وَكَذَلِكَ جَعَلْنَا فِي كُلِّ قَرْيَةٍ أَكَابِرَ مُجْرِمِيهَا لِيَمْكُرُوا فِيهَا وَمَا يَمْكُرُونَ إِلَّا بِأَنْفُسِهِمْ وَمَا يَشْعُرُونَ (123)
Dan demikianlah Kami adakan pada tiap-tiap negeri penjahat-penjahat yang terbesar agar mereka melakukan tipu daya dalam negeri itu. Dan mereka tidak memperdayakan melainkan dirinya sendiri, sedang mereka tidak menyadarinya.
(QS. Al-An’am [6]: 123)
Di Indonesia istilah makar selalu merujuk pada makna negatif. Dalam KBBI sendiri misalnya, makar dimaknai degan akal busuk; tipu muslihat, usaha dengan maksud untuk menyerang (membunuh), dan usaha untuk menjatuhkan pemerintahan yang sah.
Padahal menurut ar-Raghib al-Ashfahani makar itu ada dua bentuk; yang baik dan yang buruk. Buruk jika makar itu ditujukan untuk sesuatu yang buruk. Baik jika makar itu ditujukan untuk sesuatu yang baik. (Mu’jam Mufradat al-Fadzil Qur’an, 2008: 525)
وَإِذْ يَمْكُرُ بِكَ الَّذِينَ كَفَرُواْ لِيُثْبِتُوكَ أَوْ يَقْتُلُوكَ أَوْ يُخْرِجُوكَ وَيَمْكُرُونَ وَيَمْكُرُ اللَّهُ وَاللَّهُ خَيْرُ الْمَاكِرِينَ
Dan (ingatlah), ketika orang-orang kafir (Quraisy) melakukan makar terhadapmu untuk menangkap dan memenjarakanmu atau membunuhmu, atau mengusirmu. Mereka melakukan makar dan Allah menggagalkan makar itu. Dan Allah sebaik-baik pembuat makar (pembalas tipu daya). (QS. Al-Anfal [8]: 30)
Ayat ini menjelaskan bahwa makar (tipu daya) yang ditujukan untuk kejelekan dan kedzaliman, tidak akan pernah mengalahkan makar (tipu daya) Allah swt yang ditujukan untuk pertolongan terhadap mereka yang memperjuangkan kebaikan.
Kebinasaan untuk Pembuat Makar
Akabir yang diartikan dengan para penguasa dan pembesar pada ayat ini merupakan sosok rival para nabi. Dimana Allah swt menjadikannya sebagai lawan dan musuh bagi setiap para nabinya yang diutus. Hal ini sebagaimana yang tercantum dalam ayat lainnya.
وَمَا أَرْسَلْنَا فِي قَرْيَةٍ مِنْ نَذِيرٍ إِلَّا قَالَ مُتْرَفُوهَا إِنَّا بِمَا أُرْسِلْتُمْ بِهِ كَافِرُونَ (34) وَقَالُوا نَحْنُ أَكْثَرُ أَمْوَالًا وَأَوْلَادًا وَمَا نَحْنُ بِمُعَذَّبِينَ (35)
Dan Kami tidak mengutus kepada suatu negeri seorang pemberi peringatan pun, melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata: “Sesungguhnya kami mengingkari apa yang kamu diutus untuk menyampaikannya”. Dan mereka berkata: “Kami lebih banyak mempunyai harta dan anak- anak (daripada kamu) dan kami sekali-kali tidak akan diazab. (QS. Saba [34]: 34-35)
قَالَ الْمَلَأُ الَّذِينَ اسْتَكْبَرُوا مِنْ قَوْمِهِ لِلَّذِينَ اسْتُضْعِفُوا لِمَنْ آمَنَ مِنْهُمْ أَتَعْلَمُونَ أَنَّ صَالِحًا مُرْسَلٌ مِنْ رَبِّهِ قَالُوا إِنَّا بِمَا أُرْسِلَ بِهِ مُؤْمِنُونَ (75) قَالَ الَّذِينَ اسْتَكْبَرُوا إِنَّا بِالَّذِي آمَنْتُمْ بِهِ كَافِرُونَ (76)
Pemuka-pemuka yang menyombongkan diri di antara kaumnya berkata kepada orang-orang yang dianggap lemah yang telah beriman di antara mereka: “Tahukah kamu bahwa Shaleh di utus (menjadi Rasul) oleh Tuhannya?”. Mereka menjawab: “Sesungguhnya kami beriman kepada wahyu, yang Shaleh diutus untuk menyampaikannya”. Orang-orang yang menyombongkan diri berkata: “Sesungguhnya kami adalah orang yang tidak percaya kepada apa yang kamu imani itu”. (QS. Al-A’raf [7]: 75-76)
Dalam sejarahnya tercatat beberapa penguasa dan pembesar yang Allah jadikan sebagai musuh para nabi. Misalnya Namrud, Fir’aun, dan Abu Jahal. Mereka selalu melakukan makar-makar untuk menyakiti para nabi dan bahkan membunuhnya.
Namrud seorang raja asal Babilonia yang masih seketurunan dengan putra Nabi Nuh, Sam, berkuasa atas negerinya selama empat ratus tahu. Karena saking lamanya ia berkuasa dan tidak ada yang dapat menggantikannya, ia menganggap dirinya tuhan. Maka ketika Nabi Ibrahim menyebarluaskan dakwahnya dan mengajak siapapun -termasuk Namrud- untuk hanya beriman kepada Allah swt semata, dengan semena-mena ia menolak dan tetap mengklaim dirinya sebagai tuhan. Perdebatan tentang identitas tuhan yang terjadi antara Namrud dan Ibrahim ini diabadaikan dalam ayat berikut ini:
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِي حَاجَّ إِبْرَاهِيمَ فِي رَبِّهِ أَنْ آتَاهُ اللَّهُ الْمُلْكَ إِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّيَ الَّذِي يُحْيِي وَيُمِيتُ قَالَ أَنَا أُحْيِي وَأُمِيتُ قَالَ إِبْرَاهِيمُ فَإِنَّ اللَّهَ يَأْتِي بِالشَّمْسِ مِنَ الْمَشْرِقِ فَأْتِ بِهَا مِنَ الْمَغْرِبِ فَبُهِتَ الَّذِي كَفَرَ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ (258)
Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang mendebat Ibrahim tentang Tuhannya (Allah) karena Allah telah memberikan kepada orang itu pemerintahan (kekuasaan). Ketika Ibrahim mengatakan: “Tuhanku ialah yang menghidupkan dan mematikan,” orang itu berkata: “Saya dapat menghidupkan dan mematikan”. Ibrahim berkata: “Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur, maka terbitkanlah dia (matahari) dari barat,” lalu terdiamlah orang kafir itu; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim. (QS. Al-Baqarah [2]: 258)
Menurut Zaid bin Aslam –sebagaimana yang dikutip Ibnu Katsir- bahwa Ibrahim mengajak berkali-kali kepada Namrud agar beriman kepada Allah swt. Akan tetapi ia tetap menolak dan malah menantang Ibrahim agar mengumpulkan pasukan untuk bertempur dengan pasukannya. Dari tantangannya itu Allah pun mengirimkan serangga sejenis nyamuk. Karena saking banyaknya serangga yang Allah kirimkan, sampai-sampai cahaya matahari tidak terlihat yang saat itu pasukan Namrud telah berkumpul. Kemudian pasukan Namrud pun sirna dimakan serangga. Adapun Namrud ia harus menderita sakit kepala selama empat ratus tahun disebabkan serangga yang Allah kirimkan masuk kehidungnya. (Qashahul Anbiya)
Perdebatan semisal itu pun terjadi antara Nabi Musa dan Fir’aun. Fir’aun sebagai raja Mesir yang bengis yang memperlakukan Bani Israil layaknya budak dan telah membunuh anak laki-laki dan perempuan mereka secara bergantian, telah menganggap dirinya sebagai tuhan.
إِذْ نَادَاهُ رَبُّهُ بِالْوَادِ الْمُقَدَّسِ طُوًى (16) اذْهَبْ إِلَى فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَى (17) فَقُلْ هَلْ لَكَ إِلَى أَنْ تَزَكَّى (18) وَأَهْدِيَكَ إِلَى رَبِّكَ فَتَخْشَى (19) فَأَرَاهُ الْآيَةَ الْكُبْرَى (20) فَكَذَّبَ وَعَصَى (21) ثُمَّ أَدْبَرَ يَسْعَى (22) فَحَشَرَ فَنَادَى (23) فَقَالَ أَنَا رَبُّكُمُ الْأَعْلَى (24)
Tatkala Tuhannya memanggilnya di lembah suci ialah lembah Thuwa; “Pergilah kamu kepada Fir’aun, Sesungguhnya dia telah melampaui batas. dan Katakanlah (kepada Fir’aun): “Adakah keinginan bagimu untuk membersihkan diri (dari kesesatan)”. Dan kamu akan kupimpin ke jalan Tuhanmu agar supaya kamu takut kepada-Nya?”. Lalu Musa memperlihatkan kepadanya mukjizat yang besar. Tetapi Fir´aun mendustakan dan mendurhakai. Kemudian dia berpaling seraya berusaha menantang (Musa). Maka Dia mengumpulkan (pembesar-pembesarnya) lalu berseru memanggil kaumnya. (seraya) berkata: “Akulah Tuhanmu yang paling tinggi”. (QS. An-Nazi’at [79]: 16-24)
Demikian halnya Abu Jahal seorang pemuka Qurasy, menjadi rival bagi Nabi Muhammad saw selama perjalanan dakwahnya di kota Makkah. Orang yang memiliki nama asli Amr bin Hisyam dan memiliki gelar Abul Hakam itu, tidak pernah berhenti mencaci dan menyakiti Nabi saw.
Suatu ketika di Darun Nadwah, orang-orang Quraisy melakukan makar terhadap Nabi Muhammad saw. Mereka berunding untuk memutuskan bagaimana bentuk makar yang akan diarahkan kepada Nabi saw. Di antara pendapat yang diajukan di Darun Nadwah, pendapat Abu Jahal-lah pendapat yang terbilang keji. Isi makar yang diajukan Abu Jahal adalah rekayasa pembunuhan terhadap Nabi saw dengan mengambil para pemuda di setiap kabilah dan memberikannya masing-masing sebilah pedang. Sehingga ketika Nabi saw terbunuh, seolah-olah yang membunuhnya adalah seluruh kabilah. Dengan demikian Bani Abdi Manaf tidak akan mampu memerangi seluruh kabilah dan mereka akan terpaksa menerima ganti rugi dari setiap kabilah. Dan pendapat Abu Jahal itu kemudian diterima dalam permusyawaratan tersebut.
Akan tetapi Allah memberitahukan kepada Nabi saw tentang rencana makar jahat itu. Sehingga Allah memerintahkan Nabi saw untuk berhijrah ke Madinah. Rencana makar Abu Jahal beserta konco-konconya akhirnya gagal.
Abu Jahal akhirnya menghampiri ajalnya saat perang Badar. Ia dibuat sakarat oleh kedua pemuda yang geram terhadap Abu Jahal, setelah kedua pemuda yang bernama Mu’adz bin Amr dan Mu’awwidz bin Afra itu tahu bagaimana perlakuan Abu Jahal kepada Nabi saw. Saat Abu Jahal sekarat dan setelah dieksekusi mati oleh Ibnu Mas’ud, jasad Abu Jahal diperlihatkan kepada Nabi Muhammad saw. Lalu beliau pun bersabda:
اللهُ أَكْبَرُ، اَلْحَمْدُ للهِ الَّذِي صَدَقَ وَعْدَهُ وَ نَصَرَ وَعْدَهُ وَ هَزَمَ الْأَحْزَابَ وَعْدَهُ
Allah Mahabesar, segala puji bagi Allah yang telah menepati janji-Nya, menolong hamba-Nya dan menghancurkan sendiri kelompot tersebut”.
Kemudian beliau bersabda lagi, “Kemarilah dan perlihatkanlah padaku”. Lalu kami pun mendekati dan memperlihatkannya kepada beliau, maka beliau pun bersabda, “Inilah Fir’aun umat ini”. (Rahiqul Makhtum)
Dari ketiga kejadian ini sampai pada kesimpulan bahwa tipu daya, akal busuk, makar, dan apapun namanya yang dilakukan oleh para penguasa, pemuka, dan pembesar lainnya untuk melawan suara-suara kebenara akan berujung pada kebinasaan.
“…nanti akan ditimpa kehinaan di sisi Allah dan siksa yang keras disebabkan mereka selalu membuat makar (tipu daya)”. (QS. Al-An’am [6]: 124)