“Dalam webinar Dewan Tafkir, Ustadz Aceng di pembukaan menyebutkan peran ulama. Kalau kita menempatkan ulama tidak pada posisi yang semestinya, maka urusan tidak akan baik. Negara ini akan baik kalau antara umara dan ulamanya kompak. Memang di pucuk pimpinan ulama-umara ‘kompak’. Tapi dalam prkatek di lapangan banyak ulama-ulama yang bersebrangan dengan pemerintah perlu diposisikan sesuai dengan maqam-nya. Kalau ulama sudah dinistakan hancurlah negara. Jadi antara ulama dan umara ini harus saling bersinergi, jangan saling mencurigai.” Itulah salah satu kutipan wawancara tim reporter Majalah Tafaqquh dengan Sekretaris Umum PP Persis Ustadz Dr. Haris Muslim di kantornya berkaitan dengan urgensi peran ulama dan umara, serta tanggapan Persis mengenai kejadian yang ramai diperbincangkan akhir-akhir ini terkait FPI. Simak selengkapnya!
Apa pendapat Persis mengenai keberadaan ormas FPI di negeri ini?
Pertama, kita memandang itu bisa dari sisi plus dan minus -untuk tidak mengatakan positif negatif, kita punya kebebasan berserikat; kebebasan berkumpul untuk tujuan-tujuan yang baik. Maka, keberadaan FPI dalam koridor ini menurut saya itu hak warga negara untuk mereka berkumpul; untuk mereka megadakan suatu organisasi, itu adalah hak yang dilindungi oleh undang-undang. Maka ketika memandang FPI jangan terjebak dengan image seolah-olah FPI ini identik dengan kekerasan; identik dengan pemberantasan tempat maksiat dengan cara keras; identik dengan menyatakan pendapat dengan keras, sehingga image FPI ini mejadi negatif. Padahal, FPI ini banyak juga sisi-sisi humanis. Misalkan, ketika terjadi bencana; ketika terjadi musibah di satu tempat, dulu saat di Aceh terjadi tsunami, maka laskar FPI termasuk laskar yang ada di depan untuk membantu yang sifatnya kemanusiaan. Bahwa kemudian ada hal-hal yang tidak berkenan dengan tindakan FPI, meurut saya, itu tidak bisa megeneralisir. Menurut saya itu itu bisa melokalisir permasalahan, fokus pada sisi apa mereka kurangnya, tinggal tawashau (saling menasehati) saja.
Sepanjang saya memandang, memang FPI ini keras, karena bukan amar ma’ruf-nya yang muncul, tapi nahyi mukar. Nahyi munkar itu pasti begitu, beda dengan amar ma’ruf. Jadi, saya memandang FPI ini suatu organisasi yang positif, tapi hal-hal yang berkenan dengan FPI ini bisa mungkin didialogkan, diluruskan. Saya kurang percaya kalau FPI ini berencana mengganti asas negara. Kalau memang melanggar hukum, ya tinggal ditindak secara hukum. Bisa didialogkan, bisa juga ditindak secara hukum. Pastilah semua kelompok; semua lembaga; semua organisasi pasti ada plus dan minusnya. Memandang FPI juga tidak bisa memandang minusnya saja, tapi juga kita bisa memandang mereka dari sisi-sisi humanis, yang saya kira itu positif. Dan itu harus didukung.
Perlukah adanya FPI di Indonesia? Kalau iya, sampai sejauh mana?
Dalam konteks yang tadi saya sebutkan, FPI tentu dibutuhkan. Dalam konteks amar ma’ruf nahyi munkar; kemanusiaan; memperkuat kemasyarakatan tentang agama, menurut saya, dibutuhkan. Dalam catatan pemerintah ada lebih dari 200.000 ormas yang ada di Indonesia. Menurut saya, kemunculan FPI ini tidak menghilangkan dan meruntuhkan ormas-ormas yang lebih dulu eksis, seperti Persis, NU, dan Muhammadiyah. Buktinya ormas-ormas tersebut masih berkiprah sampai sekarang. Kita sedang tidak bersaing dengan FPI. Lalu, misalkan, banyak orang yang mengidolakan FPI; mengidolakan Habib Riziq, mungkin mereka merasa ada keluhan; ada aspirasi; ada gejolak yang terwakili oleh teman-teman FPI. Saya kira ini sah-sah saja selama yang disuarakannya itu benar dan disampaikan dengan cara yang benar. Jangan sampai karena fenomena latah, atau trend. Karena trend itu ada musimnya. Saya pikir, menyayangkan kalau FPI ini menjadi trend. Jadi apapun nama ormasnya selama tujuannya baik, selama cara yang dipakainya baik, kemudian menyampaikan amar ma’ruf nahyi munkar, ya kita dukung. Saya pikir nahyi munkar disampaikan secara lemah lembut pun terasanya keras. Jadi kita memosisikan mereka untuk berbagi peran dan saling mengisi.
Terkait penembakan yang menimpa laskar FPI, kita menemukan fakta yang beragam sehingga kita dibuat bingung, seperti apa tanggapan dari Ustadz, dan sikap dari Persis sendiri?
Kalau berbicara dibuat bingung, menurut saya, tidak ada yang tidak dibuat bingung. Makanya, pertama, kalau kita tidak tahu sebenarnya itu apa jangan terlalu banyak berkomentar, biasa saja. Tapi, bisa kita memakai timbangan, atau kaidah umum, baik itu dari hukum Islam atau dari hukum bernegaranya. Terbunuhnya -untuk tidak menyebut syahid- enam laskar FPI itu dari sisi manapun tidak bisa dibenarkan. Jangan dulu pakai hukum Islam; jangan dulu pakai Q.S. al-Maidah: 32. Pakai hukum negara saja tidak dibenarkan. Kalau mereka salah, tangkap! Adili! Karena ini negara hukum. Ada situasi penegak keamanan itu dalam posisi membela diri sehingga terpaksa. Nah ini bisa dibuktikan sebetulnya secara forensik. Kalau diotopsi bisa dibuktikan. Apakah ini misalkan bekas lukanya adalah bekas diserang atau disengaja. Itu ada ilmunya. Polisi sangat paham betul. Cuman, saya termasuk yang sulit menerima fenomea ini. Kalau Anda berbicara khusus ini.
Tangkap mereka kalau mereka bersalah. Baik kalau mereka salah, tangkap mereka, adili. Hukum setelah divonis Itu baru negara hukum. Teorinya kalau mereka bersalah, tangkap mereka. Kalau mereka melawan, polisi berhak membela. Itu pun yang ditembak apa coba? Mestinya apa? Kaki. Polisi itu tidak punya wewenang menembak dada. Yang ditembak itu kaki. Kalau misalkan kakinya lumpuh, bawa. Kenapa maling ditembak kaki, tidak pernah ditembak dada atau kepala, biar hidup. Tapi kalau dia tidak lari, ditembak tidak? Tidak, tangkap.
Kita sudah menyampaikan di beberapa wawancara di beberapa media, kita menyesalkan bahkan mengutuk, dan meminta adanya tim independen dalam meneliti kasus ini. Sehingga masalahnya clear (beres).
Apa arti jihad menurut Persis sebagai warga negara?
Kembali kepada definisi jihad. Jihad menurut Ibnu Taimiyah ada dua. Jihad secara umum dan jihad secara khusus. Jihad secara umum itu tidak terbatas waktu dan kondisi. Semua usaha, kerja keras untuk mencapai ridha Allah dan meghindari murka Allah itu jihad. Dalam hadits, al-mujahidu man jahada fi tha’ati-Llah, orang yang jihad itu adalah ia yang sungguh-sungguh dalam taat kepada Allah. Dalam konteks ini jihad itu luas. Maka dari ini sebetulnya Persis yang memomulerkan istilah jihad. Program jihad; masa jihad, itu kan jihad secara umum.
Tapi ada jihad dalam arti khusus. Itu tidak bisa dihindari juga. Jihad dalam arti khusus adalah perang, mengangkat senjata. Dan itu menurut saya legal, secara agama, bahkan secara hubugan bernegara pun kondisi perang itu ada. Tetapi, jihad dalam arti khusus ini sangat kondisional. Itu adalah pintu terakhir, bukan pintu pertama. Lihat saja bagaimana Rasul berdakwah. Jadi kapan Rasul melakukan kontak senjata? Dalam situasi apa Rasul melakukan kontak senjata? Dan ketika terjadi kontak senjata di zaman Rasul, itu kan sangat humanis. Orang tua hindari; wanita hindari; bangunan hindari; dsb. Sehingga perang itu menjadi wilayah militer, bukan wilayah sipil. Berbeda dengan Israel. Ketika menyeragn Palestina, siapa korbannya? Nah, itu juga jihad. Jangan ditiadakan. Tetapi jihad ini image0nya jadi jelek, karena jihad itu image-nya menjadi seolah-olah Islam ini adalah agama yang mengusung kekerasan. Padahal Islam ini pada dasarnya adalah agama yang mengusung cinta damai. Ini harus dibenarkan karena terjadi distorsi (penyimpangan makna) sehingga memahami jihad ini mejadi satu momok yang ditakuti. Padahal tidak.
Kalau tidak ada jihad dalam arti perang, mugkin Indonesia tidak akan merdeka. Siapa yang memproklamirkan jihad itu? Para santri, para ustadz. Siapa Jendral Sudirman, Pangeran Dipenogoro? Mereka itu kan para santri. Siapa Imam Bonjol? Itu kan para santri, para ustadz. Makanya kalau kita sekarang memusuhi kata jihad itu sama saja memusuhi kemerdekaan Indonesia.
Harapan dari Ustadz sendiri, selaku sekretaris umum PP Persis, untuk Indonesia ke depan seperti apa?
Indonesia ini jadilah Indonesia. Kenapa terjadi seperti apa yang selama ini terjadi mungkin karena Pancasila dan UUD 1945 hanya jadi hiasan saja, tidak jadi landasan dalam berbangsa dan bernegara. Insya’-Llah, Islam dan para ulama mendukung NKRI. Pendiri NKRI ini juga kan ulama, M. Natsir. Kenapa terjadi kebingungan dan carut-marut segala macam, mungkin kita belum benar-benar mengamalkan Pancasila dalam berbangsa dan bernegara.
Reporter: Saeful Ja’far Shidieq
Pewancara: Farhan Fuadi Rahman
Juru Foto: Ahmad Basyir Munawar