Pada saat arus utama pendidikan dan pemikiran di Negara-negara berkembang mengagung-agungkan Barat dan berkiblat kepada mereka, termasuk di antaranya Indonesia dan Malaysia, Syed Muhammad Naquib Al-Attas seorang ilmuwan Malaysia menulis sebuah karya agung Islam and Secularism pada 1978. Karya ini adalah penulisan ulang dalam bahasa Inggris dari karya sebelumnya yang berbahasa Melayu, Risalah untuk Kaum Muslimin, yang ditulis pada tahun 1973. Islam and Secularism sangat populer di kalangan masyarakat muslim dunia dan telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa dunia karena tulisannya yang sangat berbobot, filosofis, dan ilmiah. Al-Attas membandingkan peradaban Islam dan Barat yang menurutnya tidak akan pernah bisa bertemu. Islam adalah agama wahyu, sementara Barat beragamakan sekularisme yang memusuhi wahyu.
Arus utama pendidikan di Indonesia sendiri, khususnya dari sejak Orde Baru tahun 1960-an akhir, jelas-jelas berkiblat ke Barat. Bukan hanya untuk disiplin keilmuan non-syari’ah saja, untuk disiplin keilmuan syari’ah pun atau studi Islam dosen-dosennya diberi beasiswa resmi oleh Pemerintah untuk studi pascasarjana di Barat. Maka dalam gelanggang pemikiran Indonesia dikenallah tokoh panutan bermadzhab Barat seperti Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid, Dawam Rahardjo, dan Ahmad Syafi’i Ma’arif.
Satu kesalahan besar mereka yang memilih madzhab Barat atau sekularisme adalah tidak menyadari bahwa madzhab Barat tersebut sudah memisahkan ranah agama dan ranah dunia, baik itu dalam tataran politik, sosial, ekonomi, pendidikan, termasuk disiplin keilmuan. Menurut kaum sekuler, ranah agama itu keyakinan yang tidak bisa ditimbang dengan akal rasional yang ilmiah, sementara ranah dunia adalah aktivitas manusia lintas agama yang harus ditimbang dengan akal rasional yang ilmiah. Jika ranah dunia ini dimasuki oleh agama maka jadinya primitif, terbelakang, tidak ilmiah, dan tidak benar.
SKB Mendagri, Mendikbud, dan Menag tentang seragam sekolah memperlihatkan dengan jelas bagaimana contoh nyata dari otak sekuler para pejabat Negeri ini. Meskipun MUI sudah memberikan taushiyah untuk koreksi, mereka tetap saja bergeming dan enggan meralatnya. Dalam otak para Menteri tersebut, ranah pendidikan bukan ranah agama, melainkan ranah akal rasional yang pertimbangannya harus rasional dan memberi hak kepada semua individu yang berhak memilih bebas cara beragamanya. Padahal sejatinya mereka telah menggunakan rasionalitas mereka untuk menentang wahyu dan menolak tunduk pada agama. Rasionalitas para Menteri itu menjadikan mereka sami’na wa ‘ashaina dan menanggalkan sami’na wa atha’na.
Inilah yang menurut Al-Attas dari sejak tahun 1970-an sudah diingatkan tidak akan pernah bertemunya antara Islam dan Sekularisme. Islam menuntut keimanan dan kepatuhan di samping rasionalitas, sementara sekularisme menuntut rasionalitas yang meminggirkan ketundukan pada wahyu. Maka selamanya pasti tidak akan pernah bertemu dan akan selalu bertentangan. Umat Islam mau tidak mau jadi harus memilih salah satunya; Islam atau sekularisme. Mustahil memilih kedua-duanya karena kedua-duanya bermusuhan dan tidak akan pernah bertemu sampai hari kiamat sekalipun.