pada masa rezim Abu Yusuf banyak orang yang berusaha menjadi ahli Qur’an dan memusuhi pengikut-pengikut Abdush Shamad, serta banyak orang yang giat mempelajari fiqih mazhab Hanbali. Namun saat Abu Yusuf meninggal dunia, lalu beralih pada rezim Ibnu Juhair, keadaan itu berubah; banyak orang-orang yang mulai merapat dan mendekati Ibnu Juhair untuk meraih hatinya. Kondisi itu pun berubah kembali, saat Nizham al-Mulk berkuasa. An-Nizham al-Mulk adalah penguasa yang dekat dan mengagumi mazhab Asy’ari, kondisi seperti itu membuat orang banyak berubah haluan dan lebih bersimpati kepada mazhab Syafi’i. Berikut pengakuan Ibnu ‘Aqil:
ثم جاءت الدولة النظام، فعظم الأشعرية، فرأيت مَنْ كان يتسخط علي بنفي التشبيه غلواً في مذهب أحمد،
Kemudian datanglah Daulah an-Nidzamiyyah yang kagum terhadap mazhab Asy’ariyyah, maka aku melihat orang-orang membenci diriku dengan maksud agar tidak terindikasi sebagai pengikut mazhab Hanbali.[4]
Al-Ghazali dan Ralitas Yang Dihadapinya
Al-Ghazali hidup dengan situasi kondisi seperti yang dikemukakan di atas. Yang menurut Saeful Anwar, bahwa problem utama yang dihadapi al-Ghazali adalah problem politik (imamah) dan teologi (usul) yang muncul sebelum al-Ghazali Hidup.[5] Sehingga dalam situasi seperti itu, dunia Kristen Eropa mulai melancarkan perang Salib di Timur, sehingga mereka berhasil mengguncang Syiria dan mendirikan kerajaan-kerajaan Kristen Latin di Baitul Maqdis, Antiocia, Tarabils, dan Ruha sejak 450 H/ 1098 M, setelah melakukan penghancuran, penyiksaan, dan penyembelihan lebih dari seratus ribu umat Islam.[6] Sedangkan pada saat yang sama, al-Ghazali memilih mundur dan uzlah (mengasingkan diri) dari realitas yang dihadapinya.
Sikap acuh terhadap realitas yang hendak dihadapi al-Ghazali, menurut Saeful Anwar dikarenakan kekecewaanya terhadap para sultan dan ulama jahat (‘ulamā sū’) yang terjerat oleh sikap hubb ad-dunya (gila dunia) dan nafsu syahwat.[7]
Sikap para penguasa dan para ulama yang lebih mementingkan hawa nafsunya, sedikit banyak mempengaruhi aspek-aspek sosial dan ketidak-stabilan politik. Sehingga, para ahli sejarawan mencatat pada masa al-Ghazali hidup, realitas sosio-politik kacau balau.
Hal itu dicatat oleh Ibnu Atsir bahwa pada tahun 482 H, secara umum Bagdad tertimpa fitnah (kerusakan) yang sangat mengerikan. Tepatnya di bulan Safar, di Kawasan Babul Bashrah, al-Karkh, terjadi kerusuhan-kerusuhan; pembunuhan, penjarahan, pemboikotan pasar, dan mushaf-mushaf diangkat sambil membawa dua pakaian yang berdarah. Bahkan pada tahun ini juga terjadi kerusuhan antara penduduk al-Karkh dengan penduduk al-Mahalli, sehingga menyebabkan banyak orang yang terbunuh, rumah-rumah terbakar, dan bahkan para pejabat yang bersantai-santai dikamarnya ikut diserang.[8]
Sebetulnya, sikap acuh al-Ghazali yang dikatakan Saeful Anwar, tidak berarti apriori terhadap persoalan umat yang tengah dihadapi. Akan tetapi, al-Ghazali sedang melakukan semisal evaluasi diri dan umat, yang dalam istilah Majid disebut dengan al-insihab untuk mempersiapkan gerakan ishlāh. Konsep al-insihab –sebagaimana yang dijelaskan Majid- setidaknya ada dua poin untuk menciptakan gerakan ishlāh:
Pertama, mengevaluasi semua pemikiran, keyakinan, dan persepsi yang diterima dari masyarakatnya saat itu yang penuh denga berbagai mazhab dan aliran yang saling bertentangan dengan spirit al-Qur’an dan as-Sunnah. Kedua, mengevaluasi kecenderungan jiwa dan tujuan sebenarnya yang didapatkan selama menjalani aktivitas mazhab.[9]
Kelemahan spiritual inilah yang disebut Adian Husaini, menjadi titik sasaran al-Ghazali untuk membangun gerakan reformasi moral dan jiwa umat, yang 50 tahun kemudian, lahir sosok Nuruddien Zengi dan Shalahuddien yang dapat mengalahkan tentara Salib dan merebut Jerusalem ke pangkuan umat Islam.[10]
Kritik al-Ghazali
Al-Ghazali mendiagnosa penyakit dan kelemahan suatu masyarakat disebabkan rusaknya misi para ulama. Berikut pemaparan al-Ghazali dalam kitab ihyā-nya.
فرأى أهل تلك الأعصار عز العلماء وإقبال الأئمة والولاة عليهم مع إعراضهم عنهم فاشرأبوا لطلب العلم توصلا إلى نيل العز ودرك الجاه من قبل الولاة فأكبوا على علم الفتاوى وعرضوا أنفسهم على الولاة وتعرفوا إليهم وطلبوا الولايات والصلات منهم فمنهم من حرم ومنهم من أنجح والمنجح لم يخل من ذل الطلب ومهانة الابتذال فأصبح الفقهاء بعد أن كانوا مطلوبين طالبين وبعد أن كانوا أعزة بالإعراض عن السلاطين أذلة بالإقبال عليهم إلا من وفقه الله تعالى
Masyarakat pada saat itu menyaksikan kemuliaan para Ulama, sementara para penguasa berusaha keras merekrut mereka meski mereka menolaknya. Maka banyak orang yang kemudian giat mencari ilmu dengan tujuan mencapai martabat tinggi dan kehormatan dari para penguasa. Mereka sangat bersungguh-sungguh mempelajari fatwa lalu menawarkan diri di hadapan penguasa, mendekati mereka, mengharapkan kekuasaan, dan menjalin hubungan baik dengan mereka. Sebagian mereka ada yang gagal, dan sebagian mereka ada yang berhasil. Mereka yang berhasil tidak terlepas dari kehinaan meminta-minta dan kenistaan pengorbanan. Maka para ulama-fuqaha berubah, yang semula diminta menjadi meminta-minta; yang dulunya mereka mulia karena menolak kehendak para penguasa, kini mereka terhina dengan menerima kehendak mereka, kecuali ulama yang Allah berikan hidayah.[11]
Dari sini, al-Ghazali mengklasifikasi ulama menjadi dua bagian, yaitu ‘ūlamā’ al- ākhirah dan ‘ūlamā’ ad-dunyā. Ulama akhirat adalah ulama yang di dalam hatinya kosong dari tujuan-tujuan duniawi. Sebaliknya, ulama dunia adalah ulama yang hatinya dipenuhi dengan motif-motif duniawi.
Bila dikaitkan dengan realitas hari ini, asatidz, kiyai, ulama, dan ajengan, yang menjadikan majlis-majlis ilmu, jadwal-jadwal khatib, dan semisalnya sebagai ladang penghidupan adalah masuk dalam kategori ulama dunia. Terlebih jika mendikotomikan antara masjid air mata dan masjid mata air dengan membedakannya dari segi prioritasnya; yang satu selalu dibadalkan, yang satu lagi selalu didahulukan, maka termasuk ulama duniawi yang dikategorikan al-Ghazali.
Bahkan tidak hanya sampai di sana, al-Ghazali mengkritik ulama-fuqaha yang hanya menganggap fiqih adalah wilayah luaran (eksoteris), tanpa menganggap penting hal-hal yang bersifat inti (esoteris).
Menurut al-Ghazali, para ulama-fuqaha hanya membahas fiqih dari aspek sah dan tidaknya suatu ibadah. Sedangkan aspek hati, keluar dalam wilayah bahasan ulama-fuqaha. Dalam hal shalat, misalnya, ulama-fuqaha akan berfatwa bahwa orang yang melaksanakan shalat, yang secara dzahirnya telah memenuhi syarat dan rukun shalatnya, meski ia lalai dalam shalatnya, maka tetap shalatnya akan dihukumi sah. Padahal khusyu dan menghadirkan hati dalam shalat adalah termasuk amalan bathin yang berpengaruh pada amalan dzahir, tidak nampak dalam padangan ulama-fuqaha.[12]
Ulama-fuqaha tidak pernah membahas tentang bagaimana memelihara hati dan mengamalkannya, dia hanya membahas sampai pada mengkritik dari sisi ke’adalahan rawinya saja.[13]
Kondisi ulama-fuqaha di masa al-Ghazali seratus delapan puluh derajak bertolak belakang dengan kondisi ulama-fuqaha salaf. Di antara ciri ulama-fuqafa salaf, mereka tidak hanya terjebak dalam formalitas fiqih saja, akan tetapi mereka pun menyibukan diri dengan ilmu jiwa (semisal tazkiyatun nufus) dan ilmu-ilmu yang dapat menghantarkan hambanya lebih dekat terhadap Allah azza wa jalla.
Imam Syafi’i misalnya, disamping sebagai ulama fiqih, juga termasuk ulama ahli ibadah; beliau menjadikan malamnya menjadi tiga bagian, sepertiga pertama dihabiskan dengan ilmu, sepertiga kedua dihabiskan untuk shalat, dan sepertiga ketiga dihabiskan untuk tilawah al-Qur’an; imam Syafi’i tatkala shalat tahajud, minimal membaca 50 ayat pada setiap rakaatnya, dan maksimalnya 100 ayat dalam rakaatnya; dan imam Syafi’i selama 16 tahun belum pernah mencicipi bagaimana kenyangnya makan dan minum, karena khawatir jika kenyang badan akan menjadi berat, hati menjadi keras, mudah mengantuk, dan berat untuk melaksanakan ibadah.[14]
Konklusi
Dari pemaparan di atas, al-Ghazali melalui kritikan dan melalui karya-karyanya seperti ihya ulumuddien, risalah ayyuhal walad, dan minhajul abidin, ingin memberi pesan bahwa ilmu jangan hanya sekedar tahu. Maka dengan hadirnya Majalah Islam Digital Tafaqquh, moga bukan sekedar mengkaji ilmu, namun mampu menebar amal. WaLlahu A’lam
Penulis : Saeful Ja’far Shidiq
[1] Majid Irsan al-Kailani, Hakadzā Dzahara Jailu Shalāhi ad-Dīn wa Hakadzā ‘Ādat al-Quds, Dubai: Darul Qalam, 2002, Hlm. 39. Kitab ini telah diterjemahkan ke dalam versi bahasa Indonesia dengan judul “Misteri Masa Kelam Dan Kegemilangan Perang Salib”, penerbit Kalam Aulia Media Tama, Pondok Gede Bekasi, cetakan tahun 2007.
[2] Ibnu Katsir, al-Bidāyah wa an-Nihāyah, Riyadh: Hijr, 1997, hlm. 217.
[3] Majid Irsan al-Kilani, Misteri Masa Kelam Islam dan Kemenangan Perang Salib, Bekasi: Kalam Aulia, 2007, hlm. 30.
[4] Ibnul Jauzi, al-Muntadzam fi Tārīkh al-Mulūk wa al-Umam, Beirut: Darul Kitab Ilmiyyah, 1995, vol. 17, hlm. 25.
[5] Saeful Anwar, Filsafat Ilmu al-Ghazali; Dimensi Ontologi dan Aksiologi, Bandung: Pustaka Setia, 2007, 35-36.
[6] Ibid, hlm, 39.
[7] Ibid, hlm. 40.
[8] Ibnul Atsir, Al-Kāmil fi at-Tārikh, Beirut: Darul Kutub Ilmiyyah, 1987, hlm. 457-482.
[9] Majid Irsan al-Kilani, Misteri Masa Kelam Islam dan Kemenangan Perang Salib, Bekasi: Kalam Aulia, 2007, hlm. 30.
[10] Adian Husaini, Antara Shalahuddien dan al-Ghazali (Kisah Peran Ulama dalam Kebangkitan Umat) diadopsi dalam https://insist.id.antara-shalahuddin-dan-al-ghazali/ pada pukul 10:36, 21 November 2019.
[11] Al-Ghazali, Ihyā ‘Ulūm ad-Dīn, Jeddah: Darul Minhaj, 2011, hlm. 156.
[12] Al-Ghazali, Ihyā ‘Ulūm ad-Dīn, Jeddah: Darul Minhaj, 2011, hlm. 70.
[13] Ibid, hlm. 73.
[14] Ibid, hlm. 90-93.