Seantero dunia geger dengan kemenangan Taliban yang telah menguasai Afghanistan. Dengan kemenangannya ini banyak yang menaruh respek, tapi tidak sedikit pula yang justru malah kebakaran jenggot –meski tidak berjenggot. Pro kontra yang muncul di publik menimbulkan tanda tanya besar bagi ummat untuk menyikapi kemenangan Taliban, tak terkecuali ummat Islam Indonesia. Karena kemenangan Taliban bukan sekadar perang semata, tapi juga sarat akan pergumulan wacana.
Adalah Muhammad Jusuf Kalla, Wakil Presiden ke-10 dan 12 Republik Indonesia, atau akrab dipanggil Pak JK, yang paling vokal mengemukakan “sisi baik” dari Taliban. Menurut pengakuannya beliau telah berulang kali bertemu dan berdiskusi dengan pemimpin Taliban, bahkan pernah mengundangnya ke Indonesia saat beliau menjabat sebagai wakil presiden. Kedekatan Pak JK dengan Taliban bukanlah pertemuan sepintas lalu. Hal ini dibuktikan dengan pernyataan Hamid Awaludin, mantan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, yang mengaku dihubungi oleh Tokoh Taliban, sebulan sebelum Taliban menguasai Kabul pada 15 Agustus silam.
“Sekitar enam minggu yang lalu saya itu masih teleponan dengan kelompok Taliban. (Mereka) mendesak minta bertemu dengan Pak JK dan saya, tapi kan suasana COVID susah kita tinggalkan (Jakarta),” ungkap Hamid kepada tim Blak-blakan detikcom, Jumat (27/8/2021).
Bahkan tiga hari sebelum Taliban menguasai Kabul dan beberapa jam setelah menguasai Ibu Kota Afghanistan itu, Hamid mengaku ditelepon lagi. “Kami akan menang, doakan,” kata Hamid mengulang percakapannya dengan Baradar. “Dia memberitahu bahwa mereka sudah di dalam Kabul, doakan,” ungkap Hamid. Setelah itu, ia melanjutkan, dirinya segera berkomunikasi dengan pihak pemerintah Afganistan agar tidak muncul prasangka. “Biar fair setiap kali berbicara dengan Taliban saya komunikasikan dengan pemerintah Afghanistan, begitu juga sebaliknya.”
Taliban dan pemerintah Afganistan yang sudah bertahun-tahun berseteru, sejak 2017 memilih Indonesia sebagai penengah. Mereka menilai Indonesia punya reputasi dalam penyelesaian konflik Aceh antara RI dan Gerakan Aceh Merdeka pada Agustus 2005. “Sesungguhnya kenapa kedua belah pihak datang ke kita karena itu pengalaman mendamaikan Aceh sebenarnya,” jelas Hamid.
Jadi, baik Taliban maupun pemerintah Afghanistan (Ashraf Ghani) sebenarnya sudah terjalin hubungan yang baik, tidak hanya kepada JK dan Hamid saja, tapi dengan pemerintah Indonesia. Kedua belah pihak yang bertikai pernah ke Jakarta. Presiden Asraf Ghani bertemu Presiden Joko Widodo pada April 2019, dan kelompok Taliban diterima Jusuf Kalla di rumah dinas wakil presiden pada Juli 2019. Rombongan Taliban yang dipimpin Mullah Abdul Ghani Baradar juga sempat salat di Masjid Sunda Kelapa dan di Masjid Istiqlal, berdialog dengan MUI, dan pimpinan PBNU.
Lalu, kenapa Indonesia belum memberikan sikap tegas antara mengakui pemerintahan Afghanistan versi Taliban dan tidak?
Sampai tulisan ini ditulis, Indonesia belum memberikan kepastian sikap mengenai Taliban selain masih memantau dari dekat perkembangan Taliban-Afghanistan. Dosen Hubungan Internasional UIN Syarif Hidayatullah Robi Sugara menilai Indonesia tidak akan mengambil langkah berpihak pada satu sisi dalam konflik Afghanistan. Menurut Robi, Indonesia sudah pada posisi upaya perdamaian dengan mengajak Taliban sesuai dengan prinsip politik bebas aktif.
“Indonesia masih memegang kebijakan politik luar negeri bebas aktif. Jadi tidak mungkin memihak antara Karzai atau Taliban. Sejak Indonesia terlibat dalam proses damai di Afghanistan, Indonesia selalu mengusulkan pelibatan Taliban,” kata Robi kepada reporter Tirto, Rabu (18/8/2021).
Robi menekankan Taliban saat ini mengambil alih kekuasaan karena tidak menggunakan pendekatan pengambilan kekuasaan seperti momen perang dunia kedua atau perang dingin. Metode yang digunakan pun berbeda dengan cara ISIS mengambil wilayah. Pengambilalihan wilayah Afghanistan pun dilakukan tidak secara selektif dan sporadis. Selain itu, kata dia, mereka juga tidak menyerang orang asing serta berencana memberikan amnesti kepada aparatur yang menyerah. Oleh karena itu, situasi yang terjadi berbeda (tirto.id).
Secara diplomatik kenegaraan perbincangan atas pengakuan terhadap Taliban masih bersifat dilematis –untuk tidak mengatakan pragmatis. Seperti Guru Besar Hukum Internasional dari Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, menyebut pemerintah Indonesia jangan terburu-buru menyampaikan sikapnya soal konflik tersebut. Kondisi di Afghanistan masih bisa berubah.
“(Harus) menunggu. Kita tidak mau kalau buru-buru mengakui, kemudian endorse salah satu faksi, malah ujung-ujungnya kita dianggap mencampuri urusan internal negara-negara lain,” katanya saat dihubungi terpisah.
“Jangan tergesa-gesa. Buktinya sekarang Wakil Presiden dari pemerintahan (sebelum kudeta), menyatakan sikap bahwa menurut konstitusi, dia yang menjadi Presiden (Ashraf Ghani) karena presidennya melarikan diri ke luar negeri),” ucapnya.
Ada beberapa hal buruk terjadi jika Indonesia tergesa-gesa menyampaikan sikap. Bisa saja Indonesia mendukung kelompok yang akhirnya dijatuhkan atau kalah dalam perebutan kekuasaan.
“Bisa dipandang oleh pemerintah yang berkonflik sebagai mencampuri urusan dalam negeri yang terjadi di Afghanistan. Itu jadi tidak baik kalau keluar pemimpin yang tidak diakui oleh pemerintah kita,” katanya (detik.com).
Berawal dari Wacana Perang
Mengutip artikel dari cnnindonesia.com, Taliban, dalam bahasa Pashto, berarti ‘pelajar’. Kelompok ini mengambil nama ‘taliban’ karena memang pada awalnya sebagian besar anggotanya merupakan siswa pesantren yang didirikan oleh para pengungsi Afghanistan di Pakistan pada tahun 1980-an. Gerakan ini mulanya didominasi oleh orang-orang Pashtun dan muncul di sejumlah pesantren yang dibiayai Arab Saudi dengan menganut aliran Sunni “garis keras”.
Akibat ketidakstabilan situasi politik dan runtuhnya rezim Soviet, kelompok ultrakonservatif ini berkembang dan eksis pada medio 1990-an. Pada September 1995, mereka berhasil merebut Provinsi Herat, di perbatasan Iran. Tepat setahun kemudian, sejak 1996, Taliban menguasai sebagian besar wilayah Afghanistan, termasuk di antaranya Kabul. Di bawah kekuasaannya, Taliban memberlakukan hukum Islam yang ketat.
Sejarah Taliban di Afghanistan sendiri telah dimulai sejak lama. Taliban digulingkan dari kekuasaannya di Afghanistan oleh pasukan yang dipimpin Amerika Serikat (AS) pada tahun 2001 silam. Praktis, sejak saat itu, perang berkepanjangan mewarnai hari-hari di Afghanistan. Taliban kian kuat dan kini telah mencapai puncaknya hingga menduduki ibu kota Kabul. Setelah 20 tahun perang, pasukan AS perlahan menarik diri dari Afghanistan. Itu dilakukan sesuai kesepakatan antara AS dan Taliban.
Namun, setelah perjanjian, Taliban justru melancarkan serangan untuk merebut wilayah-wilayah yang dikuasai tentara Afghanistan. Sejarah Taliban di Afghanistan dan perang berkepanjangan ini dipicu oleh tragedi 9/11 di AS. Petinggi Al Qaeda, Osama bin Laden, dituduh sebagai biang kerok peristiwa tersebut. Kala itu, Osama bin Laden berada di Afghanistan di bawah perlindungan Taliban (cnnindonesia.com –dengan sedikit penyesuaian).
Begitulah wacana perangnya. Namun kalau mau berfikir secara rasional, kita dapat membuka data untuk mengungkap fakta di balik itu. Seperti dilansir idxchannel.com, Dalam 20 tahun sejak 11 September 2001, Amerika Serikat telah menghabiskan lebih dari USD2 triliun untuk perang di Afghanistan. Jumlah itu jika dirinci, USD300 juta (Rp4 triliun) per hari, setiap hari, selama dua dekade. Atau USD50.000 untuk setiap 40 juta penduduk Afghanistan.
Dalam istilah yang lebih mendasar, Paman Sam telah menghabiskan lebih banyak uang untuk meminggirkan Taliban dibandingkan total kekayaan bersih Jeff Bezos, Elon Musk, Bill Gates dan 30 miliarder terkaya di Amerika Serikat, digabungkan (idxchannel.com). Artinya, uang dan senjata yang telah digelontorkan oleh AS akhirnya “bangkrut” juga, kalah dengan semangat jihad Taliban setelah dua dekade berselang.
Perang Wacana
Mengutip News Sky, Taliban kemudian dituduh menegakkan hukum Islam yang brutal dan represif dengan eksekusi publik sebagai hukumannya. Perempuan diharuskan berpakaian tertutup dan pria harus menumbuhkan janggut. Mengutip BBC, Taliban juga melarang kebebasan berekspresi. Masyarakat dilarang mendengarkan televisi, musik, dan menikmati film di bioskop. Perempuan di atas 10 tahun juga dilarang mengenyam pendidikan formal di sekolah. Berbagai penerapan aturan itu membuat Taliban kerap dituduh melakukan pelanggaran hak asasi manusia (cnnindonesia.com).
Di sisi lain, Wakil Ketua Majelis Syuro PKS Hidayat Nur Wahid (HNW) meminta pemerintah Indonesia untuk mendukung kekuasaan kelompok Taliban di Afghanistan saat ini. Sebab, kata HNW, Taliban sudah mendeklarasikan beberapa hal seperti mengaku akan menghargai hak perempuan dan anak, tidak akan menoleransi tindakan terorisme, serta melaksanakan pemerintahan secara moderat. Hal ini ia katakan dalam diskusi virtual bertajuk ‘Masa Depan Afghanistan dan Peran Diplomasi Perdamaian Indonesia’ yang diselenggarakan Center for Reform.
“Saat ini pilihan paling rasional bagi Pemerintah Indonesia adalah membersamai proses perubahan yang terjadi di Afghanistan. Kita beri kesempatan kepada rakyat Afghanistan untuk berkompromi menentukan menentukan nasibnya sendiri,” kata HNW pada Sabtu, 21 Agustus.
Secara pribadi, HNW mengaku menyambut baik perubahan sikap Taliban saat ini. Ia memandang, kelompok Taliban saat ini menjadi lebih moderat. Sehingga, menurutnya dunia Internasional bisa memberikan kesempatan kepada Pemerintahan Taliban untuk memimpin Afghanistan.
“Kalau mau dibilang tempat terorisme, ISIS, nyatanya Taliban malah mengeksekusi pimpinan ISIS yang sebelumnya ditangkap. Kalau mau dituduh wahabi dan radikal faktanya mereka menganut mazhaf hanafiah yang kultur dan tradisi beragamanya sama dengan NU. Jadi, semua tuduhan negatif yang selama ini diarahkan ke Taliban tidak relevan lagi,” jelasnya.
Lebih lanjut, Wakil Ketua MPR RI itu mengatakan, meskipun sikap politik Indonesia adalah bebas aktif, namun bukan berarti tidak memberikan sikap kepada nasib rakyat di Afganistan. Menurutnya, Indonesia tak bisa tidak menentukan sikap dan memberi kesempatan kepada rakyat Afghanistan untuk berkompromi menentukan menentukan nasibnya sendiri.
“Indonesia harus juga berperan aktif mewujudkan perdamaian dunia sebagaimana yang diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia,” tutur HNW (voi.id).
Terlepas bagaimana nanti sikap pemerintah Indonesia terhadap Taliban dan issu-issu dari media yang terus memojokkan Taliban sebagai gerakan ekstremis-radikalis dan sebangsanya, terbersit satu pelajaran menarik bahwa perjuangan itu perlu waktu, tidak bisa instan, semua ada pasang surutnya. Dan semua itu perlu dipupuk sejak di pesantren atau mungkin di madrasah diniyyah, sejak santri, taliban.