Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akhir-akhir ini menjadi sorotan kembali usai ramai kontroversi Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) yang diperuntukkan bagi para pegawai KPK. Dari pertanyaan, yang katanya, “Pilih al-Quran atau Pancasila?” yang menjadi polemik sampai status kepegawaiannya yang menjadi ASN menghebohkan seantero negeri. Disinyalir hal tersebut terjadi karena buntut dari revisi undang-undang KPK tahun 2019 silam. Wacana pelemahan KPK yang terstruktur, sistematis, dan massif menyeruak di masyarakat sampai timbul sebuah testimoni bahwa KPK telah “dibunuh” berkali-kali. Tapi mirisnya, korupsi di negeri ini masih terjadi lagi dan lagi.
Diketahui KPK mengumumkan hasil asesmen tes alih status pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara (ASN) pada Rabu (5/5). Hasilnya sebanyak 75 pegawai tidak memenuhi syarat, di mana tes diikuti oleh 1.351 pegawai. Setelah melalui sederet pertimbangan, sebanyak 24 pegawai KPK yang tak lolos TWK akan dibina, tapi 51 pegawai lainnya tidak dapat ‘diselamatkan’.
Seperti dilansir CNN Indonesia dari sumber internal menuturkan ada 20 pernyataan yang berisikan:
- Saya memiliki masa depan yang suram.
- Saya hidup untuk menebus dosa-dosa masa lalu.
- Semua orang Cina sama saja.
- Semua orang Jepang kejam.
- UU ITE mengancam kebebasan berpendapat.
- Agama adalah hasil pemikiran manusia.
- Alam semesta adalah ciptaan Tuhan.
- Nurdin M. Top, Imam Samudera, Amrozi melakukan jihad.
- Budaya barat merusak moral orang Indonesia.
- Kulit berwarna tidak pantas menjadi atasan kulit putih.
- Saya mempercayai hal gaib dan mengamalkan ajarannya tanpa bertanya-tanya lagi.
- Saya akan pindah negara jika kondisi negara kritis.
- Penista agama harus dihukum mati.
- Saya ingin pindah negara untuk kesejahteraan.
- Jika boleh memilih, saya ingin lahir di negara lain.
- Saya bangga menjadi warga negara Indonesia.
- Demokrasi dan agama harus dipisahkan.
- Hak kaum homosex harus tetap dipenuhi.
- Kaum homosex harus diberikan hukuman badan.
- Perlakuan kepada narapidana kurang keras. Harus ditambahkan hukuman badan.
Meskipun fakta di lapangan, menurut beberapa pengakuan, menyebut ada pertanyaan-pertanyaan lain, seperti cuitan eks juru bicara KPK, Febri Diansyah. Seorang pegawai perempuan KPK yang menjadi sumber informasi detikcom menyampaikan salah satu contoh soal TWK KPK yang diujikan. Ia ditanya perihal jilbab, bila enggan melepas jilbab, pegawai perempuan itu dianggap lebih mementingkan diri sendiri.
“Aku ditanya bersedia nggak lepas jilbab. Pas jawab nggak bersedia, dibilang berarti lebih mementingkan pribadi daripada bangsa negara,” ucap pegawai KPK itu, Jumat (7/5).
Dan masih banyak lagi sederet pertanyaan nyeleneh TWK yang menjadi perbincangan dan tidak sedikit kecaman. Nashruddin Syarief, misalnya, menyebut bahwa hal ini imbas dari rezim sekuler yang kebablasan. Menurutnya, “Haruskah para perumus Pancasila dari kubu Islam dibangkitkan dari kubur?” (Bulletin at-Taubah).
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Sigit Riyanto, meminta SK pimpinan KPK dibatalkan. Sigit menilai, substansi dalam SK itu telah masuk pada ranah pemberhentian pegawai yang tidak lolos TWK.
“Ini tentu bertolak belakang dengan pemaknaan alih status, melainkan sudah masuk pada ranah pemberhentian oleh pimpinan KPK,” kata Sigit, dalam keterangan tertulis yang diterima Kompas.com, Minggu (16/5/2021). “Sebab, 75 pegawai KPK yang disebutkan TMS (tidak memenuhi syarat) tidak dapat lagi bekerja seperti sedia kala,” ucap dia. Sigit menuturkan, secara garis besar terdapat dua isu penting dalam TWK pegawai KPK, yakni pertentangan hukum dan permasalahan etika. Ia menjelaskan, TWK tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) maupun Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2020 sebagai syarat alih status kepegawaian KPK. Bahkan, Mahkamah Konstitusi telah menegaskan dalam putusan uji materi UU KPK, bahwa proses alih status kepegawaian tidak boleh merugikan hak-hak pegawai KPK. Namun, menurut Sigit, putusan itu diabaikan oleh Pimpinan KPK dengan tetap memasukkan konsep TWK dalam Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor 1 Tahun 2021. “Tidak hanya itu, substansi TWK juga memunculkan kecurigaan kami, khususnya dalam konteks pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada pegawai KPK saat menjalani wawancara,” kata Sigit. “Secara umum menurut pandangan kami apa yang ditanyakan mengandung nuansa irasional dan tidak relevan dengan isu pemberantasan korupsi,” ucap dia (Kompas.com).
Selain TWK, yang notabene hanya sebagai instrumen, dinilai bermasalah, peralihan status pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) diprediksi bakal mereduksi independensi dan kinerja lembaga antirasuah dalam memberantas korupsi. Anggapan adanya upaya pelemahan KPK pun kembali mengemuka.
Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman, mengatakan, pengalihan pegawai KPK menjadi ASN mereduksi independensi lembaga antirasuah lantaran posisi KPK akan berada di bawah Presiden dan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi.
“Setelah menjadi pegawai negeri sipil, maka independensi pegawai KPK akan berubah, mengingat mereka adalah bagian dari pemerintah itu sendiri,” ujar Boyamin kepada Lokadata.id, Selasa (11/8/2020).
Namun, di lain pihak, Juru Bicara Presiden Bidang Hukum, Dini Shanti Purwono menegaskan bahwa pemerintah tak berniat melemahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan aturan pengalihan pegawai KPK menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN).
Pengalihan pegawai ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2020 yang telah diteken Presiden Joko Widodo akhir Juli lalu. Dini juga memastikan keberadaan PP itu tak akan mengurangi independensi lembaga antirasuah.
“PP ini tidak akan mengurangi sifat independen KPK, sebagaimana Pasal 3 UU KPK yang menyatakan KPK tetap independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. Sama sekali tidak ada niat pemerintah untuk melemahkan KPK dalam hal ini,” ujar Dini melalui keterangan tertulis, Senin (10/8).
Sebagai catatan, peralihan status pegawai KPK menjadi ASN ini merupakan turunan dari Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.
Perubahan itu setidaknya mengacu pada tujuh poin dalam UU baru, yang sebenarnya sudah mendapat penolakan keras dari publik. Pertama, penegasan kedudukan KPK sebagai lembaga eksekutif sebagaimana termaktub dalam Pasal 1 angka 3. Kedua, dibentuknya Dewan Pengawas seperti termaktub dalam pasal 37A.
Ketiga, KPK meminta izin kepada Dewan Pengawas dalam penyadapan. Ini termaktub dalam Pasal 12B, Pasal 12C, Pasal 37B, dan Pasal 47. Keempat, Pasal 40, KPK dapat menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3).
Kelima, koordinasi kelembagaan KPK dengan penegak hukum sesuai dengan hukum acara pidana, kepolisian, kejaksaan, dan kementerian atau lembaga lainnya dalam pelaksanaan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan perkara tindak pidana korupsi. Keenam, penggeledahan dan penyitaan harus seizin Dewan Pengawas. Ketujuh, status pegawai tetap akan berubah menjadi aparat sipil negara.
Penguatan atau Pelemahan?
Ketujuh poin di atas, setidaknya, di antara indikator yang membuat publik geram dengan revisi undang-undang KPK sampai terjadi demo besar-besaran yang memakan korban pula pada tahun 2019 silam. Maka, sederetan kehebohan yang terjadi terhadap KPK hari ini pun diamini sebagai langkah “penguasa” dalam melemahkan KPK. Padahal, Presiden Jokowi sudah berjanji akan memperkuat KPK.
Di lain pihak Fahri Hamzah justru menampik persepsi tersebut. Eks Wakil Ketua DPR periode 2014-2019 itu dikenal getol menyuarakan untuk merubah paradigma pemberantasan korupsi. Sampai beliau pun membuat surat terbuka untuk para pegawai KPK, “Selamat Menempuh Hidup Baru!”
Otak BESAR bicarakan IDE.
Otak SEDANG bicarakan PERISTIWA.
Otak KECIL bicarakan ORANG. (Eleanor Roosevelt)
Bereaksi berlebihan membuat kalian katahuan bahwa selama ini memang lembaga penegak hukum itu telah lama menjadi lembaga politik yang penuh intrik dan persaingan. Terus kami rakyat hanya disuguhi opera sabun. Masalah tidak selesai tapi tetap harus tepuk tangan.
Dulu, saya sampai marah kayak orang gila ngingatin kalian. Tapi ampun deh, lagi banyak yang tepuk tangan semua dianggap lawan kalau berbeda pandangan. Sikat aja semua seolah dunia milik kalian saja sendiri. Negara hukum ini ada dasarnya. Kalian gak mau denger. Sekarang, tiba masanya berakhir. Introspeksilah kawan. Ada masa kita harus tau diri, cukuplah. Kasi kesempatan generasi baru. Kita sudah tua.
Otot kalian sudah gak kuat. Otak kalian sudah gak mampu di medan itu. Kalau mau berpolitik ada 3 medan baru: LSM, Media dan Parpol. Ada tempat bagi pribadi-pribadi kayak kalian yang gak mau diatur dan tidak suka dikangkangi aturan, ingin bebas dan energinya besar. Jadilah politisi di dunia bebas merdeka; jadi aktifis, bisnis atau politisi. Lebih cocok karena dunianya adalah dunia persaingan, tidak teratur. Di dunia politik orang bersaing untuk menang kadang aturan nomor belakang. Di dunia penegak hukum kita tidak harus menang sebab yang penting tegakkan aturan.
Kadang, di dunia penegakan hukum kita mengakui salah, mengakui gagal temukan alat bukti dan kita keluarkan SP3. Aturan-aturan baru semacam SP3 inilah yang kalian tolak. Kalian anggap kalian pasti benar, kalian pasti menang. Bahkan kalian berprinsip kalian tidak saja harus menang tapi yang lain harus kalah dan hancur. Inilah yang tidak lumrah di dunia hukum. Ini lumrah di dunia politik.
Cukuplah kawan. Jangan berpikir “harus ada kami” – tidak harus. Semua akan berjalan baik-baik saja. Tidak harus ada kita. Tidak harus kita. Jangan sombong seolah negeri ini akan hancur kalau kita tidak ada. Dunia ini milyaran tahun umurnya. Ribuan tahun yg ditulis sejarahnya.
Ucapkan selamat datang kepada generasi baru. Hentikan berpolitik di lembaga penegakan hukum. Arah Baru penegakan hukum adalah hukum yang terbuka, transparan, imparsial dan bekerja dengan kaidah dan filsafat hukum itu sendiri. Selamat menempuh hidup baru!
Dari penuturannya kepada Tribun Network, Fahri mengaku mencoba mengingatkan seluruh jajaran KPK, bahwa lembaga antikorupsi Indonesia sedang mengalami sebuah transformasi. Dari lembaga yang super liar, menjadi lembaga yang lebih terintegrasi dengan badan-badan publik lain.
Hal senada juga disampaikan oleh pakar hukum tata negara, Irman Putra Sidin, melalui kanal Youtube milik Karni Ilyas. Menurutnya, ada strategi baru yang hendak diterapkan dalam penindakan korupsi di Indonesia. Karena KPK dengan undang-undangnya yang lama dianggap belum berhasil dalam meningkatkan perekonomian negara sebagai “alasan” dari diadakannya KPK. Dulu masa orde baru pertumbuhan ekonomi berada pada 6-7 persen, namun selepas reformasi sampai sekarang antara 4-5 persen.
“Kalau kita mau melihat apakah fungsi lembaga negara ini sudah akselerasi dengan tujuan, di mana sih sebenarnya rumah KPK, pasti kita hubugkan dengan perekonomian nasional karena bicara keuangan negara,” tukasnya.
Ada perbedaan mendasar dalam pendekatan pemberantasan korupsi yang diamanatkan oleh UU KPK lama dan baru, pengertian mengenai independensi (kemerdekaan) lembaga anti rasuah dalam menjalankan tugasnya. Di luar pemerintahan ataukah di dalamnya, independensi ini harus dijalankan sebagaimana mestinya, jujur dan adil. Tidak digunakan untuk kepentingan individu atau kelompok guna menaikkan atau menjatuhkan seseorang. Menjadi lembaga yang “berdarah dingin” untuk memberantas korupsi, bukan karena emosi apalagi demi eksistensi.
Sebagai seorang muslim di Indonesia yang memilih al-Quran sebagai pedoman hidup berbangsa dan bernegara kemudian menjalankan amanat Pancasila tanpa mempertentangkan hal tersebut dengan agama serta tidak setuju atas segala macam kemaksiatan (di antaranya LGBTQ), maka tentu akan mendukung penuh dengan amat sadar bahwa korupsi harus diberantas ke akar-akarnya. Sepertinya, ini saja sudah cukup membuktikan nasionalisme seseorang dan kecintaannya terhadap bangsanya. [HF]
وَمَا كَانَ لِنَبِيٍّ اَنْ يَّغُلَّ ۗوَمَنْ يَّغْلُلْ يَأْتِ بِمَا غَلَّ يَوْمَ الْقِيٰمَةِ ۚ ثُمَّ تُوَفّٰى كُلُّ نَفْسٍ مَّا كَسَبَتْ وَهُمْ لَا يُظْلَمُوْنَ – ١٦١
Dan tidak mungkin seorang nabi berkhianat (dalam urusan harta rampasan perang). Barangsiapa berkhianat (korupsi), niscaya pada hari Kiamat dia akan datang membawa apa yang dikorupsikannya itu. Kemudian setiap orang akan diberi balasan yang sempurna sesuai dengan apa yang dilakukannya, dan mereka tidak dizalimi (Q.S. Ali ‘Imran: 161)