وَعَنْ أَبِي سَعِيدٍ عَنِ النَّبِيِّ : اَلْأَرْضُ كُلُّهَا مَسْجِدٌ إِلاَّ الْمَقْبَرَةَ وَالْحَمَّامَ. رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ وَلَهُ عِلَّةٌ
Dari Abu Sa’id al-Khudri—semoga Allah meridlainya—dari Nabi—shalawat dan salam senantiasa tercurah untuknya—beliau bersabda: “Bumi itu seluruhnya masjid kecuali kuburan dan toilet.” At-Tirmidzi meriwayatkannya, dan hadits ini memiliki cacat.
وَعَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: نَهَى النَّبِيُّ أَنْ يُصَلَّى فِي سَبْعِ مَوَاطِنَ: اَلْمَزْبَلَةِ وَالْمَجْزَرَةِ وَالْمَقْبَرَةِ وَقَارِعَةِ اَلطَّرِيقِ وَالْحَمَّامِ وَمَعَاطِنِ الْإِبِلِ وَفَوْقَ ظَهْرِ بَيْتِ اللهِ. رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ وَضَعَّفَهُ
Dari Ibn ‘Umar—semoga Allah meridlai mereka berdua—ia berkata: “Nabi—shalawat dan salam senantiasa tercurah untuknya—melarang shalat di tujuh tempat: tempat pembuangan sampah, tempat penyembelihan hewan, pekuburan, tengah jalan, kamar mandi/toilet, tempat berkerumun unta dekat sumber air, dan di atas Ka’bah.” At-Tirmidzi meriwayatkannya dan ia menilainya dla’if.
وَعَنْ أَبِي مَرْثَدٍ اَلْغَنَوِيِّ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ يَقُولُ: لاَ تُصَلُّوا إِلَى الْقُبُورِ وَلاَ تَجْلِسُوا عَلَيْهَا. رَوَاهُ مُسْلِمٌ
Dari Abu Martsad Al-Ghanawi—semoga Allah meridlainya—ia berkata: Aku mendengar Rasulullah—shalawat dan salam senantiasa tercurah untuknya—bersabda: “Janganlah kamu shalat menghadap kuburan dan jangan pula engkau duduk di atasnya.” Muslim meriwayatkannya.
Tautsiqul-Hadits
Hadits Abu Sa’id ra diriwayatkan Imam at-Tirmidzi dalam Sunan at-Tirmidzi abwab as-shalat bab ma ja`a annal-ardla kulluha masjid illal-maqbarah wal-hammam no. 317. Sementara hadits Ibn ‘Umar ra diriwayatkan dalam abwab as-shalat bab ma ja`a fi karahiyah ma yushalla ilaihi wa fihi no. 347.
Kedua hadits di atas sama-sama dinilai bermasalah oleh Imam at-Tirmidzi dalam kitab Sunannya. Hadits Abu Sa’id ra dinilai mudltharib (tidak jelas) dalam hal maushul (melalui shahabat) dan mursal (tidak melalui shahabat, langsung tabi’in meriwayatkan dari Nabi saw)-nya. Imam at-Tirmidzi sendiri menilai riwayat mursal yang lebih kuat. Sementara hadits Ibn ‘Umar dinilai dla’if karena ada rawi Zaid ibn Jabirah yang lemah hafalan.
Terkait hadits Abu Sa’id ra, Imam Ibn Daqiqil-‘Id dalam al-Imam memberikan catatan bahwa jika ada yang me-maushul-kan sanad hadits di atas seorang tsiqat maka status hadits maushul bisa diterima (at-Talkhishul-Habir bab syuruthis-shalat no. 434). Syaikh Syu’aib al-Arnauth menjelaskan ada rawi tsiqat yang me-maushul-kannya, yakni Hammad ibn Salamah, ad-Darawardi, dan ‘Abdul-Wahid riwayat Ahmad (no. 11919), ‘Ammarah ibn Ghaziyyah riwayat Ibn Khuzaimah dan al-Baihaqi, dan Muhammad ibn Ishaq dalam sanad riwayat at-Tirmidzi di atas. Jadi semuanya ada lima rawi tsiqat yang meriwayatkan secara maushul dari Abu Sa’id ra, sehingga statusnya menjadi shahih (ta’liq Musnad Ahmad no. 11784). Di samping itu larangan shalat di kuburan secara khusus dikuatkan oleh hadits Abu Martsad riwayat Muslim yang dituliskan di atas.
Al-Hafizh Ibn Hajar dalam at-Talkhishu-Habir juga menyebutkan syawahid lain untuk hadits Abu Sa’id yakni hadits ‘Abdullah ibn ‘Amr riwayat Ibn Hibban dan hadits ‘Ali riwayat Abu Dawud.
عَنْ أَبِى صَالِحٍ الْغِفَارِىِّ أَنَّ عَلِيًّا رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُ مَرَّ بِبَابِلَ وَهُوَ يَسِيرُ فَجَاءَهُ الْمُؤَذِّنُ يُؤَذِّنُ بِصَلاَةِ الْعَصْرِ فَلَمَّا بَرَزَ مِنْهَا أَمَرَ الْمُؤَذِّنَ فَأَقَامَ الصَّلاَةَ فَلَمَّا فَرَغَ قَالَ إِنَّ حَبِيبِى صلى الله عليه وسلم نَهَانِى أَنْ أُصَلِّىَ فِى الْمَقْبُرَةِ وَنَهَانِى أَنْ أُصَلِّىَ فِى أَرْضِ بَابِلَ فَإِنَّهَا مَلْعُونَةٌ
Dari Abu Shalih al-Ghifari, bahwasanya ‘Ali ra lewat ke negeri Babilonia dalam sebuah perjalanan. Muadzdzin lalu adzan shalat ‘ashar. Tetapi baru ketika sudah lewat darinya, ‘Ali memerintahkan muadzdzin untuk iqamat lalu ia pun shalat. Setelah selesai shalat ia berkata: “Sesungguhnya kekasihku saw melarangku shalat di kuburan dan melarangku shalat di negeri Babilonia karena itu negeri yang dilaknat.” (Sunan Abi Dawud bab fil-mawadli’il-lati la tajuzu fihas-shalat no. 490. Syaikh Syu’aib al-Arnauth menilai hadits ini shahih li ghairihi karena sanad hadits ini terputus; Abu Shalih al-Ghifari tidak pernah mendengar hadits dari ‘Ali. Akan tetapi dikuatkan oleh riwayat ‘Abdullah ibn Abil-Muhall riwayat ‘Abdurrazzaq, Ibn Abi Syaibah, dan al-Bukhari dalam at-Tarikhul-Kabir. Khusus untuk shalat di kuburan dikuatkan juga oleh riwayat-riwayat yang sudah diuraikan di atas).
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنِ الصَّلَاةِ فِي الْمَقْبَرَةِ
Dari ‘Abdullah ibn ‘Amr bahwasanya Rasulullah saw melarang shalat di kuburan (Shahih Ibn Hibban no. 2319. Sanad hadits ini dla’if karena riwayat ‘an dari Ibn Juraij dan al-A’masy, tetapi saling menguatkan dengan hadits-hadits yang sudah diuraikan di atas)
Terkait hadits Ibn ‘Umar sendiri menurut Imam at-Tirmidzi dikuatkan oleh hadits Jabir dan Anas. Meski kami belum bisa menemukan sanad dan matan dari dua hadits yang dimaksud.
Sementara itu hadits Abu Martsad ra diriwayatkan dalam Shahih Muslim kitab al-jana`iz bab an-nahy ‘anil-julus ‘alal-qabri was-shalat ‘alaihi no. 2295
Syarah Hadits
Hadits-hadits di atas menjelaskan tujuh tempat terlarang shalat. Terkait kuburan tentunya ada pengecualian bagi yang menshalatkan jenazah di atas kuburan berdasarkan hadits lain:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ امْرَأَةً سَوْدَاءَ كَانَتْ تَقُمُّ الْمَسْجِدَ – أَوْ شَابًّا – فَفَقَدَهَا رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَسَأَلَ عَنْهَا أَوْ عَنْهُ فَقَالُوا مَاتَ. قَالَ أَفَلاَ كُنْتُمْ آذَنْتُمُونِى. قَالَ فَكَأَنَّهُمْ صَغَّرُوا أَمْرَهَا أَوْ أَمْرَهُ فَقَالَ دُلُّونِى عَلَى قَبْرِهِ. فَدَلُّوهُ فَصَلَّى عَلَيْهَا ثُمَّ قَالَ إِنَّ هَذِهِ الْقُبُورَ مَمْلُوءَةٌ ظُلْمَةً عَلَى أَهْلِهَا وَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يُنَوِّرُهَا لَهُمْ بِصَلاَتِى عَلَيْهِمْ
Dari Abu Hurairah ra, sesungguhnya ada seorang perempuan berkulit hitam yang suka beres-beres di masjid—atau seorang pemuda. Lalu pada suatu saat Rasulullah saw merasa kehilangannya, beliau pun bertanya. Para shahabat menjawab: “Ia sudah meninggal dunia.” Rasul saw protes: “Mengapa kalian tidak memberitahuku?” Seakan-akan para shahabat tidak menganggap penting hal tersebut. Kata beliau: “Tunjukkan kepadaku kuburannya.” Mereka pun menunjukkannya lalu beliau shalat di atasnya. Setelahnya beliau bersabda: “Sesungguhnya kuburan-kuburan di sini penuh dengan kegelapan untuk penghuninya, dan sungguh Allah ‘awj meneranginya dengan shalatku untuk mereka.” (Shahih Muslim bab as-shalat ‘alal-qabr no. 2259 dan Shahih al-Bukhari bab al-khadam lil-masjid no. 460 dengan redaksi yang lebih ringkas).
Terkait ma’athinul-ibil (tempat berkerumun unta di dekat sumber air) dikuatkan juga oleh hadits lain dari Jabir ibn Samurah ra:
عَنْ جَابِرِ بْنِ سَمُرَةَ أَنَّ رَجُلاً سَأَلَ رَسُولَ اللهِ أَأَتَوَضَّأُ مِنْ لُحُومِ الْغَنَمِ قَالَ: إِنْ شِئْتَ فَتَوَضَّأْ وَإِنْ شِئْتَ فَلاَ تَوَضَّأْ. قَالَ أَتَوَضَّأُ مِنْ لُحُومِ الإِبِلِ قَالَ: نَعَمْ فَتَوَضَّأْ مِنْ لُحُومِ الإِبِلِ. قَالَ أُصَلِّى فِى مَرَابِضِ الْغَنَمِ قَالَ نَعَمْ. قَالَ أُصَلِّى فِى مَبَارِكِ الإِبِلِ قَالَ لاَ
Dari Jabir ibn Samurah ra: Ada seseorang bertanya kepada Nabi saw: “Apakah saya harus berwudlu sesudah makan daging kambing?” Beliau menjawab: “Jika kamu mau berwudlulah. Jika kamu mau juga tidak usah berwudlu.” Ia bertanya lagi: “Apakah saya harus berwudlu sesudah makan daging unta?” Beliau menjawab: “Ya, berwudlulah sesudah makan daging unta.” Ia bertanya lagi: “Bolehkah aku shalat di tempat/kandang kambing?” Beliau menjawab: “Boleh.” Ia bertanya lagi: “Bolehkah aku shalat di tempat/kandang unta?” Beliau menjawab: “Tidak boleh.” (Shahih Muslim kitab al-haidl bab al-wudlu min luhumil-ibil no. 828)
Perbedaan jawaban Nabi saw atas pertanyaan shalat di tempat kambing dan unta ini, menurut Imam an-Nawawi termasuk persoalan yang muttafaq ‘alaih (disepakati). Larangan dari Nabi saw untuk shalat di tempat unta karena kotor dan unta ada kemungkinan berjalan atau lari sehingga dikhawatirkan mengganggu shalat. Hal yang sama tidak dikhawatirkan terjadi pada kambing (Syarah an-Nawawi ‘ala Shahih Muslim).
Shalat di tempat pembuangan sampah dan penyembelihan hewan dilarang karena keduanya tempat yang penuh dengan najis. Sementara shalat di tengah jalan karena akan mengganggu kekhusyuan demikian juga mengganggu para pengguna jalan. Demikian penjelasan Imam as-Syaukani dalam Nailul-Authar bab al-mawadli’ al-manhiy ‘anha no. 617. Dikecualikan tentunya dalam konteks khusus seperti shalat ‘Id atau istisqa yang tidak ada lagi lahan lain selain jalan dan dengan syarat tidak terganggu oleh pengguna jalan yang berlalu lalang. Demikian halnya pengguna jalan sudah dipastikan merelakan digunakannya jalan sebagai tempat shalat sementara.
Terkait shalat di atas Ka’bah, Imam as-Syaukani menjelaskan bahwa hal itu dilarang karena jadinya tidak menghadap qiblat, melainkan berada di atasnya, padahal masih bisa turun ke bawah dan menghadap qiblat. Dalam konteks ini tentunya dikecualikan bagi astronot (angkasawan) yang bertugas di luar angkasa dan tidak atau belum memungkinkan untuk turun ke bumi, maka shalatnya disesuaikan dengan kemampuan maksimalnya. Diarahkan titik koordinatnya menuju arah Ka’bah, dan shalat lima waktu sebagaimana waktu normal ketika ia berada di bumi.
Tujuh tempat yang dilarang dalam hadits Ibn ‘Umar ra di atas menjadi delapan dengan tambahan tempat yang penduduknya dilaknat Allah swt seperti Babilonia dalam hadits ‘Ali ra di atas. Tentunya yang berdasarkan petunjuk al-Qur`an dan hadits bahwa penduduknya disiksa karena kekufurannya, di antaranya daerah peninggalan kaum ‘Ad, Tsamud, Sadum, dan semacamnya. Sementara yang mendapatkan musibah tetapi penduduknya mayoritas muslim ini tidak termasuk yang dilaknat Allah swt karena kekufuran, sebut misalnya tanah Aceh, Yogyakarta, dan Palu yang pernah diguncang gempa dahsyat sebagai musibah/ujian.
Termasuk pada tempat yang dilarang shalat juga masjid dlirar (membahayakan); masjid yang memang sengaja dibangun sebagai tempat berkumpul untuk merencanakan startegi menghancurkan Islam, sebagaimana difirmankan Allah swt dalam surat At-Taubah:
وَٱلَّذِينَ ٱتَّخَذُواْ مَسۡجِدٗا ضِرَارٗا وَكُفۡرٗا وَتَفۡرِيقَۢا بَيۡنَ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ وَإِرۡصَادٗا لِّمَنۡ حَارَبَ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ مِن قَبۡلُۚ وَلَيَحۡلِفُنَّ إِنۡ أَرَدۡنَآ إِلَّا ٱلۡحُسۡنَىٰۖ وَٱللَّهُ يَشۡهَدُ إِنَّهُمۡ لَكَٰذِبُونَ ١٠٧ لَا تَقُمۡ فِيهِ أَبَدٗاۚ
Dan (di antara orang-orang munafik itu) ada orang-orang yang mendirikan mesjid untuk menimbulkan kemudaratan (pada orang-orang mukmin), untuk kekafiran dan untuk memecah belah antara orang-orang mukmin serta menunggu kedatangan orang-orang yang telah memerangi Allah dan Rasul-Nya sejak dahulu. Mereka sesungguhnya bersumpah: “Kami tidak menghendaki selain kebaikan.” Dan Allah menjadi saksi bahwa sesungguhnya mereka itu adalah pendusta (dalam sumpahnya). Janganlah kamu shalat dalam mesjid itu selama-lamanya (QS. At-Taubah [9] : 107-108).
Selanjutnya terlarang juga shalat di tempat-tempat yang ada salib, berhala, dan benda-benda atau gambar-gambar makhluk hidup, berdasarkan hadits-hadits yang melarangnya dan menyatakan bahwa malaikat tidak akan masuk ke rumah yang di dalamnya ada salib, berhala, dan benda-benda atau gambar-gambar makhluk hidup. Kecuali dengan terlebih dahulu menghilangkan benda-benda haram tersebut.
Wal-‘Llahu a’lam