Rukhshah secara bahasa adalah keringanan atau kelenturan yang merupakan lawan kata dari kekakuan
Ibnu Fâris rahimahullah berkata:
الراء والخاء والصاد أصل يدل على لين وخلاف شدة
Huruf “ر” خ” “ص” itu asalnya menunjukkan sesuatu yang lentur dan berbeda dengan kekakuan. (Mu’jam Maqayis Al-Lughah, Ibnu Faris, 2/500)
Ibnu Mandhur rahimahullah berkata:
الرخصة: ترخيص الله للعبد في أشياء خففها عنه
“Rukhshah adalah keringanan Allah bagi hambanya pada sesuatu yang dimudahkan.” (Mu’jam Maqayis Al-Lughah, Ibnu Faris, 2/500)
Adapun secara istilah yang paling bagusnya disebutkan oleh As-Subki dan dianggap bagus oleh Asy-Syinqithiy rahimahumallah dalam kitab beliau yang berjudul “Mudzakkiroh fî ushulil fiqh” yaitu,
ما تغير من الحكم الشرعي لعذر إلى سهولة ويسر مع قيام السبب للحكم الأصلي
“Hukum syar’i yang berubah kepada yang mudah dan ringan bersamaan adanya sebab untuk hukum asalnya”. (Raf’ul Hajib ‘an Mukhtashar Ibnil Hajib, As-Subki, 2/26)
Pengertian ini melahirkan adanya tiga syarat dari rukhshah yaitu:
Pertama, rukhshah (keringanan) hendaknya berdasarkan dalil al-Qur’an dan Sunnah baik secara tekstual maupun konstektual melalui qiyas (analogi) atau ijtihad, bukan berdasarkan kemauan dan dugaan sendiri.
Kedua, kata hukum mencakup semua hukum dan dalil hukum yang ada seperti wajib, sunnah, haram dan mubah semuanya bisa terjadi rukhshah di dalamnya.
Ketiga, adanya udzur baik berupa kesukaran atau keberatan dalam melakukannya.
Pembagian Rukhshah
Ditinjau dari segi bentuknya rukhshah dibagi menjadi tujuh macam yaitu:
Pertama, rukhshah dengan menggugurkan kewajiban seperti boleh meninggalkan perbuatan wajib atau sunnah karena berat dalam melaksanakannya atau membahayakan dirinya apabila melakukan perbuatan tersebut
Kedua, rukhshah dalam bentuk mengurangi kadar kewajiban,
Ketiga, rukhshah dalam bentuk mengganti kewajiban dengan kewajiban lain yang lebih ringan.
Keempat, rukhshah dalam bentuk penangguhan pelaksanaannya
Kelima, rukhshah dalam bentuk mendahulukan pelakasanaan kewajiban.
Keenam, rukhshah dalam bentuk merubah kewajiban seperti merubah cara melaksasnakan shalat ketika sakit atau dalam keadaan perang.
Ketujuh, rukhshah dalam bentuk membolehkan melakukan perbuatan yang haram dan meninggalkan perbuatan yang wajib karena adanya uzur syar’i.
Jum’at
Jum’at berasal dari kata جمعة – يجمع – جمع yang berarti banyak, lebih dari satu atau dua, mengumpulkan atau kata lain berjama’ah.
Shalat Jum’at merupakan salah satu kewajiban untuk lelaki muslim yang mukallaf, dilaksanakan pada hari Jum’at diwaktu Zhuhur, shalat Jum’at merupakan kewajiban tersendiri (independen), bukan sebagai pengganti shalat Zhuhur, hanya saja jika seseorang terkena rukhshah shalat Jum’at maka dia wajib melaksanakan shalat Zhuhur empat rakaat.
Terdapat hadis bahwa shalat jum’at wajib berjama’ah
عَنْ طَارِقِ بْنِ شِهَابٍ, عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: الْجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فِي جَمَاعَةٍ
“Dari Thariq ibn Shihab, dari Nabi Muhammad saw: Shalat jum’at itu adalah kewajiban bagi setiap muslim dengan berjama’ah kecuali bagi empat orang, yaitu bagi budak, perempuan, anak kecil, atau orang yang sakit”. (H.R Abu Dawud)
Dari hadis ini melahirkan tiga penetapan aspek:
- شرط الوجوب
Syarat wajibnya Jum’at, yaitu dengan berjama’ah.
Melahirkan pula hukum sabab: shalat Jum’at wajib berjama’ah, tidak ada jama’ah maka tidak wajib Jum’at
- شرط الصحة
Syarat sahnya Jum’at dengan berjama’ah, jika tidak berjama’ah maka tidak sah
- عزيمة
‘Azimah, yaitu menetapkan bahwa shalat Jum’at itu hukumnya wajib dalam situasi dan kondisi apapun kecuali ada udzur.
Orang yang Mendapat Rukhshah Jum’at
Shalat Jum’at merupakan pengganti dari shalat Zhuhur, waktu shalat Jum’at adalah shalat Zhuhur, bisa dilaksanakan diawal waktu dan atau bisa dilaksanakan di akhir waktu. Karena itulah, bagi yang tidak melaksanakan shalat Jum’at baik karena ada udzur atau semisalnya, maka kewajibannya dikembalikan kepada shalat Zhuhur atau meninggalkan shalat Zhuhur.
Berikut penyebab adanya rukhshah (keringanan) bolehnya tidak melaksanakan shalat Jum’at
- Hambasahaya
- Anak kecil (belum mukallaf)
- Sakit
- Wanita
Keempat orang ini terdapat dalam Hadis,
الْجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فِي جَمَاعَةٍ إلَّا أَرْبَعَةً عَبْدٌ مَمْلُوكٌ أَوْ امْرَأَةٌ أَوْ صَبِيٌّ أَوْ مَرِيضٌ
“Jum’at adalah kewajiban bagi setiap Muslim secara jamaah kecuali empat orang. Hamba sahaya yang dimiliki, perempuan, anak kecil dan orang sakit”. (H.R Abu Dawud).
- Safar
Hadis yang menerangkan bahwa pada saat wukuf yang jatuh pada hari Jum’at di Arafah Rasulullah saw shalat Zhuhur dijama’ dengan Ashar
فأجاز حتى أتى عرفة فوجد القبة قد ضربت له بنمرة فنزل بها حتى إذا زاغت الشمس أمر بالقصواء فرحلت له فأتى بطن الوادي فخطب الناس ثم أقام فصلى الظهر ثم أقام فصلى العصر ولم يصل بينهما شيئا …
“… Selanjutnya beliau berangkat hingga sampai di Arafah, maka beliau menemukan tenda yang telah dibangun untuknya di Namirah, kemudian beliau singgah di namirah, sehingga tatkala tergelincir matahari, beliau menyuruh dibawakan Qaswa (unta beliau), kemudian unta itu diserahkan padanya. Selanjutnya beliau sampai dilembah, terus beliau memberi hutbah pada manusia, kemudian dikumandangkan adzan selanjutnya iqamat, terus beliau shalat Zhuhur, kemudian iqamat, dan terus shalat Ashar, serta beliau tidak shalat apapun diantara kedua salat itu”. (H.R Muslim, Shahih Muslim, II : 886)
Hadis tentang Ibnu Umar yang tidak melaksanakan Jum’at ketika safar sebagai berikut :
عن نافع أن ابن عمر ض ذكرله أن سعيد بن زيد بن عمرو بن نفيل وكان بدريا مرض فى يوم جمعة فركب إليه بعد أن تعالى النهار واقتربت الجمعة و ترك الجمعة
“Dari Nafi’ sesungguhnya Ibnu Umar diterangkan kepada beliau bahwa Sa’id bin Zaid bin Amr bin Nufel, dan ia orang Badar, sakit pada hari Jum’at. lalu Ibnu Umar berangkat untuk menengoknya menjelang siang, dan telah dekat waktu Jum’at, dan Ibnu Umar tidak melaksanakan Jum’at”. (H.R Bukhari, Fathul Bari, VII : 360, No. 3991)
- Hari ‘Id pada hari Jum’at
Ketika hari ‘Id (idul Adha dan Idul Fitri) bersamaan dengan hari Jum’at, maka bagi lelaki mukallaf yang telah melaksanakan shalat id, boleh tidak melaksanakan ibadah Jum’at dan tidak ada shalat Zhuhur. Hal ini sebagaimana hadis dari dari Zayd bin Arqam radiyallaahu ‘anhu, bahwa ia berkata :
صَلَّى الْعِيدَ ثُمَّ رَخَّصَ فِي الْجُمُعَةِ فَقَالَ مَنْ شَاءَ أَنْ يُصَلِّيَ فَلْيُصَلِّ
“Nabi saw melaksanakan shalat Id (pada suatu hari Jum’at) kemudian beliau memberikan rukhshah (kemudahan/keringanan) dalam shalat Jum’at. Kemudian Nabi berkata,’Barangsiapa yang berkehendak (shalat Jum’at), hendaklah dia shalat.” (HR. Al Khamsah, kecuali At Tirmidzi. Hadits ini menurut Ibnu Khuzaimah, shahih).
Dari Abu Hurairah radiyallaahu ‘anhu bahwa Nabi saw bersabda :
قَدْ اجْتَمَعَ فِي يَوْمِكُمْ هَذَا عِيدَانِ فَمَنْ شَاءَ أَجْزَأَهُ مِنْ الْجُمُعَةِ وَإِنَّامُجَمِّعُونَ
“Sungguh telah berkumpul pada hari kalian ini dua hari raya. Maka barangsiapa berkehendak (shalat hari raya), cukuplah baginya shalat hari raya itu, tak perlu shalat Jum’at lagi. Dan sesungguhnya kami akan mengerjakan Jum’at.” (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah dan Al Hakim juga meriwayatkan hadits ini dari sanad Abu Shalih, dan dalam isnadnya terdapat Baqiyah bin Walid, yang diperselisihkan ulama. Imam Ad Daruquthni menilai, hadits ini shahih. Ulama hadits lain menilainya hadits mursal, namun ada beberapa penguat dari jalur lain).
- Orang yang tertahan
Maksud orang yang tertahan di sini adalah: (a) Orang yang sedang di penjara dalam keadaan sendiri dan atau tidak memungkinkan untuk melaksanakan shalat Jum’at. (b) Orang yang ada dalam keadaan terancam akan dibunuh baik dirinya maupun keluarganya (c) ODP; orang dalam pemantauan. Baik karena pemantauan sebuah pemeriksaan penyakit menular seperti pemeriksaan corona dan penyakit berbahaya lainnya atau pemantauan sesuatu tuduhan kasus yang tidak memungkinkan untuk bisa keluar melaksanakan Jum’at.
- PDP (Pasien dengan Pengawasan) atau Suspek terhadap penyakit berbahaya
Meski kondisi badan terasa sehat, kuat dan mampu beraktivitas, namun pada penetapannya memiliki penyakit mematikan yang bisa menularkan sehingga dirinya wajib berdiam diri (isolasi) dan tidak boleh berdekatan dengan manusia lainnya, maka kondisi seperti ini tiak diwajibkan shalat Jum’at karena bisa masuk kategori sakit, dalam qaidah dinyatakan:
دَرْءُ الْمَفَاسِدِ أَوْلَى مِنْ جَلْبِ الْمَصَالِحِ
“Menghilangkan kemudharatan itu lebih didahulukan daripada Mengambil sebuah kemaslahatan.”
- Orang yang tertidur
Maksudnya orang yang tertidur dari waktu pagi hingga kebablasan yang menyebabkan keluar dari waktu shalat jum’at (waktu Zhuhur) maka ia kembali kepada shalat Zhuhur.
Hal ini disebabkan tidak adanya dalil jamak Jum’at dengan ashar, dan waktu Jum’at sudah terlewati. Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu mengatakan
مَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنَ الْجُمُعَةِ فَلْيُصَلِّ إِلَيْهَا أُخْرَى , وَمَنْ فَاتَتْهُ الرَّكْعَتَانِ فَلْيُصَلِّ أَرْبَعًا
“Siapa yang mendapatkan satu rakaat bersama imam, hendaknya dia nambahi satu rakaat lagi. Dan siapa yang ketinggalan kedua rakaat Jum’atan, hendaknya dia shalat 4 rakaat”. (Al-Mudawanah, 1/229).
Adapun hadis yang menyatakan
مَنْ نَسِيَ صَلَاةً أَوْ نَامَ عَنْهَا فَكَفَّارَتُهَا أَنْ يُصَلِّيَهَا إِذَا ذَكَرَهَا
“Barang siapa yang kelupaan shalat atau tertidur sehingga terlewat waktu shalat maka penebusnya adalah dia segera shalat ketika ia ingat.” (HR. Ahmad dan Muslim).
Hadis ini menerangkan shalat ashal, karena shalat ashal di hari Jum’at itu adalah shalat Zhuhur, maka bagi orang yang telah keluar dari waktu Jum’at, hendaklah ia mengembalikan kepada shalat ashal, yaitu shalat Zhuhur sebanyak 4 rakaat (jamak takhir dengan ashar)
- Bencana alam
Bencana alam yang merata secara umum sehingga sulitnya dikendalikan yang mengakibatkan sulitnya didirikanshalat Jum’at, maka hukum shalat Jum’at menjadi gugur.
Sifat bencana alam ini bisa berupa; banjir, gempa, hujan, angin besar, gunung meletus, cuaca dingin yang mencekam sehingga sulitnya bergerak atau beraktivitas dan sebagainya.
Qaidah menyatakan
الوُجُوْبُ يَتَعَلَّقُ بِاْلاِسْتِطَاعَةِ , فَلاَ وَاجِبَ مَعَ الْعَجْزِ
Pelaksanaan kewajiban terkait dengan kemampuan, kewajiban melaksanakan sesuatu menjadi gugur jika tidak mampu melaksanakannya
- Kesibukan karena menyelamatkan nyawa orang lain
Salah satu contoh penerapannya adalah kepada seorang dokter dan atau perawat yang lagi menangani pasien secara ektra sehingga mustahil untuk ditinggalkan. Kondisi ini memasuki kondisi kesulitan.
- Orang yang tidak bisa memenuhi syarat dan rukun
Selama syarat dan rukun ini masih bisa terpenuhi, maka kewajiban jum’at masih berlaku, misalkan seseorang yang berprofesi: (a) Satpam yang harus menjaga keamanan dan menjaga barang disaat suburnya pencurian. (b) Ketakutan. Selain adanya ketakutan dari ancaman jiwa, ketakutan adanya wabah penyakit yang menular pula wajib diperhatikan, namun hal ini bukan berarti mengugurkan kewajiban shalat Jum’at secara otomatis, melainkan ada beberapa tahapan:
- Jika kondisi wabah sulit dikendalikan sehingga lebih besarnya penularan jika ada perkumpulan, maka shalat Jum’at bisa dilakukan di mushala atau dirumah dengan minimal dua orang.
- Jika kondisi kita hanya 1 orang saja dan sulitnya mencari jama’ah lain sehingga kurangnya terpenuhi syarat dan atau rukun, maka shalat dikembalikan kepada Zhuhur.