Allah swt mengharamkan perbuatan zhalim kepada manusia. Baik zhalim itu dilakukannya terhadap sesama manusia maupun terhadap yang lainnya. Bahkan Allah sendiri terang-terangan menyatakan bahwa perbuatan zhalim haram atas diri-Nya.
Di antara bentuk kezhaliman adalah memungut pajak dari masyarakat terkhusus umat Islam. Dengan alasan bahwa pajak yang dipungut akan didistribusikan untuk kemaslahatan bersama. Meski nyatanya, pajak seringkali tidak disalurkan untuk kemaslahatan masyarakat kecil (wong cilik) dan malah hanya dijadikan alas untuk meraup keuntungan para pejabat. Oleh sebab inilah Rasulullah saw mengancam para pelaku pajak tidak akan masuk surga dan akan ditetapkan sebagai ahli neraka. Berikut riwayat dari jalur sahabat Uqbah ibn Amir al-Juhaniy dari Rasulullah saw dengan redaksi berikut:
لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ صَاحِبُ مَكْسٍ
Tidak akan masuk surga pemungut pajak.
Dari jalur sahabat Ruwaifi’ ibn Tsabit dari Rasulullah saw dengan redaksi berikut:
رُوَيْفِعَ بْنَ ثَابِتٍ، قَالَ: سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: «صَاحِبُ الْمَكْسِ فِي النَّارِ»
Dari Ruwaifi’ ibn Tsabit berkata: “Saya mendengar Rasulullah saw bersabda: “Pemungut pajak adalah ahli neraka”.
Takhrij Hadits
Hadits dengan redaksi pertama diriwayatkan dalam Sunan Abi Dawud 4/562 no. 2937, Al-Thuyuriyat 1/173 no. 126, Musnad al-Ruyaniy 1/164 no. 197, Shahih Ibn Khizaimah 8/356 no. 2144, Sunan al-Darimiy no. 1813, dan Musnad Abi Ya’la 2/311 no.1756,
Sedangkan hadits dengan redaksi kedua diriwayatkan dalam Musnad Ahmad 28/211 no. 17001, al-Mu’jam al-Kabir al-Thabaraniy 5/29 no. 4493, dan al-Amwal Abi Úbaid no. 1627
Kedua redaksi hadits di atas jika ditelusuri alur periwayatannya melalui dua jalur sahabat, yaitu Uqbah ibn Amir al-Juhani dan Ruwaifi’ ibn Tsabit. Berikut di antara periwayatan lengkap dari keduanya:
سنن أبي داود ت الأرنؤوط (4/ 562(
-2937حدَّثنا عبدُ الله بن محمد النُّفَيليُّ، حدَّثنا محمدُ بن سَلَمةَ، عن محمدِ بن إسحاقَ، عن يزيدَ بن أبي حبيب، عن عبد الرحمن بن شِمَاسَةَ عن عُقبةَ بن عامرِ، قال: سمعتُ رسولَ الله – صلَّى الله عليه وسلم – قال: “لا يدخُل الجنةَ صاحبُ مَكْسٍ
“Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Muhammad An-Nufaili, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Salamah, dari Muhammad bin Ishaq, dari Yazid bin Abi Habib dari Abdurrahman bin Syimasah dari ‘Uqbah bin ‘Amir, ia berkata: “Saya mendengar Rasulullah saw bersabda: “Tidak akan masuk surga orang yang mengambil pajak.”
المعجم الكبير للطبراني (5/ 29)
4493 – حَدَّثَنَا مُطَّلِبُ بْنُ شُعَيْبٍ الْأَزْدِيُّ، ثنا عَبْدُ اللهِ بْنُ صَالِحٍ، حَدَّثَنِي ابْنُ لَهِيعَةَ، عَنْ يَزِيدَ بْنِ أَبِي حَبِيبٍ، عَنْ أَبِي الْخَيْرِ، قَالَ: سَمِعْتُ رُوَيْفِعَ بْنَ ثَابِتٍ، قَالَ: سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: «صَاحِبُ الْمَكْسِ فِي النَّارِ»
Telah menceritakan kepada kami Muthallib ibn Syu’aib, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibn Shalih, telah menceritakan kepada kami ibn Lahi’ah dari Yazid ibn Abi Habb dari Abi al-Khair, ia berkata aku mendengar Ruwafi’ ibn Tsabit berkata: “Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda: Pemungut pajak adalah ahli neraka.
Agar memudahkan untuk melihat seluruh jalurnya, berikut kami cantumkan pohon sanadnya:
Analisis sanad
- Jalur Uqbah ibn Amir
Jalur ini lemah, yang menjadi titik tengkar kelemahannya adalah rawi bernama Muhammad ibn Ishaq yang sekaligus berkedudukan sebagai madarnya.
Bagi para peneliti dan para sejarawan, sudah tidak asing lagi dengan nama beliau. Muhammad ibn Ishaq atau lebih dikenal dengan nama Ibnu Ishaq (wafat tahun 151 H), merupakan salah satu murid dari Az-Zuhri. Selain penulis kitab Sirah, ia pun dikenal sebagai penulis kitab Maghazi (kisah-kisah peperangan). Kitab Sirah yang ditulis oleh Ibnu Ishaq yang sampai pada kita adalah berjudul Sirah Ibnu Hisyam yang merupakan mukhtashar (ringkasan) dari Sirah Ibnu Ishaq.
Para ulama telah sepakat, bahwa maqam ta’dil beliau hanya menempati thabaqah ke-3 yang menunjukan rawi hasan, tidak sampai pada derajat shahih, itupun jika beliau meriwayatkan dengan shighah tahdits (shighah tashrih bi al-sama’), jika ia menggunakan ‘an’anah atau qala wa qala, maka periwayatannya ditolak sebab beliau masuk dalam golongan mudallisin.
Selain itu, terdapat pula beberapa komentar dari para kritikus hadits mengenai Muhammad ibn Ishaq. Ibn ‘Adi mengatakan sebagai berikut:
وقد فتشت أحاديثه الكثيرة فلم أجد فيها ما يتهيأ أن يقطع عليه بالضعف ، وربما أخطأ أو يهم في الشيء بعد الشيء كما يخطئ غيره ، وهو لا بأس به .تهذيب التهذيب: (3 / 504)
”Saya telah meneliti hadits-haditsnya dan saya tidak melihat ada hadits-hadits yang pasti kedha’ifannya. Terkadang ia melakukan kesalahan, sebagaimana yang juga dilakukan oleh orang lain; selama tidak ada penyelisihan riwayat darinya dari kalangan perawi yang terpercaya dan para imam, maka riwayatnya tidak masalah (dapat diterima)”. (Tahdzib al-Tahdzib 3/504)
Abu Hatim berkata: “Muhammad ibn Ishaq dalam pandanganku terhadap hadits ia tidaklah kuat, haditsnya lemah namun aku lebih menyukainya ketimbang Aflah ibn Saíd. Haditsnya hanya dicatat. (al-Jarh wa al-Ta’dil ibn Abi Hatim: 7/191)
Abu Ayub berkata: “Aku bertanya kepada imam Ahmad, wahai Aba Abdillah, jika Ibn Ishaq menyendiri dalam periwayatan haditsnya apakah engkau menerimanya?” Ia menjawab: “Tidak, demi Allah, sungguh aku melihatnya ketika ia berkata kepada jama’ah dengan satu hadits, dan ia tidak memberi penjelasan dari siapa dari siapanya. (Tahdzib al-Tahdzib 3/504)
Yahya bin Sa’id Al-Umawi berkata sebagai berikut:
ابن إسحاق يصحف في الأسماء لأنه إنما أخذها من الديوان
”Ibnu Ishaq sering melakukan tahshhif (kesalahan dalam penulisan) tentang nama-nama karena ia mengambilnya dari kitab-kitab diwan”. (Tashhifatul-Muhadditsiin oleh ‘Askariy 1/26)
Bahkan ia pernah dituduh melakukan kebohongan terhadap sebuah riwayat dari Fathimah istri Hisyam bin ‘Urwah bin Zubair. Akan tetapi, tuduhan tersebut tidak terbukti. Beberapa imam yang menyanggah kecurigaan yang dilontarkan oleh para kritikus tersebut terhadap Ibnu Ishaq, di antaranya adalah Al-Imam Ahmad bin Hanbal. Al-Hafidh Adz-Dzahabi berkata:
لا ريب أن ابن إسحق كثَّر وطوَّل بأنساب مستوفاة، اختصارها أملح، وبأشعار غير طائلة حذفها أرجح، وبأثار لم تصحح، مع أنه فاته شيء كثير من الصحيح لم يكن عنده، فكتابه محتاج إلى تنقيح وتصحيح ورواية ما فاته
”Tidak ragu lagi bahwa Ibnu Ishaq itu sering memperbanyak dan memperpanjang silsilah-silsilah nasab para perawi yang sebenarnya tidak perlu, menyisipkan syair-syair pendek yang seharusnya dibuang, dan menyebutkan atsar-atsar yang tidak shahih. Namun di sisi lain, ia melewatkan banyak hal dari riwayat-riwayat shahih yang tidak ada padanya. Jadi, kitabnya perlu diteliti kembali, dan riwayat-riwayatnya harus di-tashhih lagi”. (Tashifatul-Muhadditsin oleh ‘Askariy 6/116)
Di lain tempat beliau berkata:
ابن إسحق حجة في المغازي وله مناكير وعجائب
”Ibnu Ishaq adalah hujjah bagi karya Maghazi. Akan tetapi ia punya kelebihan dan kekurangan.” (Al-‘Ulluw lil-’Aliyyil-Ghaffar hal. 39)
Al-Hafizh al-Dzahabi telah berusaha keras untuk menerangkan tingkatan hadits Ibnu Ishaq. Ia pun mengatakan sebagai berikut:
وله ارتفاع بحسبه، ولا سيما في السيرة، وإما في أحاديث الأحكام فينحط حديثه فيها عن رتبة الصحة، إلا فيما شذّ فيه فإنه يعد منكرا
”Hadits-haditsnya tentang sirah cukup bagus. Sementara hadits-haditsnya tentang hukum berada di bawah tingkatan hadits shahih. Kecuali hadits yang terdapat keganjilan (syadz) di dalamnya, maka ia dihitung sebagai hadits munkar.” (Siyaru A’lamin-Nubalaa’ 7/141)
Al-Hafizh al-‘Iraqi mengatakan:
المشهور قبول حديث ابن إسحق إلا أنه مدلس فإذا صرّح بالتحديث كان حديثه مقبولا
”Menurut pendapat yang masyhur bahwa hadits riwayat Ibnu Ishaq dapat diterima, meskipun ia seorang perawi yang mudallis. Apabila telah ada penegasan yang jelas (tentang penyimakannya), maka haditsnya dapat diterima” (Tarh al-Tatsrib Syarh al-Taqrib, al-Iraqi’8/72).
Demikian juga al-Hafizh al-Dzahabi mengatakan:
والذي يظهر لي أن ابن إسحق حسن الحديث صالح الحال صدوق، وما تفرّد ففيه نكارة، فإن في حفظه شيئا، وقد احتج به الأئمة
”Dan yang jelas menurut saya, Ibnu Ishaq adalah hasanul-hadits (hadits yang diriwayatkannya baik), perilakunya baik, dan jujur (shaduq). Dan apa-apa yang ia sendirian (dalam meriwayatkan hadits), maka terdapat pengingkaran di dalamnya. Meskipun ada sedikit masalah dalam hafalannya, namun para ulama menjadikannya sebagai hujjah” (Muzal al-I’tidal 3/475)
Di lain tempat beliau mengatakan:
كان أحد أوعية العلم حبرا في معرفة المغازي والسيرة، وليس بذلك المتقن، فانحط حديثه عن رتبة الصحة، وهو صدوق في نفسه مرضي
”Ibnu Ishaq adalah salah seorang yang sangat menguasai riwayat-riwayat tentang peperangan-peperangan dan sirah. Sayang ia tidak mutqin (teliti) sehingga peringkat haditsnya di bawah tingkat shahih. Ia adalah orang yang sangat jujur terhadap dirinya sendiri dan disukai”. (Tadzkiratul-Huffadh oleh Adz-Dzahabi, 1/173)
Dari semua keterangan itu, al-Hafzh menyimpulkan:
صدوق، لكنه مشهور بالتدليس عن الضعفاء والمجهولين وعن شر منهم
Ia (Ibnu Ishaq) ahaduq, namun masyhur dengan mentadliskan terhadap rawi lemah, majhul dan yang lebih jelek daripada mereka. (Ta’rif Ahl al-Taqdis 1/168)
صدوق يدلس ، ورمي بالتشيع والقدر -تقريب التهذيب: (1 / 825)
Ia shaduq dan pentadlis. Beliau pun termasuk simpatisan Syiíy dan Qadariy. (Taqrib al-Tahdzib: 825)
ما ينفرد به وإن لم يبلغ الصحيح فهو في درجة الحسن إذا صرح بالتحديث….وإنما يصحح له من لا يفرق بين الصحيح والحسن، ويجعل كل ما يصلح للحجة صحيحا، وهذه طريقة ابن حبان ومن ذكر معه
Selama ia tidak sendirian (dalam meriwayatkan hadits), meskipun tidak sampai pada derajat hadits shahih, maka haditsnya berderajat hasan dengan syarat ada penegasan periwayatannya menggunakan shigah tahdits (haddatsana)…. Orang yang menganggap shahih dan orang yang menganggap semua hal yang baik untuk hujjah disebut hadits shahih haditsnya, hanyalah orang yang tidak bisa membedakan antara hadits shahih dan hadits hasan. Itulah anggapan Ibnu Hibban dan kawan-kawannya”. ( Fathul-Baari oleh Ibnu Hajar 11/163)
Al-hafizh mengelompokan beliau pada martabat ke-4, sebagaimana disebutkan dalam thabaqat-nya. Dijelaskan dalam muqaddimah kitab thabaqatnya, martabat ke-4 mengindikasikan rawi tersebut disepakati tidak dijadikan hujjah dari haditsnya kecuali ia membawakan periwayatan dengan shighah tashrih bi al-Sama’ dikarenakan banyaknya ia bertadlis (memalsukan) dari rawi dhaif, majhul dan yang lebih jelek dari mereka. (lihat Thabaqat al-Mudallisin hal. 14)
- Jalur Ruwaifi’ ibn Tsabit
Jalur kedua ini pun lemah, karena terdapat rawi yang bernama Ibn Lahi’ah. Untuk kajian rawi ini sangat sering sekali dibahas pada tulisan-tulisan sebelumhya. Pada tulisan ini akan diulas kembali sedikit terkait tingkatan jarh dan ta’dilnya.
Beliau masuk pada jajaran rawi yang dhabt sercara kitab. Pada dasarnya Ibn Lahi’ah rawi yang tsiqah atau hasanul hadits dimasa sebelum kitab-kitabnya terbakar. Namun ia menjadi ikhtilath hingga periwayatan haditsnya ditolak pasca seluruh kitabnya terbakar. Beliau hanya akan diterima periwayatannya jika meriwayatkan hadits saat sebelum kitabnya terbakar (masa tsiqah) dan ditolak jika meriwayatkan pasca kitabnya terbakar (masa ikhtilath). (al-Jarh wa al-Ta’dil ibn Abi Hatim 5/145)
Diantara rawi-rawi yang meriwayatkan sebelum ikhtilath adalah para muridnya yang disebut dengan Abadillah, Syu’bah ibn Hajjaj, Sufyan al-Tsauri, Malik, Amr ibn al-Harits dan Laits. (al-Kamil fi al-Dhuáfa 5/273)
Merujuk kaidah ilmu hadits yang menyatakan bahwa “hadits dhaif (dari segi dhabt) bisa saling menguatkan satu sama lainnya selama tidak kontadiksi” maka jalur ini bisa menguatkan hadits jalur Uqbah.
Terlebih terdapat hadits lain sebagai syahid dengan jalur yang berbeda:
طبقات المحدثين بأصبهان والواردين عليها (2/ 324(
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ مَحْمُودٍ , قَالَ: ثنا رَجَاءُ بْنُ صُهَيْبٍ , قَالَ: سَمِعْتُ عَلِيَّ بْنَ دَاوُدَ , عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ أَنَسٍ , عَنِ الْأَعْمَشِ , عَنِ الطَّائِيِّ , عَنْ عَطِيَّةَ , عَنْ أَبِي سَعِيدٍ , قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ صَاحِبُ مَكْسٍ , وَلا خَمْرٍ , وَلا مُؤْمِنٌ بِسِحْرٍ , وَلا قَاطِعُ رَحِمٍ , وَلا مَنَّانٌ»
Telah menceritakan kepada kami Ahmad ibn Mahmud, ia berkata terlah menceritakan kepada kami Raja ibn Shuhaub ia berkata aku mendengar Ali ibn Dawud dari Muhammad ibn Anas dari al-A’masy dari al-Thaiy dari Athiyah dari Abi Sa’íd ia berkata, “Telah bersabda Nabi aaw: “Tidak akan masuk surga bagi pemungut pajak, peminum khamr, orang yang percaya terhadap sihir, pemutus hubungan persaudaraan dan yang mengungkit-ungkit (pemberian).
Akan tetapi jalur ini juga tidak lepas dari kelemahannya, karena terdapat rawi bernama Athiyah; al-Hafizh menyebutkan dalam Taqribnya sebagai rawi yang shaduq akan banyak sekali kesalahannya dan juga terindikasi bermadzhab Syi’ah serta merupakan seorang mudallis. Adapun rawi yang bernama Raja ibn Shuhaib tidak terdapat jarh ta’dil kecuali hanya pengakuan ta’dil dari Abu Syaikh al-Ashbahaniya.
Dari beberapa komentar para ahl nuqad, maka jalur ini masih bersifat Muhtamal, dan adanya beberapa jalur lainnya yang mengatakan tema yang sama, maka kesimpulannya adalah bahwa hadits ini berkedudukan Hasan Lighairih dan bisa dijadikan hujjah.
Syarah Maks
والمَكْس هو الضريبة التي تفرض على الناس ، ويُسمى آخذها (ماكس) أو (مكَّاس) أو (عَشَّار) لأنه كان يأخذ عشر أموال الناس
Pengertian maks yang ada dalam hadits-hadits di atas adalah pajak yang diwajibkan atas masyarakat. Pemungut maks disebut dengan maakis, makkaas atau ‘asysyar (pemungut sepersepuluh), disebut demikian karena pemungut bea cukai – di masa silam – mengambil sepersepuluh dari total harta orang yang dibebani bea cukai.
Para ulama menyebutkan Maks memiliki beberapa bentuk, diantaranya: pertama, maks yang dilakukan oleh orang-orang jahiliyyah yaitu uang pajak yang diambil dari para penjual di pasar. Kedua, uang yang diambil oleh amil zakat dari muzakki untuk kepentingan pribadinya setelah dia mengambil zakat. Ketiga, uang yang diambil dari para pedagang yang melewati suatu tempat tertentu. Uang yang diambil tersebut dibebankan kepada barang dagangan yang dibawa, perkepala orang yang lewat atau semisalnya.
Maks dengan pengertian ketiga tersebut sangat mirip dengan bea cukai/ pajak, sebagaimana disebutkan oleh Syaikh Muhammad Syams al-Haq dalam kitabnya ‘Aun al-Ma’bud:
عون المعبود شرح سنن أبي داود (مراجع) (8/ 156(
فِي الْقَامُوس : الْمَكْس النَّقْص وَالظُّلْم وَدَرَاهِم كَانَتْ تُؤْخَذ مِنْ بَائِعِي السِّلَع فِي الْأَسْوَاق فِي الْجَاهِلِيَّة ، أَوْ دِرْهَم كَانَ يَأْخُذهُ الْمُصَّدِّق بَعْد فَرَاغه مِنْ الصَّدَقَة. اِنْتَهَى
“Dalam al-Qamus al-Muhith disebutkan bahwa makna asal dari maks adalah mengurangi atau menzhalimi. Maks adalah uang yang diambil dari para pedagang di pasar pada masa jahiliyyah atau uang yang diambil oleh amil zakat (untuk dirinya) setelah dia selesai mengambil zakat.
Penulis kitab an-Nihayah mengatakan bahwa maks adalah pajak yang diambil oleh maakis atau pemungut maks. Pemungut maks itu disebut juga asysyar. Sedangkan penulis kitab Syarh as-Sunah mengatakan bahwa yang dimaksud dengan pemungut maks adalah orang yang meminta uang dari para pedagang jika mereka lewat di suatu tempat dengan kedok ‘usyur (yaitu zakat)”.
Dalam Nailul Authar, al-Syaukani mengatakan: “Pemungut maks adalah orang yang mengambil pajak dari masyarakat tanpa adanya alasan yang bisa dibenarkan.”
Syarah Hadits
Ragam kezhaliman telah menyebar dan barlangsung turun temurun dari generasi ke generasi, ini merupakan salah satu tanda akan datangnya hari kiamat sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits,
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَيَأْتِيَنَّ عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ لَا يُبَالِي الْمَرْءُ بِمَا أَخَذَ الْمَالَ أَمِنْ حَلَالٍ أَمْ مِنْ حَرَامٍ
Dari Abu Hurairah dari Rasulullah saw beliau bersabda: “Sungguh akan datang kepada manusia suatu zaman saat manusia tidak peduli dari mana mereka mendapatkan harta, dari yang halalkah atau yang haram” (HR Bukhari 1/953 no. 2083)
Rasulullah saw pernah membuat perumpamaan terkait pemungut pajak dengan pezina yang menunjukan keduanya merupakan dosa besar.
فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَقَدْ تَابَتْ تَوْبَةً لَوْ تَابَهَا صَاحِبُ مَكْسٍ لَغُفِرَ لَهُ
“Perempuan tersebut telah bertaubat dengan suatu taubat yang seandainya pemungut bea cukai (pajak) bertaubat seperti itu tentu dia akan diampuni”. (HR Muslim no 1695).
Berkenaan dengan hadits di atas, imam Nawawi menjelaskan sebagai berikut:
فِيهِ أَنَّ الْمَكْسَ مِنْ أَقْبَحِ الْمَعَاصِي وَالذُّنُوبِ الْمُوبِقَاتِ وَذَلِكَ لِكَثْرَةِ مُطَالَبَاتِ النَّاسِ لَهُ وظلاماتهم عِنْدَهُ وَتَكَرُّرِ ذَلِكَ مِنْهُ وَانْتِهَاكِهِ لِلنَّاسِ وَأَخْذِ أَمْوَالِهِمْ بِغَيْرِ حَقِّهَا وَصَرْفِهَا فِي غَيْرِ وَجْهِهَا
“Hadits ini menunjukkan bahwa memungut pajak itu termasuk kemaksiatan yang paling buruk dan termasuk dosa besar yang membinasakan. Hal ini disebabkan banyaknya tuntutan manusia kepadanya (pada hari Kiamat) dan banyaknya tindakan kezhaliman yang dilakukan oleh pemungut bea cukai mengingat pungutan ini dilakukan berulang kali. Dengan memungut pajak berarti melanggar hak orang lain dan mengambil harta orang lain tanpa alasan yang bisa dibenarkan serta membelanjakannya tidak pada sasaran yang tepat”.
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam al-Siyasah al-Syar’iyyah (hal. 115) mengatakan, “Sedangkan orang yang profesinya bukanlah merampok akan tetapi mereka meminta khafarah (uang kompensasi jaminan keamanan, sebagaimana yang dilakukan oleh para preman di tempat kita) atau mengambil pajak atas kepala orang, hewan tunggangan atau barang muatan dari orang-orang yang lewat dan semisalnya maka profesi orang ini adalah pemungut pajak. Untuknya hukuman para pemungut pajak… Orang tersebut bukanlah perampok karena dia tidak menghadang di tengah jalan. Meski dia bukan perampok dia adalah orang yang paling berat siksaannya pada hari Kiamat nanti. Sampai-sampai Nabi saw mengatakan tentang perempuan dari suku Ghamidi, “Perempuan tersebut telah bertaubat dengan suatu taubat yang seandainya pemungut bea cukai bertaubat seperti itu tentu dia akan diampuni”
Adapun dalam syariat Islam, terdapat beberapa unsur pokok penting dalam ketentuan pajak:
- Diwajibkan oleh Allah Swt.
- Objek adalah harta (al-maal).
- Subjeknya kaum Muslim yang kaya (ghaniyyun) saja, dan tidak termasuk non- Muslim.
- Tujuannya hanya untuk membiayai kebutuhan mereka (kaum Muslim).
- Diberlakukan hanya karena adanya kondisi darurat (khusus) yang harus segera diatasi oleh Ulil Amri.
Kelima unsur dasar tersebut, sejalan dengan prinsip-prinsip penerimaan negara menurut Sistem Ekonomi Islam, yaitu harus memenuhi empat unsur:
- Harus adanya nash (al-Quran dan Hadist) yang memerintahkan setiap sumber pendapatan dan pemungutannya.
- Adanya pemisahan sumber penerimaan dari kaum Muslim dan non-Muslim.
- Sistem pemungutan zakat dan pajak harus menjamin bahwa hanya golongan kaya dan golongan makmur yang mempunyai kelebihan saja yang memikul beban utama.
- Adanya tuntutan kemaslahatan umum.
Jika lepas dari unsur-unsur ini, apalagi membebani rakyat lemah hingga adanya bentuk kezhaliman dengan adanya pajak, maka pelakunya masuk pada dosa besar dan Rasulullah saw dengan tegas menetapkan sebagai ahli neraka. WaLla A’lam