Seorang muallaf menikahi seorang perempuan namun belum berkhitan apakah sah nikahnya? Pembaca majalah Tafaqquh
Kasus yang anda tanyakan tentunya bukan hanya terjadi pada muallaf yang akan atau sudah menikah, tetapi juga pada kaum muslimin yang jauh dari ajaran agama dan ia tidak tahu akan kewajiban khitan hingga ia akan atau sudah menikah. Orang yang seperti terakhir ini sangat mungkin ditemukan karena jauhnya mereka dari tuntunan agama Islam.
Meski hukum khitan wajib sebagai syarat ibadah yang mensyaratkan suci, tetapi ia bukan syarat sah pernikahan. Tidak ditemukan satu pun dalil yang mensyaratkan orang yang akan menikah harus berkhitan dahulu agar pernikahannya sah. Syaikh Wahbah az-Zuhaili dalam al-Fiqhul-Islami wa Adillatuhu menjelaskan 10 syarat sah pernikahan (syuruth shihhatiz-zawaj), yaitu: (1) Status perempuan yang dinikahi bukan perempuan yang haram untuk dinikahi, seperti menikahi kakak dan adiknya dalam satu masa atau menikahi perempuan yang sedang dalam masa iddah; (2) Bentuk akad ijab qabul harus tanpa batasan waktu, sehingga tidak sah jika akad nikahnya seperti nikah kontrak atau untuk sementara waktu; (3) Ada saksi dari kedua mempelai; (4) Kerelaan dari calon pengantin untuk dinikahi dan berdasarkan pilihan sendiri tanpa ada paksaan; (5) Lafazh akad jelas tertuju secara spesifik pada calon pengantin tertentu, maka tidak sah akad: “Aku nikahkan kamu kepada salah satu putriku,” karena ketidakjelasan putrinya yang mana; (6) Wali dan calon pengantin tidak sedang dalam keadaan ihram beribadah haji; (7) Memberikan mahar/mas kawin; (8) Tidak ada kesepakatan pengantin dan saksi untuk menyembunyikan pernikahan, misalnya dari istri yang pertama. Ini salah satu syarat nikah menurut madzhab Maliki, sebab Nabi saw jelas memerintahkan pernikahan diperlihatkan secara terang-terangan kepada masyarakat; (9) Calon pengantin tidak dalam keadaan sakit yang tidak mungkin sembuh. Ini juga salah satu syarat nikah menurut madzhab Maliki; (10) Wali yang menikahkan pengantin.
Dari sekian syarat yang diteliti oleh para ulama madzhab dari dalil-dalil yang ada tidak ada satu pun yang mensyaratkan khitan sebagai syarat pernikahan. Dengan demikian maka hukum pernikahannya sah meski calon suami atau suami sahnya belum berkhitan. Jika itu sudah menjadi suami, maka anak hasil pernikahannya pun sah sebagai anak kandung suami-istri tersebut, tidak menyebabkannya batal sebagai anak kandung.
Akan tetapi orang yang belum berkhitan padahal sudah mampu dan mungkin berkhitan, ia berdosa karena meninggalkan kewajiban yang harus diamalkan. Meski tidak bisa dipungkiri ada sebagian kecil ulama yang menyatakan khitan tidak wajib, sebatas sunat biasa. Mereka biasanya berdalil dengan hadits:
الْخِتَانُ سُنَّةٌ لِلرِّجَالِ مَكْرُمَةٌ لِلنِّسَاءِ
Khitan itu sunnah (sebuah ketentuan) bagi lelaki, dan makrumah (kemuliaan/dianjurkan) bagi perempuan (Al-Hafizh Ibn Hajar menilai hadits Syaddad ibn Aus ini dla’if dalam Fathul-Bari bab qashshus-syarib, tetapi dikuatkan oleh syahid dla’if dari Ibn ‘Abbas dan Abu Ayyub sehingga saling menguatkan).
Al-Hafizh Ibn Hajar membantahnya dalam Fathul-Bari bab qashshus-syarib dengan menyatakan bahwa pernyataan Nabi saw sunnah tidak berarti lawan dari hukum wajib. Hadits di atas hanya menekankan bahwa khitan untuk kaum lelaki lebih ditekankan daripada kaum perempuan.
Dalil lain yang sering digunakan adalah hadits bahwa khitan salah satu fithrah di samping mencukur kumis, memotong kuku, membiarkan janggut, dan semacamnya. Semua yang disebutkan dalam hadits fithrah tersebut tidak ada satu pun yang wajib, maka khitan pun tidak wajib. Dalil yang dimaksud di antaranya:
عَشْرٌ مِنَ الْفِطْرَةِ قَصُّ الشَّارِبِ وَإِعْفَاءُ اللِّحْيَةِ وَالسِّوَاكُ وَاسْتِنْشَاقُ الْمَاءِ وَقَصُّ الأَظْفَارِ وَغَسْلُ الْبَرَاجِمِ وَنَتْفُ الإِبْطِ وَحَلْقُ الْعَانَةِ وَانْتِقَاصُ الْمَاءِ. قَالَ زَكَرِيَّاءُ قَالَ مُصْعَبٌ وَنَسِيتُ الْعَاشِرَةَ إِلاَّ أَنْ تَكُونَ الْمَضْمَضَةَ
Ada 10 hal yang termasuk fithrah: Mencukur kumis, membiarkan janggut panjang, bersiwak/gosok gigi, menghirup air ke hidung, memotong kuku, mencuci sela-sela jari, mencabut bulu ketiak, mencukur bulu kemaluan, dan bersuci dari buang air dengan air. Zakariyya (seorang rawi yang menerima dari Mush’ab) berkata: Mush’ab berkata: “Aku lupa lagi yang kesepuluh, tetapi mungkin itu adalah berkumur-kumur.” (Shahih Muslim bab khishalil-fithrah no. 627).
Al-Hafizh Ibn Hajar sama menegaskan bahwa baik hadits yang menyatakan khitan sebagai sunnah atau fithrah kedua-duanya tidak cukup untuk menentukan hukumnya sebagai wajib atau sunat, karena kata sunnah atau fithrah mencakup makna wajib dan sunat. Perlu dalil lain yang memastikan hukumnya. Terlebih dua hal yang disandingkan tidak otomatis menyamakan kedudukan hukumnya, seperti dalam firman Allah swt: Makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan dikeluarkan zakatnya) (QS. al-An’am [6] : 141). Berdasarkan ayat tersebut membayar zakat hukumnya wajib, tetapi memakan hasil panennya mubah, tidak sampai wajib.
Al-Hafizh Ibn Hajar kemudian menguraikan dalil dan argumentasi yang menegaskan khitan hukumnya wajib, sebagai berikut:
Pertama, kulit penutup penis akan menahan najis jika tidak dipotong sehingga akan menyebabkan shalat tidak sah. Ini berarti sama dengan seseorang yang menahan najis dalam mulutnya. Hukumnya haram, sehingga khitan menjadi wajib.
Kedua, bolehnya menyingkap aurat dari yang dikhitan dan pengkhitan boleh melihat aurat tersebut. Seandainya khitan tidak wajib tentu tidak diperbolehkan melihat aurat intim.
Ketiga, memotong organ tubuh yang tidak akan ada ganti atau tumbuh lagi dengan dasar ibadah hukumnya pasti wajib.
Keempat, khitan itu menimpakan rasa sakit yang berat pada tubuh. Hal tersebut tidak mungkin diperrkenankan kecuali karena satu dari tiga; maslahat, siksa, atau kewajiban. Dua yang pertama tidak tepat, karena secara jasmani tidak dikhitan tidak akan menimbulkan penyakit, juga bukan sebagai hukuman/siksa, maka berarti jatuh pada yang ketiga, yakni kewajiban.
Kelima, khitan wajib karena termasuk syi’ar agama Islam. Seandainya ditemukan jenazah yang tidak dikenali dan ia dikhitan, maka jenazah tersebut berhak dishalatkan dan dikuburkan di pekuburan kaum muslimin.
Khusus untuk perempuan sendiri, khitan tidak sampai wajib. Sebuah hadits menginformasikan:
عَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ الأَنْصَارِيَّةِ أَنَّ امْرَأَةً كَانَتْ تَخْتِنُ بِالْمَدِينَةِ فَقَالَ لَهَا النَّبِىُّ لاَ تُنْهِكِى فَإِنَّ ذَلِكَ أَحْظَى لِلْمَرْأَةِ وَأَحَبُّ إِلَى الْبَعْلِ
Dari Ummu ‘Athiyyah al-Anshariyyah, ada seorang perempuan berkhitan di Madinah. Lalu Nabi saw bersabda kepadanya: “Jangan berlebihan, sebab itu lebih membahagiakan perempuan dan paling disukai suami.” (Sunan Abi Dawud bab ma ja`a fil-khitan no. 5273. al-Hafizh Ibn Hajar dan al-Albani: Hadits shahih dengan berbagai syahidnya).
Dari hadits di atas dan yang semakna dengannya, MUI mengeluarkan fatwa pada tahun 2008:
- Khitan, baik bagi laki-laki maupun perempuan, termasuk fitrah (aturan) dan syiar Islam.
- Khitan terhadap perempuan adalah makrumah, pelaksanaannya sebagai salah satu bentuk ibadah yang dianjurkan.
Selanjutnya, berdasarkan arahan dari pakar medis, maka MUI memfatwakan:
Dalam pelaksanaannya, khitan terhadap perempuan harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
- Khitan perempuan dilakukan cukup dengan hanya menghilangkan selaput (jaldah/colum/praeputium) yang menutupi klitoris.
- Khitan perempuan tidak boleh dilakukan secara berlebihan, seperti memotong atau melukai klitoris (insisi dan eksisi) yang mengakibatkan
MUI kemudian meminta Pemerintah untuk mengeluarkan regulasi tentang medikalisasi untuk khitan perempuan.
Hemat kami, khitan perempuan ini kalaupun hendak dilakukan, harus oleh ahli yang sudah teruji. Jika tidak ada atau diragukan, sebaiknya tidak dilakukan, mengingat bahaya/dlarar yang akan ditimbulkannya. Menjauhi dlarar harus lebih diprioritaskan daripada mengharapkan manfaat. Wal-‘Llahu a’lam.