Pertengahan Januari 2021 silam berita nasional diramaikan dengan protes seorang orangtua non-muslim atas kebijakan sebuah SMKN di Padang yang memanggil putrinya karena tidak mengenakan seragam berjilbab. Patut disyukuri Kepala SMKN yang dimaksud kemudian menyampaikan permohonan maaf atas kekeliruan staf sekolah yang dipimpinnya, khususnya yang terkait bidang kesiswaan dan bimbingan konseling. Sikap cepat tanggap dari seorang pemimpin seperti itu patut diapresiasi oleh semuanya. Kesalahan tidak perlu ditutup-tutupi dengan dalih-dalih yang tidak logis. Cukup diakui saja sudah berbuat salah dan memohon maaf.
Jilbab merupakan pakaian wajib untuk kaum perempuan muslimah yang sudah baligh. Jilbab ini diysari’atkan untuk menjaga kehormatan kaum muslimah dan membedakan mereka dari perempuan-perempuan asusila yang selalu merasa bebas mengekspos aurat mereka (QS. Al-Ahzab [33] : ). Jika kemudian itu diterapkan menjadi peraturan sekolah untuk semua siswa muslimah yang sudah baligh tentu ini memang seharusnya demikian, sebab seorang pemimpin sekolah berkewajiban menegakkan syari’at untuk semua bawahannya. Satu hal saja yang disayangkan, peraturan ini tidak boleh kemudian memaksa mereka yang non-muslim itu ikut syari’at yang terkait individu muslimah. Dalam Islam tidak boleh ada pemaksaan keagamaan kepada mereka yang bukan Islam. La ikraha fid-din. Lakum dinukum wa liya din. Beragama Islam dengan baik dan benar harus jadi pilihan setiap muslim, tetapi tidak perlu sampai tingkat ekstremisme yang tidak dibenarkan oleh syari’at itu sendiri, di antaranya memaksakan syari’at Islam kepada mereka yang non-muslim.
Jika maksud sekolah adalah untuk menjamin keseragaman semua siswa perempuan dalam memakai pakaian yang sopan dan tidak mengekspos aurat, maka cukup dengan aturan agar setiap siswa perempuan tidak memakai pakaian yang pendek, tipis, dan sempit sehingga memperlihatkan lekukan tubuh mereka. Jika sampai jilbab menutup dari bagian kepala, tentu itu akan memberatkan mereka yang beragama kafir.
Akan tetapi pihak yang menentang kebijakan keliru SMKN di Padang tersebut juga tidak sepantasnya terjebak ekstremisme dengan menolak kebijakan pemberlakuan jilbab untuk semua siswa muslimah di sekolah-sekolah negeri. Sebagaimana dijelaskan oleh Walikota Padang, aturan tersebut sudah diberlakukan dari sejak tahun 2005 untuk melindungi kebudayaan perempuan Minang yang mengharuskan memakai pakaian kurung atau jilbab. Agar perempuan Minang tidak tercerabut dari akar budayanya menjadi perempuan-perempuan yang liar dan abai dari norma-norma. Jadi pertimbangannya selain agama juga budaya. Negara sudah menjamin penuh setiap agama untuk menjalankan agamanya sebagaimana mestinya. Apalagi jika kemudian istilah Pancasilais dibawa-bawa untuk mengekang hak umat Islam dalam menjalankan keyakinan agamanya. Jika demikian, maka kelompok ekstrem yang menentang itu sendiri yang tidak Pancasilais.