اذْهَبَا إِلَى فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَى٤٣ فَقُولَا لَهُ قَوْلًا لَيِّنًا لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى٤٤
Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas. “Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut”. (QS. Thaha [20] : 43-44).
Al-Hafizh Ibn Katsir dalam kitab tafsirnya menyebutkan bahwa ayat di atas mengandung ‘ibrah ‘azhimah; pelajaran yang agung. Meskipun Fir’aun seorang pemimpin yang paling sombong dan Musa as adalah manusia pilihan Allah swt yang istimewa, tetapi beliau tetap diperintah untuk berkata kepada Fir’aun dengan perkataan yang lembut, bukan dengan perkataan yang kasar, apalagi disertai sikap yang kasar. Sekejam-kejamnya Fir’aun tetap masih memiliki potensi untuk ingat dan takut, karena ia juga manusia biasa. Potensi ini jangan dihilangkan begitu saja akibat asumsi negatif yang sudah timbul sebelumnya. Manusia tidak berhak mendahului menghakimi tanpa mencoba terlebih dahulu. Maka dari itu langkah sesuai syari’atnya harus ditempuh terlebih dahulu, yakni berkata baik dan lembut, meski asumsi awal sudah mengatakan bahwa ia pasti akan membalasnya dengan keangkuhan dan kesombongan.
Imam al-Hasan al-Bashri menjelaskan, sebagaimana dikutip al-Hafizh Ibn Katsir dalam kitab tafsirnya, bahwa Nabi Musa dan Harun tetap dituntut untuk berkata baik dan jangan memvonis celaka atau binasa. Kebinasaan itu hanya Allah swt yang berhak menurunkannya, dan itu akan ada ketika Allah swt sudah mempunyai alasan untuk itu. Jika Fir’aun belum pernah diseru dengan lembut maka Allah swt belum mempunyai alasan yang cukup untuk membinasakan Fir’aun.
Mengenai perkataan yang lembut itu sendiri ada beberapa penjelasan dari para ulama tafsir salaf, yaitu: mengatakan dengan terus terang bahwa Nabi Musa lebih terbuka untuk memohonkan maaf daripada memohonkan siksa; mengajarkan la ilaha illal-‘Llah dengan lembut; menerangkan bahwa Fir’aun mempunyai Rabb dan akan kembali kepada-Nya kemudian dihadapkan pada pilihan surga dan neraka; dan memanggil dengan menisbatkan pada ayah atau ibunya. Dari kesemua uraian tersebut, al-Hafizh Ibn Katsir menyimpulkan bahwa intinya qaulan layyinan itu adalah perkataan yang lembut, mendekatkan, dan memudahkan agar lebih mengena di jiwa dan berbekas di hati. Hal ini sebagaimana dituntunkan Allah swt dalam firman-Nya: “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.” (QS. An-Nahl [16] : 125).
Demikianlah tuntunan Allah swt untuk umat, khususnya para da’i, dalam menghadapi pemimpin zhalim seperti Fir’aun. Bahkan jika hendak diperbandingkan, Fir’aun sebagai pemimpin yang sampai mengaku sebagai Tuhan saja harus tetap dihadapi dengan lembut, maka apalagi pemimpin-pemimpin muslim di berbagai Negara saat ini yang tidak sampai kafir apalagi mengaku sebagai Tuhan, tentu harus lebih diperhatikan lagi untuk dihadapi dengan perkataan yang lembut.