Tugas Para Nabi dan Umatnya
Allah –azza wa jalla– mengutus para nabi dan rasul-Nya kepada setiap umat untuk mendakwahkan dan mengajarkan ilmu ajaran-ajaran agama islam, khususnya ajaran tauhid, yang mengajarkan tentang bagaimana cara beribadah kepada-Nya dengan benar, sebagaimana firman-Nya:
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ
“Dan sungguh Kami telah mengutus bagi setiap umat seorang Rasul [yang menyerukan]:’Beribadahlah kepada Allah dan jauhilah thaghut!’…” (QS an-Nahl [16]: 36)
Wafatnya Nabi Muhammad –shalllal-`Llahu ‘alaihi wa sallam– sebagai Nabi dan Rasul terakhir, bukan berarti menjadikan tugas dakwah islam yang mulia berhenti dan terputus begitu saja; namun estafeta tugas dakwah mesti tetap dilanjutkan oleh umat islam. Allah –‘azza wa jalla– berfirman:
قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ
“Katakanlah [Muhammad]: ‘Inilah jalanku; aku dan orang-orang yang mengikutiku menyeru [kalian] kepada Allah dengan hujjah yang nyata. Mahasuci Allah dan aku tidak termasuk orang-orang musyrik’.” (QS Yusuf [12]: 108)
Mengenai tafsir ayat ini, al-Hafizh Ibn Katsir –rahimahul-`Llah– mengatakan:
يقول الله تعالى لعبد وَرَسُولِهِ إِلَى الثَّقَلَيْنِ: الْإِنْسِ وَالْجِنِّ، آمِرًا لَهُ أَنْ يُخْبِرَ النَّاسَ: أَنَّ هَذِهِ سَبِيلُهُ، أَيْ طَرِيقُهُ وَمَسْلَكُهُ وَسُنَّتُهُ، وَهِيَ الدَّعْوَةُ إِلَى شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، يَدْعُو إِلَى اللَّهِ بِهَا عَلَى بَصِيرة مِنْ ذَلِكَ، وَيَقِينٍ وَبُرْهَانٍ، هُوَ وَكُلُّ مَنِ اتَّبَعَهُ، يَدْعُو إِلَى مَا دَعَا إِلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ على بَصِيرَةٍ وَيَقِينٍ وَبُرْهَانٍ شَرْعِيٍّ وَعَقْلِيٍّ.
“Allah ta’ala berfirman kepada hamba dan Rasul-Nya [yang diutus] kepada ats-tsaqalain; manusia dan jin, sambil memerintahkan kepadanya untuk memberitahu manusia bahwa inilah jalannya, maksudnya haluan, cara, dan tuntunannya, yaitu menyeru pada syahadat tiada tuhan selain Allah satu-satu-Nya, tidak ada sekutu bagi-Nya. Berdakwah kepada Allah mesti di atas bashirah (ilmu), hujjah yang pasti, dan petunjuk yang jelas. Ia dan juga seluruh orang yang mengikutinya menyeru pada apa yang diserukan oleh Rasulullah -shallal-`Llahu ‘alaihi wa sallam- berdasarkan ilmu, hujjah yang pasti, dan dalil-dalil syar’i maupun logika.” (Tafsir Ibn Katsir, tafsir QS Yusuf [12]: 108)
Jadi, ayat ini sudah cukup jelas menjadi dalil akan wajibnya bagi setiap muslim untuk melanjutkan jalan dakwahnya para nabi dan rasul.
Jika hanya sekedar merujuk ayat di atas, maka dapat dipahami bahwa hukum berdakwah adalah fardlu ‘ain. Namun ada ayat lain yang menunjukkan bahwa kewajibannya bersifat fardlu kifayah; minimal ada segolongan dari manusia yang bersedia menjadi juru dakwah, karena tentunya tidak semua manusia memiliki kemampuan untuk mengemban tugas mulia ini. Hal ini sebagaimana firman Allah ‘azza wa jalla:
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Dan hendaklah ada di antara kamu ada segolongan umat yang menyeru pada kebajikan, menyuruh pada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS Ali ‘Imran [3]: 104)
Tauhid Prioritas Utama
Ajaran islam merupakan ajaran yang sempurna dan menyeluruh, dari mulai keyakinan (aqidah), tatacara ibadah, sampai akhlaq yang mulia. Meski begitu, materi dakwah yang paling utama dan harus menjadi prioritas adalah tauhid (mengesakan Allah) yang termasuk dalam ajaran aqidah. Hal ini sebagaimana jalan dakwah para nabi dan rasul yang senantiasa mengutamakan materi tauhid berdasarkan firman Allah dalam QS. An-Nahl (36) di atas dan juga ayat-ayat lainnya, di antaranya rekam ucapan Nabi Nuh, Hud, Shalih, dan Syu’aib –‘alaihimus-salam– kepada kaumnya masing-masing yang tercantum di dalam firman Allah:
يَاقَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ
“…Wahai kaumku, beribadahlah kepada Allah, tidak ada tuhan yang lain bagi kalian!” (QS. Al-A’raf [7]: 59, 65, 73, & 85)
Dalam sebuah hadits, Nabi Muhammad –shallal-`Llahu ‘alaihi wa sallam– pernah bersabda kepada Mu’adz ibn Jabal –radliyal-`Llāhu ‘anhu– yang akan beliau utus ke Yaman yang saat itu masyarakatnya masih kafir untuk mendakwahkan ajaran islam:
إِنَّكَ تَقْدَمُ عَلَى قَوْمٍ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ فَلْيَكُنْ أَوَّلَ مَا تَدْعُوهُمْ إِلَى أَنْ يُوَحِّدُوا اللَّهَ تَعَالَى فَإِذَا عَرَفُوا ذَلِكَ فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّ اللَّهَ قَدْ فَرَضَ عَلَيْهِمْ خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِي يَوْمِهِمْ وَلَيْلَتِهِمْ فَإِذَا صَلَّوْا فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّ اللَّهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ زَكَاةً فِي أَمْوَالِهِمْ تُؤْخَذُ مِنْ غَنِيِّهِمْ فَتُرَدُّ عَلَى فَقِيرِهِمْ فَإِذَا أَقَرُّوا بِذَلِكَ فَخُذْ مِنْهُمْ وَتَوَقَّ كَرَائِمَ أَمْوَالِ النَّاسِ
“Sesungguhnya engkau akan mendatangi masyarakat ahli kitab, maka jadikanlah hal pertama yang engkau dakwahkan kepada mereka adalah supaya mereka mengesakan Allah Ta’ala. Jika mereka telah mengetahuinya, maka ajarkanlah mereka bahwa Allah telah mewajibkan atas mereka shalat lima waktu dalam sehari semalam. Jika mereka telah melaksanakan shalat, maka ajarkanlah mereka bahwa Allah telah mewajibkan atas mereka zakat pada harta mereka yang diambil dari orang kaya mereka kemudian diberikan kepada orang miskin mereka. Jika mereka telah memahaminya maka ambillah dari mereka dan berhati-hatilah dari harta berharga mereka.” (Shahih al-Bukhari bab fi du’a`in-nabiyyi shallal-`Llahu ‘alaihi wa sallama no. 7372)
Dakwah tauhid mesti menjadi prioritas utama ketika mendakwahi masyarakat kafir dikarenakan seluruh amal shalih dan kalimat thayibah mereka tidak akan berbuah pahala jika tanpa iman terhadap keesaan Allah di dalam hati mereka. Kelak, di akhirat amal-amal shalih mereka tidak akan bermanfaat bagi mereka dan akan Allah binasakan layaknya debu yang berterbangan. Allah berfirman:
وَقَدِمْنَا إِلَى مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاءً مَنْثُورًا
“Dan kami hadapkan segala amal yang mereka (orang kafir) kerjakan, lalu kami jadikan amalnya bagaikan debu yang berterbangan.” (QS al-Furqan [25]: 23)
Begitupun ketika mendakwahi masyarakat muslim, dakwah tauhid tetap mesti menjadi prioritas utama karena pahala amal-amal shalih yang mereka kerjakan bisa terhapus begitu saja ketika mereka melakukan salah satu dari praktik-praktik syirik. Allah berfirman:
وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Dan sungguh kami telah wahyukan kepadamu dan juga kepada orang-orang sebelummu [bahwa] jika kamu berbuat syirik, maka (pahala) amalmu akan terhapus dan kamu benar-benar akan termasuk dalam golongan orang-orang yang merugi.” (QS az-Zumar [39]: 65)
Bukan hanya menghapus pahala amal, dosa syirik pun merupakan tingkatan dosa besar yang paling besar; dosa yang bisa dihapus hanya ketika benar-benar ditaubati dengan taubat yang tulus (nashuha) dan itupun jika masih diberi kesempatan bertaubat; adapun jika tidak maka dosa syirik akan menjadi dosa yang membinasakan seseorang di akhirat. Apalagi jika seorang muslim nekat untuk melakukan syirik besar, murtad dari agama islam; maka sudah dipastikan ia akan masuk neraka jika tidak sempat bertaubat dan kembali pada agama islam sebelum matinya.
Sesuai Kemampuan
Tugas dakwah tidak hanya boleh dilakukan oleh para da’i, muballigh, atau ustadz, tapi boleh juga dilakukan oleh setiap muslim sesuai dengan kapasitas atau kemampuannya masing-masing. Memang, untuk bisa berbicara di mimbar diperlukan ilmu yang matang, tidak boleh sembarang orang; namun faktanya dakwah bukan hanya di atas mimbar. Dakwah dapat dilakukan oleh siapa saja, di mana saja, dan dengan metode apa saja dengan catatan orang yang berdakwah harus benar-benar ‘ala bashiratin, memiliki ilmunya.
Jika seseorang dapat menjadikan orang yang didakwahi mendapatkan hidayah lewat dakwahnya, maka ia berhak mendapat pahala yang pernah Nabi –shallal-`Llahu ‘alaihi wa sallam– sebutkan kepada shahabat ‘Ali ibn Abu Thalib:
فَوَاللَّهِ لَأَنْ يَهْدِيَ اللَّهُ بِكَ رَجُلًا وَاحِدًا خَيْرٌ لَكَ مِنْ أَنْ يَكُونَ لَكَ حُمْرُ النَّعَمِ
“Demi Allah! Allah memberikan hidayah kepada seseorang melalui perantaramu, itu benar-benar lebih baik bagimu daripada kamu mendapatkan unta merah.” (Shahih al-Bukhari bab ghazwati khaibara no. 4210)
Unta merah adalah harta paling berharga di kalangan bangsa Arab pada zaman dahulu. Jadi, pahala berdakwah itu lebih berharga daripada harta yang paling mahal di dunia dan semua sangat muslim mungkin untuk mendapatkan pahala luar biasa ini.
Wal`-Llahu a’lam.
Penulis: Fauzy Barokah Ramadhani (Staf Pengajar Pesantren Persis 27)