اعْلَمُوا أَنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَزِينَةٌ وَتَفَاخُرٌ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِي الْأَمْوَالِ وَالْأَوْلَادِ كَمَثَلِ غَيْثٍ أَعْجَبَ الْكُفَّارَ نَبَاتُهُ ثُمَّ يَهِيجُ فَتَرَاهُ مُصْفَرًّا ثُمَّ يَكُونُ حُطَامًا وَفِي الْآخِرَةِ عَذَابٌ شَدِيدٌ وَمَغْفِرَةٌ مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانٌ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ
Ketahuilah bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan senda gurau, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, bagaikan hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu melihat warnanya menjadi kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat nanti ada azab yang keras dan ada ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu. (QS. Al-Hadid [57]: 20)
Terjabak dalam Oase
Sebagaimana yang diterangkan dalam Wikipedia, oasis atau oase adalah suatu daerah yang subur dan terpencil yang berada di tengah gurun, umumnya mengelilingi suatu mata air atau sumber air lainnya dan memiliki beberapa pepohonan di sekitarnya.
Oase juga menjadi lokasi yang penting bagi mobilisasi para kafilah Arab yang melakukan perdangan lintas negara atau bagi Arab nomaden yang mondar mandir ke berbagai daerah karena tak tau arah jalan pulang. Oase menjadi rest area bagi para pejalan kaki atau para pengendara yang tengah melakukan perjalanan yang sangat jauh. Dengan demikian, fungsi oase bisa dikatakan sebagai rest area; titik peristirahatan; dan tempat mengisi kembali perbekalan.
Namun demikian, ada yang terjebak di dalam oase. Mereka yang terjebak di dalam oase itu adalah yang terlena dengan keindahannya, termanjakan dengan sumber daya alamnya, dan bahkan tersibukan dengan mengambil apa-apa yang ada di dalamnya. Padahal oase bukanlah tujuaanya. Oase adalah titik perngistirahatan sejenak.
Orang-orang yang terjebak di dalam oase digambarkan oleh Imam al-Ghazali sebagai berikut:
اعْلَمْ أَنَّ مَثَلَ أَهْلِ الدُّنْيَا فِي غَفْلَتِهِمْ كَمَثَلِ قَوْمٍ رَكِبُوا سَفِينَةً فَانْتَهَوْا إِلَى جَزِيرَةٍ مُعْشِبَةٍ فَخَرَجُوا لِقَضَاءِ الْحَاجَةِ فَحَذَّرَهُمُ الْمَلَّاحُ مِنَ التَّأَخُّرِ فِيهَا وَأَمَرَهُمْ أَنْ يُقِيمُوا بِقَدْرِ حَاجَتِهِمْ وَحَذَّرَهُمْ أَنْ يُقْلِعَ بِالسَّفِينَةِ وَيَتْرُكَهُمْ فَبَادَرَ بَعْضُهُمْ فَرَجَعَ سَرِيعًا فَصَادَفَ أَحْسَنَ الْأَمْكِنَةِ وَأَوْسَعَهَا فَاسْتَقَرَّ فِيهِ وَانْقَسَمَ الْبَاقُونَ فِرَقًا الْأُولَى اسْتَغْرَقَتْ فِي النَّظَرِ إِلَى أَزْهَارِهَا الْمُونِقَةِ وَأَنْهَارِهَا الْمُطَّرِدَةِ وَثِمَارِهَا الطَّيِّبَةِ وَجَوَاهِرِهَا وَمَعَادِنهَا ثُمَّ اسْتَيْقَظَ فَبَادَرَ إِلَى السَّفِينَةِ فَلَقِيَ مَكَانًا دُونَ الْأَوَّلِ فَنَجَا فِي الْجُمْلَةِ الثَّانِيَةُ كَالْأُولَى لَكِنَّهَا أَكَبَّتْ عَلَى تِلْكَ الْجَوَاهِرِ وَالثِّمَارِ وَالْأَزْهَارِ وَلَمْ تَسْمَحْ نَفْسُهُ لِتَرْكِهَا فَحَمَلَ مِنْهَا مَا قَدَرَ عَلَيْهِ فَتَشَاغَلَ بِجَمْعِهِ وَحَمْلِهِ فَوَصَلَ إِلَى السَّفِينَةِ فَوَجَدَ مَكَانًا أَضْيَقَ مِنَ الْأَوَّلِ وَلَمْ تَسْمَحْ نَفْسُهُ بِرَمْيِ مَا اسْتَصْحَبَهُ فَصَارَ مُثْقَلًا بِهِ ثُمَّ لَمْ يَلْبَثْ أَنْ ذَبَلَتِ الْأَزْهَارُ وَيَبِسَتِ الثِّمَارُ وَهَاجَتِ الرِّيَاحُ فَلَمْ يَجِدْ بُدًّا مِنْ إِلْقَاءِ مَا اسْتَصْحَبَهُ حَتَّى نَجَا بِحُشَاشَةِ نَفْسِهِ الثَّالِثَةُ تَوَلَّجَتْ فِي الْغِيَاضِ وَغَفَلَتْ عَنْ وَصِيَّةِ الْمَلَّاحِ ثُمَّ سَمِعُوا نِدَاءَهُ بِالرَّحِيلِ فَمَرَّتْ فَوَجَدَتِ السَّفِينَةَ سَارَتْ فَبَقِيَتْ بِمَا اسْتَصْحَبَتْ فِي الْبَرِّ حَتَّى هَلَكَتْ وَالرَّابِعَةُ اشْتَدَّتْ بِهَا الْغَفْلَةُ عَنْ سَمَاعِ النِّدَاءِ وَسَارَتِ السَّفِينَةُ فَتَقَسَّمُوا فِرَقًا مِنْهُمْ مَنِ افْتَرَسَتْهُ السِّبَاعُ وَمِنْهُمْ مَنْ تَاهَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى هَلَكَ وَمِنْهُمْ مَنْ مَاتَ جُوعًا وَمِنْهُمْ مَنْ نَهَشَتْهُ الْحَيَّاتُ قَالَ فَهَذَا مِثْلُ أَهْلِ الدُّنْيَا فِي اشْتِغَالِهِمْ بِحُظُوظِهِمُ الْعَاجِلَةِ وَغَفْلَتِهِمْ عَنْ عَاقِبَةِ أَمْرِهِمْ ثُمَّ خَتَمَ بِأَنْ قَالَ وَمَا أَقْبَحَ مَنْ يَزْعُمُ أَنَّهُ بَصِيرٌ عَاقِلٌ أَنْ يَغْتَرَّ بِالْأَحْجَارِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْهَشِيمِ مِنَ الْأَزْهَارِ وَالثِّمَارِ وَهُوَ لَا يَصْحَبُهُ شَيْءٌ مِنْ ذَلِكَ بَعْدَ الْمَوْتِ وَالله الْمُسْتَعَان
Ketahuilah bahwa kelalaian penghuni dunia bagaikan para penumpang perahu yang berlayar di laut. Lalu para penumpang itu berhenti di suatu pulau yang berumput. Semua para penumpang pun keluar menuju pulau itu untuk memenuhi kebutuhan mereka. Sedangkan nahkoda mengingatkan mereka agar tidak terlambat kembali ke perahu. Nahkoda pun memerintahkan mereka agar waktu istirahat dipergunakan untuk kebutuhan primer saja serta nahkoda memperingatkan mereka lagi bahwa perahu akan lepas landas dan meninggalkan mereka (jika mereka telat kembali).
Sebagian mereka ada yang bersegera dan cepat-cepat kembali ke perahu lalu mereka menemukan tempat terbaik dan tempat yang luas hingga mereka duduk di tempat itu. Sedangkan penumpang lainnya terbagi kepada beberapa kelompok. Kelompok pertama adalah para penumpang yang termanjakan matanya oleh aneka ragam bunga-bunga yang cantik, sungai-sungai yang mengalir tenang, buah-buahan yang segar, dan permata-permata yang indah. Mereka pun tersadar (bahwa perahu akan lepas landas), lalu mereka segera menuju perahu dan menemukan tempat duduk selain yang ditempati oleh penumpang pertama. Meski demikian, mereka semua berhasil sampai ke perahu.
Kelompok yang kedua sama seperti kelompok yang pertama. Akan tetapi kelompok yang kedua ini malah fokus pada permata-permata, buah-buahan, dan bunga-bunga yang ada di pulau itu. Mereka tak rela jika harus meninggalkan pulau itu tanpa membawa sesuatu. Akhirya mereka sibuk mengumpulkan semua itu dan membawanya ke perahu. Sesampainya mereka ke perahu, mereka mendapati tempat yang lebih sempit daripada tempat yang diduduki oleh penumpang yang kedua. Dan mereka tak mau membuang sebagian yang ada pada mereka, hingga mereka merasa berat dengan barang bawaanya. Kemudian apa yang mereka bawa itu tidak bertahan lama; bunga-bunga menjadi layu; buah-buah menjadi busuk; dan hingga ombak menerpa semua itu. Tidak ada yang terselamatkan dari apa yang mereka bawa kecuali nyawa mereka sendiri.
Kelompok ketiga adalah para penumpang yang tenggelam perhatiaanya pada keindahan pulau itu. Mereka lalai dari peringatan nahkoda. Kemudian mereka mendengar lonceng tanda keberangkatan perahu. Mereka akhirnya mendapat perahu itu sudah lepas landas dan mereka pun tertinggal di pulau itu hingga mereka binasa. Kelompok keempat lebih parah lagi. Mereka benar-benar tidak mendengarkan peringatan nahkoda dan perahu pun benar-benar telah berangkat. Akhirnya semuanya binasa di pulau itu; ada yang binasa karena diterkam binatang; ada yang binasa karena tersesat; ada yang binasa karena kelaparan; dan ada yang binasa karena digigit ular. (Fathul Bari dalam Kitabur Riqaq bab Matsalid Dunya fil Akhirah)
Dunia Panggung Sandiwara
Imam al-Ghazali –sebagaimana yang dikutip oleh Ibnu Hajar- mengakhiri perumpamaan dunia yang ia buat dengan nasihat berikut ini:
فَهَذَا مِثْلُ أَهْلِ الدُّنْيَا فِي اشْتِغَالِهِمْ بِحُظُوظِهِمُ الْعَاجِلَةِ وَغَفْلَتِهِمْ عَنْ عَاقِبَةِ أَمْرِهِمْ … وَمَا أَقْبَحَ مَنْ يَزْعُمُ أَنَّهُ بَصِيرٌ عَاقِلٌ أَنْ يَغْتَرَّ بِالْأَحْجَارِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْهَشِيمِ مِنَ الْأَزْهَارِ وَالثِّمَارِ وَهُوَ لَا يَصْحَبُهُ شَيْءٌ مِنْ ذَلِكَ بَعْدَ الْمَوْتِ وَالله الْمُسْتَعَان
Ini adalah perumpamaan orang yang gila dunia yang disibukan dengan kenikmatan-kenikmatan sesaat dan mereka lupa akibat dari akhir semua itu… alangkah jeleknya orang yang menyangka bahwa dirinya berakal tetapi tertipu oleh batu-batuan sejenis emas dan perak dan oleh rumput-rumputan sejenis bunga dan buah-buahan. Padahal ketika ia mati itu semua tidak akan menemaninya. Dan hanya Allah tempat dimintai pertolongan.
Allah telah mengingatkan bahwa dunia ini hanyalah fatamorgana. Kenikmatannya semu; fana; dan tidak kekal abadi. Anak, istri, kekayaan, jabatan, dan semua yang menghiasi kita pada ujungnya akan kita tinggalkan. Dunia ini hanya senda gurau saja. Hanya sebagai panggung sandiwara. Allah berfirman:
اعْلَمُوا أَنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَزِينَةٌ وَتَفَاخُرٌ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِي الْأَمْوَالِ وَالْأَوْلَادِ كَمَثَلِ غَيْثٍ أَعْجَبَ الْكُفَّارَ نَبَاتُهُ ثُمَّ يَهِيجُ فَتَرَاهُ مُصْفَرًّا ثُمَّ يَكُونُ حُطَامًا وَفِي الْآخِرَةِ عَذَابٌ شَدِيدٌ وَمَغْفِرَةٌ مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانٌ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ
Ketahuilah bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan senda gurau, perhiasan dan bermegah- megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, bagaikan hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu melihat warnanya menjadi kuning kemudian menjadi hancur. dan di akhirat nanti ada azab yang keras dan ada ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu. (QS. Al-Hadid [57]: 20)
Menurut Ibnu Katsir, gambaran dunia yang Allah umpamakan seperti tanaman adalah gambaran manusia. Fase manusia berawal dari anak-anak lalu remaja, lalu pemuda, lalu dewasa, lalu lanjut usia, lalu tua renta, dan lalu binasa. (Ibnu Katsir)
Oleh karena dunia ini adalah fatamorgana; kenikmatanna sesaat dan semu. Nabi menggambarkan bahwa dunia ini tidak lebih berharga daripada wadah cambuk yang ada di surga.
عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ السَّاعِدِيِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَوْضِعُ سَوْطٍ فِي الْجَنَّةِ خَيْرٌ مِنْ الدُّنْيَا وَمَا فِيهَا
Dari Sahal bin Sa’ad as-Sa’idi ia berkata, “Rasulullah shalla-‘Llahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wadah cambuk yang ada di surga lebih baik daripada dunia dan seisinya”. (Shahih al-Bukhari bab Ma Ja’a fi Shifail Jannah no. 3250)
Bagi orang yang cerdas dunia itu bukan tujuan. Tapi alat untuk mencapai kebahagiaan akhirat. Hingga akhirnya dia dapat meraih kebahagian dunia dan akhirat. Bagi orang tolol dunia itu adalah tujuan. Hingga akhirya dia meraih dunia, dan dia hancur bersamaan dengan hancurnya dunia.
Sesungguhnya Allah memiliki hamba-hamba yang cerdas. Mereka adalah orang yang melepaskan dunia karena takut fitnah-fitnahnya. Mereka merenungkannya. Setelah mereka sadar bahwa dunia bukan tempat kehidupan kekal. Mereka menjadikannya sebagai lautan. Dan mereka jadikan amal shaleh sebagai perahunya.
(Sya’ir ini di ambil dari kutipan Imam Nawawi dalam Muqaddimah kitab Riyadhus-Shalihin)