Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan (UUD 1945 Pasal 27 ayat (2)
Semenjak disetujuinya UU Cipta Kerja pada rapat paripurna DPR-RI di awal bulan itu (5/10/2020) terjadilah gelombang protes dari berbagai kalangan masyarakat. Dari mulai buruh, mahasiswa, akademisi, sampai yang hanya numpang eksis dengan tiktokan di tengah aksi. Berbagai kritik dilayangkan terkait formil (bentuk) dan materil (isi) terhadap UU yang juga dikenal dengan Omnibus Law (Bill) ini. Beberapa pengamat menilai bahwa UU ini cacat formil (prosedur), di antaranya, karena menerabas Undang-undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Dan yang paling menyita perhatian dari publik, tanpa terkecuali bagi yang kurang mengerti persoalan hukum, adalah isi dari UU tersebut yang disinyalir tidak pro-rakyat, tanpa terkecuali buruh. Hal ini dibantah oleh pemerintah, sampai Presiden Jokowi merilis pernyataan resminya (10/10/20) dengan menyebut bahwa opini negatif publik terhadap UU tersebut adalah tidak benar alias hoaks. Namun, tuduhan hoaks dari Jokowi pun bisa disebut hoaks pula mengingat bahwa saat pernyataan itu diujarkan naskah resmi dari UU tersebut belum diedarkan. Rakyat terlanjur memiliki naskah RUU dengan draft jamak, ada yang setebal 1035/905/812 halaman, atau mungkin versi lainnya. Yang dijadikan acuan oleh Presiden waktu itu yang mana? Menjadi sesuatu yang sangat janggal ketika parlemen telah menyetujui UU tersebut, tapi naskah resminya lama kunjung dirilis. Hingga timbul pertanyaan, apakah DPR menyetujui kertas (naskah) ‘kosong’?
Barulah pada Selasa (13/10/2020), lebih dari seminggu setelah UU itu disetujui, naskah ‘kosong’ itu terisi. Dibandingkan dengan versi sebelumnya, ada yang mengatakan bahwa ada perubahan dan ada juga yang tidak. Perubahan tentu saja ada, bukan hanya jumlah halamannya tapi juga isi dari naskah tersebut, namun substansinya masih sama.
Ada 81 undang-undang, sebagaimana tercantum dalam naskah akademik setebal 2276 halaman itu (lih. hal. 134-139), yang kemudian terakhir menjadi 79, ditata ulang (dihapus dan/atau diganti) dan dilebur dalam sebelas klaster. Karena keterbatasan ruang, maka 79 undang-undang yang penting dibahas satu persatu tersebut tidak bisa dicantumkan. Melihat dari muatan materi yang begitu banyak, tentunya membutuhkan lebih banyak stakeholders (pihak-pihak terkait) juga, namun pengerjaannya terbilang ‘ngebut’ membuat publik curiga mengenai kepentingan yang ada di baliknya. Lain cerita dengan RUU lainnya yang dipersiapkan telah bertahun-tahun lamanya, yang justru bisa jadi lebih dibutuhkan oleh rakyat luas, namun tidak kunjung direstui. Apakah ada pembedaan antara RUU ‘air mata’ dan ‘mata air’? Kalaulah permasalahan utamanya dikarenakan sulitnya investasi karena birokrasi yang berbelit-belit, kenapa tidak birokrasinya saja yang kemudian dibenahi? Sehingga pada akhirnya UU yang dihasilkan terkesan ‘ugal-ugalan’.
Bila ditelusuri kembali, hal ini merupakan buntut dari kekecewaan Jokowi tahun lalu (4/9/2019). Para investor asing, kata dia, justru lari ke negara-negara tetangga, seperti Vietnam, Malaysia, Kamboja, dan Thailand. Ia mencontohkan beberapa waktu lalu 33 perusahaan asal Tiongkok memutuskan untuk menanamkan investasi di luar negeri. Namun dari 33 perusahaan itu, tidak ada yang menengok Indonesia. Oleh karena itu, Jokowi menginstruksikan jajarannya yang berkaitan dengan ekonomi mulai menginventarisir regulasi-regulasi yang menghambat. Jokowi meminta para menteri/kepala lembaga memberi pelayanan terbaik kepada investor. “Menteri-menteri tolong dilayani dengan baik-baik. Dampingi mereka sampai terealisasi. Kita ini jangan kayak pejabat, minta dilayani, (tapi) kita yang melayani,” kata Jokowi (Kompas.com).
Maka bisa dipahami bahwa ‘illat l-hukmi (alasan) hadirnya UU Cipta Kerja ialah untuk melayani para investor. Sebenarnya siapa yang melayani dan yang dilayani? Semoga bukan rakyat yang harus melayani. Apalagi jika nantinya negara tidak lagi untuk rakyat, tapi rakyat untuk negara -lebih spesifiknya penguasa. Bukan lagi dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Tapi dari rakyat, oleh penguasa, untuk pengusaha. Kalau demikian halnya, maka UU yang dimaksud tidak hanya cacat formil dan materil, tapi juga cacat moral dan mental.
Ternyata UU ini disoroti pula oleh investor global. Seperti dilansir dari Reuters, Selasa (6/10/2020), ada 35 investor yang mengungkapkan keprihatinan mereka lewat sebuah surat terbuka yang ditujukan ke pemerintah Indonesia. “Meskipun kami menyadari perlunya reformasi hukum bisnis di Indonesia, kami memiliki kekhawatiran tentang dampak negatif dari langkah-langkah perlindungan lingkungan yang dipengaruhi oleh Omnibus Law Cipta Kerja,” kata Peter van der Werf, perwakilan dari Robeco, dalam keterangannya.
Di sisi lain, serikat buruh internasional, Council of Global Union, pun menyoroti UU Cipta Kerja. Mereka juga menyurati Jokowi soal kekhawatirannya terhadap UU ini. Surat itu ditujukan kepada Presiden Joko Widodo dan ditandatangani oleh sederet pentolan serikat pekerja internasional. Dalam surat itu, mereka meminta pemerintah Jokowi mencabut UU Omnibus Law Cipta Kerja. Mereka juga meminta pemerintah memastikan undang-undang apa pun yang akan disahkan tidak mengurangi hak dan manfaat pekerja. Hak manfaat yang dimaksud adalah yang dijamin di dalam UU 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, serta standar ketenagakerjaan internasional. Mereka juga meminta pemerintah menegosiasikan ulang dan membuka dialog konstruktif dengan serikat pekerja dalam membentuk semua aturan ketenagakerjaan (Finance.detik.com).
Memang ironis. UU yang digadang-gadang dapat menarik banyak investor ternyata berbalik mengkritik. Terlebih ketika kampanye untuk bersatu agar membuat Indonesia bangkit dari keterpurukan pandemi hari ini, terlebih Indonesia yang telah memasuki fase resesi, malah memancing friksi (perpecahan). Apalagi kalau kemudian eskalasi konfrontasi dari demonstrasi makin menjadi, adakah Indonesia menjadi pilihan yang tepat untuk berivestasi?
Investasi Nurani
مَنْ سَنَّ في الإسلامِ سنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أجْرُهَا، وَأجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ، مِنْ غَيرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورهمْ شَيءٌ، وَمَنْ سَنَّ في الإسْلامِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيهِ وِزْرُهَا، وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ، مِنْ غَيرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أوْزَارِهمْ شَيءٌ
“Barangsiapa yang memulai membuat sunnah dalam Islam berupa amalan yang baik (sunnah hasanah), maka ia memperoleh pahalanya diri sendiri dan juga pahala orang yang mengerjakan itu sesudah -sepeninggalnya – tanpa dikurangi sedikitpun dari pahala-pahala mereka yang mencontohnya itu. Dan barangsiapa yang memulai membuat sunnah dalam Islam berupa amalan yang buruk (sunnah sayyiah), maka ia memperoleh dosanya diri sendiri dan juga dosa orang yang mengerjakan itu sesudahnya -sepeninggalnya- tanpa dikurangi sedikitpun dari dosa-dosa mereka yang mencontohnya itu.” (H.R. Muslim, Bab l-Hatstsi ‘ala s-Shadaqah wa law bi Syiqqi Tamrah).
Hadits di atas merupakan penggalan dari redaksi yang menceritakan kedatangan suku Mudlar ke Madinah. Datang dengan kondisi yang memprihatikan membuat hati Rasulullah shalla-Llahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat pada saat itu terenyuh melihatnya. Sehingga beliau naik ke mimbar dan berkhutbah dengan membacakan Q.S. an-Nisa’ [4]: 1 dan Q.S. al-Hasyr [59]: 18. Dibangun atas kesadaran bahwa seluruh manusia adalah sama, dari jiwa yang sama. Sudah sepantasnya menyambungkan kekerabatan (shilaturrahim). Hal itu menggerak-kan para sahabat untuk memberikan apa yang mereka miliki. Dari yang mulai terpogoh-pogoh memberikan sekarung makanan, yang hampir tidak terpikul, sampai yang hanya mampu memberikan segenggam saja. Hal itu pada hakikatnya tidak mengecilkan nilai investasi mereka di akhirat kelak. Apalagi kalau investasi itu dikategorikan sebagai investasi sunnah hasanah.
Ini menggambarkan dengan jelas kepada kita semua betapa besar empati dari Rasulullah shalla-Llahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat radhiya-Llahu ‘anhum. Kepedulian seolah merasakan keprihatinan yang sama terhadap orang-orang pinggiran; orang-orang yang kondisi ekonomi, sosial, bahkan politiknya lemah; kaum mustadh’afin. Dalam konteks hari ini, investasi sunnah hasanah itu dapat berwujud UU yang berpihak pada rakyat. Bukan malah berpihak pada korporasi, konglomerasi, atau pun oligarki yang menyengsarakan rakyat. Salah-salah dalam berpihak bisa menjadi investasi sunnah sayyiah.
Kisah lainnya datang dari salah seorang sahabat dari kaum Anshar, menurut penuturan Anas bin Malik radhiya-Llahu ‘anhu. Seorang laki-laki dari kalangan Anshar datang kepada Nabi shalla-Llahu ‘alaihi wa sallam meminta kepada beliau, kemudian beliau bertanya, “Apakah di rumahmu terdapat sesuatu?” Ia berkata; ya, alas pelana yang kami pakai sebagiannya dan kami hamparkan sebagiannya, serta gelas besar yang kami gunakan untuk air minum. Beliau berkata, “Bawalah keduanya kepadaku.”
Anas berkata; kemudian ia membawanya kepada beliau, lalu Rasulullah shalla-Llahu ‘alaihi wa sallam mengambilnya dengan tangan beliau dan berkata, “Siapa yang mau membeli kedua barang ini?” Seorang laki-laki berkata; saya membelinya dengan satu dirham. Beliau berkata, “Siapa yang menambah lebih dari satu dirham?” Beliau mengatakannya dua atau tiga kali. Seorang laki-laki membeli-nya dengan dua dirham. Kemudian beliau memberikannya kepada orang tersebut, dan mengambil uang dua dirham. Beliau memberikan uang tersebut kepada orang Anshar tersebut dan berkata, “Belilah makanan dengan satu dirham kemudian berikan kepada keluargamu, dan belilah kapak kemudian bawalah kepadaku.”
Kemudian orang tersebut membawanya kepada beliau, lalu Rasulullah shalla-Llahu ‘alaihi wa sallam mengikatkan kayu pada kapak tersebut dengan tangannya kemudian berkata kepadanya, “Pergilah kemudian carilah kayu dan juallah. Jangan sampai aku melihatmu selama lima belas hari.” Kemudian orang tersebut pergi dan mencari kayu serta menjualnya, lalu datang dan ia telah memperoleh uang sepuluh dirham. Kemudian membeli pakaian dengan sebagiannya dan makanan dengan sebagiannya. Kemudian Rasulullah shalla-Llahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
هَذَا خَيْرٌ لَكَ مِنْ أَنْ تَجِيءَ وَالْمَسْأَلَةُ نُكْتَةٌ فِي وَجْهِكَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، إِنَّ الْمَسْأَلَةَ لَا تَصْلُحُ إِلَّا لِذِي فَقْرٍ مُدْقِعٍ، أَوْ لِذِي غُرْمٍ مُفْظِعٍ، أَوْ دَمٍ مُوجِعٍ
“Ini lebih baik bagimu daripada sikap meminta-minta yang akan datang sebagai noktah di wajahmu pada hari kiamat. Sesungguhnya sikap meminta-minta tidak layak kecuali kepada tiga orang, yaitu untuk orang fakir dan miskin, atau orang yang memiliki hutang sangat berat, atau orang yang menanggung diyah (sementara ia tidak mampu membayarnya). (H.R. Abu Dawud, Bab Ma Tajuzu fihi l-Mas’alah; Ibnu Majah, Bab Bay’ l-Muzayadah).
Investasi selain memberi bantuan langsung ialah dengan memberi sumber pencaharian. Ada ungkapan, memberi pancing lebih baik dari memberi ikan. Di sini Rasulullah shalla-Llahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kemandirian dengan memberikan pelatihan kerja langsung. Hal ini sengaja dilakukan oleh beliau untuk mendidik umatnya agar mempunyai prinsip: tangan di atas lebih baik dari tangan di bawah.
Terakhir, dari yang bisa ditambahkan dalam kesempatan kali ini, adalah kisah mengenai tiga orang dari kaum Bani Israil yang tercegat hujan lalu berteduh di sebuah gua. Tapi tiba-tiba terdapat batu besar yang menggelinding dari atas sampai menutup rapat mulut gua. Singkat cerita, setelah sudah tidak menemukan lagi cara untuk keluar dari sana kecuali dengan berdoa kepada Allah. Ketiganya kemudian bertawassul dengan amal shaleh (terbaik) yang pernah mereka lakukan sebelumnya. Ringkasnya, orang pertama adalah anak yang berbakti kepada kedua orang tuanya. Ia tidak pernah mendahulukan orang lain, bahkan anak-anaknya sendiri, sebelum orang tuanya meminum susu yang telah ia perah setiap pagi dan sorenya. Atas wasilah tersebut maka batu pun bergeser. Namun belum dapat membuat mereka bisa keluar. Setidaknya mereka bisa menghirup udara dari luar.
Orang kedua, yaitu orang yang sudah mendapatkan kesempatan di depan mata untuk bermaksiat, namun meninggalkannya karena takut kepada Allah. Atas perantara tindakannya itu, batu pun bergeser. Tapi masih belum dapat membuat mereka bisa keluar. Mungkin baru kepalanya saja, tapi tidak dengan badannya. Terakhir, orang ketiga, ialah seorang pengusaha. Bukan sembarang pengusaha. Begini redaksinya
اللَّهُمَّ إِنِّي اسْتَأْجَرْتُ أُجَرَاءَ فَأَعْطَيْتُهُمْ أَجْرَهُمْ غَيْرَ رَجُلٍ وَاحِدٍ تَرَكَ الَّذِي لَهُ وَذَهَبَ فَثَمَّرْتُ أَجْرَهُ حَتَّى كَثُرَتْ مِنْهُ الْأَمْوَالُ، فَجَاءَنِي بَعْدَ حِينٍ، فَقَالَ: يَا عَبْدَ اللَّهِ، أَدِّ إِلَيَّ أَجْرِي، فَقُلْتُ لَهُ: كُلُّ مَا تَرَى مِنْ أَجْرِكَ مِنَ الْإِبِلِ، وَالْبَقَرِ، وَالْغَنَمِ، وَالرَّقِيقِ، فَقَالَ: يَا عَبْدَ اللَّهِ، لَا تَسْتَهْزِئُ بِي، فَقُلْتُ: إِنِّي لَا أَسْتَهْزِئُ بِكَ فَأَخَذَهُ كُلَّهُ، فَاسْتَاقَهُ فَلَمْ يَتْرُكْ مِنْهُ شَيْئًا، اللَّهُمَّ فَإِنْ كُنْتُ فَعَلْتُ ذَلِكَ ابْتِغَاءَ وَجْهِكَ، فَافْرُجْ عَنَّا مَا نَحْنُ فِيهِ، فَانْفَرَجَتِ الصَّخْرَةُ، فَخَرَجُوا يَمْشُونَ
“Ya Allah, saya mengupah beberapa kaum buruh dan semuanya telah kuberikan upahnya masing-masing, kecuali seorang lelaki. Ia meninggalkan upahnya dan terus pergi. Upahnya itu saya perkembangkan sehingga bertambah banyaklah hartanya tadi. Sesudah beberapa waktu, pada suatu hari ia mendatangi saya, kemudian berkata: Hai hamba Allah, tunaikanlah sekarang upahku yang dulu itu. Saya berkata: Semua yang engkau lihat ini adalah berasal dari hasil upahmu itu, baik yang berupa unta, lembu dan kambing dan juga hamba sahaya. Ia berkata: Hai hamba Allah, janganlah engkau memperolok-olokkan aku. Saya menjawab: Saya tidak memperolok-olokkan engkau. Kemudian orang itupun mengambil segala yang dimilikinya. Semua digiring dan tidak seekorpun yang ditinggalkan. Ya Allah, jikalau saya mengerjakan yang sedemikian ini dengan niat mengharapkan keridhaanMu, maka lapangkanlah kita dari kesukaran yang sedang kita hadapi ini.” Batu besar itu lalu membuka lagi dan merekapun keluar dari gua itu (Muttafaq ‘alaih).
Dari kisah ini banyak pelajaran dapat diambil. Tapi dalam konteks ini, investasi nurani yang diberikan oleh ketiga orang ini membuat mereka dapat keluar. Karena semata-mata mengharap wajah Allah, mereka pun bisa keluar dari kesulitan tersebut dengan selamat. Ketiga amalan dari ketiga orang tersebut adalah amalan-amalan terbaik, bahkan termasuk amalan yang sangat sulit. Tapi bukan mustahil.
Tidak menutup kemungkinan pula, bila perilaku dan pola pikir para pengusaha; pemilik berbagai perusahaan; sampai penguasa memperlakukan buruhnya seperti orang ketiga di atas, dapat jadi wasilah untuk keluar dari segala keterpurukan yang dialami negeri ini.
Manusia juga Buruh
Suatu waktu Abu Muslim al-Khaulani, salah seorang ulama dari tabi’in, datang kepada Mu’awiyah bin Abi Sufyan sambil berucap; as-salamu ‘alaika ayyuha l-ajir, keselamatan atasmu wahai buruh. Orang-orang di sana sontak menimpali, ayyuha l-amir, wahai pemimpin. Sampai beliau mengulanginya yang ketiga kali. Mu’awiyah pun berkata, “Biarkanlah Abu Muslim, ia lebih mengetahui apa yang ia katakan.” Abu Muslim berkata, “Sungguh kamu itu seumpama buruh yang dipekerjakan oleh pemilik domba atas ternaknya …” (Ibnu Taimiyah, as-Siyasah s-Syar’iyah fi Ishlah r-Ra’i wa r-Ra’iyah, 2009: 10-11; Abu Nu’aim al-Ashbahani, Hilyah l-Auliya’ wa Thabaqah l-Ashfiya’, 1974: II/125).
Apa yang disebutkan oleh Abu Muslim di atas mengingatkan kita bahwa bukan hanya buruh juga manusia. Tapi manusia pada hakikatnya juga adalah buruh. Jika ia bekerja sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh Sang Pemilik, yang tiada lain adalah Allah subhanahu wa ta’ala, maka ia akan diberi upah. Tapi kalau tidak, ia akan mendapatkan siksa. Tidak peduli apa profesi dan jabatannya, siapa pun dia, Nabi shalla-Llahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan:
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
Masing-masing kamu adalah pemimpin, dan masing-masing kamu akan dimintai pertanggungjawaban terhadap apa yang dipimpin (Muttafaq ‘alaih).
Wahai buruh-buruh yang ada di istana, di parlemen, atau di mana pun itu, bertakwalah kepada Allah dan berlaku adillah! Perhatikan nasib buruh-buruh yang lain!
Hayatul Fauji, buruh yang terkena PHK