Promosi berbalut sensasi muncul dari video yang beredar mengenai Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas yang menghadiri dan mengucapkan selamat atas hari raya Naw Ruz bagi umat Baha’i secara virtual. Setelah dikonfirmasi perayaannya terjadi pada bulan Maret, lalu ramai beredar dan diperbincangkan sekitar bulan Juli. Meski begitu, Abdul Jamil Wahab, Peneliti Puslitbang Kemenag, tetap memberikan pembelaan terhadap atasannya tersebut.
Sebenarnya tidak ada yang salah dengan video Gus Menag tersebut. Pro-kontra terjadi karena adanya kesalahpahaman dalam melihat eksistensi agama Baha’i. Mereka yang kontra, umumnya memahami Baha’i sebagai bagian dari aliran dalam Islam, yang dianggap sesat dan menyimpang, atau dianggap agama yang belum diakui negara (kemenag.go.id).
Pembelaan serupa juga hadir dari Amanah Nurish, dosen Antropologi Agama UI, seperti yang ia tulis di laman detiknews.com. Menurutnya, penolakan terhadap agama Baha’i merupakan sebuah “pemahaman sempit”.
Harus diakui kultur kita terkadang mudah sekali terprovokasi oleh isu-isu yang dangkal menyangkut kehidupan beragama. Bahkan masyarakat kita mudah mengalami “darah tinggi” apabila merespons hal-hal yang belum pernah diketahui atau dipahami. Alih-alih mempelajari dan menelusuri kebenarannya, yang terjadi justru sebaliknya –memfitnah, menghujat, dan menjatuhkan tuduhan sesat kepada kelompok agama lain.
Inilah sebabnya angka intoleransi dan kekerasan atas nama agama di Indonesia cenderung mengalami kenaikan yang lebih cepat dibanding prosentase kenaikan suku bunga bank.
Ketua Program Studi Agama dan Lintas Budaya UGM, Zainal Abidin Bagir, menceritakan perjalanan masuknya agama Baha’i ke Indonesia pada abad ke-19. Menurutnya, agama Baha’i sempat dikenal sebagai organisasi dan dilarang keberadaannya oleh Presiden Soekarno hingga akhirnya larangan tersebut dicabut oleh Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur pada tahun 2000. Lebih lanjut, ia menjelaskan alasan dibalik terbitnya SE yang menegaskan eksistensi agama Baha’i. Menurutnya, awalnya berasal dari Kemendagri saat pengisian agama pada kolom e-KTP (detiknews.com).
Ada banyak polemik mengenai kehadiran Baha’i (dan juga aliran-aliran sesat lainnya) di Indonesia yang senantiasa “didaur ulang”, seperti isu HAM, hak sipil, toleransi dan pluralisme agama (sekarang namanya berganti menjadi moderasi beragama). Dua isu terakhir memang menjadi “proyek” dari menteri agama masa pemerintahan Jokowi ini. Dengan proyeksi seperti itu, umat beragama yang tidak setuju dengan keberadaan aliran-aliran sesat seperti Syi’ah, Ahmadiyah, juga termasuk Baha’i kemudian dicap sebagai eksklusivisme, puritanisme, dan intoleran.
Kenapa menolak Baha’i?
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Cholil Nafis, seperti dilansir CNN Indonesia, meminta pemerintah tidak salah menyikapi keberadaan agama Baha’i. Sebelumnya, agama itu jadi sorotan publik usai mendapat ucapan selamat hari raya dari Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas.
Cholil Nafis menyampaikan Indonesia hanya mengakui enam agama. Menurutnya, pemerintah tidak bisa menyamaratakan perlakuan antara enam agama yang diakui dengan agama lainnya. Cholil Nafis mengatakan negara melindungi pemeluk agama apapun. Namun, ia berpendapat pemerintah tidak perlu melayani, apalagi memfasilitasi agama selain enam agama yang diakui.
“Memang negara wajib melindungi umat agama, tapi jangan offside menjadi melayani yang sama dengan enam agama yang diakui,” kata Cholil Nafis lewat pesan singkat kepada CNNIndonesia.com, Rabu (28/7).
Agama itu masuk ke Indonesia pada 1878. Kemenag menyebut penganut Baha’i di Indonesia mencapai sekitar 5.000 orang. Agama ini pernah dicap sesat oleh MUI Jawa Barat pada 2014. Agama itu dipermasalahkan karena memiliki ritual yang mirip dengan ajaran Islam, seperti shalat dan puasa (cnnindonesia.com).
Kesesatan agama Baha’i sebagaimana dikemukakan oleh MUI ini bisa ditelusuri melalui karya-karya para ulama, seperti Dirasat ‘an l-Bahaiyah wa l-Babiyah karya Prof. Muhibbuddin al-Khathib dkk; al-Bahaiyah Naqd wa Tahlil karya Ahsan Alhy Zaheer; Bahai Heresy Misguidance Its Origin Ideas Perversions dakr future and its position suspicious of Islam karya Rashid bin Abdil Muti; dll.
Memancing di Air Keruh
Baha’i atau Baha’isme yang didirikan oleh Mirza Husayn Ali Nuri (digelari Bahaullah atau Bab) pada 1844 di Iran. Baha’i sebagai sebuah entitas agama dan gerakan merupakan percampuran -untuk tidak menyebut “pelacuran”- keyakinan beragama. Di mana secara teologis, hal ini sebenarnya menodai agama-agama yang telah diakui di Indonesia. Bab (pendiri Baha’i) yang mengaku sebagai perwujudan Tuhan sebagaimana para nabi merupakan sebuah pembajakan terhadap wahyu ilahi. Hal ini jelas bertentangan dengan pasal 1 PNPS 1965, yang berbunyi
Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu, penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu (pasal 1 PNPS 1965).
Begitupun Pasal 156(a) KUHP Indonesia melarang setiap orang yang dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang bersifat permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia atau dengan maksud supaya orang tidak menganut agama apapun.
Menjamin hak-hak sipil dan keakraban berwarganegara sudah menjadi tugas pemerintah dalam melindungi segenap tumpah darah. Jadi tidak perlu dibenturkan dengan polemik toleransi yang seolah menunjukkan potret suram dari pemaknaan toleransi yang salah kaprah. Ibarat “memancing di air keruh”. Apresiasi pejabat terhadap aliran sesat tanpa sadar dapat melukai perasaan rakyat. Niat hati membela hak minoritas namun nyatanya mengabaikan hak mayoritas tak ubahnya “ngawur kasintu nyieuhkeun hayam.”
Penulis: Hayatul Fauji (Alumni Sastra Sunda UNPAD dan Aktivis Intitute of Civilization)