وَٱسۡتَعِینُوا۟ بِٱلصَّبۡرِ وَٱلصَّلَوٰةِۚ وَإِنَّهَا لَكَبِیرَةٌ إِلَّا عَلَى ٱلۡخَـٰشِعِینَ
Dan mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan salat. Dan (salat) itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk.
[Surah Al-Baqarah: 45]
Semua makhluk hidup, terutama manusia, pastinya diberikan oleh Allah swt kesempatan untuk hidup tentram dan nyaman. Betapa tidak, banyak nikmat dan anugrah yang telha diberikan-Nya kepada manusia. Sampai Allah swt membuat statement (pernyataan) dalam Al-Qur’an bahwa jika manusia hendak menghitung nikmat yang diberikan oleh Allah swt maka sejatinya tidak akan terhitung saking banyaknya nikmat tersebut (Q.S. Ibrahim: 34 dan An-Nahl: 18). Namun, disamping itu pun manusia pasti mengalami gundah gulana baik dalam tempo yang singkat maupun berkelanjutan bahkan hingga merenggut nyawa karena ketidakmampuannya dalam membendung emosi sedih yang tertahan di dalam jiwanya.
Perlu diketahui bersama, bahwa jiwa merupakan bagian dari kehidupan manusia secara keseluruhan. Allah swt telah menciptakan manusia dari ruh yang ditiupkan malaikat ketika ia masih dalam kandungan ibunya dan berumur 40 hari.
إنَّ أحَدَكُمْ يُجْمَعُ خَلْقُهُ في بَطْنِ أُمِّهِ أربَعِينَ يَومًا نُطْفَةً، ثُمَّ يَكُونُ عَلَقَةً مِثْلَ ذلِكَ، ثُمَّ يَكُونُ مُضْغَةً مِثْلَ ذلِكَ، ثُمَّ يُرْسَلُ المَلَكُ، فَيَنْفُخُ فِيهِ الرُّوحَ
“Sesungguhnya, salah seorang diantara kalian dikumpulkan ciptaannya dalam rahim ibunya selama 40 hari berupa nuthfah (air mani) lalu menjadi alaqah (segumpal darah) selama itu pula, lalu menjadi mudghah (segumpal daging) selama itu pula, kemudian Allah mengutus malaikat untuk meniupkan ruh kepadanya.” [H.R Bukhari no. 3208 dan Muslim no. 2643 serta Riyadlush Shalihin no. 396]
Dengan ruh tersebut, bahwa yang menjadikan manusia hidup adalah dengan adanya ruh/jiwa yang berada dalam raga/badan seorang manusia. Tidak adanya ruh/jiwa menandakan tidak hidupnya manusia, alias mati. Kemudian, Allah swt menciptakan manusia dengan fitrah yang dimiliki semenjak ia lahir. Fitrah yang dimilikinya pun senantiasa condong kepada kebaikan yang telah Allah swt gariskan. Fitrah yang dimaksud disini adalah agama Islam. Allah swt berfirman,
فَأَقِمۡ وَجۡهَكَ لِلدِّینِ حَنِیفࣰاۚ فِطۡرَتَ ٱللَّهِ ٱلَّتِی فَطَرَ ٱلنَّاسَ عَلَیۡهَاۚ لَا تَبۡدِیلَ لِخَلۡقِ ٱللَّهِۚ ذَ ٰلِكَ ٱلدِّینُ ٱلۡقَیِّمُ وَلَـٰكِنَّ أَكۡثَرَ ٱلنَّاسِ لَا یَعۡلَمُونَ
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Islam); (sesuai) fitrah Allah disebabkan Dia telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu.Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” [Surah Ar-Rūm: 30]
Rasulullah saw telah berpesan kepada sahabat dan umumnya kepada manusia setelahnya, bahwa di dalam setiap insan pasti memiliki segumpal daging yang terdapat dalam dada nya, ia tidak terlihat namun dapat dirasakan oleh setiap orang. Sifatnya apabila segumpal daging tersebut baik, indah, dan terawat maka seluruh jasadnya akan seperti itu. Sebaliknya, jika daging tersebut rusak tak terawat, rapuh, rusak, dan hancur, maka gambaran jasadnya pun sama dengan keadaan dari segumpal daging tersebut. Yang dimaksud dengan segumpal daging tersebut adalah hati/jiwa. (Lih. Shahih Bukhari no. 52, Shahih Muslim no. 1599, dan Bulughul Maram no. 1468)
Bisa disimpulkan bahwa jiwa seorang manusia mesti dijaga baik-baik dengan cara dijaga agamanya. Semakin mantap dengan agama Islam maka hidupnya akan tentram. Jika tidak, maka hidup akan gelisah dan tidak nyaman.
Manusia kadangkala dihadapi dengan masalah yang begitu memberatkan hidupnya. Seringkali manusia merasa seluruh daya dan upaya yang diusahakannya membuahkan hasil yang sia-sia. Namun, Islam datang membawa solusi yang sesuai dengan tuntunan Allah swt. dan Rasulullah saw, yaitu dengan shalat.
Sebetulnya, hal ini telah banyak disampaikan oleh beberapa ulama, ustadz, dan muballigh diseluruh dunia. Tetapi, dibalik itu semuanya, harus diketahui bahwa shalat sering dipermisalkan seperti tiangnya agama. Bangunan yang kuat membutuhkan pondasi yang kuat, begitupun dengan agama. Agama akan kuat jika tiang nya kuat. Terdapat hadits yang menyebutkan secara dzhahir/gamblang mengenai “shalat adalah tiangnya agama”, namun hadits tersebut statusnya dha’if sehingga tidak bisa dijadikan hujjah. Namun, terdapat hadits yang memiliki makna yang dapat menguatkan pernyataan yang disebutkan dalam tanda petik tadi. Berikut haditsnya.
أَوَّلُ مَا يُحَاسَبُ بِهِ الْعَبْدُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ الصَّلَاةُ، فَإِنْ صَلَحَتْ صَلَحَ لَهُ سَائِرُ عَمَلِهِ، وَإِنْ فَسَدَتْ فَسَدَ سَائِرُ عَمَلِهِ
“Hal yang pertama kali dihisab dari seorang hamba di hari kiamat adalah shalatnya, jika shalatnya baik maka seluruh amalnya pun baik, dan jika shalatnya rusak, maka seluruh amalnya pun rusakrusak.” [H.R At-Thabarani, 2/240]
Didalam hadits yang lain (riwayat Imam At-Tirmidzi, status haditsnya hasan) disebutkan bahwa jika shalatnya benar maka ia akan beruntung dan selamat, jika tidak maka sebaliknya, ia akan merugi dan celaka. (Syekh Al-‘Utsaimin, Syarah Riyadlush Shalihin, 5/103)
Intinya, dengan kita memperhatikan shalat maka setidaknya akan membuka peluang besar mendapatkan keuntungan dan keselamatan bagi yang menjaganya. Dua hal tersebut mencakup juga ketenangan hati dan pelipur lara serta masalah yang timbul dalam sanubari manusia. Jika, kita merujuk kembali kepada ayat Al-Qur’an yang telah disebutkan dimuka bahwa terdapat kata wasta’iinuu (minta tolonglah kalian kepada Allah) ini berarti bahwa meminta tolong haruslah kepada Allah semata (rujuk Q.S Al-Fatihah: 5) dengan shalat dalam perkara yang kamu sedang hadapi saat ini dalam ranah akhirat maupun dunia selama tidak bercampur aduk dengan kemaksiatan.
Imam Ibnu Hajar Al-‘Asqalani menuliskan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ath-Thabari dalam kitab tafsirnya, diriwayatkan dari sahabat Hudzaifah Ibn Al-Yaman r.a ia berkata,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا حَزَبَهُ أَمْرٌ صَلَّى
“Apabila suatu kesulitan menimpa Rasulullah saw, maka beliau shalat (baik yang wajib maupun yang sunnah -penj)” [Fathul Bari, 3/172]
Inilah keistimewaan yang dimiliki oleh Islam sendiri. Ternyata, alasan dibalik Allah swt mewajibkan shalat lima waktu dan menyunnahkan shalat lainnya selama setiap harinya terdapat hikmah yang mendalam, yaitu selain menjadi tolak ukur ketaatan seorang hamba kepada rabbnya, dengan shalat (yang sesuai dengan tuntunan syariat) ini, masalah yang ada dalam hati -insya Allah- akan sirna dan diangkat oleh Allah swt. Tetap perlu diingat bahwa hati tetap motor kemudinya ada di tangan Allah dan Dialah yang mengatur segalanya, terutama dalam emosi jiwa manusia. Tetapi dengan terus menerus kita meminta keringanan hati dari masalah yang sedang menerjang dengan niatan ikhlash dan sesuai dengan apa yang dikerjakan oleh Rasulullah saw, maka Allah swt. akan memberikan apa yang dibutuhkan dan diminta oleh hamba tersebut. Biidznil-‘Llah.
Wal-‘Llahu A’lam.
Abdurrahman Nasher