-
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ: إِنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ أَبِي حُبَيْشٍ كَانَتْ تُسْتَحَاضُ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ : إِنَّ دَمَ اَلْحَيْضِ دَمٌ أَسْوَدُ يُعْرَفُ فَإِذَا كَانَ ذَلِكَ فَأَمْسِكِي مِنَ الصَّلاَةِ فَإِذَا كَانَ الآخَرُ فَتَوَضَّئِي وَصَلِّي. رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ وَالنَّسَائِيُّ وَصَحَّحَهُ اِبْنُ حِبَّانَ وَالْحَاكِمُ وَاسْتَنْكَرَهُ أَبُو حَاتِمٍ
Dari ‘Aisyah—semoga Allah meridlainya—ia berkata: Sesungguhnya Fathimah binti Abi Hubaisy istihadlah. Maka Rasulullah—shalawat dan salam untuknya—bersabda:“Sesungguhnya darah haidl itu darah agak hitam yang mudah dikenali. Maka jika itu ada, berhentilah dari shalat. Jika darah selain itu, wudlulah dan shalatlah.” Abu Dawud dan an-Nasa`i meriwayatkannya. Ibn Hibban dan al-Hakim menshahihkannya. Abu Hatim menilainya munkar.
Imam Abu Dawud meriwayatkannya dalam Sunan Abi Dawud kitab at-thaharah bab man qala idza aqbalatil-haidlah tada’us-shalah no. 286 dan bab man qala tawadldla`a li kulli shalat no. 304. Imam an-Nasa`i meriwayatkannya dalam Sunan an-Nasa`i kitab at-thaharah bab al-farq baina damil-haidl wal-istihadlah no. 215-216. Ibn Hibban menilai shahih hadits ini dalam Shahih Ibn Hibban kitab at-thaharah bab al-haidl wal-istihadlah no. 1348. Sementara al-Hakim dalam al-Mustadrak ‘alas-Shahihain kitab at-thaharah no. 618. Penilaian munkar Abu Hatim atas hadits ini tertulis dalam kitab al-‘Ilal yang ditulis putranya, Ibn Abi Hatim bab bayan ‘ila‘ akhbar ruwiyat fit-thaharah no. 117. Ibn Abi Hatim menulis:
فَقَالَ أَبِي: لَمْ يُتابَعْ مُحَمَّدُ بْنُ عَمْرٍو عَلَى هَذِهِ الرِّواية، وَهُوَ مُنكَرٌ
Ayahku (Abu Hatim) berkata: “Muhammad ibn ‘Amr (ibn ‘Alqamah ibn Waqqash—sebagaimana disebut jelas dalam sanad an-Nasa`i) tidak ada mutabi’ (yang turut meriwayatkan dari gurunya; az-Zuhri) dalam riwayat ini. Padahal ia seorang munkar.”
Penilaian munkar itu sendiri penilaian yang tasyaddud (terlalu ketat/hati-hati). Sebab yang tepat menurut Ibn Hajar dalam Taqrib adalah shaduq lahu auham (jujur meski terkadang keliru). Imam an-Nasa`i dan lainnya, sebagaimana dikutip adz-Dzahabi, menilai laisa bihi ba`sun; tidak ada masalah. Artinya, yang lebih tepat adalah menilai hadits ini hasan. Meski rawinya tidak sampai tsiqah/shahih, tetapi juga tidak sampai cacat/dla’if.
Hadits ini menjadi dasar untuk membedakan status dan konsekuensi hukum bagi haidl dan istihadlah: Pertama, haidl adalah darah agak hitam yang mudah dikenali oleh kaum perempuan. Keonsekuensi hukumnya haram shalat. Dalam hadits berikutnya dijelaskan, jika darah haidl susah dikenali akibat pendarahan yang banyak, maka tetapkan haidl dalam siklus normal, baik menurut ukuran pribadi (hadits Ummu Habibah binti Jahsy/no. 152) atau ukuran kaum perempuan para umumnya (hadits Hamnah binti Jahsy/no. 151). Di luar siklus tersebut maka hitung sebagai istihadlah. Kedua, istihadlah adalah pendarahan selain haidl. Konsekuensi hukumnya tetap wajib shalat dan berwudlu untuk shalat.
-
وَفِي حَدِيثِ أَسْمَاءَ بِنْتِ عُمَيْسٍ عِنْدَ أَبِي دَاوُدَ: لِتَجْلِسْ فِي مِرْكَنٍ, فَإِذَا رَأَتْ صُفْرَةً فَوْقَ اَلْمَاءِ فَلْتَغْتَسِلْ لِلظُّهْرِ وَالْعَصْرِ غُسْلاً وَاحِدًا, وَتَغْتَسِلْ لِلْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ غُسْلاً وَاحِدًا, وَتَغْتَسِلْ لِلْفَجْرِ غُسْلاً, وَتَتَوَضَّأْ فِيمَا بَيْنَ ذَلِكَ
Dalam hadits Asma` binti ‘Umais riwayat Abu Dawud (Nabi saw bersabda): “Hendaklah ia duduk pada satu wadah (yang biasa dipakai mencuci pakaian) berisi air. Jika ia lihat kuning di atas air hendaklah ia mandi untuk zhuhur dan ‘ashar satu kali, untuk maghrib dan ‘isya satu kali, dan untuk fajar/shubuh satu kali. Lalu hendaklah ia wudlu di antara dua shalat itu.”
Imam Abu Dawud meriwayatkan hadits ini dalam Sunan Abi Dawud kitab at-thaharah bab man qala tujma’u bainas-shalatain no. 296. Hadits ini masih sama dengan hadits di atas terkait jawaban Nabi saw atas kasus istihadlah Fathimah binti Abi Hubaisy. Bedanya, dalam hadits ini yang menyampaikannya Asma` binti ‘Umais (istri Ja’far ibn Abi Thalib, lalu sesudah syahid Ja’far dinikahi oleh Abu Bakar), sementara dalam hadits di atas ‘Aisyah putri Abu Bakar.
Dalam hadits ini, Nabi saw menganjurkan cara lain untuk membedakan haidl dan istihadlah, yakni dengan memeriksanya melalui air yang ditampung di sebuah wadah. Jika sudah kekuning-kuningan maka itu bukan darah haidl.
Cara bersuci yang dianjurkan dalam hadits ini juga bukan hanya berwudlu, melainkan menggabungkan antara mandi dan wudlu. Praktik lengkapnya: Shalat Zhuhur di akhir waktu zhuhur dan shalat ‘Ashar di awal waktu ‘ashar—sebagaimana akan dijelaskan lebih lanjut dalam hadits Hamnah binti Jahsy/no. 151. Sebelum shalat Zhuhur mandi, sebelum shalat ‘Ashar wudlu. Lalu untuk Maghrib dan ‘Isya juga demikian; shalat Maghrib di akhir waktu maghrib dan shalat ‘Isya di awal waktu ‘isya. Sebelum shalat Maghrib mandi dan sebelum shalat ‘Isya wudlu. Lalu mandi untuk shalat Shubuh (‘Aunul-Ma’bud Syarh Sunan Abi Dawud).
-
عَنْ حَمْنَةَ بِنْتِ جَحْشٍ قَالَتْ: كُنْتُ أُسْتَحَاضُ حَيْضَةً كَبِيرَةً شَدِيدَةً, فَأَتَيْتُ النَّبِيَّ أَسْتَفْتِيهِ, فَقَالَ: إِنَّمَا هِيَ رَكْضَةٌ مِنَ الشَّيْطَانِ, فَتَحَيَّضِي سِتَّةَ أَيَّامٍ أَوْ سَبْعَةً ثُمَّ اغْتَسِلِي, فَإِذَا اسْتَنْقَأْتِ فَصَلِّي أَرْبَعَةً وَعِشْرِينَ أَوْ ثَلاَثَةً وَعِشْرِينَ وَصُومِي وَصَلِّي فَإِنَّ ذَلِكَ يُجْزِئُكَ, وَكَذَلِكَ فَافْعَلِي كَمَا تَحِيضُ النِّسَاءُ, فَإِنْ قَوِيتِ عَلَى أَنْ تُؤَخِّرِي الظُّهْرَ وَتُعَجِّلِي الْعَصْرَ ثُمَّ تَغْتَسِلِي حِينَ تَطْهُرِينَ وَتُصَلِّينَ الظُّهْرَ وَالْعَصْرَ جَمِيعًا, ثُمَّ تُؤَخِّرِينَ الْمَغْرِبَ وَتُعَجِّلِينَ الْعِشَاءَ ثُمَّ تَغْتَسِلِينَ وَتَجْمَعِينَ بَيْنَ الصَّلاَتَيْنِ فَافْعَلِي. وَتَغْتَسِلِينَ مَعَ الصُّبْحِ وَتُصَلِّينَ. قَالَ وَهُوَ أَعْجَبُ الْأَمْرَيْنِ إِلَيَّ. رَوَاهُ الْخَمْسَةُ إِلاَّ النَّسَائِيَّ وَصَحَّحَهُ التِّرْمِذِيُّ وَحَسَّنَهُ الْبُخَارِيُّ
Dari Hamnah binti Jahsy, ia berkata: Aku istihadlah sangat banyak, lalu aku datang kepada Nabi saw memohon fatwa kepadanya. Beliau bersabda: “Hanyasanya itu gangguan dari setan. Maka hitunglah haidlmu enam atau tujuh hari. Kemudian mandilah. Apabila selesai, shalatlah selama 24 atau 23 hari (tergantung hitungan haidl; 6 atau 7 hari). Shaumlah dan shalatlah, itu cukup untukmu. Demikian juga lakukanlah olehmu sebagaimana yang dilakukan wanita-wanita yang haidl (hukum seputar haidl diberlakukan ketika hitungan haidl yang 6 atau 7 hari). Jika kamu kuat untuk mengakhirkan zhuhur dan mengawalkan ashar, kemudian kamu mandi ketika suci (dari hitungan haidl), dan kamu shalat zhuhur dan ‘ashar dijama’; demikian juga jika kamu mampu mengakhirkan maghrib dan mengawalkan ‘Isya, kemudian kamu mandi dan menjama’ dua shalat tersebut, lakukanlah. Dan kamu juga mandi di waktu shubuh dan shalat shubuh. Itu adalah yang paling aku senangi dari dua perkara.” Lima imam meriwayatkannya kecuali an-Nasa`i (Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi dan Ibn Majah). At-Tirmidzi menilainya shahih dan al-Bukhari menilainya hasan.
Hadits di atas tercatat dalam Musnad Ahmad bab hadits Hamnah binti Jahsy no. 26202; Sunan Abi Dawud kitab at-thaharah bab man qala idza aqbalatil-haidlah tada’us-shalah no. 287; Sunan at-Tirmidzi abwab at-thaharah bab fil-mustahadlah annaha tajma’u bainas-shalatain no. 128; Sunan Ibn Majah kitab at-thaharah bab ma ja`a fil-bikr idza-btudi`at musthadlatan no. 627. Dalam Sunan at-Tirmidzi, Imam at-Tirmidzi menjelaskan:
هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ… وَسَأَلْتُ مُحَمَّدًا عَنْ هَذَا الحَدِيثِ، فَقَالَ: هُوَ حَدِيثٌ حَسَنٌ
Ini adalah hadits hasan shahih… dan aku bertanya kepada Muhammad (ibn Isma’il al-Bukhari) tentang hadits ini. Beliau menjawab: Ini hadits hasan.
Hadits Hamnah binti Jahsy—istri Thalhah ibn ‘Ubaidillah, saudara istri Nabi saw, Zainab binti Jahsy, juga saudara Ummu Habibah binti Jahsy—ini sama menjelaskan bolehnya perempuan yang istihadlah untuk menjama’ shalat Zhuhur-‘Ashar dan Maghrib-‘Isya dengan cara mengakhirkan shalat Zhuhur/Maghrib dan mengawalkan shalat ‘Ashar/’Isya. Bedanya dalam hadits ini tidak ada anjuran wudlu untuk shalat ‘Ashar dan ‘Isya. Artinya berwudlu untuk kedua shalat tersebut boleh diamalkan atau tidak.
Hadits Hamnah ini juga menjelaskan cara membedakan haidl dan istihadlah dengan menerapkan siklus normal kaum perempuan secara umum, yakni dengan berijtihad menetapkan 6 atau 7 hari sebagai masa haidl. Sisanya sebagai pendarahan biasa/istihadlah dengan tetap melaksanakan kewajiban shalat sebagaimana biasa. Ini tentunya ditempuh jika cara pertama dalam hadits Fathimah binti Abi Hubaisy di atas (no. 149-150) yakni memeriksa darah yang keluar, tidak bisa ditempuh karena pendarahannya sangat banyak.
-
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا أَنَّ أُمَّ حَبِيبَةَ بِنْتَ جَحْشٍ شَكَتْ إِلَى رَسُولِ اللهِ الدَّمَ, فَقَالَ: اُمْكُثِي قَدْرَ مَا كَانَتْ تَحْبِسُكِ حَيْضَتُكِ ثُمَّ اغْتَسِلِي. فَكَانَتْ تَغْتَسِلُ كُلَّ صَلاَةٍ. رَوَاهُ مُسْلِمٌ
Dari ‘Aisyah—semoga Allah meridlainya—sesungguhnya Ummu Habibah binti Jahsy mengadukan perihal pendarahan kepada Rasulullah—shalawat dan salam untuknya—beliau pun menjawab: “Diamlah seukuran haidlmu biasa menahanmu, kemudian mandilah.” Maka ia pun mandi di setiap shalat. Muslim meriwayatkannya.
Imam Muslim menuliskan hadits ini dalam Shahih Muslim kitab al-haidl bab al-mustahadlah wa ghusliha wa shalatiha no. 785-786. Dalam hadits ini Nabi saw hanya memerintah Ummu Habibah binti Jahsy untuk mandi saja. Maka Ummu Habibah pun melaksanakannya dengan cara mandi di setiap kali akan shalat. Tidak ada keterangan menjama’ shalat, sehingga boleh dipahami bahwa shalatnya tidak dijama’. Ini artinya alternatif cara keempat dari yang ditawarkan Nabi saw kepada kaum perempuan yang mengalami istihadlah di samping tiga cara lainnya.
Dalam hadits ini, Nabi saw juga membolehkan perempuan yang istihadlah untuk mengukurkan masa haidl pada siklus normal pribadi, bukan siklus normal umum 6 atau 7 hari sebagaimana hadits Hamnah. Jadi kalau siklus normal pribadi haidl perempuan yang bersangkutan 8, 9, atau 10 hari, maka berlakukanlah yang biasa dialami olehnya dalam keadaan normal. Dalam hal ini jangan khawatir dengan kesalahan, sebab masuk kategori ijtihad, sehingga kalaupun salah/keliru tidak akan menjadi dosa.
-
وَفِي رِوَايَةٍ لِلْبُخَارِيِّ: وَتَوَضَّئِي لِكُلِّ صَلاَةٍ. وَهِيَ لِأَبِي دَاوُدَ وَغَيْرِهِ مِنْ وَجْهٍ آخَرَ.
Dalam riwayat al-Bukhari yang lain: “Berwudlulah kamu untuk setiap shalat.” Dalam riwayat Abu Dawud dan lainnya dari sanad yang berbeda.
Hadits ini ditulis dalam Shahih al-Bukhari kitab al-wudlu bab ghaslid-dam no. 228. Hadits ini pada hakikatnya sama dengan hadits no. 149 di atas, sebab sama-sama hadits Fathimah binti Abi Hubaisy. Cuma bedanya dalam sanad riwayat ini disebutkan perintah Nabi saw untuk berwudlu itu dilaksanakan setiap kali shalat.
Imam al-Bukhari meriwayatkan dengan sanad ‘Aisyah, ‘Urwah, Hisyam, Abu Mu’awiyah. Sementara Abu Dawud meriwayatkan dengan sanad ‘Aisyah, ‘Urwah, az-Zuhri, Sulaiman ibn Katsir. Itupun riwayat Sulaiman ibn Katsir kepada at-Thayalisi memerintahkan mandi setiap kali shalat, sementara riwayat Sulaiman ibn Katsir kepada ‘Abdus-Shamad memerintahkan wudlu setiap kali shalat. Abu Dawud sendiri mendla’ifkan sanad ‘Abdus-Shamad ini.
Jadi maksudnya meski Abu Dawud mendla’ifkan hadits “perintah wudlu setiap kali shalat”, tidak masalah, sebab ada sanad lainnya yang dishahihkan oleh Imam al-Bukhari.
-
عَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ: كُنَّا لَا نَعُدُّ الْكُدْرَةَ وَالصُّفْرَةَ بَعْدَ الطُّهْرِ شَيْئًا. رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ وَأَبُو دَاوُدَ وَاللَّفْظُ لَهُ
Dari Ummu ‘Athiyyah—semoga Allah meridlainya—ia berkata: “Kami tidak menganggap apa-apa air keruh dan kekuning-kuningan sesudah suci.” Al-Bukhari dan Abu Dawud meriwayatkannya, dan lafazh hadits ini riwayatnya (Abu Dawud).
Hadits ini tercatat dalam Shahih al-Bukhari kitab al-haidl bab as-shufrah wal-kudrah fi gahir ayyamil-haidl no. 326 dan Sunan Abi Dawud kitab at-thaharah bab fil-mar`ah taral-kudrah was-shufrah no. 307.
Hadits ini menginformasikan bahwa kaum perempuan di zaman Rasulullah saw kadang mengalami pendarahan kecil sesudah suci dari haidl. Sebagian ulama tetap mengategorikannya sebagai haidl, dan sebagiannya lagi tidak. Yang menetapkan sebagai bagian dari haidl membatasinya dalam waktu satu hari sampai 2 minggu sesudah haidl. Jika di masa itu keluar lagi darah, maka itu termasuk darah haidl. Al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fathul-Bari mengambil jalan tengah. Menurutnya, jika darah yang keluar agak kekuning-kuningan dan keruh itu di masa haidl, maka itu jelas haidl. Jika keluarnya di luar masa haidl atau sesudah suci, maka berlaku hadits Ummu ‘Athiyyah di atas.
Dari hadits no. 149-154 di atas, bisa disimpulkan ada beberapa perbedaan antara haidl dan istihadlah yaitu:
- Haidl mengharamkan shalat, sementara istihadlah tidak; shalat tetap wajib sebagaimana biasanya.
- Haidl adalah darah yang berwarna agak hitam dan mudah dikenali oleh kaum perempuan. Cara mendeteksinya bisa langsung memeriksa darahnya, atau bisa juga dengan menggunakan air yang ditampung di sebuah wadah. Jika pendarahannya banyak dan susah dideteksi, maka bisa diberlakukan siklus normal haidl kaum perempuan (6/7 hari), bisa juga siklus normal haidl perempuan yang bersangkutan. Selebihnya dari itu dihukumkan sebagai istihadlah.
- Cara bersuci dari haidl hanya dengan mandi, sebagaimana sudah dijelaskan dalam bab mandi junub. Sementara cara bersuci perempuan yang istihadlah bisa dilakukan dengan berbagai cara: (a) Berwudlu untuk setiap shalat, ini yang wajib. Cara berikutnya sunat. (b) Mandi untuk setiap shalat. Pada kedua cara pertama ini shalat dilaksanakan pada masing-masing waktunya. (c) Mandi tiga kali sehari untuk shalat Zhuhur-‘Ashar, Maghrib-‘Isya, dan Shubuh. Cara shalatnya: Zhuhur-‘Ashar dijama’ dengan cara shalat Zhuhur di akhir waktu zhuhur dan shalat ‘Ashar di awal waktu ‘ashar. Demikian halnya dengan Maghrib-‘Isya, yakni shalat Maghrib di akhir waktu maghrib dan shalat ‘Isya di awal waktu ‘isya. Sementara Shubuh sebagaimana biasanya disyari’atkan. (d) Mandi dan wudlu disatukan pelaksanaannya. Sama dengan cara (c), hanya untuk shalat ‘Ashar dan ‘Isya diselingi dengan berwudlu terlebih dahulu.
Wal-‘Llahu a’lam.