Klaim Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah (Aswaja) hanya milik NU dan yang sealiran sudah mengemuka sejak kelahiran NU itu sendiri. Kelahiran NU sebagai respon atas gerakan Wahabi di tanah Saudi Arabia sulit untuk ditolak bahwa NU tidak mengakui Wahabi-Salafi sebagai bagian dari Aswaja. Masyumi dan PKS sendiri yang sebatas beririsan dengan Wahabi-Salafi terang-terangan divonis bukan Aswaja. Kelompok yang ditolak status Aswajanya kemudian balik menuduh NU dan yang sealiran sebagai Ahlul-Bid’ah dan bukan Ahlus-Sunnah.
Kearifan pikiran dan kejernihan hati dari umat Islam dalam hal ini dituntut untuk selalu dihadirkan agar klaim-klaim sepihak seputar Aswaja dengan menolak kelompok umat Islam lainnya yang masih Aswaja tidak terus terulang sampai hari kiamat.
Deliar Noer dalam Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942 pada sub bahasan “Reaksi Kalangan Tradisi” jelas menyebutkan bahwa Nahdlatul Ulama (NU) lahir sebagai respon atas tidak diakomodirnya suara Kalangan Tua oleh delegasi Komite Khilafah yang diwakili oleh Kia Mas Mansur dari Muhammadiyah dan Tjokroaminoto dari Sarekat Islam. Komite Khilafah itu sendiri adalah sebuah komite yang akan berembug dengan Ibnu Sa’ud, penguasa baru tanah suci, tentang kekhilafahan pasca runtuhnya Turki Usmani. Komite tersebut dibentuk oleh Kongres Al-Islam keempat di Yogyakarta (21-27 Agustus 1925) dan kelima di Bandung (6 Februari 1926). Usulan-usulan dari kalangan tradisi seperti membangun kuburan, membaca do’a dalail al-khairat, dan ajaran madzhab agar dihormati oleh penguasa baru tanah suci tidak direspon oleh Komite Khilafah.
Maka dari itu kalangan tradisi atas prakarsa K.H. Abdul Wahab Hasbullah membentuk Komite Hijaz pada 31 Januari 1926 sebagai tandingan dari Komite Khilafah. Komite Hijaz ini kemudian berganti nama menjadi Nahdlatul Ulama. Tugas utama Nahdlatul Ulama pada awal pendiriannya mengusulkan kepada Ibnu Sa’ud sebagai pemimpin baru di tanah suci agar mengakomodir tradisi-tradisi yang sudah biasa berlangsung di madzhab Syafi’i di tanah suci Makkah, seperti menjaga dan mengizinkan ziarah ke situs-situs ziarah dan tidak mengganggu orang-orang yang wirid dzikir dan mengaji fiqih madzhab Syafi’i. Karena usulan ini tidak direspon oleh Ibnu Sa’ud maka pada Kongres keenam di Surabaya (September 1926), Nahdlatul Ulama menyatakan ketidaksetujuannya terhadap Pemerintahan Ibnu Sa’ud dan menghimbau umat Islam untuk membenci ajaran Wahabi. Bahkan selama dua tahun berikutnya mengeluarkan himbauan untuk tidak melaksanakan haji ke tanah suci.
Jauh sebelum kasus Komite Khilafah itu sendiri, menurut Deliar Noer, ada hal lain yang menjadi sebab sebenarnya dan lebih dalam lagi letaknya dari kelahiran NU ini. Pada masa itu Muhammadiyah dan Persatuan Islam di Jawa telah meluaskan sayapnya. Terutama Muhammadiyah telah berhasil memasuki Jawa Timur khususnya Surabaya yang di masa kemudian menjadi pusat Nahdlatul Ulama. Inilah yang menurut Deliar Noer menjadi sebab sebenarnya NU lahir.
Dari masa awal Kongres al-Islam pertama (31 Oktober-2 November 1922) perbedaan pendapat antara Kaum Tua dan Kaum Pembaharu sebenarnya sudah terjadi. Haji Agus Salim dalam Hindia Baru menuliskannya: “…dalam suasana perbantahan dan pertentangan yang tajam di antara guru-guru dan ulama Islam”. Bahkan karena sudah ada “kafir-mengkafirkan, musyrik-memusyrikkan” kongres tersebut hampir saja gagal. Persinggungan ini baru mereda pada tahun 1930-an ketika Kaum Tua dan Pembaharu sepakat bekerja sama dalam MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia, dibentuk pada 21 September 1937) untuk perjuangan politik umat Islam, yang kemudian melahirkan Partai Masyumi pada tahun 1943. Akan tetapi kebersamaan NU dalam Masyumi juga hanya sampai tahun 1952. Pertentangan pemikiran keagamaan ditambah dengan perbedaan ijtihad politik dalam menghadapi Soekarno dan PKI telah memaksa NU untuk memisahkan diri dari Masyumi. Dalam situasi perpisahan ini, isu Masyumi bukan Aswaja seperti NU secara alami kembali muncul ke permukaan, sebagaimana dicatat oleh M. Isa Anshari dalam Manifest Perdjuangan Persatoean Islam. A. Hassan dan E. Abdurrahman sampai menuliskan satu tulisan khusus tentang apa dan siapa Aswaja itu agar tidak hanya diklaim oleh NU dan yang sealiran saja.
Di masa reformasi, di saat pertentangan pemikiran di antara sesama ormas Islam dengan sendirinya sudah mereda, keberadaan PKS yang mendapatkan suara signifikan sebagai partai Islam baru, terkena getah tudingan sebagai partai yang tidak Aswaja. Pada tanggal 21 Oktober 2008 PKS sampai mengeluarkan bayan (penjelasan resmi partai) bahwa PKS tidak ada kaitannya dengan Wahabi, melainkan berideologi Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah dengan karakteristik: Tidak membid’ahkan qunut shubuh, membolehkan tahlilan, perayaan maulid Nabi saw, dan yasinan (Republika 23/10/2008). Meski demikian, bayan tersebut rupanya tidak mempan. Lima tahun berikutnya ketika PKB Gus Dur kalah di pengadilan dan setelah berkonsultasi ke sembilan kyai sepuh NU, Yenny Wahid kemudian mempersilahkan kadernya untuk memilih melalui partai lain selain PKB dan PKS. Alasannya karena PKB telah mengkhianati Gus Dur, sementara PKS tidak berideologi Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah. Dalam diskusi publik yang digelar DPP PKS setahun silam (11/12/2019) tentang penguatan orientasi fiqih dan ideologi wasathi, KH. Idrus Ramli yang menjadi salah satu nara sumber terang-terangan menganjurkan agar PKS berideologi Aswaja supaya bisa menang lebih signifikan lagi. Ini adalah bukti bahwa klaim Aswaja untuk NU atau yang sealiran masih susah dihilangkan oleh para petinggi NU itu sendiri.
Meski kemudian NU belakangan sedikit lebih moderat dengan mengakui di luar NU juga mungkin termasuk Aswaja, tetapi tetap saja NU mencoba mengindentifikasikan dirinya sebagai ahlus-sunnah wal-jama’ah yang “unik” yang berbeda dengan yang lainnya. Hal ini di antaranya diketahui dari buku Aswaja an-Nahdliyyah. Buku yang ditulis oleh PWNU Jawa Timur tersebut, secara eksplisit (jelas) menyebutkan bahwa Aswaja versi NU berbeda dengan Aswaja versi yang lainnya. Bahkan buku ini terbit untuk mempertegas identitas Aswaja NU.
Latar belakang diterbitkannya Buku Aswaja NU ini antara lain karena munculnya berbagai kelompok di tengah masyarakat Islam yang mengaku sebagai golongan Ahlus Sunnah wa al-Jama’ah. Contohnya seperti MMI (Majelis Mujahidin Indonesia), FPI (Front Pembela Islam), HTI (Hizbut Tahrir Indonesia), Lasykar Jihad Ahlussunnah wa al-Jama’ah, Salafi, Jama’ah Tabligh atau Jawlah (2006: 5).
Kutipan di atas menegaskan bahwa Aswaja dalam versi NU sangat berbeda dengan Aswaja versi yang lainnya. Perbedaan tersebut membentuk sebuah persepsi pada oposisi biner (pertentangan antara dua unsur); NU disimbolkan dengan Aswaja yang tawassuth (moderat), tasammuh (toleran), dan tawazzun (seimbang); sedangkan yang lain disimbolkan dengan Aswaja yang tatharruf (ekstrim), ta’asshub (intoleran), dan ghuluw (berlebihan).
Golongan di atas tadi [MMI, FPI, HTI, dll] suka menuduh golongan lain sebagai ahli bid’ah, syirik, khurafat, dhalalah, dan sebagainya. Walaupun mengaku berpaham dan berlabel Aswaja tapi perilakunya terkesan radikal, penuh tindak kekerasan, dan merasa hanya kelompoknya yang paling benar dan paling Islam. Kelompok lain yang tidak sama dengan paham mereka dianggap salah dan bahkan keluar dari ajaran Islam.
Dalam buku itu disebutkan bahwa Aswaja versi NU mencakup persoalan-persoalan aqidah, syari’ah, akhlak, tradisi-budaya, dan kebangsaan-kenegaraan. Dalam persoalan aqidah, NU berafiliasi kepada konsep aqidah Asy’ariyyah-Maturidiyyah; dalam persoalah syari’ah NU memegang teguh madzhab syafi’i sebagai mazhab resminya; dalam persoalan akhlaq NU mendukung teguh konsep tasawufnya al-Ghazali; dan lain sebagainya. Semua itu menjadi ciri khas ahlus-sunnah wal-jama’ah an-nahdhiyyah (NU).
Pengerucutan Aswaja seperti ditempuh NU Jawa Timur itu sebenarnya malah menimbulkan masalah baru; bagaimana status klaim Aswaja dari selain NU yang madzhabnya Salafi, Hanbali, dan tidak menempuh tasawuf melainkan hanya sebatas suluk seperti diajarkan Ibn Taimiyyah dan Ibnul-Qayyim al-Jauziyyah. Apakah hendak ditolak sebagai Aswaja? NU sudah semestinya bersikap arif dalam mengelompokkan Aswaja. Jangan lagi terjebak pada potret kelam sejarah masa lalu yang sudah seharusnya dikubur dalam-dalam.