Ketika Omnibus Law diketuk palu, Muhammad Yamin, Ketua LBH (Lembaga Bantuan Hukum) Persatuan Islam, mengkritik keras UU Cipta Kerja karena muatannya bertentangan dengan Pancasila dan juga syari’at Islam. Menurut ahli hukum yang dipanggil Abah ini, umat Islam seharusnya menyadari posisinya yang menjadi sasaran dari UU ini. Untuk itu, bentuk-bentuk protes dan pernyataan penolakan saja menurutnya tidak cukup. Umat Islam harus saling bekerja sama dalam satu kesatuan langkah untuk berusaha sekeras-kerasnya berjuang, agar pemerintah mencabut UU Cipta Kerja atau dibatalkan pelaksanannya. Tim redaksi Majalah Tafaqquh berkesempatan beliau di tengah-tengah kesibukannya. Dengan gaya bahasa yang santai, namun berbobot, beliau membeberkan hal-hal penting yang perlu dicermati dalam UU ini. Dari siapa, oleh siapa, dan untuk siapa?
Apa Omnibus Law itu dan apa sebenarnya tujuan pemerintah mengesahkannya?
Omnibus Law itu artinya menumpuk segala aturan yang sudah jadi sampah, dalam satu bus besar, dalam satu kerangka hukum yang besar, yang pada waktu itu sudah diabaikan oleh negara-negara maju. Perancis, Amerika, dll. itu sudah tidak memakainya lagi karena menyengsarakan semua komponen kehidupan bermasyarakat. Mulai dari prosedur sudah tidak sejalan dengan tata cara atau mekanisme dalam Undang-undang No. 12 Tahun 2011 tentang Peraturan Pembentukan Perundang-undangan. Padahal aturan ini berlaku dan memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Omnibus Law itu tujuannya untuk menyingkat bikrokrasi yang di Indonesia itu kadang dananya lebih banyak ke birokrasi, daripada untuk usahanya. Yang pertama itu.
Kedua, undang-undang ini terdapat penyimpangan atas hukum lex superior derogat legi inferiori (asas penafsiran hukum yang menyatakan bahwa hukum yang tinggi mengesampingkan hukum yang rendah). Di mana dalam pasal 170 ayat (1) dan (2) UU Cipta Kerja, Peraturan Pemerintah mengubah peraturan setingkat undang-undang jika muatan materi tidak selaras dengan rencana strategis UU Cipta Kerja. Jadi, dibabat itu undang-undang yang sudah ada dengan dibuat satu undang-undang Omnibus Law itu. Untuk menyingkat semua birokrasi maka ditumpuk di situ. Maka dari itu sangat berbahaya. Undang-undang Cipta Kerja, atau cilaka menurut para buruh, membutuhkan sekitar 516 peraturan pelaksana yang bertumpuk pada kekuasaan dan kewenangan lembaga. Jadi, yang lain tidak bisa bergerak. Karena sudah dipegang oleh kekuasaan Presiden dan lembaga eksekutif. Padahal dulu dikawal oleh legislatif dan yudikatif, sehingga memicu penyalahgunaan wewenang atau abuse of power.
Terus tidak ada jenis undang-undang yang lebih tinggi atau superior atas undang-undang yang lain sebenarnya. Tetapi Omnibus Law ini luar biasanya menghancurkan tatanan perundang-undangan di kita. Sehingga apabila UU Cipta Kerja disahkan seperti sekarang ini maka ia menjadi undang-undang yang superior. Yang lain jadi tidak berarti. Karena di situ menumpuk berapa puluh undang-undang, yang justru akan menghancurkan undang-undang itu sendiri. Hal ini akan menimbulkan kekacauan hukum dan ketidakpastian hukum.
Sebenarnya bagaimana gambaran regulasi usaha sebelum adanya Omnibus Law? Apakah memang rumit sekali sehingga diringkas dengan Omnibus Law, atau seperti apa?
Ya tidak. Undang-undang harus punya otoritas masing-masing, tidak boleh ditumpuk-tumpuk. Kan undang-undang itu punya kekuatan yang sama. Tidak ada yang punya kekuatan yang lebih. Itu yang kita tolak. Nanti undang-undang perburuhan; undang-undang pesantren; undang-undang lingkungan hidup ke mana? Di sanalah justru terdapat kekuasaan yang bisa menentangnya.
Kenapa kita harus menolak Omnibus Law? Pasal-pasal apa saja yang bermasalah?
Semua pasal. Kalau banyak undang-udang ditolak itu berarti semua pasal bermasalah. Semua tidak ada relevansi lagi dengan apa yang harus dilakukan oleh negara. Negara sangat berkuasa dengan undang-undang ini. Maka bisa mengakibatkan penundaan kewajiban negara memenuhi hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak sehingga melanggar kewajiban realisasi progresif atas pemenuhan hak-hak sosial ekonomi. Sejatuh itu. Jadi rinciannya ada perburuhan dll. Sampai Pesantren pun harus izin ke Presiden. Tidak boleh membuat Pesantren ‘macem-macem’. Nanti orang luar negeri bisa membuat rumah dan pabrik tidak usah izin Pemerintah Daerah segala macam, bisa langsung saja ke Presiden. Di Amerika itu lebih mahal membuat izin sosialnya daripada membuat pabriknya. Mereka harus punya jalan sendiri. Batu bara, misalnya, tidak boleh memakai jalan umum.
Kalau Omnibus Law itu sangat berbahaya, lalu tujuan Pemerintah membuat Omnibus Law itu apa sebenarnya?
Tujuannya untuk memudahkan regulasi semua birokrasi yang sekarang tersekat; berbelit-belit; dan tidak ekonomis/efisien, menurut mereka. Sebenarnya tidak ada masalah kalau mau jujur. Karena disinyalir ada oligarki ingin menguasai semua yang mereka inginkan, maka membuat undang-undang untuk kepentingan mereka sendiri karena takut dicampuri oleh yang lain. Kalau tujuannya untuk mengefisiensikan birokrasi tidak masalah. Nyatanya pembuat undang-undang ini saja tidak tahu untuk apa? Siapa yang di balik itu? Masa anggota DPR yang memimpin sidang saja tidak tahu undang-undang ini mau jadi apa?
Ini adalah pelemahan atas kewajiban negara untuk melindungi hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Nanti bisa sembarangan saja. Yang tercermin dari pembatasan hak-hak untuk berpartisipasi. Kita ini rakyat tidak punya hak apa-apa karena negara sudah mengatur dengan undang-undang ini. Jadi kebijakannya tersentralisasi (terpusat) ke pimpinannya yang ditunjuk. Jadi ada pembatasan hak atas partisipasi dan informasi. Terkait dengan ketentuan yang mengubah izin lingkungan menjadi persetujuan lingkungan yang sekarang asal disetujui saja, maka berkuranglah kewajiban atas amdal (analisis dampak lingkungan), hingga berpotensi alih tanggung jawab kepada individu. Undang-undang itu menyeret kepada marginalisasi.
Relaksasi atas ruang dan wilayah demi kepentingan strategis nasional yang dilakukan tanpa memerlukan persetujuan atau rekomendasi apapun, dari institusi atau lembaga yang mengawasi kebijakan tata ruang dan wilayah, sehingga membahayakan keserasian dan daya dukung lingkungan, itu sangat berbahaya. Kemudian, pemunduran juga atas menghormati; melindungi; dan memenuhi hak-hak atas kepemilikan tanah melalui perubahan UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadanaan Tanah, yang terkait dengan penggunaan tanah untuk kepentingan umum.
Lalu pemunduran atas pemenuhan hak pangan dan kemudahan akses dan kepemilikan sumber daya alam, terutama tanah, antara masyarakat dan korporasi. Hal ini, di antaranya, terkait dengan penghapusan kewajiban pembangunan kebun plasma untuk masyarakat minimal 20% dari luar izin. Pembentukan Bank Tanah menjadikan lahan sekedar kepentingan komoditas ekonomi yang luasan pengelolaan tanah diberikan 90 tahun. Itu mengerikan. Terus politik hukuman dalam UU Cipta Kerja bernuansa diskriminatif karena lebih menjamin kepentingan sekelompok orang. Atau bisa juga dianggap persekusi karena dijamin sekelompok orang atau pelaku usaha sehingga mencederai hak-hak atas persamaan di depan hukum.
Karena dua lembaga tinggi negara sudah sepakat. Satu menyampaikan rancangan undang-undang itu, satu lagi mengesahkannya, maka sudah sah secara konstitusi. Kalau isi materi itu merusak rakyat; lingkungan; pendidikan; hak-hak orang; persamaan di depan hukum, maka akan menjadi masalah.
Upaya hukum apa saja yang bisa kita lakukan untuk menyuarakan tentang penolakan dan penggagalan Omnibus Law di mana Presiden enggan mengeluarkan Perppu?
Dalam Undang-undang Mahkamah Konstitusi (MK) ada dua pasal yang menyebut apabila pihak penggugat memenangkan gugutannya tentang konstitusi, Presiden tidak lagi bisa melaksanakan itu. Seperti KPU kemarin, bahwa harus diulang, maka sudah tidak bisa karena sudah dipenggal pasal itu. Tidak bisa dieksekusi lagi. Proses perubahan Undang-undang MK berlangsung cukup cepat waktu tanggal 25 Agustus 2020, seingat saya, dan tidak ada keriuhan juga di luar. Karena tertutup keriuhan RUU Cipta Kerja dan RUU BPIP. UU MK ini sudah dimonopoli oleh kekuasaan. Padahal MK sejajar dengan kekuasaan. Jadi, berat.
Apa sikap Persis terhadap Omnibus Law ini?
Persis sudah membuat pernyataan penolakan terhadap hal itu. Sudah ada pernyataan dari Ketua Umum dan Sekretaris Umum. Persis tetap akan mengawal Omnibus Law agar sejalan dengan hak hidup rakyat dan bangsa, tidak ‘mencekik’ dan mengkriminalisasi rakyat. Jadi, tidak boleh taat pada hal-hal yang maksiat. Menurut saya, ini adalah undang-undang maksiat. Harus kita lawan dengan sekemampuan kita []
Saeful Ja’far Sidik dan M. Elfa El Aufa