عَنْ أَبيْ عَبْدِ اللهِ جَابِرِ بنِ عَبْدِ اللهِ الأَنْصَارِيِّ رضي الله عنه أَنَّ رَجُلاً سَأَلَ النبي صلى الله عليه وسلم فَقَالَ: “أَرَأَيتَ إِذا صَلَّيْتُ المَكْتُوبَاتِ، وَصُمْتُ رَمَضانَ، وَأَحلَلتُ الحَلَالَ، وَحَرَّمْتُ الحَرَامَ، وَلَمْ أَزِدْ عَلى ذَلِكَ شَيئاً أَدخُلُ الجَنَّة؟ قَالَ: نَعَمْ” رواه مسلم
“Dari Abu Abdillah Jabir bin Abdillah Al-Anshari radhiyalllahu ‘anhu bahwa ada seseorang yang bertanya kepada Rasulullah saw, dia berkata: “Wahai Rasulullah, apa pendapatmu jika aku mengerjakan shalat-shalat wajib (lima waktu), puasa ramadhan, akun menghalalkan apa yang halal dan aku mengharamkan apa yang haram serta aku tidak akan menambahnya dengan sesuatu pun selain itu, apakah akun akan masuk surga?” Beliau menjawab: “Ya”. Dia berkata: “Demi Allah, aku tidak akan menambahnya dengan sesuatu pun.”[1]
Hadits di atas menjelaskan bahwa siapa saja yang membatasi amalannya hanya pada amalan wajib saja tanpa dibarengi amalan sunnah itu bisa masuk surga. Dalam riwayat lain dijelaskan bahwa amalan yang sedikit bisa membuat orang masuk surga yaitu ketika mencukupi dengan amalan-amalan wajib saja.
عَنْ مالِكٍ عَنْ عَمِّهِ أَبِي سُهَيْلِ بْنِ مَالِكٍ، عَنْ أَبِيهِ، أَنَّهُ سَمِعَ طَلْحَةَ بْنَ عُبَيْدِ اللَّهِ يَقُولُ: جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ أَهْلِ نَجْدٍ، ثَائِرُ الرَّأْسِ يُسْمَعُ دَوِيُّ صَوْتِهِ، وَلَا نَفْقَهُ مَا يَقُولُ. حَتَّى دَنَا، فَإِذَا هُوَ يَسْأَلُ عَنِ الْإِسْلَامِ. فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «خَمْسُ صَلَوَاتٍ فِي الْيَوْمِ وَاللَّيْلَةِ»، قَالَ: هَلْ عَلَيَّ غَيْرُهُنَّ؟ قَالَ: «لَا. إِلَّا أَنْ تَطَّوَّعَ»، قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «وَصِيَامُ شَهْرِ رَمَضَانَ»، قَالَ: هَلْ عَلَيَّ غَيْرُهُ؟ قَالَ: «لَا. إِلَّا أَنْ تَطَّوَّعَ»، قَالَ: وَذَكَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ «الزَّكَاةَ». فَقَالَ: هَلْ عَلَيَّ غَيْرُهَا؟ قَالَ: «لَا. إِلَّا أَنْ تَطَّوَّعَ»، قَالَ: فَأَدْبَرَ الرَّجُلُ وَهُوَ يَقُولُ: وَاللَّهِ لَا أَزِيدُ عَلَى هَذَا، وَلَا أَنْقُصُ مِنْهُ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «أَفْلَحَ الرَّجُلُ إِنْ صَدَقَ
Seorang laki-laki dari penduduk Najd menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan rambut terkoyak dan suara terputus-putus. Kami tidak bisa mendengar dan faham apa yang dia katakan sehingga dia mendekat. Dan ternyata dia bertanya tentang Islam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lalu bersabda: “Lima shalat dalam sehari semalam.” Orang itu bertanya lagi, “Apakah selain itu masih ada lagi?” Beliau menjawab: “Tidak. Kecuali jika engaku mau mengamalkan yang sunah.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lalu meneruskan bersabdanya: “Dan puasa pada bulan Ramadlan.” Orang itu bertanya lagi, “Apakah selain itu masih ada lagi?” beliau menjawab: “Tidak, kecuali jika engkau mau mengamalkan yang sunah.” Perawi berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kemudian menyebutkan tentang zakat, orang itu bertanya lagi, “Apakah selain itu masih ada lagi?” beliau menjawab: “Tidak, kecuali jika engkau mau mengamalkan yang sunah.” Perawi berkata, “Laki-laki itu lalu mundur ke belakang dan berkata; “Demi Allah, saya tidak akan menambah atau mengurangi dari ini.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sungguh telah beruntung laki-laki itu jika dia jujur.”[2]
Amalan sunnah disebut juga dengan nafilah yang bermakna tambahan. Artinya amalan sunnah adalah amalan yang menambah/membantu untuk menyempurnakan dari amalan wajib. Penamaan amalan sunah dengan nafilah (tambahan) pun menjadi isyarat bahwa amalan sunnah tidak bisa dipisahkan dari yang pokoknya, yaitu amal wajib. Demikian juga amal wajib tidak sempurna jika tidak dengan amal tambahannya (sunat/nafilah).[3]
Dalam surat Fatir [35] ayat 32, disebutkan bahwa orang mukmin itu terbagi menjadi tiga; ada yang Dzalimu linafsih, Muqtasid, dan Sabiqun Bil-Khairat. Shalih bin Fauzan dalam kitab al-Minhah ar-Ribaniyah fii Syarhil Arba’in Nawawi, menjelaskan bahwa
- Dzalimu linafsih adalah orang yang melakukan kemaksiatan atau dosa namun tidak sampai syirik dan kufur. Orang-orang ini dibawah kehendak Allah swt. Bisa Allah ampuni dosa-dosanya, bisa Allah adzab karena dosa-dosanya.
- Muqtasid adalah orang yang membatasi pada amalan-amalan yang wajib saja (tidak sembari melaksanakan yang sunnahnya), menjauhi yang Allah haramkan, dan merasa cukup dengan hal-hal yang mubah.
- Sabiqun Bil-Khairat adalah orang yang melaksanakan yang wajib, menjauhi yang haram, makruh, dan sebagian yang mubah sebagai kehati-hatian. Derajat inilah yang paling tinggi di antara tingkatan yang lainnya.
Syaikh Shalih bin Fauzan meneruskan, bahwa seorang mukmin jangan sampai keluar dari tiga tingkatan ini. Karena ketiga tingkatan ini seluruhnya dijamin masuk surga, bahkan tingkatan dzalimu linafsih sekali pun. Selama tidak syirik dan kafir, dalam artian mempunyai dosa kecil ataupun dosa besar selain kemusyrikan, mereka akan tetap masuk surga. Entah masuk dengan ampunan Allah ataupun masuk dengan cara disiksa terlebih dahulu di neraka dan dibersihkan dosa-dosanya kemudian dimasukkan ke dalam surga.[4]
Orang yang bertanya dalam kedua hadits di atas terkait dirinya yang membatasi pada amalan wajib saja termasuk pada tingkatan kedua atau muqtasid. Tentu rasulullah menjawab pertanyaan-pertanyaan para sahabat sesuai dengan kondisi atau kemampuan mereka masing-masing. Artinya tidak apa-apa membatasi amalan dengan yang wajib saja tanpa mengamalkan amalan sunnahnya, jika memang belum mampu untuk naik ke tingkatan selanjutnya. Hal ini pun bertujuan untuk memberi tahu bahwa Islam adalah agama yang mudah dan tidak memaksa umatnya agar mengamalkan amalan yang diluar batas kemampuannya.
Namun di samping hal itu, adanya ketiga tingkatan ini menjadi indikasi bahwa mengamalkan amalan wajib saja tanpa dibarengi amalan sunnah bukan berarti menjadikan amalan sunnah itu boleh ditinggalkan atau bahkan disepelekan. Ada beberapa riwayat-riwayat yang menjelaskan keutamaan dari mengerjakan amalan sunnah, di antaranya:
- Melengkapi Amalan Wajib
إِنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ النَّاسُ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ أَعْمَالِهِمُ الصَّلَاةُ»، قَالَ: ” يَقُولُ رَبُّنَا جَلَّ وَعَزَّ لِمَلَائِكَتِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ: انْظُرُوا فِي صَلَاةِ عَبْدِي أَتَمَّهَا أَمْ نَقَصَهَا؟ فَإِنْ كَانَتْ تَامَّةً كُتِبَتْ لَهُ تَامَّةً، وَإِنْ كَانَ انْتَقَصَ مِنْهَا شَيْئًا، قَالَ: انْظُرُوا هَلْ لِعَبْدِي مِنْ تَطَوُّعٍ؟ فَإِنْ كَانَ لَهُ تَطَوُّعٌ، قَالَ: أَتِمُّوا لِعَبْدِي فَرِيضَتَهُ مِنْ تَطَوُّعِهِ، ثُمَّ تُؤْخَذُ الْأَعْمَالُ عَلَى ذَاكُمْ
“Sesungguhnya amalan yang pertama kali dihisab pada manusia di hari kiamat nanti adalah shalat. Allah ‘azza wa jalla berkata kepada malaikat-Nya dan Dia-lah yang lebih tahu, “Lihatlah pada shalat hamba-Ku. Apakah shalatnya sempurna ataukah tidak? Jika shalatnya sempurna, maka akan dicatat baginya pahala yang sempurna. Namun jika dalam shalatnya ada sedikit kekurangan, maka Allah berfirman: Lihatlah, apakah hamba-Ku memiliki amalan sunnah. Jika hamba-Ku memiliki amalan sunnah, Allah berfirman: sempurnakanlah kekurangan yang ada pada amalan wajib dengan amalan sunnahnya.” Kemudian amalan lainnya akan diperlakukan seperti ini.”[5]
- Mendapatkan Cinta Allah
مَنْ عَادَى لِي وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ، وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِي بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ، وَمَا يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ، فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِي يَسْمَعُ بِهِ، وَبَصَرَهُ الَّذِي يُبْصِرُ بِهِ، وَيَدَهُ الَّتِي يَبْطِشُ بِهَا، وَرِجْلَهُ الَّتِي يَمْشِي بِهَا، وَإِنْ سَأَلَنِي لَأُعْطِيَنَّهُ، وَلَئِنِ اسْتَعَاذَنِي لَأُعِيذَنَّهُ، وَمَا تَرَدَّدْتُ عَنْ شَيْءٍ أَنَا فَاعِلُهُ تَرَدُّدِي عَنْ نَفْسِ الْمُؤْمِنِ؛ يَكْرَهُ الْمَوْتَ وَأَنَا أَكْرَهُ مَسَاءَتَهُ
“Allah Ta’ala berfirman: Barangsiapa memerangi wali (kekasih)-Ku, maka Aku akan memeranginya. Hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri pada-Ku dengan amalan wajib yang Kucintai. Hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri pada-Ku dengan amalan-amalan sunnah sehingga Aku mencintainya. Jika Aku telah mencintainya, maka Aku akan memberi petunjuk pada pendengaran yang ia gunakan untuk mendengar, memberi petunjuk pada penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, memberi petunjuk pada tangannya yang ia gunakan untuk memegang, memberi petunjuk pada kakinya yang ia gunakan untuk berjalan. Jika ia memohon sesuatu kepada-Ku, pasti Aku mengabulkannya dan jika ia memohon perlindungan, pasti Aku akan melindunginya. Dan tidak pernah Aku ragu terhadap sesuatu yang Aku sendiri pelakunya seperti keraguanku kepada seorang mu’min; ia tidak ingin mati sementara Aku pun tidak ingin menyakitinya.”[6]
Hadits ini menjelaskan bahwa wali Allah adalah orang yang mendekat kepada Allah dengan mengamalkan amalan wajib dan sunnah. Menurut para ulama, dalam hadits ini disebut amalan wajib dan amalan sunnah merupakan isyarat yang jelas bahwa keduanya adalah hal yang tidak bisa dipisahkan. Tidak hanya itu, menurut Ibnu Hajar, seseorang yang mengamalkan amalan sunnah sudah pasti motifnya karena mengutamakan Allah swt tanpa ada ketakutan akan siksanya. Berbeda dengan orang yang mengamalkan amalan wajib, motif mereka tidak lebih dari mengharap pahala dan takut akan siksa-Nya.[7]
Di sisi lain, ada orang yang selalu bersemangat dalam mengamalkan amalan sunnah. Mulai dari shalat rawatib, tahajjud, hingga puasa senin kamis ataupun daud. Namun beberapa dari mereka lupa bahwa amalan wajib lebih utama daripada amalan sunnah. Ada yang terlalu fokus pada tahajjud hingga shubuhnya berantakan dan ngantuk-ngantukan. Ada juga yang terlalu fokus pada puasa sunnah, sehingga shalat wajibnya dilalaikan dengan berbagai alasan, bahkan Al-Qur’an pun dilupakan. Mereka berlindung di balik amalan sunnah, merasa punya dalil dan tidak berdosa untuk melalaikan amalan yang wajib. Padahal tidak akan dinilai telah mengamalkan amalan sunnah jika amalan wajib dilalaikan atau bahkan ditinggalkan. Begitu juga sebaliknya, tidak sempurna amalan wajib jika amalan sunnah ditinggalkan. Imam Ibn Hajar al-Asqolani pernah menyatakan dalam kitabnya:
مَنْ شَغَلَهُ الْفَرْضُ عَنْ النَّفْلِ فَهُوَ مَعْذُورٌ وَمَنْ شَغَلَهُ النَّفْلُ عَنْ الْفَرْضِ فَهُوَ مَغْرُورٌ
“Siapa yang tersibukkan dengan yang wajib sampai mengabaikan amalan sunnah, maka ia cacat. Dan siapa yang tersibukkan dengan amalan sunnah hingga melalaikan yang wajib, maka ia tertipu.”[8]
Maka dari itu, apa yang disampaikan rasulullah terkait mengamalkan amalan wajib saja bisa masuk surga hanya diperuntukkan bagi mereka yang memang benar-benar tidak mampu untuk melaksanakan amalan sunnah. Tentu yang terbaik adalah mengintegrasikan di antara keduanya. Di samping melaksanakan amalan wajib, juga mengamalkan amalan tambahannya (sunnah). Karena amalan sunnah merupakan penolong dan penyempurna dari amalan wajib yang kita lakukan. Jika memang tidak mampu untuk melaksanakan sunnah maka utamakan terlebih dahulu yang wajib, karena amalan wajib lebih utama daripada amalan yang sunnah. Imam As-Suyuthi menuturkan kaidah:
الفَرْضُ أَفْضَلُ مِنَ النَّفْلِ
“Amalan wajib lebih utama daripada amalan sunnah.”[9]
Oleh karena itu, fokus utama kita sebagai umat Islam adalah mengamalkan amalan-amalan wajib yang diperintah oleh Allah swt terlebih dahulu. Jika yang wajib sudah mampu kita tunaikan secara baik dan sempurna, maka kita bisa naik ke tingkatan selanjutnya yaitu mengamalkan dan memperbanyak amalan-amalan sunnah. Meski amalan sunnah jika dikerjakan mendapat pahala dan jika tidak dikerjakan tidak akan disiksa, mau bagaimana pun amalan sunnah tidak boleh diabaikan dan disepelekan. Karena justru amalan sunnah inilah yang menjadi barometer seberapa dekatnya kita dengan Allah swt. Maka dalam hal ini, amalan wajib dan amalan sunnah itu perlu diintegrasi bukan dikotomi.
Wal-Lahu A’lam. {}*
Muhammad Redho Al-Faritzi
[1] Shahih Muslim, Kitab Iman no. 15
[2] Shahih Muslim, Kitab Iman no. 11
[3] Nashruddin Syarief, Ar-Risalah: Syarah Hadits Nabi Tentang Iman, Ihsan, Dan Kiamat (Bandung: Persis Pers, 2012), Hal. 07
[4] Shalih bin Fauzan, Al-Minhah Ar-Rabbaniyah Fii Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah (Darul ‘Ashimah, 1429), Hal. 187
[5] Sunan Abu Daud no. 864, Sunan Ibnu Majah no. 1426
[6] Shahih Bukhori, Kitab Ar-Raqiq no. 6502
[7] Syarief, Ar-Risalah: Syarah Hadits Nabi Tentang Iman, Ihsan, Dan Kiamat, Hal. 07
[8] Ibnu Hajar Al-Asqolani, Fath Al-Bari Bi Syarh Shahih Al-Bukhari (Dar Thiybah, 1432), hal. 343
[9] Jalaluddin ‘Abdurrahman As-Suyuthi, Al-Asybah Wan Nazhair Fi Qawa’ida Wa Furu’i Fiqhis Syafi’iyah (Dar As-Salam, 1995), 146