وَعَنْ أَنَسٍ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: لَا يُرَدُّ الدُّعَاءُ بَيْنَ الْأَذَانِ وَالْإِقَامَةِ. رَوَاهُ النَّسَائِيُّ وَصَحَّحَهُ ابْنُ خُزَيْمَةَ
Dari Anas—semoga Allah meridlainya—ia berkata: Rasulullah—semoga shalawat dan salam tercurah untuknya—bersabda: “Tidak akan ditolak do’a antara adzan dan iqamat.” An-Nasa`i meriwayatkannya dan Ibn Khuzaimah menshahihkannya.
Tautsiq Hadits
Al-Hafizh Ibn Hajar menuliskan hadits di atas dalam Bulughul-Maram pada dua bab yakni bab adzan dan bab dzikir dan do’a di bagian akhir. Pada bab dzikir dan do’a al-Hafizh menyebutkan hadits Anas di atas diriwayatkan oleh an-Nasa`i dan lainnya dan dishahihkan oleh Ibn Hibban dan lainnya. Berikut data lengkapnya:
Musnad Ahmad bab musnad Anas ibn Malik no. 12200, 12584, 13668.
Sunan Abi Dawud bab ma ja`a fid-du’a bainal-adzan wal-iqamah no. 512.
Sunan at-Tirmidzi bab ma ja`a fi annad-du’a la yuraddu bainal-adzan wal-iqamah no. 212.
As-Sunanul-Kubra an-Nasa`i bab at-targhib fid-du’a bainal-adzan wal-iqamah no. 9812-9816.
As-Sunanul-Kubra al-Baihaqi bab ad-du’a bainal-adzan wal-iqamah no. 1937.
Shahih Ibn Khuzaimah bab istihbabid-du’a bainal-adzan wal-iqamah no. 425-426.
Shahih Ibn Hibban bab istihbabil-iktsar minad-du’a bainal-adzan wal-iqamah no. 1696.
Syarah Hadits
Hadits ini mengajarkan agar jeda antara adzan dan iqamat dimanfaatkan untuk berdo’a karena itu adalah saat ijabah do’a. Ini juga menunjukkan agar sesudah adzan selesai tidak langsung disambung dengan iqamat, melainkan ada jeda sejenak untuk memberikan waktu kepada yang akan berdo’a. Do’a antara adzan dan iqamat ini lebih dianjurkan lagi dipanjatkan dalam shalat karena Nabi saw menganjurkan agar antara adzan dan iqamat diamalkan shalat sunat, sebagaimana sudah dibahas dalam syarah hadits sebelumnya (Shahih al-Bukhari kitab al-adzan bab kam bainal-adzan wal-iqamah no. 624). Ini berlaku untuk semua adzan, bukan hanya shubuh dan zhuhur saja. Bilal ra sendiri sebagai muadzdzin tetap di zaman Rasulullah saw mengakui bahwa ia selalu menyempatkan shalat dua raka’at sesudah adzan sebelum iqamat (Sunan at-Tirmidzi abwab al-manaqib bab manaqib ‘Umar ibn al-Khaththab no. 3689).
Jaminan ijabah do’a ini tentunya berlaku sebagaimana dijelaskan dalam hadits-hadits umum tentang berdo’a yakni bukan do’a untuk sesuatu yang berdosa, memutuskan silaturahmi, dan tidak dengan isti’jal; menuntut untuk diijabah segera, sehingga ketika tidak kunjung diijabah do’a pun dihentikan (Shahih Muslim bab bayan annahu yustajabu lid-da’i ma lam ya’jal no. 7112). Ijabah do’a ini berlaku bagi mereka yang beriman dan memenuhi syari’at Allah swt (QS. Al-Baqarah [2] : 186), serta tidak mengkonsumsi atau memakai barang-barang yang haram (Shahih Muslim kitab az-zakat bab qabulis-shadaqah minal-kasbit-thayyib wa tarbiyatiha no. 2393). Ijabah do’a yang dimaksud juga bisa disegerakan, bisa ditangguhkan sampai akhirat, atau bisa juga diganti dengan yang sebanding (Musnad Ahmad bab hadits Abu Sa’id no. 11159).
Do’a-do’a yang dipanjatkan bisa do’a-do’a umum untuk keselamatan dunia dan akhirat atau do’a-do’a khusus sebagaimana akan dituliskan dalam syarah hadits berikutnya.
وَعَنْ جَابِرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ قَالَ: مَنْ قَالَ حِينَ يَسْمَعُ النِّدَاءَ: اللَّهُمَّ رَبَّ هَذِهِ الدَّعْوَةِ التَّامَّةِ وَالصَّلَاةِ الْقَائِمَةِ آتِ مُحَمَّدًا الْوَسِيلَةَ وَالْفَضِيلَةَ وَابْعَثْهُ مَقَامًا مَحْمُودًا الَّذِي وَعَدْتَهُ حَلَّتْ لَهُ شَفَاعَتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ. أَخْرَجَهُ الْأَرْبَعَةُ
Dari Jabir ibn ‘Abdillah—semoga Allah meridlainya—bahwasanya Rasulullah—shalawat dan salam senantiasa tercurah untuknya—bersabda: “Siapa yang ketika mendengar adzan (telah selesai) berdo’a: ALLAHUMMA…WA’ADTAHU (Ya Allah Tuhan panggilan yang sempurna dan shalat yang ditegakkan ini berilah Nabi Muhammad wasilah dan keutamaan, dan bangkitkanlah beliau dalam tempat yang terpuji seperti yang telah Engkau janjikan) maka dia akan memperoleh syafa’at dariku pada hari Kiamat.”
Tautsiq Hadits
Meski al-Hafizh Ibn Hajar dalam Bulughul-Maram hanya menyebutkan Empat Imam yang meriwayatkan hadits di atas, nyatanya Imam al-Bukhari juga meriwayatkannya dalam Shahih al-Bukhari kitab al-adzan bab ad-du’a ‘indan-nida` no. 614 dan bab qaulihi ‘asa an yab’atsaka Rabbuka maqaman mahmudan no. 4719. Sementara Empat Imam yang meriwayatkan hadits di atas menuliskannya dalam kitabnya masing-masing, yaitu: (1) Sunan Abi Dawud bab ma ja`a fid-du’a ‘indal-adzan no. 529, (2) Sunan at-Tirmidzi bab ma yaqulu idza adzdzanal-muadzdzin no. 211, (3) Sunan an-Nasa`i bab ad-du’a ‘indal-adzan no. 680, (4) Sunan Ibn Majah bab ma yuqalu idza adzdzanal-muadzdzin no. 722.
Dalam riwayat al-Baihaqi do’a di atas ada tambahan di akhirnya:
إِنَّك َلَا تُخْلِفُ الْمِيْعَاد
Sesungguhnya Engkau tidak akan menyalahi janji (as-Sunanul-Kubra al-Baihaqi bab )
Akan tetapi menurut Syaikh al-Albani tambahan ini syadz (dla’if) karena dari semua jalur periwayatan ‘Ali ibn ‘Ayyasy hanya ditemukan pada riwayat al-Kusymihani saja, sementara dalam riwayat lainnya tidak ada. Artinya bertentangan dengan sanad-sanad lain yang lebih shahih, dan ini termasuk kriteria dla’if (Irwa`ul-Ghalil no. 243).
Demikian juga dengan tambahan lafazh “wad-darajatir-rafi’ah” di tengah atau “ya arhamar-rahimin” di akhirnya yang diriwayatkan Ibnus-Sunni. Mengutip penjelasan al-Hafizh dalam at-Talkhishul-Kabir dan as-Sakhawi dalam al-Maqashid, Syaikh al-Albani memastikan bahwa tambahan-tambahan lafazh tersebut statusnya syadz atau dla’if.
Syarah Hadits
Dalam hadits ‘Abdullah ibn ‘Amr ra dijelaskan bahwa do’a memohon wasilah dan fadlilah untuk Nabi saw di atas dipanjatkan sesudah bershalawat kepada Nabi saw:
إِذَا سَمِعْتُمُ الْمُؤَذِّنَ فَقُولُوا مِثْلَ مَا يَقُولُ ثُمَّ صَلُّوا عَلَىَّ فَإِنَّهُ مَنْ صَلَّى عَلَىَّ صَلاَةً صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ بِهَا عَشْرًا ثُمَّ سَلُوا اللَّهَ لِىَ الْوَسِيلَةَ فَإِنَّهَا مَنْزِلَةٌ فِى الْجَنَّةِ لاَ تَنْبَغِى إِلاَّ لِعَبْدٍ مِنْ عِبَادِ اللَّهِ وَأَرْجُو أَنْ أَكُونَ أَنَا هُوَ فَمَنْ سَأَلَ لِىَ الْوَسِيلَةَ حَلَّتْ لَهُ الشَّفَاعَةُ
Apabila kalian mendengar muadzdzin adzan maka ucapkanlah seperti apa yang diucapkan muadzdzin. Kemudian bershalawatlah untukku (tanpa dikeraskan), karena siapa yang bershalawat untukku satu kali niscaya Allah akan bershalawat untuknya sepuluh kali. Kemudian mintakanlah untukku wasilah (berdo’a Allahumma rabba hadzihid-da’watit-tammah…), karena dia merupakan satu tempat di surga yang tidak layak diberikan kecuali kepada seorang hamba yang istimewa, dan aku berharap akulah hamba itu. Maka siapa yang memintakan wasilah untukku ia pasti akan mendapatkan syafa’at.” (Shahih Muslim kitab as-shalat bab istihbabil-qaul mitsla qaulil-muadzdzin liman sami’ahu no. 875)
Imam Ibnul-Qayyim al-Jauziyyah dalam Zadul-Ma’ad menjelaskan bahwa shalawat terbaik yang dipanjatkan setelah adzan tentunya adalah yang Nabi saw ajarkan langsung, yakni yang biasa dibaca dalam duduk tasyahhud (fashal adz-dzikr ‘indal-adzan wa ba’dahu). Meski demikian, karena Nabi saw sendiri tidak membatasi shalawat di atas dalam satu teks bacaan tertentu maka hukumnya berlaku umum untuk semua jenis bacaan shalawat, termasuk sebatas mengucapkan Allahumma shalli ‘ala Muhammad (Syarah Riyadlus-Shalihin lil-‘Utsaimin bab fadlil-adzan). Berdasarkan hadits ‘Abdullah ibn ‘Amr ra di atas shalawat ini dibaca langsung sesudah adzan dan sebelum do’a memohon wasilah sebagaimana diriwayatkan Jabir ra di atas.
Shalawat yang dimaksud hadits di atas sama dengan do’a-do’a ba’da adzan lainnya, tidak perlu dikumandangkan keras-keras apalagi sampai dilantunkan, karena semua itu tidak ada contohnya dari Nabi saw dan para shahabat. Yang pertama kali mengadakannya adalah al-Malikus-Shalih Najmuddin ibn Yusuf di akhir abad ke-6 H (Ta’liq Bulughul-Maram yang ditulis oleh al-Qafi).
Syafa’at yang dimaksud Nabi saw di atas intinya adalah keselamatan di akhirat melalui pertolongan Nabi saw. Syafa’at itu sendiri sebagaimana dijelaskan dalam hadits-hadits syafa’at bentuknya beragam: memasukkan ke surga langsung tanpa hisab, memasukkan ke surga setelah dihisab, menyelamatkan di jembatan shirath meski sudah tercabik-cabik oleh besi tajamnya, menaikkan derajat di surga, atau mengeluarkan orang yang sudah di neraka dan memindahkannya ke surga. Syafa’at yang kelak diberikan oleh Nabi saw untuk orang yang rutin bershalawat dan memohonkan wasilah untuknya setelah adzan tergantung pada kualitas amal secara keseluruhan dari masing-masing orangnya.
Selain shalawat dan do’a memohon wasilah, Nabi saw juga mengajarkan dzikir/do’a lain setelah adzan, yaitu:
مَنْ قَالَ حِينَ يَسْمَعُ الْمُؤَذِّنَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ رَضِيتُ بِاللَّهِ رَبًّا وَبِمُحَمَّدٍ رَسُولاً وَبِالإِسْلاَمِ دِينًا. غُفِرَ لَهُ ذَنْبُهُ.
Siapa yang mengucapkan ketika selesai mendengar muadzdzin: ASYHADU… DINAN (Aku bersaksi tidak ada tuhan selain Allah yang Esa tidak ada sekutu bagi-Nya dan bahwa Muhammad hamba-Nya dan Rasul-Nya. Aku ridla Allah sebagai Rabb, Muhammad sebagai Rasul, dan Islam sebagai agama), maka akan diampuni dosanya (Shahih Muslim bab istihbabil-qaul mitsla qaulil-muadzdzin liman sami’ahu no. 877. Do’a yang dibaca adalah yang bergaris bawah. Dalam sanad lain kalimat pertamanya: WA ANA ASYHADU…).
اللَّهُمَّ رَبَّ هَذِهِ الدَّعْوَةِ الْمُستَجَابَةِ الْمُستَجَابِ لَهَا، دَعْوَةِ الْحَقِّ وكَلِمَةِ التَّقْوَى، تَوَفَّنِى عَلَيها وأَحْيِنِى عَلَيها، وَاجْعَلْنِى مِنْ صَالِحِ أَهْلِهَا عَمَلًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Ya Allah, Pemilik seruan yang dijabah ini yang diajabah untuknya, seruan haq, kalimat taqwa, wafatkanlah aku atasnya dan hidupkanlah aku atasnya. Jadikanlah aku di antara orang yang shalih amalnya pada hari kiamat (Do’a Ibn ‘Umar ra mauquf dalam as-Sunanul-Kubra al-Baihaqi bab ma yaqulu idza sami’al-iqamah no. 1962. Dikutip juga dan dinyatakan bisa dijadikan hujjah dalam Zadul-Ma’ad dan Subulus-Salam. Syaikh Hallaq menilainya shahih li ghairihi dalam ta’liq Subulus-Salam).
Di samping itu do’a-do’a lain secara umum dengan redaksi do’a tercerah kepada yang berdo’a, sebagaimana diajarkan dalam hadits:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو أَنَّ رَجُلاً قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ الْمُؤَذِّنِينَ يَفْضُلُونَنَا. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قُلْ كَمَا يَقُولُونَ فَإِذَا انْتَهَيْتَ فَسَلْ تُعْطَهْ
Dari ‘Abdullah ibn ‘Amr bahwasanya seseorang berkata: “Wahai Rasulullah sesungguhnya para muadzdzin mengungguli kami jauh (dalam hal pahala).” Rasulullah saw menjawab: “Ucapkanlah sebagaimana yang mereka ucapkan. Ketika selesai adzan maka silahkan memohonlah pasti kamu akan diberi.” (Sunan Abi Dawud bab ma yaqulu idza sami’al-muadzdzin no. 524).
Wal-‘Llahu a’lam