الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ (275)
Orang-orang yang memakan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), “Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba”. Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. (QS. Al-Baqarah [2]: 275)
Terjerat Pinjol
Di tengah kesulitan ekonomi yang menjerat masyarakat hari ini, telah memberikan kesempatan bagi sejumlah jasa pinjaman online (Pinjol) untuk memberikan solusi atas kemelut ekonomi yang mereka rasakan. Pinjaman online dengan proses yang mudah dan cepat, menggiurkan bagi siapa saja yang terjepit ekonominya.
Pinjaman oline ini ditawarkan dengan banyak cara; mulai dari mengirimi lewat pesan singkat (sms) dari nomor yang tak dikenal, lewat aplikasi hingga lewat sebaran kertas kecil yang dibagikan di stopan lampu lalu lintas.
Dengan menawarkan peminjaman online dengan proses yang mudah dan cepat, tidak sedikit yang terjerat dengan pinjol ini. Beberapa bulan lalu (06/21), sebagaiama dilansir dari kompas.com, seorang guru honorer di Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, berinisial AM (27) terjerat utang di puluhan aplikasi pinjaman online (pinjol) hingga ratusan juta. Awalnya, AM ini hanya meminjam Rp 3,7 juta, namun membengkak hutangnya menjadi Rp 206 juta.
Kasus yang terdekat (23/08/21), seorang karyawan bank perkreditan di Bojonegoro, gantung diri karena terjerat pinjol. Korban yang berinisial HP ini ditemukan tewas gantung diri dengan meninggalkan secarik kertas yang berisi penyesalan dirinya yang tenggelam dalam kubangan pinjol hingga dirinya tak sanggup menghadapi kepelikan hidupnya. (news.detik.com)
Kasus ‘gantung diri’ pada kasus HP dilatarbelakangi oleh proses penaginah rentenir yang keji dan jahat. Para debitur (si peminjam) ini ditagih dengan cara diteror; diretas data pribadinya, dijatuhkan harga dirinya, dimatikan karakternya, hingga disebarluaskan foto vulgar maupun foto rekayasa milik debitur di media sosial.
Tentu saja, selain dosa juga menjadi nestapa bagi mereka yang terlibat dalam transaksi riba. Meski demikian, menyelesaikan persoalan ini dengan cara ‘gantung diri’ bukan solusi yang dibenarkan. Semuanya masih bisa diperbaiki dan diselesaikan dengan cara baik-baik. Karena tidak ada keruh yang tidak terjernihkan. Tidak ada kusut yang tak terselesaikan. Demikian kata Hamka.
Pinjaman Riba dan Ancamannya
Tiga ayat sebelum ayat larangan riba ini, Allah telah memerintahkan untuk berinfaq kepada mereka yang faqir yang kefaqirannya disebabkan kesibukan dan kefokusan mereka pada jihad fi sabili-‘Llah. Mereka ini adalah orang-orang yang segan dan tidak berani untuk berkata-kata apalagi sampai meminta-meminta untuk memenuhi kebutuhan mereka, maka pantas jika mereka ini disangka mapan secara ekonomi padahal di balik itu ada kesulitan yang menjepitnya (QS. Al-Baqarah: 273).
Bahkan masih banyak lagi ayat perintah untuk berinfaq di lain tempat yang menurut Ibnu ‘Asyur, al-Qur’an telah memperhatikan satu asas yang penting dalam kehidupan manusia, yaitu menjaga dan memperhatikan ekonomi umat agar dengannya umat bisa berdiri tegak. Hal itu dilakukan dengan cara mengambil dan mendistribusikan harta orang kaya kepada orang faqir-miskin, baik yang harta yang didistribusikannya itu berupa infaq wajib semisal zakat maupun berupa infaq sunnah semisal shadaqah.
Setelah itu, kemudian Allah menegur keras terhadap praktik pinjaman riba yang dilakukan oleh sekelompok orang kaya; kaum borjuis; dan para kapitalis yang mereka sasarkan kepada kaum ploretar; melarat; dan wong cilik. Praktik seperti inilah yang Nabi saw sebut sebagai riba Jahiliyyah. Salah satu aktor terkenal terhadap pegiat riba Jahiliyyah ini adalah ‘Abbas bin ‘Abdul Muthallib, paman Nabi sendiri. (Tafsir at-Tahrir wat-Tanwir)
«أَلَا وَإِنَّ رِبَا الْجَاهِلِيَّةِ مَوْضُوعٌ وَإِنَّ أَوَّلَ رِبًا أَبْدَأُ بِهِ رِبَا عَمِّي عَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ» .
Ingatlah bahwa riba Jahiliyyah itu sudah tidak berlaku dan riba yang pertama kali muncul adalah riba pamanku ‘Abbas bin ‘Abdul Muthallib”. (Sunan Ibnul Majah Kitab al-Manasik no. 3055)
Menurut Ibnu Juzayyin sebagaimana yang ia jelaskan dalam tafsirnya, bahwa yang dimaksud dengan alladzina ya’kuluna riba adalah orang-orang yang mengambil manfaat dari harta riba. Digunakannya lafadz ya’kuluna riba karena secara umum harta itu dimanfaatkan untuk makan. (Tafsir Ibnu Juzayyin)
Secara bahasa riba memiliki arti az–ziyadah, tambahan. Kemudian istilah ini diterapkan dalam syariat dengan merujuk kepada segala bentuk traksaksi yang dilarang karena di dalamnya ada unsur tambahan. Secara kultur, istilah riba ini dipraktikan oleh masyarakat Jahiliyyah dalam hal utang piutang. Biasanya orang yang berhutang harus memberikan tambahan uang dari jumlah pokok hutangnya. Jika saat jatuh tempo ia tidak dapat melunasinya, maka si peminjam harus membayar tambahan (bunga) agar dapat diperpanjang lagi masa pembayarannya. Oleh sebab itu perkataan “a taqdi am turbi” (apakah kamu mau melunasinya atau memberikan tambahan), sudah akrab di telinga masyarakat Jahiliyyah. (Tafsir Ibnu Juzayyin)
Riba secara umum terbagi pada dua bagian, riba nasi’ah dan riba fadhl. Terkait dengan kasus yang menimpa para korban pinjol adalah mereka yang terjebak dengan riba nasi’ah. Berikut keterangan al-Maraghi dalam tafsirnya:
اَلرِّبَا ضَرْبَانِ: رِبَا النَّسِيْئَةِ، وَ رِبَا الْفَضْلِ فَالْأَوَّلُ: يَكُوْنُ بِإِقْرَاضِ قَدْرِ مُعَيَّنٍ مِنَ الْمَالِ لِزَمَنٍ مَحْدُوْدٍ كَسَنَّةٍ أَوْ شَهْرٍ مَعَ اشْتِرَاطِ الزِّيَادَةِ فِي نَظِيْرِ امْتِدَادِ اْلأَجَلِ، وَهُوَ الْمُسْتَعْمَلُ اْلآنَ فِي الْمَصَارِفِ الْمَالِيَةِ، وَهُوَ الَّذِي نَصَّ الْقُرْآنُ الْكَرِيْمُ عَلَى تَحْرِيْمِهِ.
Riba itu ada dua macam, riba nasi’ah dan riba fadhl. Yang pertama (riba nasi’ah) adalah riba dalam bentuk pinjaman uang dengan jumlah tertentu, untuk tempo tertentu seperti satu tahun atau satu bulan, dengan syarat adanya penambahan saat adanya penangguhan sampai batas waktu tertentu. Saat ini pinjaman seperti ini digunakan oleh bank, yang al-Qur’an al-Karim telah sendiri telah menyebutkan keharamannya. (Tafsir al-Maraghi)
Para pelaku riba, baik debitur (si peminjam) maupun kreditur (yang meminjamkan), keduanya diancam oleh al-Qur’an dengan ancaman akan dibangkitkan seperti orang gila yang kesurupan.
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ
Orang-orang yang memakan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. (QS. Al-Baqarah [2]: 275)
Ibnu ‘Abbas –sebagaimana dikutip oleh Ibnu Katsir- mengatakan bahwa para pemakan riba kelak akan dibangkitkan dalam kuburnya dengan keadaan seperti orang gila yang tercekik. (Tafsir Ibnu Katsir)
Dalam riwayat al-Bukhari tentang hadits tabir dibalik mimpi yang Nabi saw sampaikan mengenai tafsirnya di hadapan para sahabat selesai shalat subuh. Di dalamnya diterangkan tentang gambaran para aktivis riba.
سَمُرَةُ بْنُ جُنْدُبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِمَّا يُكْثِرُ أَنْ يَقُولَ لِأَصْحَابِهِ هَلْ رَأَى أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنْ رُؤْيَا قَالَ ….. فَأَتَيْنَا عَلَى نَهَرٍ حَسِبْتُ أَنَّهُ كَانَ يَقُولُ أَحْمَرَ مِثْلِ الدَّمِ وَإِذَا فِي النَّهَرِ رَجُلٌ سَابِحٌ يَسْبَحُ وَإِذَا عَلَى شَطِّ النَّهَرِ رَجُلٌ قَدْ جَمَعَ عِنْدَهُ حِجَارَةً كَثِيرَةً وَإِذَا ذَلِكَ السَّابِحُ يَسْبَحُ مَا يَسْبَحُ ثُمَّ يَأْتِي ذَلِكَ الَّذِي قَدْ جَمَعَ عِنْدَهُ الْحِجَارَةَ فَيَفْغَرُ لَهُ فَاهُ فَيُلْقِمُهُ حَجَرًا…..
Dan dari Samurah bin Jundub –radhiya-‘Llahu ‘anhu– ia berkata, “Adalah Rasulullah –shalla-‘Llahu ‘alahi wa sallam– di antara perkataan yang banyak disampaikan kepada sahabatnya yaitu, “Apakah salah saorang di antara kalian ada yang bermimpi?”…. Lalu kami mendatangi sebuah sungai, aku menduga ia mengatakan, “Sungai itu merah semerah darah”, ternyata di sungai tersebut ada perenang yang sedang berenang. Sedangkan di pinggir sungai itu ada seseorang yang telah mengumpulkan batu yang banyak. Perenang itu apabila berenang, ia mendekati orang yang mengumpulkan batu itu lalu perenang itu membuka mulutnya kemuian batu itu disuapkannya.
Lalu Nabi saw menjelaskan siapa orang yang memakan batu yang banyak itu.
وَأَمَّا الرَّجُلُ الَّذِي أَتَيْتَ عَلَيْهِ يَسْبَحُ فِي النَّهَرِ وَيُلْقَمُ الْحَجَرَ فَإِنَّهُ آكِلُ الرِّبَا
Adapun lelaki yang kamu temui berenang di sungai dan disuapkan padanya batu yang banyak, adalah pemakan riba. (Shahih al-Bukhari Ta’bir Ru’ya Ba’da Shalatis Subhi no. 7047)
Gambaran orang yang berenang di sungai berwarna merah dengan lelaki yang menyuapinya secara berulang kali dengan batu yang banyak, dijelaskan oleh Ibnu Hajar sebagai berikut:
قَالَ بن هُبَيْرَةَ إِنَّمَا عُوقِبَ آكِلُ الرِّبَا بِسِبَاحَتِهِ فِي النَّهَرِ الْأَحْمَرِ وَإِلْقَامِهِ الْحِجَارَةَ لِأَنَّ أَصْلَ الرِّبَا يَجْرِي فِي الذَّهَبِ وَالذَّهَبُ أَحْمَرُ وَأَمَّا إِلْقَامُ الْمَلَكِ لَهُ الْحَجَرَ فَإِنَّهُ إِشَارَةٌ إِلَى أَنَّهُ لَا يُغْنِي عَنْهُ شَيْئًا وَكَذَلِكَ الرِّبَا فَإِنَّ صَاحِبَهُ يَتَخَيَّلُ أَنَّ مَالَهُ يَزْدَادُ وَاللَّهُ مِنْ وَرَائِهِ مَحَقَهُ
Ibnu Huibarah berkata bahwa siksaan bagi pemakan riba dengan gambaran orang yang berenang di sungai yang berwarna merah dan disuapinya dengan batu, karena pada hakikatnya riba itu terjadi pada emas sedagkan emas itu berwarna merah. Adapun disuapinya oleh pemilik batu sebagi isyarat bahwa dia tidak pernah merasa cukup sedikitpun (dengan harta riba itu, pen). Demikian halnya dengan riba, sungguh para pelakunya menghayalkan bahwa hartanya itu terus bertambah padahal di balik itu Allah akan melenyapkannya. (Fathul Bari)
Ancaman beserta kiasan buruk bagi pelaku riba di atas harusnya cukup ‘menampar’ bagi para aktivis riba. Itu semua karena para pelaku riba menganggap riba sebagai bisnis biasa; bisnis jual beli seperti pada umumnya. Keyakinan seperti inilah yang menghantarkan pelaku riba pada jurang neraka yang menyengsarakan.
Antara Dua Pilihan
Di penghujung ayat ini, Allah memberikan dua opsi bagi yang telah sampai ke telinga mereka tentang haramnya riba, yaitu berhenti dan bertaubat atau keukeuh dan tetap kembali melakukan rutinitas riba. Keduanya ada konsekuensinya.
فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ (275)
Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. (QS. Al-Baqarah [2]: 275)
Bagi yang berhenti dari transaksi riba dan bertaubat serta tidak mengulanginya, maka Allah akan memaafkannya. Demikian Ibnu Katsir menerangkannya. Di samping itu, Ibnu Katsir menyantumkan sebuah atsar yang masyhur sebagai penguat terhadap pendapatnya.
أَنَّ عَائِشَةَ زَوْجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَتْ لَهَا أَمُّ مُحَبَّةَ أَمُّ وَلَدٍ لِزَيْدِ بْنِ أَرْقَمَ: يَا أُمَّ الْمُؤْمِنِينَ أَتَعْرِفِينَ زَيْدَ بْنَ أَرْقَمَ؟ قَالَتْ: نَعَمْ، قَالَتْ: فَإِنِّي بِعْتُهُ عَبْدًا إِلَى الْعَطَاءِ بِثَمَانِمِائَةٍ، فَاحْتَاجَ إِلَى ثَمَنِهِ فَاشْتَرَيْتُهُ قَبْلَ مَحَلِّ الْأَجَلِ بِسِتِّمِائَةٍ، فَقَالَتْ: بِئْسَ مَا شَرَيْتِ، وَبِئْسَ مَا اشْتَرَيْتِ أَبْلِغِي زَيْدًا أَنَّهُ قَدْ أَبْطَلَ جِهَادَهُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قد بطل إِنْ لَمْ يَتُبْ. قَالَتْ، فَقُلْتُ: أَرَأَيْتِ إِنْ تَرَكَتُ الْمِائَتَيْنِ وَأَخَذَتُ السِّتَّمِائَةِ؟ قَالَتْ: نَعَمْ {فَمَن جَآءَهُ مَوْعِظَةٌ مِّنْ رَّبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ}، وَهَذَا الْأَثَرُ مَشْهُورٌ
Bahwa ‘Aisyah istri Nabi –shalla-‘Llahu ‘alaihi wa sallam– pernah berkata kepadanya ummu Muhabbah ibu bagi anak Zaid bin Arqam, “Ya Ummul Mu’minin! Tahukah kamu Zaid bin Arqam?” dia menjawab, “Ya, aku tahu”. Ummu Muhabbah berkata, “Aku pernah menjual budak kepadanya dengan tawaran harga 800 (dirham secara kredit)”. Lalu dia pun membutuhkannya (dan membelinya). Sebelum jatuh tempo, maka aku membelinya kembali dengan harga 600 (dirham)”. Aisyah menjawab, “Alangkah jelek apa yang kamu beli! Alangkah jelek apa yang kamu beli! Sampaikan kepada Zaid bahwa telah batal jihadnya bersama Rasulullah –shalla-‘Llahu ‘alaihi wa sallam-; sungguh batal jihadnya jika ia tidak bertaubat”. Aku pun berkata, “Bagaimana jika aku membiarkan yang dua ratus dirham dan aku hanya mengambil 600 dirham?” Aisyah menjawab, “Boleh. Karena Allah berfirman, “Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah”. (Tafsir Ibnu Katsir)
Bagi yang tetap dalam aktivitas riba setelah sampai kepadanya keterangan, maka dia akan digolongkan pada penghuni neraka dan kekal di dalam neraka. Ingat kekal! Bukan sebentar. Karena kerasnya siksaan bagi pelaku riba, di ayat selanjutnya Allah mengingatkan kembali akan kerugian dan kebinasaan para pelaku riba. Wal-‘iyadzu bi-‘Llah