Suatu hari seorang ulama yang bernama Yunus as-Shafadi berdebat hebat dengan Imam asy-Syafi’I. Perdebatan antara keduanya tidak menemukan titik persamaan, sehingga keduanya tetap teguh dengan pendapatnya masing-masing. Setelah perdebatan itu usai, tiba-tiba Imam asy-Syafi’I menghadap imam as-Shafadi kemudian memegang tangan imam as-Shafadi dan berkata,
يَا أَبَا مُوْسَى ألَا يَسْتَقيمُ أَنْ نَكُوْنَ إِخْوَاناً وَإِنْ لَمْ نَتَّفِقْ فِي مَسْأَلَةٍ.
“Wahai Abu Musa bukankah kita akan tetap bersaudara meskipun kita tidak bersepakat dalam satu masalah”[1]
Kisah imam asy-Syafi’I ini hanya satu diantara ribuan kisah para ulama dalam menjaga adab dalam berikhtilaf. Imam asy-Syafi’I mengajarkan kepada kita bahwa menjadi seorang ulama tidak hanya cukup memiliki informasi keilmuan saja namun seorang ulama itu mesti memiliki pula adab-adab yang mulia dalam ilmu.
Perbedaan pendapat antara asy-Syafi’I dan ash-Shafadi seperti ini telah lumrah terjadi sejak zaman sahabat nabi saw. Perbedaan di kalangan sahabat bahkan bukan hanya dalam masalah fiqih saja namun mencabar dalam masalah furu’ aqidah. ‘Aisyah ra. Misalkan berbeda pendapat dengan ‘Abdullah bin ‘Abbas ra. dalam hal apakah nabi melihat Allah Ta’ala ketika mi’raj ataukah tidak. Abdullah bin ‘Abbas berpendapat bahwa nabi melihat Allah Ta’ala ketika mi’raj. Sedangkan ‘Aisyah ra. berpendapat bahwa nabi tidak melihat-Nya.[2] Meskipun keduanya berbeda pendapat, namun tidak pernah ada satu riwayatpun sampai kepada kita bahwa keduanya saling menuduh kafir ataupun menuduh bid’ah satu sama lain.
Dalam masalah perbedaan di kalangan sahabat ini Imam Ibnu Taimiyah pernah menjelaskan,
إِنَ السَلَفَ أَخْطَأَ كَثِيْرُ مِنْهُمْ فِي هَذِهِ المَسَائِلَ وَ اتَفَقُوْا عَلَى عَدَمِ التَكْفِيْرِ بِذَلِكَ مِثْلُ مَا أَنْكَرَ بَعِضُ الصَحَابَةِ أَنْ يَكُوْنَ المَيِتُ يَسْمَعُ نِدَاءَ الَحيِ وَ أَنْكَرَ بَعْضُهُمْ رُؤْيَةَ مَحَمَدٍ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَمَ رَبَهُ
“Sungguh para salaf dahulu telah melakukan kekeliruan dalam masalah-masalah ini. Namun, mereka bersepakat tidak mengkafirkan satu sama lain. Seperti pengingkarannya sebagian sahabat, terhadap orang yang telah meninggal mendengar panggilan yang masih hidup dan pengingkaran terhadap masalah nabi melihat Allah Ta’ala”[3]
Adab Sebelum Ilmu
Ikhtilaf umat islam yang menimbulkan perpecahan itu, hakikatnya bukan karena perbedaan pendapat namun seringkali karena disebabkan keburukan akhlak. Padahal, Para ulama sejak dahulu berbondong-bondong menghadiri majlis ilmu itu, bukan hanya sekedar ingin mendapatkan ilmu. Namun, mereka ingin pula dating ke majlis ilmu itu agar mendapatkan adab-adab yang mulia. Majlis Imam Ahmad Ahmad bin Hanbal misalkan, dari lima ribu orang yang hadir terdapat lima ratus orang yang mencatat hadis, sedangkan sisanya mereka mempelajari kebaikan adab dan perangai Imam Ahmad bin Hanbal.
Para ulama telah memberikan perhatian yang sangat besar dalam masalah Adab sebelum ilmu.[4] Karya-karya para ulama yang berlimpah dalam masalah ini menunjukan betapa pentingnya masalah adab dalam pandangan para ulama dahulu. Imam Malik misalnya, pernah memberikan nasihat kepada seorang pemuda tentang pentingnya adab sebelum ilmu. Ia mengatakan,
يَا ابْنَ أَخِي تَعَلَّمَ الْأَدَبُ قَبْلَ أَنْ تَتَعَلَّمَ الْعِلْمَ
“Wahai putra saudaraku belajarlah adab sebelum engkau belajar ilmu”[5]
Begitu pula Imam asy-Syafi’I, beliau pernah ditanya tentang kesungguhnnya mempelajari Adab. Ia mengatakan,
أَسْمَعُ بِالْحَرْفِ مِنْهُ مِمَا لَمْ أَسْمَعْهُ فَتَوَدُ أَعْضَائِي أَنَ لَهَا أَسْمَاعًا فَتَنَعَمَ بِهِ
“Aku mendengar satu huruf tentang adab yang pernah aku dengar maka seluruh anggota tubuhku sangat ingin mendengarnya dan merasakan bahagia dengan satu huruf adab itu”. Kemudian Imam asy-Syafi’I ditanya kembali tentang cara ia mencari ilmu tentang adab itu. Ia menjawab,
طَلَبُ الْمَرْأَةِ الْمُضِلَةِ وَلَدَهَا وَلَيْسَ لَهَا غَيْرَهُ
“Seperti seorang ibu yang kehilangan anaknya dan ia tidak memiliki anak selainnya”[6].
Kesaksian Imam Malik dan Imam asy-Syafi’I ini cukup menjadi bukti luhurnya kedudukan adab daripada Ilmu, karena Adab merupakan buah Ilmu. Seorang yang berilmu namun tak beradab itu seperti pohon tak berbunga dan berbuah. Dengan demikian, sudahkah ilmu yang kita miliki itu berbuah dan berbunga?.
Syarat Adab Ikhtilaf
Muhammad ‘Awamah memberikan syarat dalam adab ikhtilaf, agar kita tidak keliru dalam memahami adab ikhtilaf. Ia memberi dua syarat dalam adab ikhtilaf yang mesti kita perhatikan. Pertama, Ikhtilaf yang terjadi merupakan Ikhtilaf Masyru’.[7]kedua, yang berikhtilaf adalah orang yang memiliki keahlian dalam ilmu dan masalah ikhtilaf. Ketika kedua syarat ini terpenuhi maka, ikhtilaf ini mewajibkan kita semua untuk memiliki adab-adab sebagai berikut.
- Tidak memvonis sesat dan bid’ah terhadap Ikhtilaf Masyru’
- Menjelaskan akar permasalahan dan perbedaan dengan menyebutkan dalil dan disertai sifat amanah, jujur dan adil.
- Tidak terlarang dalam syari’at mengamalkan pendapat yang berbeda jika dibutuhkan.
- Jika keadaan menuntut untuk menolak ikhtilaf ini, maka tolak dengan penuh adab dengan niat untuk menasihati, menjelaskan kebenaran dan mensucikan diri dari keangkuhan hendak merendahkan derajat orang lain.[8]
Penjelasan Muhamaad ‘Awamah ini menunjukan bahwa menjaga adab ikhtilaf itu bukan berarti diam terhadap keburukan atau kesalahan. Namun, kita mesti menempatkan ikhtilaf pada tempatnya yang benar. Jika permasalahan ikhtilaf ini diluar dari kedua syarat yang telah dijelaskan maka, jangan ragu untuk menolak perbedaan itu. karena perbedaan itu bukan ranah ikhtilaf masyru’, meskipun mesti tetap dibarengi dengan adab-adab yang mulia.
Kesimpulan
Sudah semestinya ilmu yang bermanfaat itu akan melahirkan akhlak yang mulia dalam diri seseorang. Semakin banyak ilmu yang didapatkannya maka akan semakin tinggi pula akhlak yang dimilikinya. Akhlak dalam ilmu inilah yang mesti jadi perhatian besar seseorang dalam menuntut ilmu. Tidak merasa angkuh, tidak mudah merendahkan dan mencela orang lain ketika berbeda pendapat, dan tidak memvonis sesat dan bid’ah kepada perkara yang bukan pada tempatnya itu merupakan mutiara akhlak yang tumbuh dari kejernihan ilmu. Adapun diantara mutiara akhlak yang tumbuh dari ilmu yang jernih itu ialah adab-adab mulia dalam ikhtilaf. Wallahu A’lam bis Shawwab.
Penulis : Husna Hisaba Kholid
[1] Adz-Dzahabi, Siyar a’lam an-Nubala. Hal 240. Jilid 8.
[2] Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Bari. Hal 608. Jilid 8.
[3] Ibnu Taimiyah, dalam Muhammad ‘Awamah, Adab Ikhtilaf. Hal 18.
[4] Diantaranya, Akhlaqul ‘Ulama karya Al-Ajuri, al-Jami’ li Akhlaqir Rawi wa Adaabis Sami’ karya al-Khatib al-Baghdadi, Adabul Mujalasah wa Hamdul Lisan karya Ibnu ‘Abdil Bar, Tadzkiratus Sami’ wal Mutakallim fi Adabil “Alim wal Muta’allim karya Ibnu Jama’ah, Adabud Dunya wad Din Karya al-Mawardi, fadhlu ‘Ilmis Salaf ‘ala ‘ilmil Kholaf Karya Ibnu Rajab, Tahrir al-Maqal fi Adab wa Ahkam Yahtaju Ilaiha Muaadibul Athfal Karya Ibnu Hajar al-Haitami, Adabut Thalab Karya Asy-Syaukani, Adab Thalabil ‘Ilmi karya Muhammad Sa’id bin Raslan, Kitabul ‘Ilmi dan Syarhu Hilyati Thalabil ‘Ilmi Karya Muhammad Ibnu Utsaimin dan masih banyak karya para ulama lainnya.
[5] Adz-Dzahabi, Siyar A’lam an-Nubala. Hal 330. Jilid 6.
[6] Ibnu Jama’ah, Tadzkiratus Sami’ wal Mutakallim. Hal 32.
[7]Ikhtilaf Masyru’ ialah ikhtilaf pada perkara yang memungkinkan peluang ijtihad, serta orang yang berijtihad dalam perkara ikhtilaf tersebut merupakan orang yang telah memiliki keahlian dan kelayakan dalam ilmu dan agama. Lihat, Muhammad ‘Awamah, Adab Ikhtilaf. Hal 52-56.
[8] Muhammad ‘Awamah. Adab Ikhtilaf. Hal 78.