خَيْرُكُمْ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ
Sebaik-baik kalian adalah generasiku (shahabat), lalu generasi berikutnya (tabi’in), lalu generasi berikutnya (atba’ tabi’in)—Hadits ‘Imran ibn Hushain ra muttafaq ‘alaih.
Imam al-Bukhari menuliskan hadits di atas dalam berbagai bab di kitabnya, Shahih al-Bukhari, di antaranya dalam kitab al-manaqib (biografi) bab fadla`il ashhabin-Nabiy saw (keutamaan shahabat Nabi saw) no. 3650. Sementara Imam Muslim menuliskannya dalam Shahih Muslim kitab fadla`ilis-shahabah (keutamaan shahabat) bab fadllis-shahabah tsummal-ladzina yalunahum tsummal-ladzina yalunahum (keutamaan shahabat, lalu generasi berikutnya, lalu generasi berikutnya lagi) no. 6638. Ini di antara data yang jelas bahwa para ulama hadits mengakui kedudukan hadits di atas sebagai pengukuhan akan keutamaan shahabat dan dua generasi berikutnya yakni tabi’in dan atba’ tabi’in, atau biasa disebut dengan salaf. Shahabat adalah mereka yang menjadi murid Nabi saw, tabi’in adalah mereka yang menjadi murid shahabat dan tidak sezaman dengan Nabi saw, dan atba’ tabi’in adalah mereka yang menjadi murid tabi’in dan tidak sezaman dengan shahabat.
Al-Hafizh Ibn Katsir (701-774 H/1302-1373 M) dalam kitab Tafsirnya, demikian juga Al-Hafizh Ibn Hajar (773-852 H/1372-1449 M) dalam Fathul-Bari, menyebutkan bahwa as-salaf/as-salafus-shalih adalah: al-qurunuts-tsalatsah al-fadlilah; tiga generasi pertama terbaik. Tafsir Ibn Katsir menyebut istilah as-salaf dalam 319 halaman, dengan menyebut as-salafus-shalih sebanyak 3 kali. Sementara Fathul-Bari menyebut istilah as-salaf dalam 343 halaman, 14 kali di antaranya menyebutkan as-salafus-shalih.
Terkait keberadaan generasi salaf dalam hadits di atas, al-Hafizh Ibn Hajar menjelaskan:
وَاسْتُدِلَّ بِهَذَا الْحَدِيثِ عَلَى تَعْدِيلِ أَهْلِ الْقُرُونِ الثَّلَاثَةِ وَإِنْ تَفَاوَتَتْ مَنَازِلُهُمْ فِي الْفَضْلِ وَهَذَا مَحْمُولٌ عَلَى الْغَالِبِ وَالْأَكْثَرِيَّةِ فَقَدْ وُجِدَ فِيمَنْ بَعْدَ الصَّحَابَةِ مِنَ الْقَرْنَيْنِ مَنْ وُجِدَتْ فِيهِ الصِّفَاتُ الْمَذْكُورَةُ الْمَذْمُومَةُ لَكِنْ بِقِلَّةٍ بِخِلَافِ مَنْ بَعْدَ الْقُرُونِ الثَّلَاثَةِ فَإِنَّ ذَلِكَ كَثُرَ فِيهِمْ وَاشْتُهِرَ
Hadits ini dijadikan dalil untuk menilai ‘adil (ta’dil) tiga generasi (pertama) meskipun kemuliaan mereka masing-masingnya berbeda-beda. Hadits ini dipahami untuk keumuman dan mayoritasnya, sebab sungguh ditemukan pada dua generasi sesudah shahabat sifat-sifat jelek yang disebutkan dalam hadits tersebut (tidak amanah), tetapi sangat sedikit. Berbeda dengan generasi sesudah tiga generasi pertama, maka sungguh sifat-sifat jelek itu banyak di tengah-tengah mereka dan terkenal (Fathul-Bari bab bab fadla`il ashhabin-Nabiy saw).
Generasi yang datang sesudah tiga generasi terbaik (salaf) diistilahkan oleh para ulama dengan khalaf, sebagai kebalikan dari salaf. Secara esensi tidak ada perbedaan antara salaf dan khalaf karena kedua-duanya sama sebagai wal-ladzinat-taba’uhum bi ihsan; orang-orang yang mengikuti Muhajirin dan Anshar dengan baik, yang dijamin akan mendapatkan keridlaan Allah swt dan surga (QS. At-Taubah [9] : 100). Atau yang disebutkan dalam surat al-Hasyr sebagai wal-ladzina ja`u min ba’dihim; generasi sesudah Muhajirin dan Anshar yang selalu mendo’akan ampunan untuk mereka dan sesamanya, juga selalu berusaha keras menghilangkan ghill (kedengkian) terhadap sesama mereka (QS. al-Hasyr [59] : 10). Generasi khalaf yang dimaksud tentunya adalah para ulama Ahlus-Sunnah. Mereka dijadikan rujukan oleh para ulama dalam kitab-kitab tafsir, hadits, dan fiqih karena kemuliaan ilmu dan amal mereka. Siapa pun yang akrab dengan kitab-kitab turats mustahil untuk mengingkari kedudukan para ulama salaf dan khalaf sebagai rujukan ilmu dan amal.
Perbedaan Salaf dan Khalaf
Tidak dipungkiri bahwa selain perbedaan zaman, terdapat juga perbedaan metodologi memahami agama antara salaf dan khalaf. Perbedaan tersebut terletak pada hal penerimaan bid’ah dalam berbagai bentuk dan kadarnya. Ulama salaf secara umum menolak bid’ah dengan tegas apapun bentuk dan kadarnya. Al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fathul-Bari mencontohkan kegiatan ta’lim rutin setiap hari, pembukuan tafsir, hadits, fiqih, akhlaq, dan pengkajian ilmu kalam. Generasi salaf menolak hal-hal tersebut karena menilainya sebagai bid’ah atau muhdatsah yang tidak ada restunya dari Nabi saw bahkan yang ada larangannya. Akan tetapi generasi khalaf menerimanya dalam batas-batas tertentu karena tuntutan kemaslahatan umat. Al-Hafizh Ibn Hajar dalam hal ini menyatakan:
فَالسَّعِيد مَنْ تَمَسَّكَ بِمَا كَانَ عَلَيْهِ السَّلَف وَاجْتَنَبَ مَا أَحْدَثَهُ الْخَلَف، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ مِنْهُ بُدّ فَلْيَكْتَفِ مِنْهُ بِقَدْرِ الْحَاجَة، وَيَجْعَل الْأَوَّل الْمَقْصُود بِالْأَصَالَةِ وَاللَّهُ الْمُوَفِّقُ
Maka orang yang berbahagia adalah orang yang berpegang teguh pada apa yang dipegang oleh generasi salaf dan menjauhi yang dibuat-buat oleh generasi khalaf. Jika tidak ada jalan lain baginya (selain harus menggunakan manhaj khalaf—pen) maka batasilah sesuai dengan kebutuhan. Dan jadikanlah yang pertama (manhaj salaf) sebagai rujukan utama. Dan hanya Allah yang memberikan taufiq (Fathul-Bari kitab al-i’tisham bil-kitab was-sunnah bab al-iqtida bi sunan Rasulillah saw syarah hadits wa syarral-umur muhdatsatuha).
Hal yang paling mencolok dari perbedaan manhaj salaf dan khalaf ini adalah dalam penerimaan terhadap ilmu kalam (ilmu yang membicarakan ketuhanan, terutama dalam hal sifat-sifat Tuhan). Generasi khalaf menerimanya dan mengembangkannya, sehingga konsekuensinya melakukan ta`wil (mengalihkan makna) dalam memahami sifat-sifat Allah swt agar tidak menyamakan Allah swt dengan makhluknya. Sementara ulama salaf menolak keras ilmu kalam karena itu sudah berani membahas hal-hal yang tabu untuk dibahas dan mengategorikannya sebagai bid’ah. Sebagai contoh dalam memahami firman Allah swt: “Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas `Arsy.” (QS. Thaha [20] : 5) ulama salaf mengharamkan pembahasannya dan menilai bid’ah kepada siapa yang berani membahasnya dan atau mengalihkan maknanya. Sebuah riwayat masyhur menceritakan:
سَأَلَ رَجُلٌ الْإِمَامَ مَالِكَ بْنَ أَنَسٍ عَنْ قَوْلِهِ تَعَالَى: الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى كَيْفَ اسْتَوَى؟ فَقَالَ: اَلْاِسْتِوَاءُ غَيْرُ مَجْهُوْلٍ وَالْكَيْفُ غَيْرُ مَعْقُوْلٍ وَالْإِيْمَانُ بِهِ وَاجِبٌ وَالسُّؤَالُ عَنْهُ بِدْعَةٌ وَمَا أَرَاكَ إِلاَّ ضَالاًّ. وَأَمَرَ بِهِ أَنْ يُخْرَجَ مِنَ الْمَجْلِسِ
Seseorang bertanya kepada Imam Malik ibn Anas tentang firman Allah swt: Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas `Arsy, bagaimana Dia istiwa? Imam Malik menjawab: “Istiwa tidak majhul (yakni diketahui maknanya), tetapi bagaimananya tidak mungkin dipahami akal. Beriman padanya wajib dan mempertanyakannya bid’ah. Dan aku tidak melihatmu selain orang sesat.” Lalu Imam Malik memerintahkan untuk mengeluarkannya dari majelis (‘Abdullah al-Atsari, al-Wajiz fi ‘Aqidah as-Salafis-Shalih, Wizaratus–Syu`unil-Islamiyyah al-Mamlakah al-‘Arabiyyah as-Sa’udiyyah, 1422, hlm. 51).
Meski demikian Imam an-Nawawi menjelaskan bahwa tidak berarti ulama salaf semuanya menolak ta`wil dan demikian juga ulama khalaf semuanya menerima ta`wil. Yang dimaksud adalah mayoritasnya, bukan semuanya. Ada saja di antaranya sebagian ulama salaf yang menempuh jalan ta`wil atau sebagian ulama khalaf yang menolak ta`wil. Ketika menjelaskan maksud sabda Nabi saw: “Rabb kita turun setiap malam ke langit yang paling bawah…” Imam an-Nawawi menjelaskan:
هَذَا الْحَدِيث مِنْ أَحَادِيث الصِّفَات. وَفِيهِ مَذْهَبَانِ مَشْهُورَانِ لِلْعُلَمَاءِ سَبَقَ إِيضَاحهمَا فِي كِتَاب الْإِيمَان. وَمُخْتَصَرهمَا أَنَّ أَحَدهمَا وَهُوَ مَذْهَب جُمْهُور السَّلَف وَبَعْض الْمُتَكَلِّمِينَ: أَنَّهُ يُؤْمِن بِأَنَّهَا حَقّ عَلَى مَا يَلِيق بِاَللَّهِ تَعَالَى، وَأَنَّ ظَاهِرهَا الْمُتَعَارَف فِي حَقّنَا غَيْر مُرَاد، وَلَا يَتَكَلَّم فِي تَأْوِيلهَا مَعَ اِعْتِقَاد تَنْزِيه اللَّه تَعَالَى عَنْ صِفَات الْمَخْلُوق وَعَنْ الِانْتِقَال وَالْحَرَكَات وَسَائِر سِمَات الْخَلْق.
وَالثَّانِي: مَذْهَب أَكْثَر الْمُتَكَلِّمِينَ وَجَمَاعَات مِنْ السَّلَف وَهُوَ مَحْكِيّ هُنَا عَنْ مَالِك وَالْأَوْزَاعِيِّ: أَنَّهَا تُتَأَوَّل عَلَى مَا يَلِيق بِهَا بِحَسْب مَوَاطِنهَا. فَعَلَى هَذَا تَأَوَّلُوا هَذَا الْحَدِيث تَأْوِيلَيْنِ أَحَدهمَا: تَأْوِيل مَالِك بْن أَنَس وَغَيْره مَعْنَاهُ: تَنْزِل رَحْمَته وَأَمْره وَمَلَائِكَته كَمَا يُقَال: فَعَلَ السُّلْطَان كَذَا إِذَا فَعَلَهُ أَتْبَاعه بِأَمْرِهِ. وَالثَّانِي: أَنَّهُ عَلَى الِاسْتِعَارَة، وَمَعْنَاهُ: الْإِقْبَال عَلَى الدَّاعِينَ بِالْإِجَابَةِ وَاللُّطْف. وَاللَّهُ أَعْلَم
Hadits ini termasuk hadits-hadits sifat (Allah swt). Dalam hal ini ada dua madzhab masyhur di kalangan para ulama yang telah dijelaskan dalam kitab al-iman. Ringkasnya, yang pertama: Madzhab jumhur (mayoritas) salaf dan sebagian ahli kalam (khalaf): Diimani bahwa itu adalah haq (benar) dalam hal yang pantas bagi Allah ta’ala. Makna zhahirnya yang dikenal oleh kita itu bukan yang dimaksudnya, tetapi tidak boleh dibahas ta`wilnya. Meski demikian harus tetap diyakini bahwa Allah ta’ala tanzih (bersih) dari sifat-sifat makhluk seperti berpindah, bergerak, dan semua yang biasa melekat pada makhluk.
Kedua, madzhab mayoritas ahli kalam (khalaf) dan sekelompok kecil salaf seperti yang diceritakan dari Imam Malik dan al-Auza’i, yakni bahwa sifat itu dita`wil dengan makna yang pantas sesuai tempatnya. Berdasarkan ini mereka menta`wil hadits ini dengan dua ta`wil: Pertama, ta`wil Malik ibn Anas dan lainnya yang menjelaskan maknanya adalah turun rahmat-Nya dan perintah-Nya kepada para malaikat, sebagaimana pernyataan “Sultan telah melaksanakan demikian” maksudnya ketika para bawahannya telah melaksanakannya berdasarkan perintahnya. Kedua, dalam makna kiasan, maknanya adalah menghadap kepada orang-orang yang berdo’a dengan mengijabah dan memberi anugerah. Wal-‘Llahu a’lam (Syarah an-Nawawi Shahih Muslim bab at-targhib fid-du’a wadz-dzikr fi akhiril-lail).
Penjelasan Imam an-Nawawi di atas menunjukkan bahwa madzhab salaf dan khalaf posisinya sederajat sebagai madzhab yang diakui dalam Islam. Meski sudah dikenal sikap keras para ulama salaf dalam menolak ilmu kalam, maka itu harus dipahami dalam koridor ijtihad mereka yang menilainya sebagai bid’ah. Akan tetapi ijtihad para ulama khalaf yang menerima ilmu kalam dan menggunakannya dalam memahami sifat-sifat Allah swt juga tidak bisa dinafikan sebagai bagian dari khazanah ijtihad ulama yang harus diakui kedudukannya tanpa memvonisnya sesat. Bagi ulama khalaf seandainya ilmu kalam ini hendak dikategorikan bid’ah maka ini bid’ah yang ditolerir dan harus diambil demi kemaslahatan. Terserah namanya apakah bid’ah hasanah ataukah mashlahah mursalah. Terlebih ketika faktanya mayoritas ulama hadits pensyarah kitab-kitab hadits bermadzhab khalaf dalam memahami sifat-sifat Allah swt. Menilainya sebagai sesat sama berarti dengan menyesatkan para ulama yang sudah dijamin oleh Nabi saw sebagai pewaris para Nabi. Lihat misalnya penjelasan Imam an-Nawawi dan al-Hafizh Ibn Hajar terkait sifat-sifat Allah swt di bawah ini.
Ketika menjelaskan hadits Nabi saw “Allah ta’ala membuka tangan-Nya di waktu malam agar bertaubat orang yang berdosa di siang hari, dan membuka tangan-Nya di waktu siang agar bertaubat orang yang berdosa di malam hari”, Imam an-Nawawi menjelaskan sebagai berikut:
فَبَسْط الْيَد اِسْتِعَارَة فِي قَبُول التَّوْبَة، قَالَ الْمَازِرِيُّ: الْمُرَاد بِهِ قَبُول التَّوْبَة، وَإِنَّمَا وَرَدَ لَفْظ بَسْط الْيَد لِأَنَّ الْعَرَب إِذَا رَضِيَ أَحَدهمْ الشَّيْء بَسَطَ يَده لِقَبُولِهِ، وَإِذَا كَرِهَهُ قَبَضَهَا عَنْهُ، فَخُوطِبُوا بِأَمْرٍ حِسِّيّ يَفْهَمُونَهُ وَهُوَ مَجَاز، فَإِنَّ يَد الْجَارِحَة مُسْتَحِيلَة فِي حَقِّ الله تَعَالَى
Maka “membuka tangan-Nya” adalah kiasan dari menerima taubat. Al-Maziri menjelaskan: Yang dimaksud adalah menerima taubat. Hanyasanya lafazh yang digunakan ‘membuka tangan’ karena bangsa Arab apabila seseorang di antara mereka meridlai sesuatu ia akan membuka tangannya untuk menerimanya, dan apabila tidak menyukainya ia akan menarik tangannya. Maka umat manusia diajak dialog dengan sesuatu yang inderawi yang mereka memahaminya sebagai majas. Sebab sungguh tangan secara fisik mustahil dalam hak Allah ta’ala (Syarah Shahih Muslim an-Nawawi kitab at-taubah bab qabulit-taubah minadz-dzunub).
Al-Hafizh Ibn Hajar ketika menjelaskan larangan meludah ke depan karena “Allah ada di depannya” beliau menulis sebagai berikut:
قَوْله: (أَوْ إِنَّ رَبّه بَيْنه وَبَيْن الْقِبْلَة) وَكَذَا فِي الْحَدِيث الَّذِي بَعْده “فَإِنَّ اللَّهَ قِبَلَ وَجْهه” فَقَالَ الْخَطَّابِيُّ: مَعْنَاهُ أَنَّ تَوَجُّهه إِلَى الْقِبْلَة مُفْضٍ بِالْقَصْدِ مِنْهُ إِلَى رَبّه فَصَارَ فِي التَّقْدِير: فَإِنَّ مَقْصُودَهُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ قِبْلَتِهِ. وَقِيلَ هُوَ عَلَى حَذْف مُضَاف أَيْ عَظَمَة اللَّهِ أَوْ ثَوَاب اللَّه. وَقَالَ اِبْن عَبْد الْبَرّ: هُوَ كَلَام خَرَجَ عَلَى التَّعْظِيم لِشَأْنِ الْقِبْلَة. وَقَدْ نَزَعَ بِهِ بَعْض الْمُعْتَزِلَة الْقَائِلِينَ بِأَنَّ اللَّه فِي كُلّ مَكَان وَهُوَ جَهْل وَاضِح؛ لِأَنَّ فِي الْحَدِيث أَنَّهُ يَبْزُق تَحْت قَدَمه وَفِيهِ نَقْضُ مَا أَصَّلُوهُ، وَفِيهِ الرَّدّ عَلَى مَنْ زَعَمَ أَنَّهُ عَلَى الْعَرْش بِذَاتِهِ وَمَهْمَا تُؤُوِّلَ بِهِ هَذَا جَازَ أَنْ يُتَأَوَّلَ بِهِ ذَاكَ وَاَللَّهُ أَعْلَم
Sabda Nabi: “Atau sungguh Rabbnya ada di antaranya dan qiblat” demikian juga dalam hadits sesudahnya “sesungguhnya Allah ada di hadapan wajahnya” Imam al-Khaththabi berkata: Maknanya ia menghadap qiblat adalah mencurahkan tujuan hanya kepada Rabbnya. Maka jadilah maknanya: Maka sungguh yang ditujunya ada di antaranya dan qiblat. Ada juga pendapat lain yakni ada mudlaf yang dibuang, yaitu “keagungan Allah” atau “pahala Allah” (bukan Allah-nya sendiri yang ada di hadapannya, tetapi keagungan/pahala Allah—pen). Ibn ‘Abdil-Barr berkata: Ini adalah pernyataan yang mengagungkan posisi qiblat.
Sungguh sebagian Mu’tazilah sudah menjadikannya dasar untuk menyatakan bahwa Allah ada di setiap tempat, dan itu adalah kebodohan yang nyata, karena sungguh dalam hadits ada juga anjuran untuk meludah ke bawah telapak kaki, maka ini membantah yang mereka jadikan dasar. Dalam hal ini juga ada bantahan bagi yang meyakini bahwasanya Allah ada di atas ‘Arasy secara zat-Nya. Jika hadits yang ini harus dita`wil, maka otomatis yang itu (di atas ‘Arasy) juga bisa menerima untuk dita`wil. Wal-‘Llahu a’lam (Fathul-Bari bab hakkil-buzaq bil-yad minal-masjid).
Penjelasan dari al-Hafizh Ibn Hajar ini memberikan tambahan ilmu bahwa para ulama khalaf menempuh jalan ta`wil untuk membantah Mu’tazilah yang memahami Allah swt seperti halnya makhluk yang membutuhkan tempat, sebab itu berarti bahwa Allah swt berwujud benda sebagaimana halnya makhluk. Untuk mengenyahkan makna ini maka otomatis harus ditakwil maknanya agar tidak dipahami Allah swt sama seperti makhluk.
Jika disambungkan dengan penjelasan dari Imam an-Nawawi di atas dapat diketahui bahwa antara madzhab salaf dan khalaf terdapat benang merah yang menyamakan keduanya, yakni tanzih (menyucikan) Allah swt dari sifat-sifat rendah seperti makhluk. Hanya salaf menempuh jalan tafwidl (menyerahkan) sepenuhnya kepada Allah swt tanpa menta`wil, sementara khalaf menempuh ta`wil agar jelas tidak ada penyamaan Allah dengan makhluk.
Al-Hafizh Ibn Hajar menjelaskan bahwa kedua madzhab ini; salaf dan khalaf, dua-duanya harus diakui sebagai madzhab Islam dan jangan ada sikap ekstrem merendahkan salah satunya. Bahkan al-Hafizh menolak pernyataan sebagian ulama yang mengkomodir kedua madzhab di atas tetapi melalui pernyataan:
طَرِيقَةُ السَّلَفِ أَسْلَمُ وَطَرِيقَةُ الْخَلَفِ أَحْكَمُ
Jalan salaf lebih selamat. Jalan khalaf lebih jelas.
Menurut al-Hafizh pernyataan di atas laisa bi mustaqim; tidak lurus, tidak tepat, sebab itu sama saja dengan menuduh salaf hanya sekedar mengimani ayat-ayat dan hadits-hadits tentang sifat Allah tanpa memahami kandungannya. Padahal salaf ada dalam puncak pengetahuan tentang sifat yang layak bagi Allah, mengagungkan-Nya, dan tunduk kepada-Nya. Demikian juga pernyataan di atas tidak tepat, karena khalaf sama sekali tidak pernah memastikan makna yang telah dita`wil sebagai makna yang pasti benarnya, melainkan hanya salah satu alternatif makna saja agar Allah swt tidak disamakan dengan makhluk (Fathul-Bari bab ma ja`a fi du’a`in-Nabiy saw ummatahu ila tauhidil-‘Llah).
Penerimaan kedua madzhab salaf dan khalaf ini secara otomatis menuntut umat Islam untuk juga menerima semua perbedaan corak ijtihad dari keduanya, termasuk dalam hal bid’ah dan turunannya. Bahwa bi’dah haram dan sesat dalam hal ini para ulama sepakat. Demikian juga dalam hal apakah semua bid’ah itu sama sekali tidak boleh diamalkan, maka para ulama juga sepakat bahwa tidak bisa demikian, pasti ada beberapa di antaranya yang boleh diamalkan. Hanya ketidaksepakatan akan terjadi dalam merumuskan rinciannya. Beberapa ulama di antaranya ada yang kemudian terpaksa membuat definisi baru tentang bid’ah agar bisa dibedakan mana bid’ah yang haram dan mana yang boleh dan sebetulnya bukan bid’ah. Akan tetapi yang disebut “bukan bid’ah” oleh kelompok ini pada kenyataannya adalah bid’ah dalam pemahaman ulama salaf dan khalaf. Beberapa kelompok lainnya ada yang kemudian membedakannya menjadi bid’ah hasanah dan bid’ah madzmumah. Dalam hal rincian bid’ah yang disepakati bid’ahnya oleh para ulama maka menyalahinya adalah sebuah kesesatan yang nyata. Akan tetapi dalam hal rincian bid’ah yang tidak disepakati boleh dan tidaknya, maka penghargaan akan ijtihad ulama harus dikedepankan sebagai adab ilmu yang sudah digariskan oleh Nabi saw.
Demikian halnya dalam mendudukkan syirik sebagai dosa terbesar, para ulama sepakat dalam hal ini. Akan tetapi dalam menentukan amal-amal yang termasuk syirik, ada yang disepakati, ada juga yang tidak disepakati. Yang disepakati sebagai syiriknya, maka menyalahinya berarti sebuah kesesatan yang nyata. Akan tetapi dalam hal amal-amal yang tidak disepakati sebagai syiriknya maka umat Islam mau tidak mau harus menghargai dua ijtihad yang berbeda tersebut.
Demikianlah sunnah para ulama dalam menghadapi perbedaan ijtihad antara salaf dan khalaf. Menolak salah satunya sama dengan menolak kemuliaan para ulama dengan ilmunya. Wal-‘Llahu a’lam.