Tayammum arti asalnya al-qashdu (menuju, menyengajakan diri). Di antaranya ada dalam firman Allah swt:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَنْفِقُوْا مِنْ طَيِّبٰتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّآ اَخْرَجْنَا لَكُمْ مِّنَ الْاَرْضِ ۗ وَلَا تَيَمَّمُوا الْخَبِيْثَ مِنْهُ تُنْفِقُوْنَ وَلَسْتُمْ بِاٰخِذِيْهِ اِلَّآ اَنْ تُغْمِضُوْا فِيْهِ ۗ وَاعْلَمُوْٓا اَنَّ اللّٰهَ غَنِيٌّ حَمِيْدٌ
Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu sengaja memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji (QS. al-Baqarah [2] : 267).
Dalam konteks thaharah maka makna tayammum adalah tayammamu sha’idan; menyengajakan diri bersuci dengan tanah. Dalam al-Qur`an, perintah tayammum ditemukan dalam dua ayat, yakni QS. an-Nisa` [4] : 43 dan al-Ma`idah [5] : 6. Ada kesamaan dan sedikit perbedaan redaksi ayat. Berikut dikutip ayat dari surat an-Nisa`:
وَاِنْ كُنْتُمْ مَّرْضٰٓى اَوْ عَلٰى سَفَرٍ اَوْ جَاۤءَ اَحَدٌ مِّنْكُمْ مِّنَ الْغَاۤىِٕطِ اَوْ لٰمَسْتُمُ النِّسَاۤءَ فَلَمْ تَجِدُوْا مَاۤءً فَتَيَمَّمُوْا صَعِيْدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوْا بِوُجُوْهِكُمْ وَاَيْدِيْكُمْ ۗ
Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau kembali dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu.
Terkait ayat di atas, al-Hafizh Ibn Katsir menjelaskan:
وَقَوْلُهُ: {فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا} اسْتَنْبَطَ كَثِيرٌ مِنَ الْفُقَهَاءِ مِنْ هَذِهِ الْآيَةِ: أَنَّهُ لَا يَجُوزُ التَّيَمُّمُ لِعَادِمِ الْمَاءِ إِلَّا بَعْدَ تَطَلُّبِهِ، فَمَتَى طَلَبَهُ فَلَمْ يَجِدْهُ جَازَ لَهُ حِينَئِذٍ التَّيَمُّمُ
Firman-Nya: (Kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci)) Mayoritas fuqaha mengambil istinbath dari ayat ini bahwasanya tidak diperbolehkan tayammum bagi orang yang tidak menemukan air kecuali sesudah mencarinya. Ketika ia sudah mencarinya dan tidak menemukannya maka baru boleh baginya tayammum (Tafsir Ibn Katsir an-Nisa` [4] : 43).
Sementara dalam menafsirkan QS. al-Ma`idah [5] : 6, al-Hafizh Ibn Katsir mencantumkan hadits riwayat al-Bukhari yang menjadi sababun-nuzul dari ayat tayammum di atas, yaitu:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا سَقَطَتْ قِلَادَةٌ لِي بِالْبَيْدَاءِ وَنَحْنُ دَاخِلُونَ الْمَدِينَةَ فَأَنَاخَ النَّبِيُّ r وَنَزَلَ فَثَنَى رَأْسَهُ فِي حَجْرِي رَاقِدًا أَقْبَلَ أَبُو بَكْرٍ فَلَكَزَنِي لَكْزَةً شَدِيدَةً وَقَالَ حَبَسْتِ النَّاسَ فِي قِلَادَةٍ فَبِي الْمَوْتُ لِمَكَانِ رَسُولِ اللَّهِ r وَقَدْ أَوْجَعَنِي ثُمَّ إِنَّ النَّبِيَّ r اسْتَيْقَظَ وَحَضَرَتْ الصُّبْحُ فَالْتُمِسَ الْمَاءُ فَلَمْ يُوجَدْ فَنَزَلَتْ {يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ} الْآيَةَ فَقَالَ أُسَيْدُ بْنُ حُضَيْرٍ لَقَدْ بَارَكَ اللَّهُ لِلنَّاسِ فِيكُمْ يَا آلَ أَبِي بَكْرٍ مَا أَنْتُمْ إِلَّا بَرَكَةٌ لَهُمْ
Dari ‘Aisyah—semoga Allah meridlainya: “Kalung milikku jatuh di padang pasir ketika kami pulang menuju Madinah. Lalu Nabi saw pun mengistirahatkan kendaraannya, kemudian turun dan menyandarkan kepalanya di hamparanku dan tertidur. Abu Bakar kemudian menemuiku dan memarahiku dengan hebat. Ia berkata: “Kamu telah menyebabkan rombongan tertahan hanya gara-gara sebuah kalung!” Maka aku saat itu ibarat orang mati karena takut membangunkan Rasulullah saw, padahal ayahku betul-betul menyakitiku. Tidak lama kemudian Nabi saw bangun dan waktu shubuh pun tiba. Lalu air dicari tapi tidak ditemukan. Maka turunlah ayat: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat…) Usaid ibn Hudlair berkata: “Sungguh Allah telah memberikan barakah kepada manusia melalui kalian wahai keluarga Abu Bakar. Tidaklah kalian melainkan barakah bagi mereka.” (Shahih al-Bukhari kitab tafsir al-Qur`an bab qaulihi fa lam tajidu ma`an fa tayammamu no. 4608. Dalam riwayat lain masih dalam Shahih al-Bukhari, tepatnya pada no. hadits sebelumnya 4607, dijelaskan bahwa ayat di atas turun di malam harinya, dan saat itu rombongan tidak memiliki air. Sehingga di waktu shubuhnya Nabi saw memerintahkan shahabat untuk bertayammum. Sementara kalung ‘Aisyah ditemukan setelah untanya berdiri, akibat tertindih oleh badan unta ‘Aisyah).
Dari penjelasan Imam Ibn Katsir dan sababun-nuzul di atas diketahui bahwa empat keadaan yang membolehkan tayammum dan disebutkan di dua ayat tayammum di atas itu terkait erat dengan syarat fa lam tajidu ma`an; tidak menemukan air. Baik itu sakit, safar, sesudah buang air, atau junub, diperbolehkan tayammum ketika air tidak ditemukan.
Wahbah az-Zuhaili dalam kitabnya, al-Fiqhul-Islami wa Adillatuhu, menjelaskan berbagai pendapat fiqih tentang syarat bolehnya tayammum. Ia menerangkan bahwa tayammum dibolehkan ketika: (1) Tidak ada air yang cukup untuk wudlu atau mandi. (2) Tidak mampu menggunakan air. (3) Sakit atau terlambat sembuh. (4) Krisis air baik sekarang atau di masa yang akan datang. (5) Takut air hilang (dicuri/dibeli) jika ia mencari air. (6) Ketika cuaca dingin atau air sangat dingin. (7) Tidak ada alat untuk mengambil air (tali dan ember atau pompa air). (8) Musafir yang takut kehabisan waktu shalat jika ia mencari air.
Dari berbagai pendapat fiqih di atas, Wahbah az-Zuhaili menyimpulkan bahwa tayammum pada hakikatnya dibolehkan ketika dua hal: Pertama, tidak ada air. Termasuk di dalamnya tidak mudah menemukan air dan ada air tetapi tidak cukup atau ditakutkan tidak akan cukup untuk kebutuhan primer (makan dan minum) jika dipakai bersuci. Kedua, tidak mampu menggunakan air. Ini adalah qiyas pada yang pertama (al-Fiqhul-Islami wa Adilatuhu 1 : 416-423).
Di antara yang mengemukakan ijtihad berbeda terkait syarat kebolehan tayammum adalah M. Rasyid Ridla dalam Tafsir al-Manar. Ia menjelaskan bahwa berdasarkan dua firman Allah swt tentang tayammum di atas, tayammum dibolehkan ketika sakit dan safar meski ada air, dan ketika hadats kecil atau besar lalu tidak menemukan air. Jadi penyebutan sakit dan safar dalam dua ayat tayammum, menurut Rasyid Ridla, tidak ada kaitannya dengan ada tidak adanya air. Sebab yang sehat dan muqim pun jika tidak ada air, boleh tayammum. Jika yang sakit dan safar terkait dengan “tidak menemukan air”, maka tidak perlu disebutkan, sebab sudah terwakili oleh “tidak menemukan air”. Jadinya sia-sia saja penyebutan sakit dan safar dalam ayat tersebut. Dan ini mustahil terjadi pada al-Qur`an. Lebih lengkapnya, pernyataan Rasyid Ridla adalah sebagai berikut:
أَلَا إِنَّ مِنْ أَعْجَبِ الْعَجَبِ غَفْلَةَ جَمَاهِيرِ الْفُقَهَاءِ عَنْ هَذِهِ الرُّخْصَةِ الصَّرِيحَةِ فِي عِبَارَةِ الْقُرْآنِ، الَّتِي هِيَ أَظْهَرُ وَأَوْلَى مِنْ قَصْرِ الصَّلَاةِ وَتَرْكِ الصِّيَامِ، وَأَظْهَرُ فِي رَفْعِ الْحَرَجِ وَالْعُسْرِ الثَّابِتِ بِالنَّصِّ، وَعَلَيْهِ مَدَارُ الْأَحْكَامِ، وَاحْتِمَالُ رَبْطِ قَوْلِهِ تَعَالَى: فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً بِقَوْلِهِ: وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ بِعِيدٌ، بَلْ مَمْنُوعٌ أَلْبَتَّةَ ـ كَمَا تَقَدَّمَ ـ عَلَى أَنَّهُمْ لَا يَقُولُونَ بِهِ فِي الْمَرْضَى؛ لِأَنَّ اشْتِرَاطَ فَقْدِ الْمَاءِ فِي حَقِّهِمْ لَا فَائِدَةَ لَهُ؛ لِأَنَّ الْأَصِحَّاءَ مِثْلُهُمْ فِيهِ، فَيَكُونُ ذِكْرُهُمْ لَغْوًا يَتَنَزَّهُ عَنْهُ الْقُرْآنُ، وَنَقُولُ: إِنَّ ذِكْرَ الْمُسَافِرِينَ كَذَلِكَ، فَإِنَّ الْمُقِيمَ إِذَا لَمْ يَجِدِ الْمَاءَ يَتَيَمَّمُ بِالْإِجْمَاعِ، فَلَوْلَا أَنَّ السَّفَرَ سَبَبٌ لِلرُّخْصَةِ كَالْمَرَضِ لَمْ يَكُنْ لِذِكْرِهِ فَائِدَةٌ
Sungguh yang sangat mengherankan, mayoritas fuqaha abai dalam hal rukhshah ini dari ungkapan al-Qur`an yang jelas itu sendiri, bahkan lebih jelas daripada qashar shalat dan kebolehan tidak shaum, atau lebih tepat dalam menghilangkan kesulitan dan kesusahan sebagaimana ditetapkan nash yang di sanalah bermuaranya hukum. Kemungkinan adanya keterkaitan antara firman Allah: “tidak menemukan air” dengan firman-Nya: “dalam keadaan sakit atau sedang safar” sungguh sangat rancu, bahkan tertolak sama sekali—sebagaimana sudah dibahas—buktinya para fuqaha tidak mengatakannya (harus tidak ada air berlaku tayammum) bagi yang sakit, karena memang mengaitkan “tidak menemukan air” dengan orang sakit tidak ada faidahnya, sebab orang sehat pun demikian. Jika demikian, berarti disebutkannya orang sakit hanya sia-sia, al-Qur`an mustahil seperti itu. Demikian juga, kami berpendapat bahwa orang-orang safar pun demikian, karena yang muqim pun kalau tidak ada air pasti boleh tayammum berdasarkan ijma’. Seandainya safar tidak menjadi sebab tersendiri untuk rukhshah seperti halnya sakit, maka disebutkannya safar di ayat tersebut tidak ada faidahnya (Tafsir al-Manar 5 : 121 surat an-Nisa` [4] : 43)
Pendapat Rasyid Ridla ini sepengetahuan penulis kurang kuat, karena tidak ditopang oleh dalil. Hanya menganalisa ayat secara ra`yu (menggunakan nalar semata). Sementara itu dalil-dalil Nabi saw menginformasikan bahwa ketika safar Nabi saw tetap menganjurkan dan mencontohkan berwudlu sepanjang ada air. Misalnya hadits tentang air laut (Bulughul-Maram no. 1), dimana shahabat saat itu sedang safar dan membawa sedikit air. Nabi saw tidak menganjurkan kepadanya tayammum, melainkan tetap berwudlu dengan air laut. Demikian juga hadits tentang wudlunya Nabi saw dan para shahabat dari wadah air perempuan musyrik (Bulughul-Maram no. 25). Saat itu Nabi saw sedang safar dan tidak membawa air yang cukup. Nabi saw tidak tayammum dan menganjurkan tayammum, melainkan memerintahkan ‘Ali ra mencari air untuk berwudlu, sampai kemudian air tersebut ditemukan di seorang perempuan yang musyrik. Atau hadits Ibn Mas’ud tentang sisa air wudlu Nabi saw yang memancar dari balik jari jemarinya sehingga shahabat berwudlu darinya (Shahih al-Bukhari no. bab ‘alamat an-nubuwwah fil-Islam no. 3579). Disebutkan jelas oleh Ibn Mas’ud: kunna ma’a Rasulillah saw fi safar; kami sedang safar bersama Rasulullah saw. Lalu beliau bersabda: uthlubu fadllatan min ma`in; carilah air yang masih tersisa. Artinya Nabi saw tetap mencari dahulu air, dan semaksimal mungkin berwudlu dengan air. Termasuk hadits-hadits bab tayammum di Bulughul-Maram no. 139 dan 144. Baik shahabat ‘Ammar ibn Yasir yang sampai berguling-guling di tanah atau Abu Sa’id al-Khudri, kedua-duanya menginformasikan bahwa ketika safar tersebut tayammum ditempuh karena tidak menemukan air.
Tentang pendapat fuqaha yang membolehkan orang sakit bertayammum meski ada air—dan kemudian dikritik oleh Rasyid Ridla sebagai sebuah inkonsistensi fuqaha karena hal yang sama tidak diberlakukan bagi yang safar—itu disebabkan ada dalilnya. Jadi para fuqaha dan muhadditsin konsisten menyimpulkan hukum berdasarkan dalil, bukan sebatas ra`yu. Dalil yang dimaksud dalam Bulughul-Maram ada pada bab tayammum no. 145-147. Demikian juga hadits ‘Abdullah ibn ‘Amr yang sengaja tidak mandi junub, melainkan tayammum meski ada air, karena sedang musim dingin yang sangat parah (Sunan Abi Dawud kitab at-thaharah bab idza khafal-junub al-barad a tayammama no. 334).
Jika dikaitkan dengan ayat shaum yang juga menyebutkan rukhshah berbuka bagi yang sakit dan safar, sama dikembalikan pada dalil. Tidak otomatis setiap yang sakit dan safar harus berbuka dan mengqadla, sehingga jika tidak berbuka hukumnya makruh. Hadits-hadits menunjukkan bahwa Rasulullah saw sering safar dalam keadaan shaum, meski adakalanya juga beliau berbuka. Demikian halnya dengan para shahabat. Sehingga Imam Muslim dalam kitab Shahihnya menjelaskan: “Bab: Boleh shaum atau berbuka pada bulan Ramadlan bagi yang safar, dan tidak termasuk maksiat, apabila safarnya dua tahap atau lebih. Yang paling baik bagi yang mampu tanpa ada madlarat adalah shaum, sementara bagi yang tidak mampu adalah berbuka.”
Terkait qashar shalat di waktu safar, meski di al-Qur`annya disebutkan syarat jika takut diserang orang-orang kafir (QS. an-Nisa` [4] : 101), tetapi dalam praktiknya meski tidak takut oleh serangan orang kafir boleh dirutinkan, itu juga didasarkan pada dalil-dalil bahwa Nabi saw selama safar tidak diketahui pernah shalat tam (tanpa qashar). Baik itu dalam kondisi takut dari serangan orang kafir atau tidak.
Jadi yang lebih tepat, hemat penulis, memahami ayat al-Qur`an berdasarkan pemahaman dan pengamalan Nabi saw dan para shahabat, bukan berdasarkan ra`yu semata. Ini pun tentunya dengan catatan bahwa ulama yang merujuk pada ra`yu dalam kebolehan tayammum bagi yang safar ini, bukan berarti ulama yang sesat atau bid’ah. Persoalan fiqih adalah persoalan ijtihadiyyah, bukan qath’iyyah. Selama ada dalam koridor ijtihad, masing-masing pihak tidak bisa saling menyesatkan. Hanya dipilih saja mana yang paling tepat menurut kaidah ijtihad yang dianut masing-masing ulama. Wal-‘Llahu a’lam