Salafi telah berani menyesatkan madzhab lain yang berbeda dengan madzhab Salaf meski madzhab itu dianut oleh para ulama Ahlus-Sunnah. Konsep ajaran tauhidnya juga telah menempatkan kaum muslimin yang masih sebatas berdosa besar dinyatakan batal Islamnya, kekal di neraka, atau kafir. Di satu sisi Salafi sama seperti Ahlus-Sunnah secara umum yang mengajarkan tidak boleh mengkafirkan kaum muslimin, tetapi konsep ajaran tauhidnya tanpa disadari telah menjebak mereka dalam vonis mengkafirkan kaum muslimin secara serampangan.
Salafi yang dimaksud dalam tulisan ini adalah kelompok kaum muslimin hari ini yang mengikuti madzhab Salaf tetapi dengan menyesatkan madzhab lain yang berbeda dengan madzhab Salaf. Istilah madzhab dipilih dalam tulisan ini karena memang Salaf merupakan salah satu madzhab dalam aqidah, di samping madzhab Khalaf. Madzhab Khalaf ini pada umumnya dianut oleh pengikut madzhab Syafi’i yang rumusan aqidahnya mengikuti Asy’ariyyah dan Maturidiyyah. Istilah “madzhab Salaf” dipakai oleh Imam an-Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim bab bayanil-iman wal-islam wal-ihsan dan at-targhib fid-du’a wadz-dzikr fi akhiril-lail. Al-Hafizh Ibn Hajar menggunakan istilah “madzhab Salaf” dalam Fathul-Bari kitab at-tauhid bab ma ja`a fi du’a`in-Nabiy saw ummatahu ila tauhidil-‘Llah, bab qaulil-‘Llah ta’ala wa li tushna’a ‘ala ‘aini, dan bab qaulil-‘Llah ta’ala fa la taj’alu lil-‘Llah andadan. Dalam bab-bab tersebut, juga bab-bab lainnya yang menyinggung Salaf sebagai madzhab, kedudukannya sama sederajat sebagai madzhab dengan madzhab Khalaf.
Madzhab Salaf merujuk pada madzhab yang dijadikan pedoman oleh para ulama salaf mayoritas, sementara madzhab Salafi merujuk pada kelompok kaum muslimin hari ini yang mengaku setia dengan madzhab Salaf. Perbedaannya ada pada zamannya; jika madzhab Salaf adalah yang ada pada masa salaf dahulu, sementara madzhab Salafi yang ada pada zaman sekarang dengan rumusan-rumusan barunya. Madzhab Salaf dirujuk juga oleh selain madzhab Salafi hari ini, sementara madzhab Salafi hari ini sudah mengidentifikasi dirinya sedemikian rupa dengan identitas-identitas baru yang sebagiannya tidak ada pada madzhab Salaf. Identitas baru tersebut di antaranya pada ajaran konsep tauhid rububiyyah, uluhiyyah, dan asma` wa shifat; pembatal-pembatal Islam; dan klasifikasi syirik dan kufur menjadi akbar dan ashghar. Tulisan di bawah ini yang mengulas rumusan aqidah madzhab Salafi yang dirujukkan pada kitab ‘Aqidatut-Tauhid tulisan Syaikh Shalih ibn Fauzan al-Fauzan sekaligus kritik untuknya.
Konsep Tauhid Rububiyyah dan Uluhiyyah
Madzhab Salafi membedakan rumusan konsep tauhid rububiyyah dan uluhiyyah meski keduanya diajarkan harus talazum; saling melengkapi dan terikat satu sama lainnya. Tauhid Rububiyyah adalah mengesakan Allah dalam segala perbuatan-Nya dengan meyakini bahwa Dia sendiri yang menciptakan seluruh makhluk. Sementara tauhid uluhiyyah adalah mengesakan Allah swt dalam ibadah kepada-Nya. Ibadah yang dimaksud mencakup do’a, nadzar, qurban, raja` (harapan), takut, tawakkal, senang, takut, dan taubat.
Pembedaan seperti ini ditempuh karena diyakini ada orang-orang yang bertauhid sebatas rububiyyah tetapi tidak dengan uluhiyyah. Madzhab Salafi sering menjelaskan contohnya adalah orang-orang musyrik. Mereka meyakini kerububiyyahan Allah swt tetapi mereka tidak beribadah kepada Allah swt. Maka dari itu dalam madzhab Salafi diajarkan agar tauhid tidak sebatas dalam rububiyyahnya saja, melainkan juga harus dengan uluhiyyahnya. Keduanya harus talazum; saling berkaitan.
Dalil-dalil bahwa orang musyrik mengakui kerububiyyahan Allah swt adalah QS. al-Mu`minun [23] : 86-89, al-‘Ankabut [29] : 61, 63, Luqman [31] : 25, az-Zumar [39] : 38, dan az-Zukhruf [43] : 9, 87. Bahkan Fir’aun pun mengakui kerububiyyahan Allah swt ini seperti dijelaskan dalam QS. Yunus [10] : 90, al-Isra` [17] : 102, dan an-Naml [27] : 14.
Sekilas tidak ada masalah dengan pembagian tauhid rububiyyah dan uluhiyyah ini. Akan tetapi dalam tataran praktik pengajarannya secara tidak disadari konsep tauhid seperti ini telah mengarah pada takfir (mengkafirkan) kepada kaum muslimin yang berbeda madzhab dengan madzhab Salafi. Berikut penjelasannya:
Pertama, membedakan rububiyyah dan uluhiyyah dalam konsep tauhid, sebenarnya menyisakan ganjalan dari segi makna sehingga masih harus didiskusikan ulang, sebab dua makna itu sebenarnya sama, saling mengisi, satu kesatuan, sehingga tidak perlu dibedakan. Ayat-ayat yang menyinggung Allah swt sebagai Rabb selalu menuntut ibadah hanya kepada-Nya, di antaranya ayat-ayat yang disinggung di atas. Apalagi ayat-ayat yang menyinggung keharusan ibadah hanya kepada Allah swt pastinya didasari keyakinan Dia swt adalah satu-satunya Rabb. Jadi artinya rububiyyah itu otomatis uluhiyyah, demikian juga sebaliknya; uluhiyyah adalah rububiyyah. Maka sebaiknya dipilih saja satu istilahnya; tauhid rububiyyah saja, atau tauhid uluhiyyah saja, tanpa harus menyebutkan kedua-duanya dalam format pembedaan.
Kedua, membedakan rububiyyah dan uluhiyyah dalam konsep tauhid dengan menyinggung pengakuan orang-orang musyrik juga tidak tepat. Pengakuan orang-orang musyrik akan kemahaesaan Allah swt memang disinggung dalam banyak ayat al-Qur`an, dan itu adalah penciptaan awal manusia dari Allah swt pasti seperti itu, yakni fithrah (QS. ar-Rum [30] : 30). Al-Qur`an menyebutkan bahwa sejak awal penciptaan sebelum masuk ke alam rahim, manusia sudah mengakui rububiyyah ini (QS. al-A’raf [7] : 172). Fir’aun pun mengakuinya, demikian juga orang-orang musyrik Jahiliyyah, sebagaimana disinggung dalam ayat-ayat di atas. Bahkan dalam konteks ini Iblis pun mengakui bahwa Allah swt adalah Rabb. Tetapi kemudian menyematkan istilah “tauhid” kepada orang-orang kafir tersebut tentu ini yang tidak tepat, sebab tauhid itu sendiri adalah la ilaha illal-‘Llah; menolak tuhan selain Allah dan hanya menegaskan Allah swt sebagai satu-satunya tuhan yang layak diibadahi. Orang-orang musyrik Jahiliyyah, Fir’aun, dan Iblis tentu tidak demikian. Meski ada keyakinan fithrah dalam hati mereka, tetap saja faktanya mereka tidak mengakuinya apalagi kemudian beribadah hanya kepada Allah swt.
Dalam hadits masyhur tentang setiap bayi dilahirkan dalam keadaan fithrah, Nabi saw sendiri sudah menjelaskan bahwa kemudian ada yang menjadi Yahudi, Nashrani, dan Majusi disebabkan didikan orangtuanya. Artinya bahwa fithrah itu tidak mutlak tauhid. Fithrah yang bersemayam di dalam sanubari setiap orang sangat mungkin tetap menjadikan seseorang kafir dan tidak bertauhid. Maka dari itu fithrah yang ada dalam diri orang-orang kafir bukan tauhid. Pengakuan orang-orang musyrik, Fir’aun, dan Iblis akan kerububiyyahan Allah swt tidak layak dimasukkan dalam kategori tauhid. Itu hanya sebatas fithrah awal, bukan tauhid.
Ketiga, dampak dari praktik pembedaan tauhid rububiyyah dan uluhiyyah adalah menyamakan orang-orang Islam dengan orang-orang kafir, yakni mereka “yang diduga” ada kesamaan dengan orang-orang kafir dan musyrik yang meyakini kerububiyyahan Allah swt tetapi tidak mengamalkan ibadah yang murni kepada Allah swt semata. Hal ini jelas termasuk takfir yang sangat dijauhi oleh madzhab Salaf sendiri.
Frasa “yang diduga” sengaja memakai tanda kutip, sebab dalam praktiknya madzhab Salafi menyematkannya kepada kaum muslimin yang sebatas berbeda madzhab. Ketika madzhab Salafi meluaskan makna uluhiyyah pada do’a, nadzar, qurban, raja` (harapan), takut, tawakkal, senang, takut, dan taubat, maka kaum muslimin yang masih mempraktikkan tawassul ke makam orang-orang shalih, atau tabarruk, tasyaffu’, dan semacamnya dianggap sebagai orang yang tidak bertauhid uluhiyyah. Melanggar tauhid uluhiyyah berarti melanggar ushul (pokok) agama. Jadinya dikategorikan musyrik akbar, kekal di neraka, dan batal Islamnya. Padahal jika ditempatkan sebagai furu’ (persoalan cabang agama) karena memang wilayah perbedaan ijtihad madzhab, maka tidak perlu menilai kaum muslimin yang bertawassul ke kuburan orang-orang shalih sebagai melanggar tauhid, melainkan hanya menyalahi madzhab Salafi saja. Perbedaan madzhab jangan dibawa-bawa ke ranah ushul sehingga memvonis musyrik atau keluar dari Islam kepada sesama muslim.
Tawassul ke kuburan orang shalih itu sendiri, praktiknya secara umum ada dua: Pertama, mendo’akan orang-orang shalih di atas kuburannya sekaligus berdo’a kepada Allah swt dengan berharap keberkahan orang-orang shalih tersebut. Model tawassul ini diperselisihkan antara madzhab Salafi dan madzhab selainnya, seperti madzhab Syafi’i. Bagi madzhab Syafi’i tawassul seperti ini dianjurkan, sementara madzhab Salafi menilainya salah satu amal syirik. Kedua, terang-terangan berdo’a dan memohon suatu kebaikan kepada orang-orang shalih yang sudah meninggal di atas kuburannya. Model tawassul seperti ini disepakati oleh para ulama sebagai bentuk syirik, karena sudah berdo’a kepada selain Allah swt. Akan tetapi syirik yang berwujud amal ini tidak menggugurkan aqidah seseorang sehingga menjadi musyrik, kafir, dan kekal di neraka. Syirik amali sebatas dosa besar yang tidak bisa digugurkan dengan amal-amal kifarat seperti shalat lima waktu, shalat Jum’at, dan shaum Ramadlan. Dosa besar murni harus dihentikan dan ditinggalkan oleh pelakunya. Jika sampai meninggal dunia masih diamalkan, maka besar kemungkinannya disiksa di neraka, meski mungkin juga Allah swt mengampuninya jika Dia menghendaki. Di samping itu, pelaku dosa besar yang masuk neraka masih ada kemungkinan mendapatkan syafa’at dari Allah swt.
Hemat kami, baik tawassul model pertama atau kedua, termasuk pada amal syirik, sebab sudah meyakini orang-orang yang sudah meninggal bisa mendatangkan manfaat dan madlarat meski sebatas keberkahan atau wasilah. Tawassul model pertama masuk pada persoalan ikhtilaf madzhab sehingga harus menjaga adab toleransi, sementara tawassul model kedua jelas-jelas sebagai tawassul yang haram dan umat harus diajarkan untuk menjauhi hal demikian. Meski demikian, para pelakunya jika masih terbukti lahirnya masih beragama Islam dan tidak pernah menyatakan keluar dari Islam, maka tidak boleh dibatalkan Islamnya, divonis musyrik (i’tiqadi), dan kafir keluar dari Islam.
Dalam hal inilah kami menilai pembedaan tauhid rububiyyah dan uluhiyyah jadi semacam bumerang bagi madzhab Salafi. Di satu sisi mengajarkan tidak boleh mengkafirkan kaum muslimin, tetapi faktanya telah mempraktikkan takfir kepada mereka yang diduga menyimpang dalam uluhiyyah. Seyogianya kasus yang terjadi pada orang-orang musyrik Jahiliyyah dan Fir’aun tidak perlu disematkan “tauhid rububiyyah” sehingga tidak akan ada penyamaan orang-orang Islam dengan mereka yang terang-terang kafir. Orang musyrik Jahiliyyah dan Fir’aun itu murni kafir, sementara orang-orang Islam yang masih mengamalkan amal-amal syirik masih muslim. Dengan format pembedaan tauhid rububiyyah dengan uluhiyyah seperti madzhab Salafi jadinya sembarangan menyamakan orang-orang muslim dengan orang-orang kafir.
Dalam hal ini perlu diingat rambu-rambu yang sudah dibuat oleh para ulama salaf agar tidak terjebak pada takfir sebagaimana dikemukakan shahabat Ibn ‘Umar ketika mengomentari kelompok Khawarij yang muncul di masa shahabat:
وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ يَرَاهُمْ شِرَارَ خَلْقِ اللَّهِ وَقَالَ إِنَّهُمْ انْطَلَقُوا إِلَى آيَاتٍ نَزَلَتْ فِي الْكُفَّارِ فَجَعَلُوهَا عَلَى الْمُؤْمِنِينَ
Ibn ‘Umar menilai mereka sebagai makhluk Allah yang jahat. Ia berkata: “Sesungguhnya mereka menggunakan ayat-ayat yang ditujukan untuk orang kafir dengan menujukannya kepada orang-orang beriman.” (Shahih al-Bukhari kitab istitabatil-murtaddin wal-mu’anidin wa qitalihim).
Maksudnya, ayat-ayat al-Qur`an yang ditujukan kepada orang-orang kafir, jangan disematkan untuk orang-orang Islam, sebab dampaknya akan mengkafirkan orang-orang Islam karena menganggap ada persamaan. Dalam kasus madzhab Salafi yang disinggung di atas, ayat-ayat yang menjelaskan pengakuan rububiyyah Allah swt dari orang-orang kafir padahal mereka tidak beribadah kepada Allah swt, maka khusus untuk orang-orang kafir saja. Jangan disematkan untuk orang-orang muslim yang modelnya mengakui rububiyyah Allah swt dan dalam beribadah belum sepenuhnya murni kepada Allah swt. Kasusnya sangat jelas berbeda; orang-orang kafir tersebut tidak meyakini la ilaha illal-‘Llah dan tidak beribadah sama sekali kepada Allah swt sebagaimana digariskan oleh syari’at yang dibawa Nabi, sementara orang-orang Islam yang mengamalkan amal syirik faktanya masih meyakini la ilaha illal-‘Llah dan beribadah kepada Allah swt, hanya mereka masih melakukan berbagai penyimpangan amal syirik. Orang-orang Islam seperti ini tidak sampai berstatus kafir dengan amal-amal mereka.
Dalam kaitan tidak boleh menempatkan ayat-ayat untuk orang kafir kepada orang Islam, al-Hafizh Ibn Hajar menjelaskan sebagai berikut:
وَقَدْ تَمَسَّكَ بِهِ بَعْض الْمُبْتَدِعَة فِي دَعْوَاهُمْ أَنَّ مَنْ دَخَلَ النَّار مِنْ الْعُصَاة لَا يَخْرُج مِنْهَا لِقَوْلِهِ تَعَالَى (وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَتَعَدَّ حُدُودَهُ يُدْخِلْهُ نَارًا خَالِدًا فِيهَا وَلَهُ عَذَابٌ مُهِينٌ) وَأَجَابَ أَهْل السُّنَّة بِأَنَّهَا نَزَلَتْ فِي الْكُفَّار، وَعَلَى تَسْلِيم أَنَّهَا فِي أَعَمَّ مِنْ ذَلِكَ فَقَدْ ثَبَتَ تَخْصِيص الْمُوَحِّدِينَ بِالْإِخْرَاجِ
“Sebagian ahli bid’ah bersikukuh dalam klaim mereka bahwa pelaku maksiat yang masuk neraka tidak akan keluar darinya, berdasarkan firman Allah ta’ala (Dan siapa yang maksiat kepada Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan [4 : 14]). Ahlus-Sunnah menjawab, bahwasanya ayat itu turun untuk orang kafir. Jika mencakup yang lebih luas dari itu, maka sungguh telah tetap dalil yang mengecualikan orang-orang yang bertauhid keluar dari neraka (Fathul-Bari kitab ar-riqaq bab shifat al-jannah wan-nar, ketika mensyarah hadits syafa’at).
Maksud al-Hafizh, firman Allah swt dalam QS. An-Nisa` [4] : 14 yang menyatakan siapa yang terang-terangan menolak hukum waris akan kekal di neraka, itu bukan untuk orang Islam, tetapi orang kafir. Sebab orang Islam, asalkan masih ada iman meski itu sangat sedikit, tidak akan kekal di neraka, melainkan akan dikeluarkan dari neraka pada saat-saat terakhir melalui syafa’at Nabi saw. Jadi kalau ada ayat-ayat yang memvonis kafir, kekal di neraka, tidak akan diampuni, itu konteksnya untuk orang kafir. Kalau ada di antara umat Islam yang berbuat hal yang sama dengan orang kafir dimaksud, maka itu tidak berarti kafir, melainkan sebatas “seperti orang kafir”. Status “seperti orang kafir” itu sendiri bukan berarti kafir, melainkan sebatas berdosa besar yang diancam neraka tanpa bisa diampuni oleh amal-amal penghapus dosa. Meski demikian peluang untuk mendapatkan syafa’at Nabi saw masih sangat terbuka lebar.
Rumusan Pembatal Islam
Kekeliruan konsep tauhid rububiyyah dan uluhiyyah ini tambah terlihat jelas dalam konsep “Pembatal Islam” yang menjadi turunannya. Konsep “Pembatal Islam” ini nama resminya adalah Nawaqidlul-Islam yang ditulis oleh Syaikh Muhammad ibn ‘Abdil-Wahhab. Dalam kitab ‘Aqidatut-Tauhid, Syaikh Shalih ibn Fauzan memasukkannya dalam cabang tauhid uluhiyyah dengan istilah Nawaqidlus-Syahadatain; pembatal dua syahadat. Berikut uraiannya:
- Syirik dalam ibadah. Contohnya berdo’a dan beristighatsah kepada orang yang sudah meninggal, bernadzar dan menyembelih sembelihan untuk mereka. Dalilnya: Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya (QS. an-Nisa` [4] : 48 dan 116) dan Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zhalim itu seorang penolong pun (QS. al-Ma`idah [5] : 72)
- Membuat perantara antara dirinya dan Allah, lalu berdo’a, memohon syafa’at dan bertawakkal kepada perantara tersebut. Ini sudah ijma’ termasuk kufur.
- Tidak mengkafirkan orang-orang musyrik atau ragu akan kekufuran mereka atau membenarkan madzhab mereka.
- Meyakini bahwa petunjuk selain Nabi saw lebih sempurna daripada petunjuk Nabi saw, atau hukum yang lain lebih baik dari hukum Nabi. Seperti orang-orang yang lebih mengutamakan hukum-hukum Thaghut, mereka jelas kafir.
- Membenci ajaran Rasul saw meskipun ia mengamalkannya, ini termasuk kufur. Dalilnya: Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka benci kepada apa yang diturunkan Allah (Al-Qur’an) lalu Allah menghapuskan (pahala-pahala) amal-amal mereka (QS. Muhammad [47] : 9).
- Mempermainkan sebagian ajaran Islam, termasuk tentang pahala dan siksa Allah swt. Ini termasuk kufur. Dalilnya: Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?” Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman (QS. at-Taubah [9] : 65-66).
- Sihir dan sejenisnya. Orang yang mempraktikannya atau menyetujuinya termasuk kafir. Dalilnya: Sedang keduanya (Harut dan Marut) tidak mengajarkan (semacam sihir) kepada seorang pun sebelum mengatakan: “Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir” (QS. al-Baqarah [2] : 102).
- Mendukung dan membantu kaum musyrikin yang memerangi kaum muslimin. Dalilnya: Barang siapa di antara kamu mengambil mereka (Yahudi dan Kristen) menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zhalim (QS. al-Ma`idah [5] : 51).
- Meyakini bahwa sebagian orang boleh keluar dari sebagian syari’at Muhammad saw, ini termasuk kufur. Dalilnya: Barang siapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi (QS. Ali ‘Imran [3] : 85).
- Berpaling dari agama Allah, tidak mempelajarinya dan mengamalkannya. Dalilnya: Dan siapakah yang lebih zhalim daripada orang yang telah diperingatkan dengan ayat-ayat Tuhannya, kemudian ia berpaling daripadanya? Sesungguhnya Kami akan memberikan pembalasan kepada orang-orang yang berdosa (QS. as-Sajdah [32] : 22).
Uraian konsep pembatal Islam yang dijelaskan madzhab Salafi ini jelas sangat riskan karena pasti mengkafirkan umat Islam pelaku dosa besar. Padahal apa yang diuraikan di atas sebatas kufur/syirik ‘amali (dalam tataran amal) dan tidak sampai kufur/syirik i’tiqadi (tataran aqidah) jika pada faktanya para pelakunya masih meyakini la ilaha illal-‘Llah, meski kualitasnya hanya sebesar sebutir debu. Kufur/syirik ‘amali sebatas berdosa besar, tidak sampai kafir, tidak batal Islamnya, dan tidak akan kekal di neraka.
Ayat-ayat yang dijadikan dalil dalam rumusan pembatal Islam di atas ditujukan untuk orang-orang kafir, maka tidak boleh ditujukan kepada orang-orang Islam yang tidak kafir. Penempatan yang keliru seperti itu telah menjadikan madzhab Salafi terjebak pada takfir dan menjadikannya berbeda dengan madzhab Salaf.
Sebagai pembanding, para ulama salaf ketika menafsirkan firman Allah swt: “Siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir” (QS. al-Ma`idah [5] : 44—Pada ayat 45 sebatas disebut zhalim, dan pada ayat 47 disebut fasiq), mereka betul-betul cermat dan teliti sehingga tidak takfir kepada umat Islam. Shahabat Ibn ‘Abbas menjelaskan: “Siapa yang menolak terang-terangan (jahada) apa yang diturunkan Allah berarti kafir. Siapa yang mengakuinya, tetapi tidak menetapkan hukum dengannya berarti zhalim fasiq.” (Tafsir Ibn Katsir)
Selanjutnya Ibn ‘Abbas menjelaskan bahwa ayat itu ditujukan kepada orang-orang Yahudi dan Kristen. Meski juga berlaku bagi orang Islam, tetapi kufurnya tidak sebagaimana kufur yang keluar dari Islam: Hiya bihi kufrun; sebatas ada sifat kafir. Laisa bil-kufril-ladzi yadzhabuna ialihi; bukan kafir sebagaimana yang umum dipahami. Ditegaskan oleh Ibn Thawus: Laisa ka man kafara bil-‘Llah wa mala`ikatihi wa kutubihi wa rusulihi; tidak sama dengan orang yang kafir kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, dan Rasul-rasul-Nya. Sementara ‘Atha` menegaskan: Kufrun duna kufrin; kafir dalam ayat itu di bawah kafir yang sebenarnya (Tafsir Ibn Katsir).
Keterangan dari para ulama salaf di atas menunjukkan bahwa ayat-ayat yang ditujukan untuk orang kafir jika hendak diterapkan kepada orang-orang Islam tidak otomatis menjadikan mereka kafir mutlak keluar dari Islam, melainkan sebatas kafir perbuatan dosa besar. Dengan kata lain hanya sebatas kafir ‘amali, bukan kafir i’tiqadi.
Konsep Tauhid Asma wa Shifat
Tauhid asma wa shifat maksudnya adalah mengimani nama-nama Allah dan sifat-sifat-Nya sebagaimana yang dijelaskan dalam al-Qur`an dan sunnah Rasulullah menurut apa yang pantas bagi Allah swt tanpa ta`wil (memindahkan arti), ta’thil (menolak), takyif (mempertanyakan bagaimana), dan tamtsil (menyerupakan dengan yang lain).
Untuk ta’thil, takyif, dan tamtsil tidak ada perselisihan di antara para ulama tentang keharamannya. Akan tetapi terkait ta`wil, mayoritas ulama yang mengikuti madzhab Khalaf mengharuskannya agar tidak ada takyif dan tamtsil yang bisa menjurus pada ta’thil. Hal inilah yang menjadi perbedaan kontras antara madzhab Salaf dan Khalaf.
Kekeliruan madzhab Salafi dalam hal ini menolak ijtihad madzhab Khalaf dan malah memvonisnya sesat. Padahal para ulama Ahlus-Sunnah sepanjang zaman, seperti tampak pada kitab-kitab syarah hadits, mengakomodir dua madzhab ini dalam kitab-kitab mereka. Menyesatkan salah satunya sama dengan merendahkan para ulama di kedua madzhab tersebut dan menyamakan mereka dengan para pelaku dosa besar. Padahal Allah swt sudah mengingatkan: “Maka apakah patut Kami menjadikan orang-orang Islam itu sama dengan orang-orang yang berdosa (orang kafir)? Mengapa kamu (berbuat demikian): Bagaimanakah kamu mengambil keputusan?” (QS. al-Qalam [68] : 35-36). “Patutkah Kami menganggap orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang shaleh sama dengan orang-orang yang berbuat kerusakan di muka bumi? Patutkah (pula) Kami menganggap orang-orang yang bertaqwa sama dengan orang-orang yang berbuat maksiat?” (QS. Shad [38] : 28).
Dalam buku Mulia dengan Manhaj Salaf yang ditulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas misalnya, Asy’ariyyah dan Maturidiyyah dimasukkan dalam “Firqah-firqah Sesat dan Menyesatkan” bersama dengan Syi’ah, Mu’tazilah, Inkarussunnah, Ahmadiyah, dan lainnya. Salah satu bentuk kesesatannya dituliskan dalam buku tersebut:
Mereka men-ta’thil (menghilangkan) dan mentakwil sebagian sifat-sifat khabariyyah Allah Ta’ala. Seperti istiwaa` (bersemayam) mereka takwil menjadi istaula (menguasai), sifat tangan ditakwil dengan nikmat dan kekuasaan, sifat wajah ditakwil dengan keridhaan, dan lainnya (bid’ah Asy’ariyyah, hlm. 520).
Mentakwil sifat istiwaa` (bersemayam) dengan istiilaa (menguasai).
Mentakwil sifat mata bagi Allah Ta’ala dengan penjagaan dan pemeliharaan (bid’ah Maturidiyyah, hlm. 521).
Tentunya kekeliruan ini tidak mutlak hanya ada pada madzhab Salafi saja, melainkan juga pada madzhab Khalafi yang menolak model pemahaman salaf terhadap ayat-ayat tentang sifat-sifat Allah swt dan memvonisnya sesat. Sejarah bahkan sudah mencatat bagaimana sikap keras berlebihan dari madzhab Khalafi ini yang sampai memenjarakan Ibn Taimiyyah beberapa kali hanya karena beliau bersikukuh pada pilihan madzhab Salafnya. Bahkan Ibn Taimiyyah sampai wafat di dalam penjara akibat fatwa-fatwanya yang dianggap sesat dan meresahkan umat yang disokong penguasa saat itu. Ini adalah salah satu bukti ekstremnya madzhab Khalafi kepada yang mengikuti madzhab Salaf.
Maka dari itu seyogianya baik madzhab Salafi atau yang berlawanan dengannya menerima kedua madzhab Salaf dan Khalaf sebagai bagian dari khazanah Islam dan memasyarakatkan sikap toleransi, sebab perbedaan dalam persoalan ini masih dalam level ijtihadiyyah.
Klasifikasi Syirik-Kufur Menjadi Akbar dan Ashghar
Madzhab Salafi membagi syirik, kufur, dan nifaq menjadi akbar (besar) dan ashghar (kecil). Perbedaannya sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh Shalih ibn Fauzan, syirik akbar dapat mengeluarkan pelakunya dari Islam dan menempatkannya kekal di neraka jika sampai meninggal dunia belum bertaubat darinya. Sementara syirik ashghar tidak sampai mengeluarkan pelakunya dari Islam, tetapi dapat mengurangi tauhid dan menjadi perantara kepada syirik akbar. Yang termasuk syirik akbar adalah syirkud-da’wah (berdo’a kepada selain Allah), syirkun-niyyah wal-iradah wal-qashd (meniatkan satu ibadah kepada selain Allah seperti berqurban, bernadzar, takut, dan berharap kepada selain Allah), syirkut-tha’ah (taat kepada selain Allah termasuk dalam menentukan hukum), dan syirkul-mahabbah (menyamakan cinta kepada selain Allah dengan cinta kepada Allah). Sementara syirik ashghar adalah bersumpah dengan selain Allah, menyandarkan “berkat kehendak” kepada selain Allah, memakai jimat, dan riya.
Ketika menjelaskan perbedaan kufur akbar dan ashghar, Syaikh Shalih ibn Fauzan memberikan penjelasan tambahan dari yang sudah dijelaskan dalam syirik akbar. Kufur akbar dapat menghapus seluruh amal, dapat menghalalkan darah dan harta, dan mengharuskan adanya permusuhan dari orang-orang beriman kepada mereka. Sedangkan kufur ashghar tidak demikian. Kufur akbar adalah kufrut-takdzib (mendustakan/tidak percaya kebenaran agama), kufrul-iba wal-istikbar ma’at-tashdiq (membangkang dan sombong dari syari’at Allah meski meyakini kebenarannya), kufrus-syakk (meragukan kebenaran agama), kufrul-i’radl (berpaling dari peringatan Allah), dan kufrun-nifaq (munafiq). Sementara kufur ashghar contohnya kufur nikmat, membunuh, dan bersumpah dengan selain Allah.
Demikian halnya ketika menjelaskan perbedaan nifaq akbar dan ashghar, Syaikh Shalih ibn Fauzan menyebutkan bahwa nifaq akbar mengeluarkan pelakunya dari Islam, sedangkan nifaq ashghar tidak. Tetapi beliau menambahkan penjelasan bahwa nifaq akbar berlaku dalam persoalan aqidah, sementara nifaq ashghar dalam amal. Nifaq akbar tidak mungkin diamalkan oleh seorang mukmin, sementara nifaq ashghar terkadang diamalkan juga oleh seorang mukmin. Nifaq akbar adalah mendustakan Rasul saw atau sebagian ajaran Rasul saw, membenci Rasul saw atau sebagian ajaran Rasul saw, dan senang dengan kemunduran Islam. Sementara nifaq ashghar adalah khianat amanah, berdusta, ingkar janji, dan senang bermusuhan.
Sebagaimana sudah disinggung dalam kritikan sebelumnya, madzhab Salafi tidak cermat membedakan syirik yang sampai keluar dari Islam dan syirik yang tidak membatalkan Islam dengan kategori syirik i’tiqadi (aqidahnya memang sudah syirik) dan syirik ‘amali (sebatas amal, sementara aqidahnya masih Islam). Demikian halnya dalam kufur, seyogianya batas antara kufur keluar dari Islam dan kufur masih dalam Islam itu adalah kufur i’tiqadi dan ‘amali. Dalam hal nifaq, Syaikh Shalih ibn Fauzan memang menggunakan kategori i’tiqadi dan ‘amali, tetapi dalam penyebutan contoh nifaq akbar tetap saja dimasukkan nifaq yang sebatas ‘amali saja. Jadinya kabur dan tidak konsisten. Jika nifaq akbar adalah nifaq i’tiqadi maka seharusnya tidak perlu ada uraian contoh nifaq ‘amali. Nifaq akbar itu tegas saja yang seperti Allah swt firmankan dalam QS. al-Baqarah [2] : 8: wa ma hum bi mu`minin; mereka tidak beriman kepada Allah dan hari akhir. Jadi dasarnya aqidah yang memang sudah kufur dan tidak beriman. Jika masih ada iman kepada Allah, maka nifaqnya hanya sebatas amal, tidak sampai memurtadkannya dari Islam.
Kategorisasi syirik, kufur, dan nifaq versi madzhab Salafi ini rentan pada takfir kaum muslimin yang mengamalkan amal-amal syirik tetapi aqidahnya jelas masih Islam dan masih meyakini la ilaha illal-‘Llah. Semestinya hadits syafa’at dijadikan patokan, sebagaimana al-Hafizh Ibn Hajar jelaskan di atas, dan itu yang dijadikan pegangan oleh para ulama Ahlus-Sunnah dari salaf sampai khalaf. Selama aqidah seseorang yakin la ilaha illal-‘Llah, maka amal-amal syirik, kufur, dan nifaq sebatas dikategorikan dosa besar, tidak sampai pada memurtadkannya dari Islam.
Aqidah Salaf seputar Iman dan Kafir
Al-Hafizh Ibn Hajar menjelaskan prinsip aqidah salaf seputar iman dalam pengantar kitab al-iman Fathul-Bari ketika mensyarah pernyataan Imam al-Bukhari: “Iman itu perkataan dan perbuatan, selain itu bertambah dan berkurang”. Maksudnya iman itu di samping keyakinan dalam hati mewujud juga dalam amal berupa perkataan dan perbuatan. Amal ini merupakan syarat dari kesempurnaan iman itu sendiri, bukan syarat sahnya iman. Artinya kalaupun tidak ada amal, iman itu tetap sah dan diakui. Ini jika perspektifnya dari Allah swt.
Sementara jika perspektifnya dari manusia, maka iman itu cukup dengan ikrar pengakuan saja. Siapa saja yang berikrar iman maka ia di dunia harus diperlakukan sebagai mukmin dan tidak boleh dihukumi kafir. Terkecuali jika seseorang terang-terangan beramal kafir seperti menyembah berhala. Adapun jika sebatas amal-amal fasiq, maka jika ia disebut iman, itu karena berdasar pada pengakuannya. Jika ia disebut tidak beriman, maka maksudnya tidak sempurna imannya, bukan hilang imannya atau kafir. Jika ia disebut kafir, maka maksudnya beramal seperti amal orang kafir. Dan jika ia disebut tidak kafir, itu didasarkan pada hakikatnya ia memang tidak kafir.
Maka konsekuensinya, iman itu “bertambah dan berkurang” karena sebab amal. Jika ada amal, maka imannya bertambah. Jika tidak ada amal, maka imannya berkurang, bukan hilang sama sekali. Atau maknanya iman berkurang karena maksiat, bukan berarti hilang sama sekali sehingga menjadi kafir. Sebagaimana disinggung di awal bahwa amal itu bukan syarat sahnya iman, melainkan syarat sempurnanya iman. Iman tetap sah meski tidak ada amal, tetapi kurang saja.
Al-Hafizh Ibn Hajar kemudian mengutip nama-nama ulama salaf yang menjelaskan prinsip iman dan kafir seperti di atas, di antaranya Sufyan ats-Tsauri, Malik ibn Anas, al-Auza’i, Ibn Juraij, Ma’mar, as-Syafi’i, Ahmad ibn Hanbal, Ishaq ibn Rahawaih, Abu ‘Ubaid, dan lainnya. Imam al-Bukhari sendiri ada sanadnya bahwa beliau pernah berkata: “Aku bertemu dengan lebih dari 1000 ulama di pusat-pusat negeri dan aku tidak menemukan seorang pun di antara mereka yang berbeda pendapat bahwa iman itu perkataan dan perbuatan, juga bertambah dan berkurang.”
Inilah konsep dasar aqidah Salaf. Wal-‘Llahu a’lam