Vigilantism atau main hakim sendiri, seperti dilansir dictionary.cambridge.org, adalah the practice of ordinary people in a place taking unofficial action to prevent crime or to catch and punish people believed to be criminals (tindakan orang biasa di suatu tempat dengan mengambil tindakan tidak resmi untuk mencegah kejahatan atau untuk menangkap dan menghukum orang yang dianggap penjahat). Dalam terminologi fuqaha hal ini dikenal dengan al-akhdzu bi ts-Tsa’ri.
Para fuqaha telah bersepakat bahwa penerapan hukum itu setidaknya mesti memenuhi dua unsur penting, yaitu: 1. Dilaksanakan oleh otoritas penegak hukum di negeri itu, dan 2. Tidak boleh ada unsur balas dendam dan intervensi personal apapun bagi yang berwenang atas tanggungjawab tersebut. Maka dalam wilayah hukum pidana: Negara lah yang diberi kekhususan untuk menerapkan hukum yang sesuai, berupa hadd, ta’zīr, atau pun qishāsh. Hal itu demi menjaga tatanan, menghalangi kesewenang-wenangan, mencegah kerusakan dan merebaknya perselisihan antar orang-orang, serta membatalkan kebiasaan main hakim sendiri (az-Zuhailī, al-Fiqh l-Islāmī wa Adillatuh, Tt. Vol. VIII hal. 6290). Sedangkan spirit hukum Islam yang hendak diraih puncaknya adalah keadilan. Di mana keadilan itu akan lebih mendekatkan seorang hamba kepada ketaqwaan. Allah ta’ālā berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ وَلا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلا تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan [Q.S. al-Māidah: 8].
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاءَ لِلَّهِ وَلَوْ عَلَى أَنْفُسِكُمْ أَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالأقْرَبِينَ إِنْ يَكُنْ غَنِيًّا أَوْ فَقِيرًا فَاللَّهُ أَوْلَى بِهِمَا فَلا تَتَّبِعُوا الْهَوَى أَنْ تَعْدِلُوا وَإِنْ تَلْوُوا أَوْ تُعْرِضُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا
Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biar pun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya atau pun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjaan [Q.S. an-Nisā’: 135].
Maka tindakan main hakim sendiri adalah pengkhianatan pada keadilan dan juga sebagai ekspresi melawan hukum dengan mendahului wewenang penegak hukum. ‘Mengadili’ sebelum ‘diadili’. Mendahulukan hawa nafsu ketimbang akal dan hati nurani. Hal ini berlaku bagi siapapun, termasuk penegak hukum itu sendiri.
Lembaga negara, yang tentunya mempunyai institusi hukum di dalamnya, mempunyai legitimasi dari Allah subhanahu wa ta’ālā untuk ditaati dan dipatuhi (Q.S. an-Nisā’ 59). Keluar dari hal itu dapat dikategorikan sebagai pembangkangan dan pengkhianatan (khurūj). Bahkan apabila mati, Rasulullah shalla-Llahu ‘alaihi wa sallam mengkategorikannya sebagai mati (seperti) jahiliyyah.
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: ” مَنْ كَرِهَ مِنْ أَمِيرِهِ شَيْئًا فَلْيَصْبِرْ، فَإِنَّهُ مَنْ خَرَجَ مِنَ السُّلْطَانِ شِبْرًا مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً “
Dari Ibnu ‘Abbās, dari Nabi shalla-Llahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda: “Siapa yang membenci sesuatu dari pemimpinnya, maka bersabarlah. Sesungguhnya orang yang keluar dari kekuasaan (pemerintah) sejengkal saja, maka ia mati dalam keadaan mati jahiliyyah (H.R. al-Bukhārī Kitāb l-Fitan Bāb Qawl n-Nabī shalla-Llahu ‘alaihi wa sallam Satarawna ba’dī Umūran Tunkirūnahā, no. 7053; 7054; 7143).
Ibnu Hajar al-‘Asqalānī menyebut bahwa yang dimaksud mati jahiliyyah adalah seperti matinya seorang ahli jahiliyyah dalam hal kesesatan dan tidak adanya pemimpin yang diturutinya, karena mereka tidak mengenal hal itu. Maksudnya bukan mati dalam kekafiran, tapi mati dalam keadaan bermaksiat (al-‘Asqalānī, Fath l-Bārī bi Syarh Shahīh l-Bukhārī, 2004 Vol. XIII hal. 9). Meski tidak lantas dihukumi sebagai orang kafir, karena menyalahi otoritas hukum yang berlaku, main hakim sendiri termasuk maksiat –statusnya haram.
Fenomena main hakim sendiri lumrah terjadi di masyarakat apabila mendapati pelaku pencurian, tindak asusila, atau kejahatan lainnya –yang dianggap sebagai ‘muqaddimah’ sebelum proses hukum. Bisa dengan cara dianiaya (dipukuli bahkan sampai meninggal) atau dilecehkan (dipermalukan dengan diarak keliling kampung), dan lain sebagainya. Fenomena ini bisa timbul karena ketidakpuasan masyarakat terhadap institusi penegakan hukum yang dianggap tidak memberikan efek jera terhadap para pelakunya. Alasan tersebut –dan alasan apapun yang melatarinya- tetap saja tidak dibenarkan dalam syariat Islam dan layak untuk di-qishāsh (diadili dan diproses secara hukum sebagai-mana delik penganiayaan dan perbuatan tidak menyenangkan).
Bila alasannya karena ketidakpuasan atas penegakkan hukum, hendaklah bagi para penegak hukum segera menyadari dan membenahi tata aturan hukum yang berlaku agar masyarakat lekas mendapatkan kepastian hukum. Baik dari pihak legislator maupun yudikator. Namun, bila memang sudah menjadi budaya untuk melampiaskan kekesalan terhadap pelaku dalam rangka balas dendam atau hanya ingin ikut meramaikan saja, maka segeralah bertobat.
… sesungguhnya Allah tabāraka wa ta’ālā telah mengharamkan atas kalian darah, harta, dan kehormatan kalian –kecuali dengan haknya- seperti haramnya (mulianya) hari kalian (Jum’at/’Arafah) di negeri kalian (Makkah) dan di bulan kalian (Dzu l-Hijjah) ini. Bukankah, telah aku sampaikan? … (al-Hadits) [HF]