Kisah ini terjadi beberapa saat setelah pembebasan Kota Makkah (Fathu Makkah) oleh kaum Muslimin yang dipimpin Rasulullah Muhammad saw. Suatu ketika, ada seorang perempuan dari Bani Makzhum tertangkap tangan sedang mencuri. Mengetahui peristiwa itu, para tokoh kabilah terkejut, dan mereka sangat mengetahui bahwa Rasulullah saw adalah orang yang paling tegas dalam penegakan hukum. Jika hukuman ditegakkan, kehormatan kabilah akan tercoreng.
Kemudian mereka bersepakat untuk membela si pencuri itu. Mereka merasa kehormatan suku sedang dipertaruhkan dengan kejadian pencurian tersebut. Bani Makzhum sendiri termasuk dalam tiga kabilah yang paling kaya, disegani, dan dihormati di seluruh Makkah.
Mereka lantas mendatangi seorang sahabat Nabi saw, Usamah bin Zaid. Salah satu sahabat yang disayangi Rasulullah saw. Mereka ingin agar Usamah membersamai untuk bertemu dengan Rasulullah saw. Dalam pandangan mereka, Rasulullah saw memiliki otoritas kuat untuk meringankan hukuman atas perempuan Bani Makzhum tersebut. Usamah pun menyanggupinya. Maka, menghadaplah ia kepada Nabi saw. Sesudah mendengarkan apa yang disampaikan sahabatnya itu, Rasulullah SAW naik ke atas mimbar untuk berpidato. Kemudian Nabi Muhammad saw menyampaikan pesannya kepada khalayak yang hadir ketika itu.
“Sesungguhnya kebinasaan orang sebelum kalian adalah akibat mereka tidak mau menindak tegas kalangan terhormat di antara mereka yang mencuri, tetapi langsung menghukum orang lemah yang mencuri. Demi Zat yang jiwa Muhammad berada di dalam genggaman-Nya, seandainya Fathimah binti Muhammad mencuri, pasti akan kupotong tangannya!”
Maka, mengertilah Usamah bin Zaid dan para tokoh Bani Makzhum tersebut. Tidak ada keringanan hukuman hanya karena pelaku pencurian berasal dari kalangan bangsawan, atau orang terhormat. Akhirnya, perempuan pencuri tadi dihukum sebagaimana mestinya.
Dalam kisah yang diriwayatkan Imam Bukhari tersebut jelas-jelas menekankan aspek keadilan dalam penegakan hukum. Islam sangat menjungjung tinggi penegakan hukum. Hukum harus ditegakkan dengan seadil-adilnya. Tidak boleh hukum bagaikan pedang: tajam ke bawah, tetapi tumpul ke atas.
Kasus-kasus kriminal yang pelakunya rakyat kecil, rakyat biasa, proses penangkapannya cepat. Proses pengadilan nya pun cepat. Tetapi ketika pelaku nya para bangsawan, orang kaya, pejabat, prosesnya lama, berliku-liku dan banyak drama. Dalam menjalani hukuman pun ada sisi ketidakadilan. Sel para pejabat yang kena hukum lebih manusiawi dari pada sel orang-orang biasa.
Potret ini sudah nampak di tengah-tengah kita. Banyak oknum-oknum penegak keadilan yang hanya mementingkan perut nya saja, mereka rela di ‘sogok’ sehingga rela berlaku tidak adil. Dan hal ini banyak di diamkan oleh penguasa.
Para penegak hukum lebih condong membela penguasa, kendati pun penguasa bertindak salah. Undang-undang yang diterapkan untuk menjerat yang berbuat salah, itu tidak berlaku bagi penguasa dan para pendukung penguasa. Mereka terkadang bebas melakukan sekehendaknya dan dianggap tidak melanggar aturan.
Namun ironinya, ketika orang biasa dan kebetulan bersebrangan dengan penguasa, ketika melakukan kesalahan, langsung ditindak dengan menggunakan undang-undang yang sama. Langsung di proses, langsung ditangkap. Dalam proses peradilan nya pun banyak ketidakadilan.
Istilah keadilan yang tercantum dalam sila ke dua Pancasila yang berbunyi Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, terasa masih jauh dari harapan, ‘jauh panggang dari api’. Para pendiri negara kita merumuskan konsep sila ke dua tersebut dalam rangka penegakan keadilan. Hal ini demi terciptanya tatanan bernegara dengan baik. Ketentraman dalam bermasyarakat.
Selama pembiaran atas ketidakadilan ini berlangsung, maka pemerintahan yang baik tidak akan pernah berdiri. Rakyat hanya akan menyaksikan ketidakadilan ini. Pejabat dan penguasa yang salah di biarkan, sedangkan rakyat diamankan. Dan ini sangat berbahaya dalam bernegara.
Mari kita renungkan firman Allah swt :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ وَلا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلا تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu Jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk Berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Maidah : 8).