وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا فَإِنْ بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الْأُخْرَى فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّى تَفِيءَ إِلَى أَمْرِ اللَّهِ فَإِنْ فَاءَتْ فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah; jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.
(QS. al-Hujurat [49] : 9)
Asbabun-Nuzul
Al-Hafizh Ibn Katsir menyebutkan setidaknya ada tiga riwayat tentang asbabun-nuzul (sebab turun /latar belakang kronologis) ayat di atas. Pertama, hadits Anas ra riwayat al-Bukhari dan Muslim sebagai berikut:
قِيلَ لِلنَّبِيِّ لَوْ أَتَيْتَ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ أُبَيٍّ فَانْطَلَقَ إِلَيْهِ النَّبِيُّ وَرَكِبَ حِمَارًا فَانْطَلَقَ الْمُسْلِمُونَ يَمْشُونَ مَعَهُ وَهِيَ أَرْضٌ سَبِخَةٌ فَلَمَّا أَتَاهُ النَّبِيُّ فَقَالَ إِلَيْكَ عَنِّي وَاللَّهِ لَقَدْ آذَانِي نَتْنُ حِمَارِكَ فَقَالَ رَجُلٌ مِنْ الْأَنْصَارِ مِنْهُمْ وَاللَّهِ لَحِمَارُ رَسُولِ اللَّهِ أَطْيَبُ رِيحًا مِنْكَ فَغَضِبَ لِعَبْدِ اللَّهِ رَجُلٌ مِنْ قَوْمِهِ فَشَتَمَهُ فَغَضِبَ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا أَصْحَابُهُ فَكَانَ بَيْنَهُمَا ضَرْبٌ بِالْجَرِيدِ وَالْأَيْدِي وَالنِّعَالِ فَبَلَغَنَا أَنَّهَا أُنْزِلَتْ {وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنْ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا}
Dikatakan kepada Nabi saw: “Seandainya saja anda bersedia menemui ‘Abdullah ibn Ubay (tokoh munafiq yang dibongkar kemunafiqannya oleh surat al-Munafiqun [63]—pen).” Maka Nabi saw pun menemuinya dengan menaiki keledai. Orang-orang Islam pun pergi dengan berjalan kaki menemani beliau melewati tanah yang tandus. Ketika Nabi saw menemui ‘Abdullah ibn Ubay, ia malah berkata kepada Nabi saw: “Menjauhlah kamu dariku. Demi Allah, bau busuk keledaimu telah menggangguku.” Lalu seorang lelaki dari kaum Anshar membalas: “Demi Allah, sungguh keledai Rasulullah saw lebih wangi daripada tubuhmu.” Maka seseorang dari kaum ‘Abdullah ibn Ubay marah dan membelanya dengan membalas mencacinya. Sehingga masing-masing dari pengikut Nabi saw dan ‘Abdullah ibn Ubay terpancing amarahnya, sampai saling memukul dengan pelepah kurma, tangan, dan alas kaki. Anas berkata: Telah sampai kepada kami informasi bahwasanya dari peristiwa tersebut turun ayat: “Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang maka damaikanlah antara keduanya.” (Shahih al-Bukhari kitab as-shulh bab ma ja`a fil-ishlah bainan-nas no. 2691; Shahih Muslim kitab al-jihad was-siyar bab fi du’a`in-Nabiy saw ilal-‘Llah wa shabrihi ‘ala adzal-munafiqin no. 4762).
Kedua, atsar dari Sa’id ibn Jubair yang menceritakan peristiwa yang sama dengan di atas, tetapi disebutkan dalam atsar ini yang terlibat perkelahian adalah kaum Aus dan Khazraj dari Anshar yang saat itu masih ada sebagiannya yang menjadi simpatisan ‘Abdullah ibn Ubay.
Ketiga, atsar dari as-Suddi yang menceritakan ada seorang shahabat Anshar bernama ‘Imran dan istrinya bernama Ummu Zaid. Pada suatu hari istrinya memohon izin kepada suaminya untuk berkunjung ke keluarganya, tetapi tidak diizinkan oleh suaminya dan malah istrinya tersebut dikurung di lantai atas rumahnya tanpa ada yang boleh menjenguknya. Ummu Zaid pun mengirimkan utusan untuk menemui keluarganya dan memberitahukan keadaannya. Maka datanglah keluarga dan tetangga satu kampungnya ke rumahnya. Saat itu ‘Imran sedang tidak ada di rumah. Maka keluarganya dan kerabat satu kampungnya datang ke rumah ‘Imran, sehingga terjadilah bentrok antara dua keluarga besar yang sampai pada perkelahian. Dari kejadian itu turunlah ayat di atas.
Ketiga asbabun-nuzul di atas semuanya berbentuk tidak sharih; tidak tegas secara langsung menyebutkan kejadian sebagai sebab langsung turunnya ayat. Ketiga riwayat di atas hanya menjelaskan penyebab turunnya ayat di atas dalam ingatan para periwayat. Model seperti ini bisa dipahami juga sebagai penafsiran mereka atas ayat di atas. Variasi asbabun-nuzul semacam ini bisa diterima semuanya sebagai penafsiran atas ayat di atas. Intinya adalah pernah terjadi perkelahian di antara dua kelompok kaum mu`minin di masa Nabi saw masih hidup.
Hadits Anas ra di atas jika dibandingkan dengan dua atsar sesudahnya statusnya memang lebih kuat. Akan tetapi tidak jelas menerangkan latar belakang kronologis kejadian dan kelanjutannya. Al-Hafizh Ibn Hajar sendiri dalam Fathul-Bari memilih untuk tawaqquf (tidak menjelaskan). Akan tetapi dari penempatan hadits oleh Imam al-Bukhari dalam bab tentang “perdamaian” menunjukkan bahwa kedatangan Nabi saw kepada ‘Abdullah ibn Ubay itu untuk tujuan ishlah (berdamai). Ini didukung oleh riwayat-riwayat lain dari para ulama salaf yang menjelaskan kronologi turunnya surat al-Hujurat [49] : 9 di atas seperti ditulis oleh Imam at-Thabari dalam kitab Tafsirnya.
Kemungkinan lainnya, sebagaimana terlihat dari penempatan hadits oleh Imam Muslim dalam bab “da’wah Nabi saw dan kesabarannya menghadapi gangguan kaum munafiq”, yakni bahwa kedatangan Nabi saw kepada ‘Abdullah ibn Ubay di atas adalah bagian dari upaya da’wahnya kepada kaum munafiq. Imam Muslim juga menuliskan hadits Usamah ibn Zaid dalam bab ini yang menerangkan bahwa Nabi saw hendak menemui tokoh Anshar, Sa’ad ibn ‘Ubadah, lalu kebetulah bertemu dengan kelompok ‘Abdullah ibn Ubay. Nabi saw menemui dahulu mereka dan menda’wahi mereka, meski kemudian mereka malah mencaci dan memaki. Para shahabat pun terpancing emosinya dan terlibat dalam kerusuhan, tetapi Nabi saw menenangkan mereka. Beliau pun lalu memaafkan mereka. Al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fathul-Bari tidak menolak kemungkinan apa yang disampaikan Anas dan Usamah ibn Zaid itu peristiwanya sama.
Tafsir Ayat
Al-Hafizh Ibn Katsir menegaskan bahwa pesan inti ayat ini adalah untuk mengadakan ishlah (perdamaian) di antara dua kelompok kaum mu`minin yang terlibat perang dan sebagiannya lagi berbuat baghin kepada sebagian yang lain. Istilah baghin ditujukan kepada mereka yang melanggar batas atau berlebihan dengan menggunakan kekerasan. Dalam konteks hari ini bisa diungkapkan dengan istilah radikal. Ayat di atas memberikan dua pilihan kepada umat Islam, khususnya kepada para pemimpinnya, dalam mengatasi kelompok radikal, yaitu ishlah dan perang. Pilihan perang ditempuh jika kelompok radikal yang dimaksud tidak mau ishlah. Pilihan perang itu pun bukan untuk membasmi kelompok radikal, melainkan untuk memaksa mereka agar bersedia ishlah.
Dalam hadits Usamah ibn Zaid ra disebutkan bahwa ketika terjadi kerusuhan Nabi saw tidak henti-hentinya menenangkan para shahabat (fa lam yazalin-Nabi saw yukhaffidluhum). Ini merupakan teladan mulia bagaimana seorang pemimpin harus tetap tenang dan tidak terpancing emosinya dalam menghadapi kelompok radikal sehingga bisa berujung pada ishlah. Imam an-Nawawi menjelaskan:
وَفِي هَذَا الْحَدِيث: بَيَان مَا كَانَ عَلَيْهِ النَّبِيّ مِنْ الْحِلْم وَالصَّفْح وَالصَّبْر عَلَى الْأَذَى فِي اللَّه تَعَالَى وَدَوَام الدُّعَاء إِلَى اللَّه تَعَالَى وَتَأَلُّف قُلُوبهمْ . وَاَللَّه أَعْلَم .
Dalam hadits ini terkandung pelajaran tentang akhlaq Nabi saw yang selalu tenang, memaafkan, dan sabar ketika diganggu demi Allah ta’ala, tetap berda’wah kepada Allah dan menyatukan hati-hati manusia. Wal-‘Llahu a’lam (Syarah an-Nawawi Shahih Muslim bab fi du’ain-Nabiy saw ilal-‘Llah wa shabrihi).
Meski kejadian yang diriwayatkan dalam hadits di atas antara kaum muslimin dan munafiqin, ayat yang turunnya mengungkapkan dengan bahasa umum bahwa jika ada “dua golongan dari orang-orang mukmin”. Artinya kalau yang lebih parah daripada itu terjadi—yakni dua kelompok Islam bentrok dalam sebuah kerusuhan—kewajiban umat Islam secara umum tetap harus mengishlahkan/mendamaikan. Itulah yang ditempuh oleh Nabi saw ketika kerusuhan pecah antara para shahabat dengan kelompok munafiq. Bukan malah memberikan provokasi agar permusuhan semakin meruncing.
Imam at-Thabari menjelaskan maksud dari “mengishlahkan” itu adalah mengajak kedua pihak yang berkonflik untuk kembali pada hukum Allah dan ridla dihukumi dengannya. Lalu jika kemudian masih ada yang bughat (membangkang), maka kelompok bughat ini harus dihadapi dengan kekuatan senjata sampai mau kembali pada hukum Allah swt (Tafsir at-Thabari).
Al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fathul-Bari ketika mensyarah hadits “tidak halal darah seorang muslim kecuali hanya karena tiga hal, yakni hukuman balas bunuh, hukuman rajam untuk orang yang sudah menikah lalu selingkuh, dan orang yang murtad” menjelaskan bahwa kewenangan hukuman mati itu berarti hanya untuk tiga orang tersebut. Terkait kaum bughat (separatis/pemberontak/radikal) dalam ayat di atas yang boleh diperangi tidak berarti bahwa itu adalah hukuman mati untuk mereka. Pasalnya jelas disebutkan dalam ayat di atas memerangi itu bukan untuk menumpaskan kaum radikal, melainkan untuk memaksa mereka bersedia ishlah.
Dalam hal ini maka Allah swt memuji orang-orang yang muqsith; mampu bersikap adil; mampu mengambil keputusan dengan tepat tanpa menzhalimi siapapun. Istilah muqsith berasal dari kata qisth yang maknanya adalah “an-nashib bil-‘adl; bagian yang adil/proporsional”. Ketika memakai wazan aqsatha maka artinya “an yu’thiya qistha ghairihi; memberikan bagian orang lain”, yakni adil. Atau dengan kata lain “memberikan sesuatu kepada orang yang berhaknya” (ar-Raghib al-Ashfahani dalam Mu’jam Mufradat Alfazh al-Qur`an).
Orang yang muqsith selalu mengikuti arahan Nabi saw dalam mengambil keputusan, yakni tidak pernah dalam keadaan marah dan selalu mendengar dari pihak-pihak yang berkepentingan, bukan malah menutup telinga dari pihak yang dianggap sebagai kaum radikal.
لاَ يَحْكُمْ أَحَدٌ بَيْنَ اثْنَيْنِ وَهُوَ غَضْبَانُ
Janganlah seseorang menetapkan hukum di antara dua orang dalam keadaan marah (Shahih Muslim bab karahah qadla`il-qadli wa huwa gladlban no. 4587; Shahih al-Bukhari bab hal yaqdlil-qadli au yufti wa huwa ghadlban no. 7158)
Al-Muhallab sebagaimana dikutip oleh al-Hafizh menjelaskan, karena orang yang marah akan menetapkan hukum dengan tidak tepat, terpengaruh oleh kemarahannya. Jadi apapun keputusannya, jika diambil ketika marah, itu tidak benar. Semestinya seseorang meredakan dahulu amarahnya dan menunda pengambilan keputusannya. Bahkan, menurut Imam as-Syafi’i, berlaku juga dalam hal ini semua faktor yang bisa menganggu ketidakadilan dalam pengambilan keputusan, seperti lelah, lapar, atau hati yang sedang bingung dengan banyak masalah, dan sebagainya. Setiap orang semestinya menunda pengambilan keputusan sampai emosinya stabil (Fathul-Bari).
Terkait kewajiban adil ini, Nabi saw juga mengingatkan:
إِذَا تَقَاضَى إِلَيْكَ رَجُلَانِ فَلَا تَقْضِ لِلْأَوَّلِ حَتَّى تَسْمَعَ مَا يَقُولُ الْآخَرُ فَإِنَّكَ سَوْفَ تَرَى كَيْفَ تَقْضِي
Apabila ada dua orang yang meminta diputuskan hukum kepadamu, maka janganlah kamu memutuskan untuk seseorang sehingga kamu mendengar keterangan dari pihak yang satunya lagi, sehingga kamu tahu benar harus memutuskan seperti apa (Musnad Ahmad min musnad ‘Ali ibn Abi Thalib no. 1218).
Di antara yang paling penting dalam konteks adil ini adalah menetapkan hukum berdasarkan ilmu. Jangan berani-berani menetapkan sesuatu tanpa tahu masalah sebenarnya seperti apa atau tanpa tahu ketentuan syari’at dalam persoalan yang dihadapi seperti apa. Nabi saw mengingatkan:
الْقُضَاةُ ثَلاَثَةٌ وَاحِدٌ فِى الْجَنَّةِ وَاثْنَانِ فِى النَّارِ فَأَمَّا الَّذِى فِى الْجَنَّةِ فَرَجُلٌ عَرَفَ الْحَقَّ فَقَضَى بِهِ وَرَجُلٌ عَرَفَ الْحَقَّ فَجَارَ فِى الْحُكْمِ فَهُوَ فِى النَّارِ وَرَجُلٌ قَضَى لِلنَّاسِ عَلَى جَهْلٍ فَهُوَ فِى النَّارِ
Hakim itu ada tiga. Yang satu masuk surga dan dua masuk neraka. Adapun yang masuk surga adalah orang yang tahu haq dan memutuskan dengannya. Sementara orang yang tahu haq tapi memutuskan tanpa haq dan orang yang memutuskan untuk persoalan manusia dengan dasar ketidaktahuan, maka ia masuk neraka (Sunan Abi Dawud bab fil-qadli yukhthi’u 3575).
Maka dari itu seseorang yang hendak mengambil keputusan harus berusaha ekstra keras mencari ilmunya dan menganalisanya dengan sekuat tenaga dan pikiran, yakni ijtihad. Jika tidak dengan ijtihad, maka apapun keputusannya, tetap akan menyebabkannya masuk neraka.
Ini jelas berlaku juga bagi Pemerintah dan umat Islam seluruhnya dalam menghadapi kelompok radikal. Agar dikategorikan ijtihad maka harus melibatkan para ulama atau tokoh-tokoh ormas Islam. Wal-‘Llahu a’lam.
Penulis : Nashruddin Syarief (mudir ‘am Pesantren Persatuan Islam 27 Situaksan Bandung)