Bismillah, Ustadz apakah shalat dluha boleh didawamkan? Mohon penjelasannya Ustadz? Ari, Ciwaruga, Bandung
Shalat dluha boleh didawamkan, bahkan sunat untuk didawamkan, karena memang kedudukan shalatnya sunat. Suatu ibadah sunat maka tentu sunat (dianjurkan) untuk diamalkan sebanyak mungkin dan sesering mungkin. Kekhawatiran karena Nabi saw tidak mengamalkannya dengan rutin tidak perlu ada karena ‘Aisyah ra sendiri sudah menjelaskannya:
إِنْ كَانَ رَسُولُ اللهِ لَيَدَعُ الْعَمَلَ وَهُوَ يُحِبُّ أَنْ يَعْمَلَ بِهِ خَشْيَةَ أَنْ يَعْمَلَ بِهِ النَّاسُ فَيُفْرَضَ عَلَيْهِمْ وَمَا سَبَّحَ رَسُولُ اللهِ سُبْحَةَ الضُّحَى قَطُّ وَإِنِّي لَأُسَبِّحُهَا
Sungguh Rasulullah saw meninggalkan satu amal yang beliau ingin mengamalkannya itu karena takut diamalkan oleh orang-orang banyak lalu diwajibkan kepada mereka. Rasulullah saw tidak pernah merutinkan shalat Dluha sekalipun, tetapi aku sendiri merutinkannya (Shahih al-Bukhari kitab at-tahajjud bab tahridlin-Nabiy saw ‘ala qiyamil-lail no. 1128).
Maksudnya, Rasul saw tidak merutinkan shalat dluha karena khawatir turun syari’at yang jadi mewajibkannya. Kekhawatiran itu sesudah Rasul saw wafat atau bahkan ketika beliau masih hidup sudah tidak ada dengan tidak diamalkan rutin oleh beliau. Karena sudah tidak mungkin ada kekhawatiran yang dimaksud, maka ‘Aisyah ra sejak Rasul saw masih hidup sudah mengamalkannya rutin setiap hari, dan beliau saw tidak pernah menyalahkannya. Demikian halnya shahabat-shahabat lainnya sepeninggal Rasul saw wafat tidak ada juga yang menyalahkan ‘Aisyah ra. Itu berarti bahwa shalat dluha yang dirutinkan setiap hari statusnya sunat sebagaimana shalat dluhanya.
Dalam hal ini pula, jumhur ulama—sebagaimana dikemukakan al-Hafizh Ibn Hajar—lebih menganjurkan shalat Tarawih berjama’ah di masjid pada satu imam—sebagaimana halnya ijtihad ‘Umar ibn al-Khaththab, meski Nabi saw tidak merutinkan berjama’ah di masjid setiap malam. Nabi saw tidak merutinkannya sebab takut kalau berjama’ah itu dijadikan syarat wajib shalat malam. Karena ketakutan ‘diwajibkan’ itu sudah tidak mungkin ada lagi, maka jumhur ulama menyatakan shalat berjama’ah Tarawih lebih baik daripada munfarid (Fathul-Bari bab fadlli man qama Ramadlan).
Jika hendak dibandingkan, mengapa untuk shalat Tarawih di setiap awal malam sepanjang bulan Ramadlan tidak merasa risih untuk mengamalkannya, sementara untuk shalat dluha setiap hari masih risih mengamalkannya? Padahal keduanya sama-sama tidak pernah Rasul saw amalkan dengan rutin setiap hari atau setiap malam?
Terlebih lagi banyak hadits lain dari shahabat lain yang menjelaskan anjuran Rasul saw untuk merutinkan shalat dluha setiap dluha, di antaranya yang Nabi saw wasiatkan kepada tiga shahabat; Abu Hurairah, Abud-Darda`, dan Abu Dzar radliyal-‘Llahu ‘anhum sebagai berikut:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ أَوْصَانِي خَلِيلِي بِثَلَاثٍ صِيَامِ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ وَرَكْعَتَيْ الضُّحَى وَأَنْ أُوتِرَ قَبْلَ أَنْ أَنَامَ
Abu Hurairah ra berkata: “Kekasihku (Nabi saw) mewasiatiku tiga hal: Shaum tiga hari setiap bulan, dua raka’at shalat dluha, dan witir sebelum tidur.” (Shahih al-Bukhari kitab as-shaum bab shiyam ayyamil-bidl no. 1981).
عَنْ أَبِى الدَّرْدَاءِ قَالَ أَوْصَانِى حَبِيبِى بِثَلاَثٍ لَنْ أَدَعَهُنَّ مَا عِشْتُ بِصِيَامِ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ وَصَلاَةِ الضُّحَى وَبِأَنْ لاَ أَنَامَ حَتَّى أُوتِرَ
Abud-Darda` ra berkata: “Kekasihku (Nabi saw) mewasiatiku tiga hal yang tidak akan aku tinggalkan selama aku hidup: Shaum tiga hari setiap bulan, shalat dluha, dan jangan tidur sehingga aku melaksanakan witir.” (Shahih Muslim kitab shalatil-musafirin bab istihbab shalatid-dluha no. 1708)
عَنْ أَبِي ذَرٍّ قَالَ: أَوْصَانِي حَبِيبِي بِثَلَاثَةٍ لَا أَدَعُهُنَّ إِنْ شَاءَ اللَّهُ تَعَالَى أَبَدًا: أَوْصَانِي بِصَلَاةِ الضُّحَى، وَبِالْوَتْرِ قَبْلَ النَّوْمِ، وَبِصِيَامِ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ
Abu Dzar ra berkata: “Kekasihku (Nabi saw) mewasiatiku tiga hal. Aku tidak akan meninggalkannya selama-lamanya, insya Allah. Beliau mewasiatiku shalat dluha, witir sebelum tidur, dan shaum tiga hari setiap bulan.” (Sunan an-Nasa`i kitab as-shiyam bab shaum tsalatsah ayyam minas-syahr no. 2404)
Wasiat Nabi saw kepada ketiga shahabat di atas adalah wasiat untuk merutinkan ketiga amal di atas. Maka dari itu Abud-Darda` sampai berkata: “Tidak akan aku tinggalkan selama aku hidup.” Atau Abu Dzar sampai mengatakan: “Aku tidak akan meninggalkannya selama-lamanya, insya Allah.”
Di samping itu hadits shadaqah yang harus dirutinkan setiap pagi dan bisa digantikan dengan shalat dluha:
يُصْبِحُ عَلَى كُلِّ سُلاَمَى مِنْ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ فَكُلُّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةٌ وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ وَنَهْىٌ عَنِ الْمُنْكَرِ صَدَقَةٌ وَيُجْزِئُ مِنْ ذَلِكَ رَكْعَتَانِ يَرْكَعُهُمَا مِنَ الضُّحَى
Setiap pagi, semua tulang/persendian kalian harus bershadaqah. Dan setiap tasbih itu adalah shadaqah. Setiap tahmid, tahlil, dan takbir juga shadaqah. Amar ma’ruf nahyi munkar juga shadaqah. Dan cukup untuk mewakili semua amal itu dua raka’at yang dikerjakan pada waktu dluha (Shahih Muslim kitab shalat al-musafirin bab istihbab shalatid-dluha no. 1704).
Terkait hadits di atas, Imam an-Nawawi memberikan syarah sebagai berikut:
وَفِيهِ دَلِيل عَلَى عِظَم فَضْل الضُّحَى وَكَبِير مَوْقِعهَا وَأَنَّهَا تَصِحُّ رَكْعَتَيْنِ
Hadits ini jadi dalil agungnya keutamaan shalat Dluha dan pentingnya kedudukannya. Dan bahwasanya shalat dluha itu sah dengan dua raka’at (Syarah an-Nawawi ‘ala Shahih Muslim).
Hadits lain yang menganjurkan shalat dluha dirutinkan adalah hadits Abu Hurairah ra yang mengaitkan pengamalan shalat dluha dengan titel awwab, yaitu:
لَا يُحَافِظُ عَلَى صَلَاةِ الضُّحَى إِلَّا أَوَّابٌ
Tidak ada yang bisa merutinkan shalat dluha selain orang yang awwab [ahli taubat, selalu kembali kepada Allah, selalu taat] (Shahih Ibn Khuzaimah bab fi fadlli shalatid-dluha no. 1224. Syaikh al-Albani menilai sanadnya hasan dalam as-Silsilah as-Shahihah no. 1994).
Dalam hadits Zaid ibn Arqam ra disebutkan bahwa itu terkait amalan shalat dluha yang rutin diamalkan oleh penduduk Quba:
عن زَيْدِ بْنِ أَرْقَمَ أَنَّهُ رَأَى قَوْمًا يُصَلُّونَ مِنَ الضُّحَى فَقَالَ أَمَا لَقَدْ عَلِمُوا أَنَّ الصَّلاَةَ فِى غَيْرِ هَذِهِ السَّاعَةِ أَفْضَلُ. إِنَّ رَسُولَ اللهِ قَالَ صَلاَةُ الأَوَّابِينَ حِينَ تَرْمَضُ الْفِصَالُ
Dari Zaid ibn Arqam, bahwasanya ia melihat beberapa orang shalat dluha, lalu ia berkata: “Tidakkah mereka tahu bahwa shalat di selain waktu ini lebih utama!? Sebab sungguh Rasulullah saw bersabda: “Shalat orang-orang yang ahli taubat itu ketika anak-anak unta kepanasan oleh batu kerikil yang panas akibat terik matahari.” (Shahih Muslim bab shalatil-awwabin hina tarmidul-fishal no. 1780).
عَنْ زَيْدِ بْنِ أَرْقَمَ: أَنَّ رَسُولَ اللهِ خَرَجَ عَلَى قَوْمٍ وَهُمْ يُصَلُّونَ الضُّحَى فِي مَسْجِدِ قُبَاءَ حِينَ أَشْرَقَتِ الشَّمْسُ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ : صَلَاةُ الْأَوَّابِينَ إِذَا رَمِضَتِ الْفِصَالُ
Dari Zaid ibn Arqam: Sesungguhnya Rasulullah saw keluar menuju satu kaum yang sedang shalat di masjid Quba selepas terbit matahari, maka Rasulullah saw bersabda: “Shalat orang-orang yang ahli taubat itu adalah ketika anak-anak unta kepanasan oleh batu kerikil yang panas.” (Shahih Ibn Khuzaimah bab istihbab ta`khir shalatid-dluha [dianjurkan mengakhirkan shalat dluha] no. 1227).
Yang Rasulullah saw koreksi dari amal penduduk Quba bukan shalat dluhanya yang mereka rutinkan, melainkan hanya waktunya yang sebaiknya dirutinkan ketika batu kerikil mulai panas, yakni menjelang zhuhur. Imam an-Nawawi menjelaskan: “Ini jadi dalil keutamaan shalat dluha pada waktu ini. Para ulama madzhab kami (Syafi’i) berkata: Itu adalah waktu terbaik shalat dluha, meski boleh dari sejak terbit matahari sampai tergelincir [zhuhur].” (Syarah an-Nawawi Shahih Muslim bab shalatil-awwabin hina tarmidul-fishal). Wal-‘Llahu a’lam