عَنِ النَّوَّاسِ بْنِ سِمْعَانَ الْأَنْصَارِيِّ، قَالَ: سَأَلْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، عَنِ الْبِرِّ وَالْإِثْمِ فَقَالَ: «الْبِرُّ حُسْنُ الْخُلُقِ، وَالْإِثْمُ مَا حَاكَ فِي صَدْرِكَ، وَكَرِهْتَ أَنْ يَطَّلِعَ عَلَيْهِ النَّاسُ» رواه مسلم
Dari Nawwas bin Sam’an al-Anshari radhiya-‘Llahu ‘anhu, dia berkata, “Saya pernah bertanya kepada Rasulullah shalla-‘Llahu ‘alaihi wa sallam tentang al-Birru dan al-Itsmu, maka Rasulullah shalla-‘Llahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Al-Birru itu adalah akhlaq yang baik sedangkan al-Itsmu itu adalah sesuatu yang membimbangkan hatimu dan kamu merasa benci jika orang lain mengetahuinya.” (H.R. Muslim, nomor 2.553)
Antara kebaikan dan keburukan memiliki karakteristik yang berbeda di antara keduanya. Kebaikan selalu memberikan ketenangan, kenyamanan, dan ketentraman bagi pelakunya. Sedangkan keburukan selalu memberikan ketakutan, kegundahan, dan kekhawatiran bagi pelakunya. Dan yang dapat membedakan kedua karakteristik tersebut adalah keimanan seseorang.
Makna al-Birru dan al-Istmu
Al-Birru yang sering diterjemahkan dengan arti kebaikan, ternyata memiliki makna filosofis di balik kata tersebut. Ar-Raghib misalnya berpendapat bahwa al-birru berasal dari kata al-barru yang bermakna daratan yang seolah-olah menggambarkan betapa luasnya daratan tersebut. Darinyalah muncul kata al-birru yang kemudian diartikan dengan kebaikan yang luas. (Mu’jam Mufradat al-Fadzil-Qur’an, 2008: 50)
Ibnu Hajar sendiri berpendapat bahwa al-birru adalah sebuah istilah untuk menunjukan berbagai macam kebaikan yang senantiasa didasari dengan keikhlasan. (Fathul Bari, Juz 10, hal. 572)
Sedangkan Ibnu Rajab berpendapat bahwa al-birru adalah semua jenis ketaatan; baik yang bathin atau pun yang zhahir. Ketaatan yang bathin di antaranya adalah beriman kepada Allah, malaikat, kitab-kitab-Nya, dan kepada para rasul-Nya. Sedangkan ketaatan yang zhahir di antaranya adalah menginfakkan harta di jalan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, menepati janji, bersabar atas takdir Allah, seperti ditimpa sakit, kefakiran, dan bersabar ketika bertemu dengan musuh (Taudhîhul Ahkâm min Bulûghil Marâm, Abdullah bin Abdurrahman al-Bassâm, jilid 7, hal. 289).
Berkenaan dengan itu pula Imam Nawawi berpendapat sebagai berikut:
قَالَ الْعُلَمَاء : الْبِرّ يَكُون بِمَعْنَى الصِّلَة ، وَبِمَعْنَى اللُّطْف وَالْمَبَرَّة وَحُسْن الصُّحْبَة وَالْعِشْرَة ، وَبِمَعْنَى الطَّاعَة ، وَهَذِهِ الْأُمُور هِيَ مَجَامِع الْخُلُق.
Para ulama berpendapat bahwa al-birru itu bisa berarti menyambungkan tali shilaturrahim, suka berbelas kasih terhadap sesama, terdorong untuk bebuat baik, berbuat baik dalam persahabatan dan pergaulan dengan sesama, dan al-birru juga bisa berarti seluruh bentuk ketaatan. Dan semua itu hanya terkumpul pada akhlak yang baik. (Syarhu Annawawi ‘ala Muslim, hal. 1.534)
Seluruh penjelasan para ulama terkait makna al-birru, dengan singkat, padat, dan jelas Nabi saw menyimpulkanna dengan arti akhlak yang baik (hunsul-khuluqi).
Adapun kata al-itsmu, menurut ar-Raghib, mengandung arti aktifitas-aktifitas yang dapat menghambat dari amal kebaikan. Sedangkan menurut Al-Bassam, al-itsmu adalah segala bentuk kemaksiatan dan dosa, baik yang berhubungan dengan Allah swt maupun yang berhubungan dengan sesama manusia. (Taudhihul Ahkam min Bulughil Maram, jilid 7, hal. 291).
Karakteristik Kebaikan dan Keburukan
Antara kebaikan dan keburukan memiliki karakteristik yang berbeda di antara keduanya. Kebaikan selalu memberikan ketenangan, kenyamanan, dan ketentraman bagi pelakunya. Sedangkan keburukan selalu memberikan ketakutan, kegundahan, dan kekhawatiran bagi pelakunya. Oleh karenanya ketika Nabi saw ditanya tentang apa itu dosa, maka Nabi saw tidak menyebutkan jenisnya tapi menjelaskan tentang karakteristiknya.
Oleh karena kebaikan selalu memberikan ketenangan, kenyamanan, dan kententraman pada hati, maka Nabi saw senantiasa memberikan teladan baik untuk kemudian dicontoh dan diikuti oleh umatnya. Bahkan al-Qur’an sendiri yang menyatakan bahwa di dalam diri Nabi saw terdapat akhlak yang baik yang mesti diikuti.
وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ
“Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang luhur.” (Q.S. Al-Qalam: 4)
Demikian halnya juga dengan ‘Aisyah, saat ditanya tentang bagaimana akhlak Nabi saw, ia menjawab, “Akhlak beliau adalah al-Qur’an.”
Di samping itu, Nabi saw memberikan karakteristik al-birru (kebaikan), di antaranya adalah senantiasa bersikap jujur. Hal ini sebagaimana Nabi saw utarakan sendiri lewat sabdanya.
عَنْ عَبْدِ اللهِ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ، فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِي إِلَى الْبِرِّ، وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِي إِلَى الْجَنَّةِ، وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللهِ صِدِّيقًا، وَإِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ، فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِي إِلَى الْفُجُورِ، وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِي إِلَى النَّارِ، وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَكْذِبُ وَيَتَحَرَّى الْكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللهِ كَذَّابًا» (رواه المسلم)
“Dari Ibnu Mas’ud radhiya-Llahu ‘anhu bahwa Rasulullah shalla-Llahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hendaklah kalian selalu melakukan kejujuran karena kejujuran akan menuntun kepada kebaikan dan kebaikan itu akan menuntun ke surga. Jika seseorang selalu berbuat jujur dan berantusian untuk berbuat jujur, maka ia akan ditulis di sisi Allah sebagai orang yang jujur. Jauhkanlah dirimu dari bohong karena bohong akan menuntun kepada kedurhakaan dan durhaka itu menuntun ke neraka. Jika seseorang selalu bohong dan berantusian untuk kebohongan, maka ia akan ditulis di sisi Allah sebagai seorang pembohong.” (H.R. Muslim, nomor 2.607)
Selain itu juga, berbuat ihsan kepada kedua orang tua merupakan karakteristik dari al-birru (kebaikan). Allah swt berfirman:
وَقَضَى رَبُّكَ أَلا تَعْبُدُوا إِلا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلاهُمَا فَلا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلا كَرِيمًا
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’ dan janganlah kamu membentak mereka, dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” (Q.S. Al-Isra: 23)
Manurut Ahmad al-Hajazi dalam Syarah Arba’innya, bahwa yang dimaksud ihsan pada ayat di atas adalah al-birru itu sendiri. Hal ini berdasarkan pada hadits Nabi saw yang menggunakan lafadz al-birru saat menjelaskan tentang berbuat baik kepada kedua orangtua.
عن عَبْد اللَّهِ بْنُ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَيُّ العَمَلِ أَفْضَلُ؟ قَالَ: «الصَّلاَةُ عَلَى مِيقَاتِهَا»، قُلْتُ: ثُمَّ أَيٌّ؟ قَالَ: «ثُمَّ بِرُّ الوَالِدَيْنِ»، قُلْتُ: ثُمَّ أَيٌّ؟ قَالَ: «الجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ» (رواه البخاري)
“Dari Abdullah bin Mas’ud semoga Allah meridhai kepadanya, “Saya pernah bertanya kepada Rasulullah shalla-‘Llahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, amal apa yang paling utama? Rasulullah menjawab, “Shalat di awal waktu.” Saya bertanya lagi, “Kemudian apa lagi?” Beliau menjawab, “Berbuat baik kepada orangtua.” Saya bertanya lagi, “Kemudian apa lagi?” Beliau menjawab, “Jihad di jalan Allah.” (H.R. Bukhari no. 2.782)
Selain kejujuran dan berbuat baik kepada orangtua, al-Qur’an juga menjelaskan tentang karakteristik al-birru sebagai berikut:
لَيْسَ الْبِرَّ أَنْ تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَالْمَلائِكَةِ وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّينَ وَآتَى الْمَالَ عَلَى حُبِّهِ ذَوِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَالسَّائِلِينَ وَفِي الرِّقَابِ وَأَقَامَ الصَّلاةَ وَآتَى الزَّكَاةَ وَالْمُوفُونَ بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَاهَدُوا وَالصَّابِرِينَ فِي الْبَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ وَحِينَ الْبَأْسِ أُولَئِكَ الَّذِينَ صَدَقُوا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ (١٧٧)
“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah kebajikan orang yang beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi, dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan), dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan salat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji; dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan, dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya), dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al–Baqarah: 177)
Karakteristik kebaikan sebagaimana yang dijelaskan di atas, bertolak belakang dengan karakteristik keburukan. Jika kebaikan selalu memberikan ketenangan, kenyamanan, dan ketentraman dalam hati, sebaliknya dengan keburukan, ia selalu memberikan ketakukan, kegundahan, dan kekhawatiran. Oleh karenanya Nabi saw menyebutkan dua karakteristik keburukan (al-itsmu). Pertama, hatinya selalu penuh dengan ketakutan dan kekhawatiran. Kedua, perbuatannya selalu tidak ingin diketahui oleh orang lain. Karakteristik dari keburukan (al-itsmu) seperti itu, Nabi saw jelaskan sendiri melalui sabdanya. Berikut redaksi lengkapnya:
عَنْ أَبِي أُمَامَةَ، أَنَّ رَجُلًا سَأَلَ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَا الْإِيمَانُ؟ قَالَ: ” إِذَا سَرَّتْكَ حَسَنَتُكَ، وَسَاءَتْكَ سَيِّئَتُكَ فَأَنْتَ مُؤْمِنٌ “. قَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ، فَمَا الْإِثْمُ؟ قَالَ: ” إِذَا حَاكَ فِي نَفْسِكَ شَيْءٌ فَدَعْهُ. رواه أحمد.
“Dari Abu Umamah semoga Allah meridhai kepadanya, ia berkata, “ Ada seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah saw, “Apa itu iman?” beliau menjawab, “Jika kebaikan menjadikanmu gembira dan kejelekanmu menjadikanmu gelisah, maka kamu berarti orang yang beriman.” Kemudian ia bertanya lagi, “Wahai Rasulullah, apa yang dimaksud dengan dosa? maka beliau menjawab, “Dosa ialah apabila ada sesuatu yang membuat hatimu bimbang, maka tinggalkanlah.” (H.R. Ahmad no. 22.166)
Hadits di atas pula memberikan informasi bahwa hanya orang yang beriman yang dapat membedakan antara karakteristik kebaikan dan keburukan. Karena bagi orang yang tidak beriman, tidak ada pengaruhnya kebaikan dan keburukan yang mereka lakukan di dalam hati mereka. Terkecuali hidayah Allah telah diberikan kepadanya. WaLlahu A’lam