عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «انْظُرُوا إِلَى مَنْ أَسْفَلَ مِنْكُمْ، وَلَا تَنْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَكُمْ، فَهُوَ أَجْدَرُ أَنْ لَا تَزْدَرُوا نِعْمَةَ اللهِ – قَالَ أَبُو مُعَاوِيَةَ – عَلَيْكُمْ» رواه مسلم
“Dari Abu Hurairah radiyallâhu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shalla-‘Llahu ‘alaihi wa sallam bersabda,” Lihatlah oleh kalian kepada orang yang berada di bawah kalian, dan janganlah kalian melihat kepada orang yang berada di atas kalian, karena itu lebih layak agar kalian tidak menganggap rendah terhadap nikmat Allah yang diberikan kepada kalian.” (H.R. Muslim, nomor 2.963)
Semakna dengan hadis di atas adalah apa yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari di bawah ini:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه، عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «إِذَا نَظَرَ أَحَدُكُمْ إِلَى مَنْ فُضِّلَ عَلَيْهِ فِي المَالِ وَالخَلْقِ، فَلْيَنْظُرْ إِلَى مَنْ هُوَ أَسْفَلَ مِنْهُ مِمَّنْ فُضِّلَ عَلَيْهِ» رواه البخاري
“Dari Abu Hurairah radhiya-‘Llahu ‘anhu, dari Rasulullah shalla-‘Llahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda, “Apabila salah seorang di antara kalian melihat orang yang dilebihkan dalam hartanya dan bentuk fisiknya, maka hendaklah melihat kepada orang yang berada di bawahnya daripada (melihat) orang yang telah diberikan kelebihan kepadanya.” (H.R. Bukhari, nomor 6.490)
Ibnu Hajar al-‘Aqalani menempatkan hadits di atas yang diriwayatkan imam Muslim termaktub dalam kitab Bulughul Maram pada Kitabul Jami’ babul adab. Sedangkan hadis kedua di atas, imam Bukhari menempatkannya dalam kitab ar-Riqaq (hal-hal yang melunakkan hati).
Allah ‘Azza wa Jalla menganugerahkan berbagai macam kenikmatan kepada manusia, misalnya nikmat sehat, nikmat harta benda, nikmat mempunyai keluarga yang shaleh, mendapatkan rezeki yang halal dan lain-lain, dan yang paling utama adalah nikmat iman dan Islam. Maka adab seorang muslim terhadap nikmat Allah ‘Azza wa Jalla tersebut adalah mensyukurinya. Mensyukuri nikmat Allah Azza wa Jalla itu hukumnya wajib bagi orang-orang beriman.
Firman Allah ‘Azza wa Jalla:
وَاشْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ
“… dan syukurilah nikmat Allah, jika kalian hanya kepada-Nya saja menyembah” (Q.S. An-Nahl ayat 114)
Cara mensyukuri nikmat Allah adalah sebagaimana perkataan Ibnul Qayyim rahimahullah, syukur adalah menampakkan nikmat Allah swt dengan mengucapkan pujian dan pengakuan dalam lisannya, menghadirkan keyakinan dan kecintaan dalam hatinya, serta tunduk dan patuh seluruh anggota badannya. (Kunuz Riyadush Shalihin, hal. 389) Allah ‘Azza wa Jalla memerintahkan kepada semua hambanya untuk bersyukur. Karena nikmat Allah itu sungguh banyak sekali dan tidak akan terhitung jumlahnya. Firman Allah Azza wa Jalla:
وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا إِنَّ اللَّهَ لَغَفُورٌ رَحِيمٌ
“Dan jika kalian menghitung-hitung ni’mat Allah, niscaya kalian tidak mampu menghitungnya. Sungguh, Allah benar-benar Maha Pengampun, Maha Penyayang” (Q.S. An-Nahl ayat 18)
Manusia sebagai makhluk ciptaan Allah, mendapatkan berbagai macam nikmat yang beragam. Maka sangat layak dan pantas bagi manusia untuk bersyukur kepada-Nya.
Syukurnya lisan dengan mengucapkan kalimat thayyibah, banyak berdzikir, membaca al-Quran, tidak berkata-kata kasar, bohong, ghibah dan lain-lain. Syukurnya hati adalah semakin yakin dan cinta kepada Allah swt. Dan syukurnya anggota badan adalah tunduk dan patuh kepada-Nya.
Allah Ta’ala menganugerahkan rezeki dan nikmat kepada manusia itu berbeda-beda kadarnya; ada yang banyak, ada yang sedikit. Nikmat harta benda misalnya, ada yang Allah anugerahkan kekayaan yang melimpah, ada yang Allah kurangi. Artinya tidak sama rata. Semua sudah ada taqdir dan kehendak-Nya. Firman Allah Ta’ala:
وَاللَّهُ فَضَّلَ بَعْضَكُمْ عَلَى بَعْضٍ فِي الرِّزْقِ فَمَا الَّذِينَ فُضِّلُوا بِرَادِّي رِزْقِهِمْ عَلَى مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَهُمْ فِيهِ سَوَاءٌ أَفَبِنِعْمَةِ اللَّهِ يَجْحَدُونَ.
“Dan Allah melebihkan sebagian kalian dari sebagian yang lain dalam hal rezeki, tetapi orang-orang yang dilebihkan (rezekinya itu) tidak mau memberikan rezeki mereka kepada budak-budak yang mereka miliki, agar mereka sama (merasakan) rezeki itu. Maka mengapa mereka mengingkari nikmat Allah?.” (Q.S. An-Nahl ayat 71)
قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْرًا
“…sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.”(Q.S. Ath-Thalâq ayat 3)
Sikap seorang muslim ketika melihat orang lain ada yang dilebihkan oleh Allah dalam masalah duniawinya, perintah Rasulullah adalah “Lihatlah oleh kalian kepada orang yang berada di bawah kalian”. Jika kita mempunyai sepeda motor, maka lihatlah dan perhatikanlah kepada yang punya sepeda. Maka dengan begitu, akan timbul sikap syukur kepada Allah. Yang mempunyai sepeda, maka lihatkah kepada orang yang tidak punya kendaraan apa-apa. Maka insyaa Allah akan timbul sikap syukur.
Hadits di atas ibarat obat bagi jiwa-jiwa orang mukmin dalam hal melihat nikmat-nikmat Allah yang diberikan dengan metode penglihatan yang paling baik. Kebanyakan manusia tidak menganggap nikmat apa yang ada pada dirinya, karena, ketika melihat orang lain ada yang lebih baik, atau lebih banyak dalam urusan dunianya, dia ingin menyamainya, dan mengganggap rendah apa yang ada pada dirinya. Padahal yang ada pada dirinya hakikatnya merupakan karunia dan nikmat dari Allah ‘Azza wa Jalla.
Hal ini diperkuat oleh perkataan Imam Nawawi yang mengutip pendapat Ibnu Jarir dan yang lainnya, bahwa apabila manusia melihat orang lain yang dilebihkan dalam urusan dunia, dia menginginkan dan menuntut dirinya agar bisa menyamainya, dan menganggap sepele apa yang ada pada dirinya. Ini adalah fakta yang terjadi pada kebanyakan orang. Maka sikap yang terbaik adalah melihat kepada orang yang berada di bawahnya, maka akan timbul syukur kepada Allah atas nikmat yang ada pada dirinya. (Syarhun-Nawawi ‘ala Muslim, Muhyiddin Abu Zakariya bin Syaraf An-Nawawi, Kitab Zuhud wa Raqaq, hal. 1.709)
Menurut Abdullah bin Abdurrahman Al-Bassam, ada beberapa ‘ibrah dari seseorang yang melihat kepada yang berada di bawahnya dalam hal harta benda dan perhiasan dunia, diantaranya adalah hatinya akan tenang, hidupnya akan bahagia, akan muncul sikap qona’ah (merasa cukup terhadap ni’mat yang Allah berikan), rido terhadap apa yang Allah berikan kepadanya, dan terhindar dari sifat tamak, rakus dari urusan harta benda dan urusan duniawi. Dan penglihatannya akan selalu dijaga dari melihat kepada yang berada di atasnya. (Taudhîhul Ahkam, juz 7, hal. 287)
Rasulullah shalla-‘Llahu ‘alaihi wa sallam melarang melihat kepada yang berada di atas dalam hal harta benda, dan yang bersifat duniawi. Karena dikhawatirkan akan menimbulkan sikap kufur nikmat, dan timbul sifat hasad.
Sebagaimana halnya Ibnu Hajar mengutip perkataan Ibnu Bathal dan yang lainnya bahwa jika seseorang selalu melihat kepada orang yang berada di atasnya maka akan menimbulkan sifat hasad. Dan obatnya adalah memandang kepada orang yang berada di bawahnya agar hadir dalam dirinya rasa syukur nikmat. (Fathul Bari, juz 11, hal. 365)
Orang yang hidupnya selalu melihat ke atas, maka akan diliputi kesedihan, lupa memuji dan bersyukur kepada Allah, tidak ridha terhadap keadaan dirinya. Dan Allah melarang hal itu. Sebagaimana firman Allah ‘Azza wa Jalla yang ditujukan kepada Nabi Muhammad saw, dan juga bagi seluruh ummatnya:
وَلا تَمُدَّنَّ عَيْنَيْكَ إِلَى مَا مَتَّعْنَا بِهِ أَزْوَاجًا مِنْهُمْ زَهْرَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا لِنَفْتِنَهُمْ فِيهِ وَرِزْقُ رَبِّكَ خَيْرٌ وَأَبْقَى.
“Dan janganlah kamu tujukan kedua matamu kepada apa yang telah Kami berikan kepada golongan-golongan dari mereka, sebagai bunga kehidupan dunia untuk Kami cobai mereka dengannya. Dan karunia Tuhan kamu adalah lebih baik dan lebih kekal.” (Q.S. Thâhâ ayat 131)
Ibnu Katsir menafsirkan ayat di atas adalah, bahwa Allah ‘Azza wa Jalla berfirman kepada Nabi-Nya, “Janganlah kamu melirikkan pandangan matamu kepada kemewahan yang ada di tangan orang-orang yang hidup senang dan mewah. Karena sesungguhnya hal itu tiada lain merupakan perhiasan yang fana dan nikmat yang pasti lenyapnya, kami mencobai mereka dengan melaluinya. Akan tetapi, amatlah sedikit orang yang banyak bersyukur di antara hamba-hamba-Ku.”
Kemudian Ibn Katsir mengutip perkataan Mujahid, ia mengatakan bahwa makna azwajan minhum ialah orang-orang kaya dan para hartawan, karena sesungguhnya kamu telah diberi apa yang lebih baik daripada apa yang diberikan kepada mereka.
Disebutkan dalam kitab shahih, ketika Umar bin Khattab masuk untuk menemui Rasulullah shalla-Llahu ‘alaihi wa sallam yang saat itu beliau sedang mengasingkan dirinya dari istri-istrinya, sebab beliau telah bersumpah tidak akan menggauli mereka dalam waktu tertentu (sampai mereka sadar); Umar ibnul Khattab melihat Rasulullah shalla-Llahu ‘alaihi wa sallam sedang berbaring di lantai rumahnya dengan hanya beralaskan tikar. Sedangkan di dalam rumahnya hanya ada sebuah wadah air yang sudah lapuk, tergantung di sisi rumahnya. Maka dengan serta-merta Umar mencucurkan air matanya. Rasulullah saw bertanya, “Hai Umar, apakah yang membuatmu menangis?” Umar menjawab, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Kisra dan Kaisar berada dalam kemewahannya, sedangkan engkau adalah makhluk pilihan Allah.” Rasulullah shalla-Llahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، قَالَ “أَوَفِي شَكٍّ أَنْتَ يَا ابْنَ الْخَطَّابِ؟ أُولَئِكَ قَوْمٌ عُجِّلت لَهُمْ طَيِّبَاتُهُمْ فِي حَيَاتِهِمُ الدُّنْيَا ” رواه البخاري
“Hai Ibnul–Khattab, apakah engkau dalam keadaan ragu? Mereka adalah kaum yang disegerakan bagi mereka kebaikannya dalam kehidupan dunia ini.” (H.R. Bukhari nomor 2.468)
Kemudian Ibn Katsir melanjutkan, bahwa Rasulullah shalla-Llahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling zuhud terhadap duniawi, padahal beliau mampu menguasainya. Apabila beliau memperoleh harta benda, maka dinafkahkan dan dibagi-bagikannya ke sana dan kemari, kepada semua hamba Allah dan beliau tidak pernah menyimpan sesuatu pun darinya untuk keperluan dirinya di esok hari. (‘Umdat At-Tafsîr ‘an Al-Hâfidz Ibn Katsir, Jilid 2, hal. 546-547)
Maka orang-orang yang beriman sudah semestinya mencontoh dan meneladani akhlak beliau dalam hal sikap zuhud. Karena dengan zuhud akan timbul qana’ah. Rasulullah shalla-Llahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: «قَدْ أَفْلَحَ مَنْ أَسْلَمَ، وَرُزِقَ كَفَافًا، وَقَنَّعَهُ اللهُ بِمَا آتَاهُ» رواه مسلم
“Dari Abdullah bin ‘Amr bin al-‘ash radhiya’Llahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shalla-Llahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh beruntung orang yang memeluk Islam, dan diberi rizqi yang cukup, serta qana’ah terhadap apa yang diberikan Allah.” (H.R. Muslim nomor 1.054)
Sebaliknya, dalam urusan ketaatan, taqarrub kepada Allah ‘Azza wa Jalla, maka harus melihat kepada yang berada di atas; yang lebih sholeh, yang lebih ta’at, yang lebih rajin ibadahnya, yang lebih banyak hapalan al-Qurannya, hapalan haditsnya, ilmunya, dan lain-lain. Sehingga akan timbul dalam dirinya fastabiqul khairât (berlomba-lomba dalam kebaikan), dan bersegera dalam melaksanakan amal sholeh. Firman Allah ‘Azza wa Jalla:
وَسارِعُوا إِلى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّماواتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ.
“Dan bersegeralah kalian mencari ampunan dari Tuhan kalian dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.” (Q.S. Ali Imran ayat 133)
Ibnu Hajar mengutip perkataan ‘Amr bin Syuaib dari ayahnya dari kakeknya:
“Ada dua tabi’at jika keduanya ada pada seseorang, maka Allah akan mencatatnya sebagai orang yang bersyukur dan bersabar. Pertama, (dalam perkara duniawinya) orang itu melihat kepada orang yang berada di bawahnya, kemudian memuji Allah terhadap apa yang Allah karuniakan kepadanya. Kedua, (dalam perkara agama) orang itu melihat kepada orang yang berada di atasnya, kemudian ia mengikuti, meniru, dan meneladaninya.” (Fathul Bari, juz 11, hal. 365) WaLlahu ‘Alam