لَيْسَ بِأَمَانِيِّكُمْ وَلَا أَمَانِيِّ أَهْلِ الْكِتَابِ مَنْ يَعْمَلْ سُوءًا يُجْزَ بِهِ وَلَا يَجِدْ لَهُ مِنْ دُونِ اللَّهِ وَلِيًّا وَلَا نَصِيرًا
Bukanlah menurut angan-anganmu yang kosong dan tidak (pula) menurut angan-angan Ahli Kitab. Barang siapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu dan ia tidak mendapat pelindung dan tidak (pula) penolong baginya selain dari Allah.
(QS. an-Nisa` [4] : 123).
Sabab Nuzul
Shahabat Ibn ‘Abbas (3 SH-68 H) menjelaskan, telah terjadi perdebatan antara kaum muslimin, Yahudi, dan Nashrani tentang siapa yang paling utama dan paling berhak masuk surga di antara mereka. Kaum Yahudi dan Nashrani mengklaim bahwa kitab dan Nabi mereka turun dan diutus jauh sebelum kitab dan Nabi kaum muslimin turun dan diutus. Kaum muslimin tidak mau kalah dengan menyatakan bahwa meski diturunkan dan diutus lebih akhir tetapi al-Qur`an dan Nabi Muhammad saw lebih utama dibanding kitab-kitab dan Nabi-nabi sebelumnya. Bahkan umat Nabi sebelum Nabi Muhammad saw diperintah untuk mengikuti al-Qur`an dan Nabi Muhammad saw. Maka Allah swt menurunkan ayat di atas s.d ayat 125 untuk membantah klaim-klaim sepihak tersebut. Kelanjutan ayat di atas adalah:
وَمَنْ يَعْمَلْ مِنَ الصَّالِحَاتِ مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَأُولَئِكَ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ وَلَا يُظْلَمُونَ نَقِيرًا (124) وَمَنْ أَحْسَنُ دِينًا مِمَّنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لِلَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ وَاتَّبَعَ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا وَاتَّخَذَ اللَّهُ إِبْرَاهِيمَ خَلِيلًا (125)
Siapa yang mengerjakan amal-amal shaleh, baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikit pun. Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia pun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus? Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayangan-Nya (QS. an-Nisa` [4] : 124-125).
Al-Hafizh Ibn Katsir menyimpulkan: “Makna ayat ini adalah beragama itu bukan hanya sekedar dipeluk atau berangan-angan pasti selamat. Setiap orang yang mengklaim sesuatu tidak mungkin meraih apa yang ia klaimkan jika hanya sebatas klaim semata. Orang yang menyatakan bahwa dirinya ada dalam kebenaran juga tidak akan didengar pernyataannya selama tidak ada pembuktiannya. Oleh karena itu Allah swt berfirman: “Bukanlah menurut angan-anganmu yang kosong dan tidak (pula) menurut angan-angan Ahli Kitab”, yakni bahwa keselamatan itu tidak hanya didasarkan pada angan-angan, akan tetapi akan diukurkan pada sejauh mana ketaatannya kepada Allah dan pada syari’at yang dibawa oleh para Rasul.”
Ayat 123-125 surat an-Nisa` di atas jelas menunjukkan bahwa balasan itu bukan didasarkan pada klaim, melainkan pada amal. Siapa pun yang beramal jelek pasti akan dibalas, dan siapa pun yang beramal shalih pasti akan mendapatkan balasan. Hanya memang dasar agamanya harus agama terbaik, yakni yang islam sepenuhnya kepada Allah dan mengikuti millah Ibrahim. Sudah jelas bahwa agama itu adalah agama Islam yang diajarkan Nabi Muhammad saw, bukan Yahudi atau Nashrani karena kedua agama terakhir ini tidak tunduk berserah diri kepada Allah dan jauh dari millah Ibrahim yang hanif. Demikian Qatadah (60-111 lebih H) dari mufassir tabi’in menegaskan.
Siksa untuk Dosa
Selebihnya dari itu, ayat di atas terasa cukup memberatkan bagi para shahabat dalam hal penegasan bahwa semua dosa pasti akan disiksa. Al-Hafizh Ibn Katsir mencantumkan beberapa riwayat yang bersumber dari Abu Bakar as-Shiddiq dan ‘Aisyah yang intinya menyatakan beratnya kandungan ayat ini untuk diikuti. Padahal di ayat sebelumnya, an-Nisa` [4] : 116, Allah swt menyatakan:
إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ
Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni dosa yang selain dari syirik itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya.
Tetapi kenapa di ayat ini dinyatakan tidak ada dosa yang diampuni, semuanya akan dibalas dengan siksa dan tidak ada siapapun selain Allah yang bisa menolong. Maka Nabi saw balik bertanya kepada Abu Bakar:
غَفَرَ اللهُ لَكَ يَا أَبَا بَكْرٍ أَلَسْتَ تَمْرَضُ؟ أَلَسْتَ تَنْصَبُ؟ أَلَسْتَ تَحْزَنُ؟ أَلَسْتَ تُصِيبُكَ اللَّأْوَاءُ؟ قَالَ: بَلَى. قَالَ: فَهُوَ مَا تُجْزَوْنَ بِهِ
“Semoga Allah mengampunimu wahai Abu Bakar. Bukankah engkau pernah sakit, terkena musibah, sedih, dan pernah hidup susah?” Abu Bakar menjawab: “Tentu.” Beliau saw kemudian meyatakan: “Itulah balasan yang dimaksud ayat itu.” (Musnad Ahmad bab musnad Abi Bakar as-Shiddiq no. 69. Syu’aib al-Arnauth: Hadits shahih li ghairihi).
Artinya, yang dimaksud ayat 123 surat an-Nisa` di atas bukan berarti setiap dosa akan disiksa di neraka, dan otomatis semua orang yang pasti selalu punya dosa akan mengalami siksa neraka, melainkan balasan dosa-dosa itu ada yang disegerakan di dunia melalui sakit, musibah, kesedihan, penderitaan, dan semacamnya.
Dalam riwayat lain Nabi saw menyatakan:
مَا يُصِيبُ الْمُسْلِمَ مِنْ نَصَبٍ وَلَا وَصَبٍ وَلَا هَمٍّ وَلَا حُزْنٍ وَلَا أَذًى وَلَا غَمٍّ حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا إِلَّا كَفَّرَ اللَّهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ
Tidaklah seorang muslim tertimpa suatu penyakit, keletihan, kehawatiran, kesedihan, gangguan, kesusahan, bahkan duri yang melukainya, melainkan Allah akan menghapus kesalahan-kesalahannya (Shahih al-Bukhari kitab al-mardla bab ma ja`a fi kaffaratil-maradl no. 5641).
Akan tetapi tentu semua kesusahan dan musibah itu akan jadi kifarat dosa jika orang yang terkena musibahnya kemudian istirja’; mengingat betul bahwa ia akan kembali kepada Allah, dan itu artinya ia bersabar dan bertaubat (arti asal taubat adalah kembali). Orang-orang seperti inilah yang layak berbahagia dan dibahagiakan ketika musibah menimpa mereka sebagaiamana difirmankan Allah swt dalam QS. al-Baqarah [2] : 155-157.
Jika tidak ada istirja’ dan taubat, maka semua musibah itu hanya akan jadi siksa semata yang hanya akan menjadi siksa pembuka, dan kelak di akhirat akan disiksa kembali karena tidak adanya taubat sesudah disiksa di dunia.
وَلَنُذِيقَنَّهُمْ مِنَ الْعَذَابِ الْأَدْنَى دُونَ الْعَذَابِ الْأَكْبَرِ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
Dan sesungguhnya Kami merasakan kepada mereka sebahagian adzab yang dekat (di dunia) sebelum adzab yang lebih besar (di akhirat); mudah-mudahan mereka kembali (ke jalan yang benar) (QS. as-Sajdah [32] : 21).
Adzab yang dekat sebagaimana dijelaskan para mufassir shahabat dan tabi’in adalah musibah-musibah di dunia seperti sakit atau bencana alam. Atau juga hukuman pidana, terbunuh dan atau kekalahan dalam perang, beralihnya kepemilikan harta sesudah kalah perang, dijadikan tawanan, krisis pangan, atau siksa kubur. Semua itu hanya akan jadi adzab di dunia saja jika manusia kemudian “kembali” (istirja’ atau taubat). Tetapi jika tidak “kembali” maka adzab yang lebih besar akan menanti mereka sesudah mereka memasuki alam akhirat.
Ajaran ini disinggung juga oleh Allah swt ketika menceritakan pernyataan Dzulqarnain dalam surat al-Kahfi:
قَالَ أَمَّا مَنْ ظَلَمَ فَسَوْفَ نُعَذِّبُهُ ثُمَّ يُرَدُّ إِلَى رَبِّهِ فَيُعَذِّبُهُ عَذَابًا نُكْرًا
Berkata Dzulqarnain: “Adapun orang yang aniaya, maka kami kelak akan mengadzabnya, kemudian dia dikembalikan kepada Tuhannya, lalu Tuhan mengadzabnya dengan adzab yang tidak ada taranya.” (QS. al-Kahfi [18] : 87).
Al-Qur`an sangat konsisten menjelaskan bahwa musibah apapun yang terjadi di dunia, itu semua akibat perbuatan dosa manusia. Meski demikian tidak semuanya dijadikan pemantik siksa, sebagian besarnya tetap Allah swt ampuni dan tidak dijadikan pemantik musibah. Misalnya firman Allah swt berikut:
وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ
Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar dari kesalahan-kesalahanmu (QS. as-Syura [42] : 30).
Ayat semakna difirmankan Allah swt dalam QS. Ali ‘Imran [3] : 165, an-Nisa` [4] : 62, 79, al-Qashash [28] : 47, dan ar-Rum [30] : 41.
Jadi siksa atas dosa di dunia ini bisa bermata dua: (1) Bisa jadi rahmat dan itu untuk orang-orang yang bertaubat, karena siksa yang disegerakan di dunia itu akan menghapus dosa-dosanya. (2) Bisa juga jadi siksa pembuka sebelum siksa yang lebih besar di akhirat dan itu untuk orang-orang yang tidak bertaubat sesudah disiksa tersebut.
Wabah Penyakit Termasuk Siksa
Termasuk dalam hal ini wabah penyakit secara khusus yang dalam bahasa haditsnya tha’un. Ia bisa menjadi rahmat bagi orang-orang yang beriman, dan bisa juga jadi siksa yang mematikan bagi orang-orang yang kafir. Ketika Nabi saw ditanya oleh ‘Aisyah ra perihal wabah penyakit yang menimpa satu kaum, Nabi saw menjelaskan:
أَنَّهُ كَانَ عَذَابًا يَبْعَثُهُ اللهُ عَلَى مَنْ يَشَاءُ فَجَعَلَهُ اللهُ رَحْمَةً لِلْمُؤْمِنِينَ فَلَيْسَ مِنْ عَبْدٍ يَقَعُ الطَّاعُونُ فَيَمْكُثُ فِي بَلَدِهِ صَابِرًا يَعْلَمُ أَنَّهُ لَنْ يُصِيبَهُ إِلَّا مَا كَتَبَ اللهُ لَهُ إِلَّا كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ الشَّهِيدِ
Sesungguhnya (wabah penyakit) itu adalah siksa yang dikirimkan Allah kepada siapa saja yang Dia kehendaki. Tetapi Allah juga menjadikannya sebagai rahmat bagi kaum mukminin. Tidak ada seorang hamba pun yang ketika terjadi wabah penyakit tetap tinggal di negerinya karena bersabar seraya mengetahui bahwa tidak akan ada yang menimpanya kecuali yang telah Allah tetapkan, melainkan ia akan memperoleh pahala seperti yang mati syahid (Shahih al-Bukhari bab ajris-shabir fit-tha’un no. 5734).
Kedudukan wabah penyakit bagi kaum muslimin sama dengan perang jihad. Tidak boleh melarikan diri melainkan harus bersabar dengan bertahan di tempat melawan musuh. Dalam konteks wabah penyakit pun demikian. Maka jika seseorang meninggal akibat wabah penyakit ini, statusnya sama dengan orang yang meninggal di medan perang. Nabi saw bersabda:
إِذَا سَمِعْتُمْ بِالطَّاعُونِ بِأَرْضٍ فَلَا تَدْخُلُوهَا وَإِذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ وَأَنْتُمْ بِهَا فَلَا تَخْرُجُوا مِنْهَا
Apabila kalian mendengar ada wabah penyakit di satu negeri maka janganllah kalian masuk ke sana. Dan apabila wabah menimpa di satu negeri dan kalian sedang berada di sana maka janganlah kalian keluar darinya (Shahih al-Bukhari bab ma yudzkaru fit-tha’un no. 5728 dari hadits Sa’ad ibn Abi Waqqash).
Dalam hadits tentang lima penyebab siksa di dunia yang diriwayatkan Ibn ‘Umar ra pun Rasul saw menyatakan hal yang tidak jauh berbeda:
لَمْ تَظْهَرِ الْفَاحِشَةُ فِي قَوْمٍ قَطُّ حَتَّى يُعْلِنُوا بِهَا إِلَّا ظَهَرَ فِيهِمُ الطَّاعُونُ وَالْأَوْجَاعُ الَّتِي لَمْ تَكُنْ مَضَتْ فِي أَسْلَافِهِمُ الَّذِينَ مَضَوْا
Tidak tampak perbuatan asusila (zina/homoseks) pada satu kaum sampai mereka melakukannya terang-terangan melainkan akan muncul di tengah-tengah mereka wabah penyakit dan kelaparan yang tidak pernah terjadi pada generasi sebelum mereka (al-Mu’jam al-Ausath at-Thabrani no. 4671; al-Mustadrak al-Hakim kitab al-fitan wal-malahim no. 8623; Sunan Ibn Majah bab al-‘uqubat no. 4019).